Share

2- Orang Asing

Ruangan itu tidak besar, namun cukup luas untuk dikata sempit, berwarna putih tulang, juga ada dua jendela kecil yang tertutup tirai. Meja mahoni tak terlalu lebar, dua kursi di depan juga belakang, sofa bad berwarna merah, lemari, juga lukisan-lukisan.

Jasmine tak tau harus apa lagi.

Ia tidak ingat sudah berapa kali memutar mata guna menscan apa saja yang ada di dalam ruang kerja Arjuan, lengkap dengan jemari bertaut risau.

Sedangkan satu gelas ukuran besar berisi milkshake strawberry di meja belum tersentuh sama sekali. Jasmine seakan tak punya hasrat bahkan untuk menelan satu teguk air putih.

Ini di luar dugaannya.

Meski sudah menyiapkan diri. Ia tau, cepat atau lambat dirinya dan Arjuan akan bertemu dan berbicara tentang masa lalu yang berakhir kurang baik.

Jasmine mengerti bahwa ditinggalkan tak pernah terasa indah. Namun ia meninggalkan Juan.

Jadi, sudah hampir enam tahun lamanya ia menyiapkan diri untuk menerima ujaran kasar atau setidaknya caci maki dari Arjuan. Menerima jika memang nantinya mulut lelaki itu mencelanya tak habis-habis. Meski sejatinya Jasmine tidak akan pernah siap.

Tetapi ternyata itu hanya bayangan dalam pikiran Jasmine belaka. Nyatanya, setelah dua Adam Hawa itu bertatap muka, jangankan makian kasar, satu kata pembuka untuk memulai percakapan pun tidak ada yang bisa mengeluarkan.

Semua kata-kata seolah menggumpal di tenggorokan. Bagi Arjuan begitu juga Jasmine.

"Kabar baik?" Akhirnya hening itu pecah. Suara husky yang mengusik.

Jasmine mau tau mau mendongak, memperlihatkan wajah cantiknya, kali ini dengan penutup wajah yang sudah terlepas. Membuat sang lawan bicara bisa leluasa memandang, dan Jasmine pun tak urung menyelam dalam lensa lelaki itu.

Terlihat indah. Punya pancaran dewasa, juga hangat, namun terlalu serius. Jasmine rindu kerlingan jenaka di sana.

"Baik. Kamu?" Jasmine membalas dengan suara normal. Jangan lupakan bahwa ia adalah seorang celebrity yang memang punya kendali diri yang amat baik.

Arjuan hanya mengangguk pelan, sangat pelan sampai tak terlihat mengangguk. Pria dengan kemeja dark blue itu menaikan tangan ke atas meja.

Mereka masih saling memandang, meski Jasmine sekuat tenaga menahan kecanggungan ia tetap bisa membalas tatapan mata Arjuan sama tajam.

"Ke mana waktu itu?" tanya Arjuan. Menanyakan perginya. Dulu.

"New Zealand," jawab Jasmine setelah beberapa saat.

Arjuan mengangguk-angguk lagi. Mulutnya membentuk huruf o kecil tanpa suara. "Belajar?"

"Hm." Jasmine berbohong.

Perginya meninggalkan tanah air bukan untuk belajar atau hal semacam itu.

"Waktu itu di pemakan ibu, aku pikir... itu kamu," kata Arjuan.

Jasmine mengerjap. Ia tentu sudah dengar tentang berpulangnya ibu Arjuan, seminggu setelah ia menetap di Selandia baru. Berita itu cukup ampuh untuk membuat rasa bersalah Jasmine melambung pada angka yang tinggi. Ia merasa jadi wanita paling jahat di muka bumi.

Benar. Jasmine meninggalkan Arjuan saat lelaki itu kehilangan ibunya.

Jasmine berdehem kecil. "Mungkin sudah amat terlambat tapi, Soal ibumu, aku turut berduka."

Di situ Arjuan tersenyum. Manis atau mungkin cuma sekedar senyum maklum. Ia tak butuh belasungkawa sekarang, tetapi enam tahun lalu. Dan kembali hadirnya gadis yang pernah sangat berhasil membuat Juan merasakan sakit hati yang parah itu membuatnya berpikir kembali.

Kenapa baru sekarang.

Setelah seluruh hidupnya tertata dengan baik, gadis- ah wanita musim semi itu justru datang dengan pancaran mata seolah ia yang paling berharga.

"Suya yang kasih suratnya ke kamu?" tanya Jasmine kemudian, mengingat masa dulu.

Detik itu Arjuan tidak menahan decakan. "Iya, dia hujan-hujanan. Kasihan. Harusnya kamu hantarkan sendiri."

Sudut bibir Jasmine terangkat perlahan.

Tidak ada yang berubah dari lelaki ini. Mungkin Jasmine yang terlalu khawatir. Negatifnya pikiran bahwa kemungkinan Arjuan akan membencinya membuat Jamine hampir gila karena ketakutan.

"Kalau aku bisa ke sana, gak perlu ada surat untuk perpisahan, aku akan bicara langsung."

Arjuan setuju. Dan juga, jika Jasmine tidak menitipkan surat perpisahan itu pada Suya, mungkin tidak akan perlu enam tahun untuk keduanya bertemu kembali. Atau mungkin juga jika Jasmine yang mendatanginya dulu, Arjuan tak akan biarkan gadis itu pergi.

Dan tanpa disadari kecanggungan yang semula memeluk ruang itu perlahan mencair.

"Betul juga. Awalnya aku pikir kamu pergi karena kita marahan waktu itu, tapi setelah melihat kamu dan keadaanmu sekarang, aku mengerti."

"Kamu membenciku?" Jasmine masih tak putus menatapnya. Dalam teduhnya mata itu Arjuan bisa melihat sebuah rasa takut. 

Arjuan membalas ringan, tak mengerti.

"Atas dasar apa?"

"Semuanya. Patah hatimu dan jahatnya aku yang pergi saat kamu terpuruk."

Satu alis Arjuan terangkat. "Emangnya aku siapa sampai berani membenci bintang televisi seperti kamu, Jasmine."

Arjuan sedikit terkekeh sebelum melanjutkan. Membuat Jasmine tertegun beberapa detik. "Gak benci. Aku cuma marah. Pun marahku cuma sesaat, beberapa minggu setelah itu hidupku normal kembali. Dan soal patah hati, itu adalah resiko jatuh cinta, semua orang pasti pernah merasakan hal sejenis itu, pun kita masih muda, dan itu wajar. Lagipula kamu juga tidak pernah berjanji untuk tidak menyakitiku. Sebaliknya, aku bersyukur, karena telah menepati janji untuk tidak membuatmu patah hati."

Lewat rangkaian kalimat panjang yang terdengar akrab itu, Jasmine justru merasakan sesuatu yang asing.

"Benar," balas Jasmine pelan.

Arjuan berdehem, menunjuk milkshake strawberry yang sudah mencair. "Gak diminum? Rasanya mirip buatan Sean, kesukaanmu dulu, aku belajar dari dia."

Jasmine tersenyum lagi mendengar nama-nama yang pernah ada di masa remajanya.

"Bagaimana kamu bisa mengenali aku?" tanya Jasmine kemudian. "Rosa bilang tampilanku udah kayak buronan, jadi agak amaze waktu kamu bisa tahu."

Sebagaimana cueknya Jasmine pada lingkungan sekitar masa SMA, Arjuan kembali sadar sesuatu, wanita itu masih belum tau letak serta berbahayanya pesona yang dia miliki.

"Matamu itu identitas mutlak."

Kalau memang Arjuan bisa mengenali Jasmine karena matanya, apa itu berarti Arjuan sebenarnya sudah tau sejak pertama kali Jasmine datang kemari?

Terhitung lima kali Jasmine menginjak kaki di tempat beraroma kopi itu. Dan kenapa sekarang lelaki itu menegur?

"Gelang yang kamu pakai juga cuma ada dua di dunia. AT, dia itu lelaki yang beruntung kayaknya," ujar Arjuan lagi seraya menunjuk pergelangan tangan Jasmine dengan matanya.

Arjuan tersenyum, agak geli kalau diingat bahwa dialah yang membuat gelang couple itu. "Kamu hebat bisa menyimpan gelang itu selama enam tahun, punyaku sudah entah ke mana."

Jasmine hanya tersenyum kecil, ia menyentuh gelang di pergelangan tangannya sendiri, hatinya kian tak nyaman.

"Ah ya! Aku kasih ke Luvi!" Setelah terlihat berpikir dalam, Arjuan menyeletuk kalimat itu.

"Luvi?" tanya Jasmine bingung.

"Luvi kucing jalanan di sekitar rumahku dulu."

"..." hening.

Seingat Jasmine.

Dulu Arjuan bahkan menyuruh Jasmine untuk tidak melepas gelang itu apapun keadaannya, namun apa ini, Arjuan memberikan gelang itu pada seekor kucing jalanan. Jasmine tau alasan pasti bagaimana hatinya bisa berdenyut nyeri, namun ia masih ingin bertanya. Kenapa?

Karena semua tak lagi sama.

Menghindari lagi laju darah yang berdesir tak karuan serta denyut jantung yang dirasa bisa membuat air matanya luruh, Jasmine memilih membuka ponsel, membuka kuncian, tak ada notifikasi baru.

"Jay sudah di bawah. Aku harus pergi sekarang," bohongnya.

"Oke, aku antar." Arjuan berdiri.

Melangkah mendahului Jasmine.

"Soal kita..." suara lembut itu mengundang senyap. Arjuan berbalik, berhadapan dengan gadis itu, melayangkan tatapan tanya, sebentar sekali.

Lalu senyum manis yang terpampang di wajah rupawan itu lagi-lagi mampu mengundang debar, Jasmine menelan ludah. Seakan tau setiap senyum itu hadir hatinya harus bersiap merasakan sayatan perih.

"Gak usah khawatir, Jasmine. Aku sudah tidak mengharapkanmu, rasa merah muda itu sudah lama hilang, lukaku juga sudah sembuh, aku bahkan nyaris nggak ingat. Dan juga, enam tahun bukan waktu singkat, berkatmu duniaku bertambah, sekarang kamu juga punya duniamu sendiri, bukan?"

Jasmine mengerjap. Benar-benar perih. Gadis itu mencoba memberi senyum sehangat mungkin. "So, we're friends now?"

Dengan mulut rapat mewakili segala raut tak paham, Arjuan menjawab. "No. kamu dan aku tidak akan pernah bisa jadi teman. Kita akhiri semuanya sekarang, from now on, just like a stranger."

Dan lelaki itu tersenyum lagi.

Rasanya Jasmine lebih baik dicaci maki daripada harus melihat senyum itu.

"Papa!"

Keduanya menoleh, dari arah pintu masuklah balita perempuan sekitar empat tahunan, berlari kecil dengan tubuh mungil yang berbalut Hoodie peach berbulu. Sangat lucu, Jasmine berpikir demikian, sebelum matanya menangkap kejanggalan lain, setelah anak itu berteriak memanggil 'papa' diruangkan yang hanya ada dia dan Juan.

Lalu mata bulat gadis kecil itu seakan menjawab segalanya.

Mata yang amat mirip dengan mata yang dulu membuatnya jatuh.

"Kei, jangan lari-lari!"

Mata Arjuan.

Juan berjongkok, membawa tubuh mungil itu dalam dekapannya, sebelum memberi kecupan gemas pada pipi bulat Kei. "Beri salam ke aunty Jasmine, sayang."

Bersamaan dengan jemari kecil Kei terangkat melambai dengan malu-malu, detik itu juga Jasmine telah merasakan hancurnya patah hati. Tahu seberapa sakit tak berdarah mampu berpotensi membunuh. Dan Jasmine patah hati karena Arjuan.

"Namanya Keysha, dia duniaku."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kharem Nisya
story' baru kah..?? semoga update nya lancar..seru kayaknha
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status