Share

Me after him (Indonesia)
Me after him (Indonesia)
Author: Esteifa

1- Satu Yaitu Kamu

"Melupakan kamu adalah goals prioritas aku untuk tahun ini, and I wish that I can do that, Juan. Aku nggak bohong sama sekali waktu itu, waktu aku minta kamu buat nggak muncul di hadapanku lagi."

Karena bahkan tanpa kehadirannya, Arjuan Tanutama mampu membuat Jasmine Sahanaya hilang kewarasan.

Jasmine berjinjit sedikit, membiarkan Arjuan tau betapa detak jantungnya berdegup kencang atau sedikit menyapa dengan deru nafas tak beraturan. Tanpa pikir panjang ia membubuhkan bibirnya pada bibir Arjuan, entah keberanian dari dewi mana, membiarkan dua partikel lembut itu menempel tanpa gerak menghantarkan segenap rasa hangat pada ujung relung.

Ia bahagia.

Ini gila, namun Jasmine tidak perduli. Bahkan jika ada satu, dua atau puluhan kamera merekam apa yang dilakukannya barusan Jasmine benar-benar tidak masalah. Arjuan bisa saja mendorong Jasmine menjauh jika memang keberatan, namun alih-alih dorongan yang Jasmine dapatkan justru cuma sebuah sirat tanda tanya besar dari pria itu.

Arjuan setia diam.

"Apa yang udah kamu laku kan padaku, Juan? Kenapa aku gak bisa hilangin kamu dari kepalaku barang sedetik pun?" Jasmine berujar amat lirih. "Apa yang udah kamu lakukan padaku, hingga daripada dibenci rasanya lebih baik mati."

Jasmine tak ingin melepas.

Serangkai benang takdir yang dipaksakan oleh dirinya sendiri harus tetap terjaga. Meski ia terluka. Karena. Jasmine takut, jikalau ia mampu lupa, mungkin saja Jasmine juga akan hilang kemampuan untuk jatuh cinta.

---

---

Dalam setiap bunyi langkah yang tercipta dari kaki berbalut boots hitam keluaran Channel itu kegugupan sekaligus rasa antusias melebur jadi satu. Pada pribadi cantik berbalut setelan hitam dari atas kepala yang tertutup topi hingga ujung kaki, masker menutupi wajah dengan warna serupa juga tak pernah tertinggal darinya.

Tertutup.

Sebenarnya Jasmine juga tak mau. Awalnya.

Teringat kembali waktu ia masih menjadi remaja biasa empat tahun lalu, saat langkahnya menitih setiap pertokoan di kota pada langkah itu juga berpasang-pasangan mata penduduk lokal menyorotnya.

Yang mau tak mau, Jasmine harus menutup identitas tiap keluar ke tempat ramai. Apalagi setelah debutnya bisa dikatakan sukses.

Contohnya sekarang, saat ini, ia baru saja mendarat di bumi setelah terbang hampir enam jam dari Thailand. Mengarahkan taksi untuk membawanya pada keramaian millenial Tangerang Selatan.

Kalau ditanya apa tidak lelah? Tentu saja Jasmine lelah, sumpah demi gigi kelinci Jay, Jasmine masih sangat mencintai kasur serta bantal tidurnya, namun jika mengingat lagi jadwalnya yang keterlaluan padat, Jasmine tak yakin ia bisa berjalan bebas di negaranya jika bukan sekarang.

Maka dari itu, di sinilah ia, setelah hampir pusing berbelok sampai lima kali, Jasmine berhasil mendaratkan kaki pada salah satu bangunan kafe bergaya klasik, tidak terlalu besar, namun punya dua lantai, juga terlihat seperti tempat yang nyaman.

Jasmine menghela napas, entah karena lelah atau menandakan sesuatu yang maknanya cuma diketahui olehnya, mendorong pintu kaca dengan pelan, lonceng yang berbunyi itu mengundang perhatian beberapa pengunjung serta dua barista di belakang meja bar.

Pada bibir yang terhalang kain tipis itu Jasmine mengangkat lengkungan kecil, berusaha terlihat ramah walau tak terlihat.

Jasmine menempati diri di sudut ruang. Bukan karena kaca besar yang mampu memperlihatkan pemandangan luar, namun justru karena pada titik ini Jasmine bisa melihat kafe secara seluruhan.

Healing.

Mereka menyebutnya begitu, aroma kopi, musik klasik, terapi hati yang membuat tentram. Beginilah cara Jasmine Sahanaya menyembuhkan diri, memandangi jalanan ramai atau kadang curi-curi pandang pada barista yang sibuk dengan pesanan di sana.

Dan yah, lagi lagi Jasmine cuma duduk. Ia jarang memesan, hampir belum pernah dan sepertinya mereka tidak masalah jika ada orang cuma menumpang duduk. Bukan karena irit uang atau alasan lain, Jasmine hanya tak ingin mengeluarkan suara pada siapapun, karena suaranya cukup khas untuk bisa dikenali orang-orang, kemungkinan hadirnya akan disadari, dan itu merepotkan.

Terlebih lagi Jasmine memang tak ingin hadirnya disadari. Sama sekali.

Jasmine mengarahkan mata pada barista itu lagi, ia menghela napas, kemudian iris coklat berpendar teduh itu beralih pada pohon sakura di luar.

Biasanya Jasmine bisa bertahan duduk hingga dua sampai tiga jam di sini, tetapi mungkin hari ini tidak, ia tau itu setelah ponsel di tas kecilnya terdengar bergetar. Panggilan dari perusuh.

'Udah pulang?'

Jasmine menghela napas lagi. Entah sudah berapa kali. "Hm."

'Bisa gak sih, kalo mau pergi itu pamit dulu, dan bisa nggak sih Lo stop kirim koper ke rumah gue?!'

Di seberang Jay tidak bisa tidak berdecak, dia berucap dengan kesebalan maksimal.

Jasmine membalas malas. "Iya..."

'Iya-iya doang, lusa habis perjalanan jauh koper datang lagi ke rumah gue.'

Kali ini Jasmine memutar mata. Sebal.

"Ya udah sih, tinggal bawa masuk. Gue cuma nitip sebentar!" balas Jasmine dengan berbisik.

'Lo ada rumah sendiri, kenapa dikirimnya ke rumah gua, gua abis lembur kerja, capek, ngantuk pen tidur dan sepagian malah ada orang berisik anter koper lo!'

Sepagian pantatnya.

Siang bolong begini dia bilang pagi?

Jasmine mendecak. "Gak usah ribut deh! Kalo nggak, gue laporin ke ibu semua stupid things yang Lo lakuin belakangan?"

Hening.

Ancaman itu selalu berhasil. Kalian tau, anak kelinci itu memang hanya bisa tunduk pada uang serta omelan ibu. Sedewasa apapun seseorang, mereka tetap anak ibunya.

'Kakak lagi di mana sekarang?' Kali ini Jay bicara dengan nada lebih lembut. Tidak pakai otot seperti sebelumnya.

Jasmine melirik meja bar lagi sebelum membalas. "Gading Serpong."

Sekarang Jasmine mampu mendengar helaan napas adik lelakinya. Seakan frustasi. Jay jelas tau, Jasmine selalu bepergian ke tempat itu saat ia butuh ketenangan, tentang pekerjaannya sekarang, juga tentang masa lalunya.

'Bisa gak sih berhenti...' lirih Jay.

Mendengar suara adiknya, Jasmine bisa membayangkan kalau Jay pasti memasang raut wajah serius yang kelewat tampan.

Jasmine tersenyum lagi, meski berbeda konteks, dari senyum geli berubah menjadi senyuman miris.

"Gak bisa," ucapnya lirih.

'Dia ada di sana?' tanya Jay.

Manik coklat Jasmine melirik lagi meja bar. Tepatnya pada lelaki yang saat ini tengah sibuk di depan mesin kasir.

"Hm."

'Jangan ke mana-mana, gue jemput sekarang.'

Sebuah balasan yang mampu membuat mata Jasmine melebar. "Jangan! Dia bisa ngenalin lo!"

Namun dengan tenang Jay menimpali. 'Nggak akan. Gue telfon lagi kalo udah sampai.'

Dan panggilan ditutup sepihak.

Ingatkan Jasmine untuk mengetuk kepala anak itu dengan sepatunya. Jasmine panik tentu, meski jarak apartment Jay dengan kafe ini termasuk jauh dan memakan waktu yang tidak sedikit dalam perjalanan, namun Jasmine ingin segera bergegas pergi daripada Jay hadir di sini.

Wanita cantik dua puluh empat tahun itu cepat-cepat berdiri, sembari mengetik pesan agar Jay tetap berada di rumahnya karena Jasmine sudah hendak pergi.

Iya, hendak pergi, jika saja langkah kakinya tak terhalang seonggok tubuh besar menghalangi tanpa sengaja hingga mengakibatkan ponsel miliknya lepas dari genggaman jemari.

Suara keras benda padat menimpa lantai membuat beberapa mata menoleh.

Jasmine tidak jatuh, sebaliknya, ia membeku.

Mengenal dengan jelas aroma musk yang pernah singgah pada rongga hirupnya beberapa tahun lalu, aroma yang ia suka, yang lelaki itu suka.

Jasmine bisa merasakan tangganya mendingin, pun dengan degub jantung yang berdetak anomali.

Jadi daripada mendongak dan membiarkan lensa matanya bertarung dengan wajah itu, Jasmine segera menurunkan topi lebih rendah, dengan cepat menunduk mengambil ponsel, namun jemarinya kalah cepat dengan tangan besar yang beberapa kali ia genggaman dulu.

Mereka sempat bersentuhan. Tak banyak. Namun mampu mengundang debaran.

"Milikmu," ucap lelaki itu sembari menyodorkan ponsel Jasmine. Jasmine masih diam, berbeda dengan sanubarinya berangsur menghangat.

Suaranya masih sama, hanya saja bertambah berat dan juga dalam, menandakan bahwa pribadi di depan Jaane sekarang adalah versi dewasa dari pribadi yang beberapa tahun lalu membuatnya jatuh.

Ia harus segera pergi.

Sodoran benda pipih elektronik miliknya Jasmine ambil dengan cepat. Menunduk sopan satu kali sebelum memutuskan untuk melangkah pergi, tanpa satu patah katapun.

"Mine?”

Namun lagi-lagi sebelum langkah kakinya benar-benar beranjak, Jasmine kembali kehilangan daya untuk bergerak.

Gadis itu membatu.

Tidak salah lagi rungu Jasmine jelas mendengar suara berat itu mengucap namanya, benar-benar namanya, lelaki itu sadar akan hadirnya, lelaki itu tau Jasmine di sini. Semua itu merupakan hal terakhir yang ada di daftar keinginan Jasmine.

Bahkan setelah berani mendongak dengan manik berkaca-kaca, mendengar sendiri suara napas miliknya yang berubah tak teratur, serta segenap wajah lelaki dewasa yang tertangkap lensa beningnya. Jasmine masih berharap jika detik itu hanyalah mimpi.

"Kayaknya kita perlu bicara," ujar pria itu dengan suara yang dalam.

Namun seolah sadar tengah ditertawakan takdir, Jasmine menggeleng samar. Benar. Tidak ada mimpi senyata ini.

Dia benar-benar Arjuan Tanutama. Cinta pertama sekaligus penguasa hati Jasmine Sahanaya.

-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status