"Erika!"
Suara teriakan yang menggema terdengar di sebuah ruangan tamu. Trinita melangkah masuk dengan amarah yang terpancar pada wajahnya.
Matanya memindai keadaan sekitar, lalu mendengus saat tak melihat keberadaan sang menantu yang paling dia benci.
"Erika! Kau ada di mana?!"
Sekali lagi teriakan itu terdengar, dan kali ini Erika yang sedang menggendong Kayla, putrinya datang tergopoh-gopoh. Keringat pun bercucuran dari pelipisnya.
"Ada apa, Bu?" tanya Erika dengan napas tersengal.
"Dasar pemalas. Mentang-mentang Gerry nggak ada di sini, kerjamu hanya tidur saja!" teriak Trinita dengan suara menggelegar.
Kayla yang baru saja terlelap, otomatis menangis karena kencangnya suara sang nenek. Dan Erika segera menenangkan putrinya yang baru berusia 6 bulan itu.
"Cepat tenangkan tangisan anak itu. Kepalaku pusing mendengarnya!" bentak Trinita sembari menutup kedua telinganya.
"Tapi Kayla demam semalam dan baru turun panasnya jam tiga subuh, Bu," ucap Erika memberikan pembelaan.
Namun bukannya tersentuh, Trinita malah menatap Erika dengan sinis. "Dasar anak dan ibu sama saja. Sama-sama menyusahkan!"
"Bu, jangan bicara seperti itu! Kayla menangis karena terkejut dengan suara teriakan Ibu," sahut Erika.
"Diam kau. Beraninya kau membantahku! Memangnya kau pikir, kau ini siapa?! Nanti akan kuadukan kelakuanmu pada Gerry, biar dia tahu cara mengajar istri yang tak becus mengurus rumah!" hardik Trinita.
Erika hanya dapat menghela napas panjang, selama ini dia mencoba sabar dengan perlakuan buruk yang dilakukan oleh sang mertua. Tapi ternyata sikap Trinita kepada dirinya malah semakin menjadi.
"Jadi aku harus diam saja, saat Ibu membuat Kayla menangis karena terkejut dengan teriakan Ibu," sahut Erika yang tetap berusaha mempertahankan intonasi suaranya.
"Kau ini ...."
Belum sempat Trinita melanjutkan perkataannya, ponselnya berdering. Wanita itu mengambil benda pipih itu dan berjalan keluar dari rumah.
Melihat sang mertua yang meninggalkan rumahnya, membuat Erika dapat bernapas lega. Dia menidurkan Kayla yang sudah tenang di boks bayi yang ada di ruang keluarga.
"Syukurlah Ibu hanya sebentar di sini," ucap Erika yang kini menuju dapur.
Kepalanya yang sakit memaksa Erika untuk mengisi perut dan meminum paracetamol. 30 menit kemudian, rasa nyeri pada kepalanya perlahan menghilang, tapi berganti dengan rasa cemas yang tidak Erika tahu apa penyebabnya.
Suara tangis Kayla membuat Erika yang sedang melipat baju langsung melompat, dia menghela napas lega saat mengetahui jika popok sang putri sudah penuh. Bukannya demam seperti semalam. Demam akibat efek imunisasi kemarin pagi. Dia lantas memandikan Kayla sebelum menyuapi putrinya bubur MPASI.
Namun lagi-lagi ketenangannya harus terganggu karena ponselnya berdering, dengan langkah berat Erika mengambil benda pipih yang tergeletak pada meja TV.
Dahinya mengerut saat mendapati pesan gambar dari nomor yang tak dia kenal. Merasa penasaran dengan isi dari gambar itu, membuat Erika membuka ruang obrolan.
Beberapa detik kemudian, matanya terbelalak saat melihat foto seorang wanita setengah bugil. Dan yang lebih membuatnya terkejut, foto wanita itu adalah dirinya.
Tangan Erika seketika bergetar, dia tidak pernah berfoto se-vulgar ini, tapi foto yang ada di dalam ponselnya tidak dapat dia bantah. Meskipun dia tahu jika foto itu jelas adalah editan semata.
Selang beberapa saat kemudian, sebuah pesan kembali masuk, kali ini pesan teks biasa, namun bernada penuh ancaman.
'Erika. Bagaimana dengan hadiah yang kukirimkan? Apa kau menikmatinya? Aku tidak sabar menunggu reaksi orang-orang saat melihatnya.'
Tangan Erika bergetar karena menahan amarah, sudah jelas kalau orang yang mengirimkan pesan dan gambar ini memiliki dendam pribadi, atau bahkan ingin menghancurkan rumah tangganya.
Erika pun mengetik balasan pesan untuk pengirim pesan misterius itu.
'Siapa ini? Jangan bermain-main denganku!'
Tak menunggu lama, balasan pun dia terima.
'Siapa aku itu tidak penting, Erika. Yang aku inginkan adalah kehancuran dirimu. Aku mengirim pesan untuk memperingatkanmu untuk bersiap-siap keluar dari kehidupan Gerry.'
Erika hanya dapat menatap nanar layar ponselnya yang menampilkan percakapan pesan dirinya dan orang misterius itu. Dia pun memutuskan untuk mengabaikan orang yang menurutnya kurang kerjaan itu.
Karena masih merasa pusing, membuat Erika merebahkan tubuh pada sofa ruang tamu. Berdekatan dengan boks bayi di mana Kayla kembali tertidur lelap.
Suara pintu pagar yang dibanting keras, membangunkan Erika, disusul dengan langkah sepatu hak tinggi menghentak lantai ruang tamu.
"Erika!!"
Trinita kembali. Wajahnya merah padam, napasnya memburu seperti baru saja berlari dari neraka.
Erika lagi-lagi merasakan kepalanya berdenyut akibat terbangun secara paksa.
“Ibu ... ada apa lagi Ibu berteriak? Lihat Kayla kembali kaget karena teriakan Ibu," tanya Erika dengan suara bergetar.
"Kau benar-benar perempuan tak tahu malu!!" Trinita langsung mengangkat ponselnya dan memperlihatkan layar galeri.
Gambar yang terpampang di sana adalah foto Erika. Foto setengah telanjang, dengan ekspresi yang menggoda.
Erika tercekat. Napasnya tertahan. Ini ... foto itu lagi. Ternyata orang misterius itu sudah mengirim foto itu kepada mertuanya.
"Semua keluarga besar sudah melihat foto menjijikan ini! Aku malu memiliki menantu murahan seperti dirimu!" teriak Trinita.
Erika menggelengkan kepala. “Bukan aku, Bu … wanita dalam foto itu bukan aku … itu hanya editan. Aku ... aku tidak tahu siapa yang—”
Plaaak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Erika. Tubuhnya terdorong ke dinding.
Sementara Kayla kembali menangis kencang saat mendengar keributan yang tak kunjung mereda.
“Selama ini aku sudah cukup sabar. Sudah cukup aku diamkan kelakuanmu yang malas, lusuh, dan cuma bisa ngabisin uang anakku! Sekarang kau malah mempermalukan keluarga ini. Sungguh menyesal aku mengizinkan Gerry menikah denganmu!" Trinita mencecar Erika tanpa ampun.
“Bu, jangan, tolong ....”
Erika bersandar ke dinding, tangan kirinya memegangi pipinya yang terasa perih dan panas.
"Kau ini memang wanita murahan. Baru tiga bulan Gerry berangkat ke luar negeri, kamu sudah buka-bukaan! Jujur saja apa sudah jadi kamu tidur dengan pria lain!" Tuding Trinita yang membuat Erika merasakan hatinya nyeri.
“Aku ... tidak pernah melakukan hal yang Ibu tuduhkan itu," ucap Erika membela diri.
“Kau kira aku bodoh?! Seorang wanita yang ditinggal suami bekerja di tempat yang jauh, pasti tidak akan bisa menahan hasratnya. Cepat mengaku saja kalau kau berselingkuh." Tuding Trinita sembari mengacungkan telunjuknya ke arah sang menantu.
Erika hanya terisak pelan, dia segera menggendong Kayla yang semakin menangis histeris. Sang putri tampak ketakutan, terlihat dari tubuhnya yang sedikit gemetar. Dia memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk.
Namun sayangnya, itu hanya harapan kosong. Trinita kembali berteriak dan mengeluarkan segala caci maki dan umpatan kepada dirinya.
"Dasar wanita pembawa sial! Cepat mati saja kau kalau kerjamu hanya membuat malu nama keluarga ini!"
Segala kesabaran Erika akhirnya luluh lantak, air mata mengucur deras dan memburamkan pandangan matanya.
Erika berdiri di tengah ruangan dengan tubuh bergetar. Tangannya erat menggenggam tubuh kecil Kayla yang menangis tanpa henti, matanya yang sembab menatap sosok wanita di depannya.
Wanita yang seharusnya memiliki posisi yang sama dengan ibu kandungnya. Kini tidak hanya terlihat kejam, tetapi juga menjelma menjadi sosok yang benar-benar mengancam kewarasannya.
"Cukup, Bu. Jangan berteriak lagi, kasihan Kayla." Suara Erika terdengar pelan, namun mengandung keberanian di dalamnya.
"Kau berani melawanku sekarang?!" sahut Trinita dengan nada suara meninggi.
Erika menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang bergemuruh. Air matanya masih menetes, tetapi kali ini bukan karena takut, melainkan keteguhan.
“Ibu ...,” suaranya bergetar sedikit, “aku tidak akan diam jika terus-terusan diperlakukan seperti ini. Aku ini ibu dari cucu Ibu."
Trinita yang terpancing emosinya, melayangkan tangan siap untuk kembali menampar Erika. Namun terdengar sebuah suara yang menggelegar.
"Berhenti!"
Melihat raut wajah kecewa yang ditunjukkan oleh Toni, membuat Rudy merasa bersalah. Dia segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah bercakap via telepon selama beberapa menit, pria itu memutuskan sambungan telepon."Tapi aku tahu orang yang ahli di dalam bidang hukum. Aku akan membantumu melalui orang ini. Aku sudah menghubungi dan sebentar lagi dia akan datang."Raut wajah Toni seketika menjadi cerah saat mendengar ucapan Rudy. "Terima kasih, Rud," ucap Toni yang mulai dipenuhi dengan kelegaan."Tidak perlu sungkan begitu, kita ini teman. Sekarang kita makan dulu sembari menunggu orang itu datang," ujar Rudy.Toni memaksa untuk makan, meski lidahnya tidak merasakan kenikmatan makanan yang tersaji. Saat selesai mengunyah suapan terakhirnya, Rudy menepuk bahunya."Ton. Itu dia, orangnya sudah datang."Toni menoleh dan sontak membelalakan mata saat melihat siapa yang baru saja datang. Orang itu adalah Hosea, pria yang baru saja dia temui siang tadi.Raut masam segera t
Sementara itu, kepulangan Erika dan Kayla disambut baik oleh Yuni. Wanita itu bahkan segera memasak berbagai makanan, sebagai rasa syukur karena dengan putri dan cucunya."Taruh Kayla di sofa biar dia bisa berbaring nyaman. Papa akan segera menyiapkan kamarmu yang dulu untuk kalian," ucap Toni yang membuat Erika terharu.Tanpa sadar Erika meneteskan air matanya, dia merasa beruntung karena masih memiliki orang tua yang siap berdiri paling depan untuk melindungi dirinya dan Kayla.Yuni yang membawakan sepiring buah potong tentu saja terkejut saat melihat Erika yang menangis, dia segera duduk di samping sang putri. "Erika. Kenapa kamu nangis? Apa kamu sakit?""Aku nggak sakit, Mah. Hanya merasa terharu, karena ada Papa sama Mama. Terima kasih karena kalian masih mau menerima kami dengan lapang dada."Yuni langsung memeluk sang putri. Dengan menahan tangis, dia berbicara. "Kamu nggak usah berterima kasih, Erika. Karena kewajiban orang tua itu adalah melindungi anak-anaknya."Setelahnya Y
Gerry menunduk saat seluruh anggota keluarga menatapnya dengan tatapan penuh penghakiman. Dengan Revan dan Nita yang duduk di depannya, semakin membuat degup jantungnya berpacu cepat."Apa ada yang mau kamu katakan, Gerry?" tanya Revan dengan nada mengintimidasi."A-aku minta maaf karena sudah menabrak Mbak Nita," ucap Gerry dengan terbata.Trinita langsung melebarkan mata saat mendengarnya, dia segera menghambur ke arah Gerry dan mengguncang tubuh sang putra seraya berkata. "Kenapa kamu bisa menabrak Nita? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan kandungannya? Apa kamu mau bertanggung jawab? Makanya ada otak dipakai, dasar bodoh!"Gerry yang terdesak akan omelan Trinita akhirnya mengkambing hitamkan Erika."Ini semua karena Erika, Bu. Tadi aku nggak sengaja ketemu dia yang sedang bertemu dengan seorang pria. Aku rasa pria itu adalah kekasihnya."Akan tetapi, Revan dan Nita yang merasa aneh secara refleks saling berpandangan. Tak lama kemudian keduanya menghela nafas panjang, karena tah
"Kerja keras? Kalau memang benar itu hasil kerja kerasmu, seharusnya bisa bermanfaat, bukan malah menyengsarakan orang lain!!!"Teriakan Nita yang menggelegar membuat Gerry terdiam, wajahnya seketika memucat. Dan pengendara ojol yang masih berada di antara keduanya, merasa khawatir dengan keadaan ibu hamil yang wajahnya memerah itu.Baru saja pengendara ojol akan berbicara, Nita kembali membuka suaranya."Ingat, Ger, kamu bukan anak kecil lagi. Tabunganmu bisa dicari lagi, tapi nyawa orang? Kalau tadi aku dan bayi ini kenapa-kenapa, apa kamu bisa ganti dengan uangmu?"Gerry semakin tercekat. Kata-kata Nita menghantam tepat di dadanya. Tapi bukannya sadar, dia justru kembali menggertakkan gigi. "Aku juga nggak sengaja, Mbak. Jangan lebay!"Seketika suara-suara riuh terdengar. Beberapa warga yang masih berada di sana langsung bersuara."Eh, dasar pria nggak tahu diri!""Kalau bukan karena ditahan tadi, udah habis kamu, Bro!""Padahal itu istri saudaramu yang kau tabrak, tapi masih bisa b
"Sial! Kenapa aku seperti tidak mengenali Erika? Apa selama ini dia berpura-pura menjadi istri penurut?" Gerry meninggalkan restoran dengan amarah yang membara. Dia bahkan melajukan mobilnya secepat kilat.Cacian dan umpatan dari para pengguna jalan pun hanya diabaikan oleh Gerry. Karena yang ada di dalam benaknya tentu saja ingin cepat berada di rumah. Gerry akan membuktikan pada Erika, jika dia tidak hanya sekadar menggertak. Sebuah nama sudah terpikirkan di dalam benaknya untuk mengurus gugatan di persidangan."Lihat saja, akan aku buat kamu menyesal karena telah membawa kabur semua surat-surat berhargaku," gumamnya dengan seringai sinis.Terlalu fokus dengan amarahnya membuat Gerry tak menyadari jika lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dan dia menabrak sebuah motor pengendara ojol yang sedang membawa seorang wanita hamil.Alhasil para pengguna jalan yang berada di sekitar kejadian mengamuk, dan memukuli mobil Gerry dengan benda tumpul."Ckck. Sial sekali aku hari ini. Ini s
"Erika, syukurlah Papa menemukan kalian. Mama sedang sakit, sepertinya kecapean dan stres mencari keberadaan kamu dan Kayla," ucap Toni dengan raut wajah lega."Sekarang bagaimana keadaan Mama, Pah?" Erika yang panik segera memegang lengan sang ayah."Keadaan Mama sudah membaik, Nak. Sekarang lebih baik kita pulang, biar Mama kamu tenang."Erika mengembuskan napas lega saat mendengarnya, dia lalu menoleh ke arah Hosea yang ternyata sedang berjalan ke tempatnya.Toni pun mengikuti arah pandang putri sulungnya, seketika raut wajahnya menegang saat melihat wajah yang tak asing. "Kamu, masih berhubungan dengan pria itu?" tanya Toni datar."Aku baru saja ketemu Kak Hosea beberapa hari yang lalu, Pah. Nanti di rumah akan aku ceritakan lebih lanjut," jawab Erika."Selamat sore, Om. Bagaimana kabarnya?" sapa Hosea dengan senyum lebar."Kabar saya baik," sahut Toni yang masih memasang wajah datarnya.Hosea hanya tersenyum simpul, menyadari keengganan Toni untuk berbicara. Karenanya pria itu m