LOGIN"Aku sudah bilang sejak awal, kalau wanita ini tidak pantas untuk Gerry. Tapi kalian semua tertipu wajah polosnya dan malah membela dia. Sekarang kalian lihat sendiri 'kan akibatnya!"
Trinita sengaja mengeraskan suaranya agar semua mengalihkan perhatian pada dirinya.
Salah seorang paman Gerry yang dari tadi diam, akhirnya mengangkat tangan, sebagai isyarat agar semua diam.
"Sudah cukup! Kita semua berkumpul di sini untuk mencari solusi atas masalah yang menimpa Erika. Bukan malah menambah kekacauan."
Beberapa merasa tertampar karena ucapan itu, tapi tak ada yang berani membantah. Karena pria yang sedang berbicara itu memang merupakan satu tokoh yang disegani.
"Jadi apa yang akan Mas lakukan untuk mengatasi masalah yang dilakukan oleh wanita itu," ucap Trinita dengan telunjuk mengacung ke arah Erika.
"Kita harus mendengarkan pembelaan dari Erika," ucap pria itu dengan nada datar.
Erika menatap pria itu sejenak dan sedikit dapat menghela napas lega. Hanya tatapan netral itu yang tidak menyayat hatinya saat ini. Tapi dia sadar, tidak ada pembelaan yang benar-benar berpihak padanya.
Perlahan Erika berdiri, tubuhnya sedikit bergetar, merasa sesak karena tekanan yang berada di ruangan ini dan kurang tidur. Tapi kesempatan untuk membela diri jelas tidak boleh dia sia-siakan begitu saja.
"Aku tahu kalian kecewa," suara Erika akhirnya terdengar lagi, tenang meski penuh luka, "Tapi tolong beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya. Setidaknya dengarkan penjelasanku sebelum kalian membuat keputusan."
Setelah memastikan tidak akan yang menyela ucapannya, Erika kembali berbicara. "Wanita yang ada di dalam foto itu bukan aku. Demi Tuhan, aku berani bersumpah ...."
"Apa gunanya bersumpah kalau buktinya tidak ada! Sudah salah ya mengaku salah. Jangan malah cari pembelaan dengan bersikap sok menjadi korban!" potong Trinita dengan suara menggelegar.
Trinita bahkan mengangkat tangannya, sebagai pertanda dia tak ingin ucapannya diinterupsi oleh siapapun juga.
Saat ini dia akan menguliti Erika habis-habisan, agar sang menantu tidak berani untuk mengangkat wajahnya.
"Foto itu sudah menyebar luas dan kalau sampai perusahaan tempat kerja Gerry tahu kalau wanita di dalam foto itu kamu ... bukan tidak mungkin Gerry akan kehilangan pekerjaannya karena skandal ini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk Erika
"Tapi Nita, kamu sendiri bahkan belum mendengar penjelasan Erika," sela pamannya Gerry dengan tegas.
"Kita tidak bisa menghukum seseorang hanya berdasarkan asumsi dan foto yang bahkan belum jelas kebenarannya," tukas pria itu.
Salah satu bibi Gerry yang duduk di sisi kanan ikut bicara, nadanya mulai melunak. "Mungkin sebaiknya kita dengar dulu. Aku juga awalnya percaya foto itu, tapi ... setelah kupikir-pikir, rasanya memang janggal. Terlalu dibuat-buat."
"Erika," lanjut pamannya Gerry dengan sorot mata namun tidak menghakimi. "Kalau memang itu bukan kamu, bisa jelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi."
Erika mengangguk pelan. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha menahan getar yang belum reda.
"Kemarin aku mendapat pesan ancaman dari sebuah nomor yang tak dikenal. Si pengirim pesan mengirim foto itu dengan disertai kalimat penuh ancaman," ucap Erika yang berusaha menahan tangisnya.
Tadinya Trinita ingin menyambar ucapan Erika, namun pamannya Gerry memberikan kode agar wanita itu tetap diam.
"Si pengirim juga membawa-bawa nama Mas Gerry. Dan aku yakin jika si pengirim pesan ini menginginkan rumah tanggaku dengan Mas Gerry hancur," lanjut Erika dengan dada yang selaku sesak.
Bukan karena dia memiliki asma atau penyakit lainnya, tapi karena Erika sadar jika tidak ada satupun keluarga Gerry yang memihaknya saat ini.
Bahkan pamannya Gerry yang meminta Erika menjelaskan apa yang terjadi tidak menunjukkan reaksi akan membelanya.
Erika mengencangkan pelukannya pada Kayla yang berada di gendongan. Bayi itu kembali terlelap dalam damai setelah Erika menenangkannya, kontras dengan badai yang tengah menerjang ibunya.
"Aku tahu ... semua ini terdengar seperti pembelaan tanpa bukti. Tapi aku bukan wanita di foto itu. Dan aku berani bersumpah demi anakku, demi Kayla ...."
Erika menoleh ke arah kerabat Gerry yang duduk membentuk setengah lingkaran di ruang keluarga itu. Beberapa menatap iba, sebagian besar hanya diam dengan wajah dingin. Trinita, sebaliknya, kembali mendengus sinis.
"Anakmu tidak akan dapat menghapus dosamu, Erika," ucap Trinita tajam. "Gerry terlalu baik untuk kamu, dan sekarang ... semua orang tahu kebusukanmu."
Erika menahan isak yang menyumbat tenggorokannya. "Aku hanya ingin menjelaskan bahwa aku difitnah. Seseorang dengan sengaja ingin menghancurkan rumah tanggaku dan masa depan anakku."
"Siapa orangnya? Kamu bilang ada yang mengancammu. Apa kamu tahu siapa dia?" tanya bibinya Gerry yang lain.
Erika menggeleng pelan. "Nomornya tidak dikenal. Dan saat aku mau menghubungi balik, nomor itu sudah tidak aktif lagi."
"Jadi dengan kata lain ... kamu tidak bisa membuktikan apa-apa?" sela Trinita sambil menyilangkan tangan.
Tatapan matanya pun tajam, seakan menembus ke jantung Erika.
Erika hanya diam. Diam yang lebih menyakitkan daripada cercaan mana pun. Karena memang benar, untuk saat ini ... dia tidak punya bukti kuat selain kata-kata dan air mata. Apalagi foto editan itu terlihat asli.
Trinita lalu berdiri, matanya memindai ke arah semua yang hadir.
"Gerry mungkin sedang di luar negeri sekarang, tapi aku barusan berbicara dengannya. Dia tahu semuanya. Dan dia bilang ... kalau Erika tidak bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka dia siap mengambil tindakan hukum. Termasuk menceraikan wanita murahan itu."
Kata-kata Trinita membuat Erika seperti kehilangan pijakan. Kayla lagi-lagi menggeliat pelan di gendongannya, mungkin merasakan detak jantung ibunya yang berpacu cepat.
"Mas Gerry ... bilang begitu?" bisik Erika lirih.
"Ya," jawab Trinita, tanpa ragu. "Dan aku akan pastikan surat pernyataan itu dikirim padamu secepatnya."
Trinita sengaja menjeda ucapannya, menantikan reaksi sang menantu. Reaksi menderita yang menyenangkan hatinya.
Setelah merasa Erika tak dapat membantah lagi, Trinita kembali berbicara. "Pergi kau dari rumah ini. Kau jelas-jelas tidak punya hak di sini! Bawa pergi juga anakmu yang tak berguna itu!"
"Bu! Kayla adalah anak Mas Gerry, cucu Ibu. Tapi kenapa Ibu malah berkata jika dia adalah anak yang tak berguna?" protes Erika.
"Siapa suruh kau melahirkan anak perempuan yang tak dapat meneruskan nama keluarga? Jika saja anakmu laki-laki, maka aku akan dengan senang hati merawatnya," ucap Trinita yang semakin menusuk.
Ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan napas pun terdengar berat dan lambat. Beberapa kerabat mulai saling melirik. Kata-kata Trinita barusan, terasa terlalu kejam untuk diucapkan oleh seorang wanita yang telah berstatus sebagai ibu.
Erika menunduk, menatap Kayla yang berada dalam dekapannya. Bayi kecil itu belum menyadari jika keberadaannya, dianggap tak berarti oleh nenek kandungnya sendiri.
Air mata Erika menetes perlahan. Namun dia tak menghapusnya, dan membiarkannya mengalir sebagai bukti bahwa dia masih punya hati. Meski saat ini, semua orang memperlakukannya seolah dia tak memilikinya.
"Aku tak minta kalian percaya padaku sekarang," suara Erika pelan, tapi terdengar tegas. "Tapi satu hal yang perlu kalian tahu ... aku mungkin bukan wanita sempurna, tapi aku bukan pembohong."
"Sudah bermain dramanya? Kalau sudah, cepat pergi dari rumah ini," ucap Trinita dengan nada menyindir.
"Tapi Bu, ini adalah rumah Mas Gerry. Rumah ayahnya Kayla, bagaimana mungkin Ibu tega mengusir kami dari sini?" tanya Erika dengan raut wajah terkejut.
"Kenapa aku harus tidak tega? Rumah ini adalah rumah anakku, jadi sampai kapanpun aku berhak di sini. Dan kau ... sebentar lagi akan diceraikan oleh Gerry. Jadi otomatis tidak punya hak atas rumah ini."
Ucapan Trinita membuat Erika sadar bahwa posisinya di keluarga sang suami sangat lemah. Dan kemungkinan Gerry menceraikannya sangat besar.
"Pah. Maksudnya apa? Aku nggak ngerti ucapan Papa barusan," ucap Erika.Toni terdiam karena menyadari jika dia telah bertindak impulsif. "Papa cuma nggak ingin kamu merasa canggung ketika bicara dengan Hosea nanti," ujarnya memberi alasan.Erika tersenyum tipis, menyadari alasan kegugupan sang ayah. "Pah. Sepertinya Papa butuh ngopi biar nggak tegang. Mau aku buatin kopi apa pesan lewat aplikasi?""Memangnya kamu boleh ngopi selama menyusui Kayla?" tanya Toni dengan dahi berkerut."Papa ngopi, aku minum milkshake stoberi," jawab Erika sembari tertawa.Toni menatap Erika bangga, karena sang putri masih tetap berdiri tegar di tengah semua masalah yang mendera."Kalau gitu Papa mau minum kopi susu gerobak yang ada di depan gang sini. Kalau nggak salah dia juga ada minuman non kopi."Setelah mengatakan itu Toni beranjak ke garasi untuk mengambil motor. Meninggalkan tanda tanya di dalam hati Erika.***Waktu berlalu begitu cepat, dan jarum jam mendekati pukul lima sore. Erika sudah duduk d
Toni akhirnya berkata lirih, "Kamu memang nggak bisa mengubah masa lalu, Er. Tapi kamu bisa menentukan masa depan kamu dan Kayla. Biarkan saja Gerry bersama dengan wanita itu, yang terpenting kita harus menang dari Gerry nanti saat di persidangan."Erika mengangguk mantap. "Iya, Pah. Kak Hosea juga berjanji akan membantuku menghadapi tuntutan Gerry. Jadi aku rasa peluang kita menang itu besar."Sebagai seorang ayah, Toni menyadari perubahan ekspresi Erika saat membicarakan Hosea. Dia mengembuskan napas panjang, merasa dilema dengan situasi Erika. Alasan Toni dulu tidak menyetujui hubungan Erika dan Hosea, karena ayah dari pria itu yang terkenal suka bermain wanita. Toni khawatir jika di dalam darah Hosea mengalir darah pengkhianat, tapi ternyata apa yang dia pikirkan salah total.Hosea yang dia anggap bajingan ternyata adalah pria dengan integrasi tinggi, dan sepanjang kariernya sebagai pengacara, media tidak pernah menemukan kesalahan yang dapat menjatuhkan pria itu. Bahkan menuru
Setelah dirawat selama 4 hari, akhirnya Kayla diperbolehkan pulang, Sebab sang putri sudah sembuh dari sakit flu Singapura.Erika tentu saja merasa lega karena tidak perlu merasakan dinginnya AC rumah sakit saat malam hari. Toni dan Yuni ikut membantu membereskan barang-barang Erika dan Kayla. Sedangkan Hosea ada pertemuan dengan seorang jaksa untuk membahas kasus korupsi yang menimpa seorang pejabat."Akhirnya kita pulang juga, Nak. Kamu pasti bosan ya di rumah sakit," ucap Erika sembari mencium pipi gembul Kayla."Er. Untuk sementara ini, hindari bawa Kayla keluar rumah. Kondisi udara Jakarta juga lagi nggak bagus," celetuk Yuni setelah selesai memasukan baju kotor keduanya dalam satu tas."Iya, Mah. Aku nggak mau Kayla sakit lagi.""Iya, Mah. Aku nggak mau Kayla sakit lagi." Erika menatap wajah putrinya yang kini tampak lebih segar, meski masih ada bekas ruam di pipinya.Yuni tersenyum hangat sambil menepuk bahu putrinya. "Bagus. Kayla masih butuh pemulihan. Lagipula Papa kemarin
Gerry menatap wajah Gisela lama sebelum menjawab. "Aku percaya padamu, Gisel. Aku tadi cuma kaget.""Tetap saja kamu nggak percaya sama aku 'kan?" tanya Gisela ketus."Bukan begitu, Sayang. Mungkin ini efek aku yang masih capek. Lihat ini ...." Gerry menghentikan ucapannya dan memperlihatkan jari telunjuk kiri yang tertutup plester. "Aku sampai kena pisau saat sedang memasak mie."Wajah Gisela sontak berubah menjadi panik, dengan cepat dia menarik tangan Gerry dan memandanginya dengan iba. "Kenapa bisa kena pisau? Untung saja jarimu tidak terpotong."Gerry menghela napas kasar, dia balik menggenggam tangan Gisela. "Aku tadi terlalu tegang waktu makan malam dengan bosku dan pengacaranya."Gisela balik menatap Gerry dengan jengah, merasa nyali sang kekasih sangat kecil. Akan tetapi, dia menahan agar kalimat itu tak terlontar dari mulutnya. Dia tak ingin rencananya gagal total karena kesalahan sekecil mungkin. Karena itu Gisela segera memasang ekspresi simpati."Kasihan sekali kamu, Sa
"Ibu yakin semua orang pasti akan menganggap wanita itu murahan, Gerry. Postingan waktu itu saja banyak yang menghujatnya sebagai wanita penghibur, apalagi sekarang."Gerry menarik napas panjang, untuk urusan menjatuhkan mental orang ... Trinita dan Dimas memang mirip."Terserah Ibu mau berbuat apa, tapi pastikan keluarga kita tidak akan terkena dampaknya," ucap Gerry memberi ultimatum kepada sang ibu."Kalau itu kamu tenang saja, Gerry. Ibu pastikan semuanya aman," sahut Trinita dengan penuh keyakinan.Lagi-lagi Gerry menarik napas, berharap jika beban yang ada di hatinya terangkat sebagian. "Bu, aku mau ke rumah sakit sebentar. Mau ketemu Gisela," ucap Gerry."Tapi ini sudah malam Gerry, kenapa tidak besok saja sebelum kamu berangkat kerja?" tanya Trinita yang cemas saat melihat wajah pucat Gerry."Tapi aku kangen sama Gisel, Bu. Aku berniat untuk membawanya ke rumah ini setelah dia keluar dari rumah sakit," ujar Gerry memberi alasan.Trinita menatapnya lama, sebelum menarik napas
"Aduh!" teriakan Gerry yang menggelegar membuat Trinita terkesiap. Dia melangkah mendekati sang putra dan berdecak keras saat melihat darah menetes dari jari Gerry."Duduk di situ, biar Ibu obati luka kamu dan lanjutin masak mienya." Titah Trinita yang lalu mematikan kompor.Beberapa saat kemudian, Trinita membersihkan luka Gerry dengan cairan NaCl dan membalutnya dengan plester luka."Apa sih yang ada di pikiranmu sampai melamun seperti tadi, untung saja jarimu tidak terpotong," omel Trinita yang kini mencuci tangannya di sink."Banyak, Bu. Ternyata pengacara Erika adalah salah satu yang terbaik di negara ini. Sejujurnya aku ragu apakah bisa memenangkan tuntutan ini," ucap Gerry setelah menarik napas dalam. Trinita menoleh sekilas ke arah Gerry. "Pria itu pengacara terbaik? Apa kamu nggak salah, Ger?" tanyanya dengan nada panik. "Aku serius, Bu. Pria bernama Hosea itu adalah pengacara dengan integritas yang tinggi. Dia nggak akan segan-segan menyerang lawannya yang terbukti bersal







