Ruangan itu tidak besar, namun cukup luas untuk dikata sempit, berwarna putih tulang, juga ada dua jendela kecil yang tertutup tirai. Meja mahoni tak terlalu lebar, dua kursi di depan juga belakang, sofa bad berwarna merah, lemari, juga lukisan-lukisan.
Jasmine tak tau harus apa lagi.Ia tidak ingat sudah berapa kali memutar mata guna menscan apa saja yang ada di dalam ruang kerja Arjuan, lengkap dengan jemari bertaut risau.Sedangkan satu gelas ukuran besar berisi milkshake strawberry di meja belum tersentuh sama sekali. Jasmine seakan tak punya hasrat bahkan untuk menelan satu teguk air putih.Ini di luar dugaannya.Meski sudah menyiapkan diri. Ia tau, cepat atau lambat dirinya dan Arjuan akan bertemu dan berbicara tentang masa lalu yang berakhir kurang baik.Jasmine mengerti bahwa ditinggalkan tak pernah terasa indah. Namun ia meninggalkan Juan.Jadi, sudah hampir enam tahun lamanya ia menyiapkan diri untuk menerima ujaran kasar atau setidaknya caci maki dari Arjuan. Menerima jika memang nantinya mulut lelaki itu mencelanya tak habis-habis. Meski sejatinya Jasmine tidak akan pernah siap.Tetapi ternyata itu hanya bayangan dalam pikiran Jasmine belaka. Nyatanya, setelah dua Adam Hawa itu bertatap muka, jangankan makian kasar, satu kata pembuka untuk memulai percakapan pun tidak ada yang bisa mengeluarkan.Semua kata-kata seolah menggumpal di tenggorokan. Bagi Arjuan begitu juga Jasmine."Kabar baik?" Akhirnya hening itu pecah. Suara husky yang mengusik.Jasmine mau tau mau mendongak, memperlihatkan wajah cantiknya, kali ini dengan penutup wajah yang sudah terlepas. Membuat sang lawan bicara bisa leluasa memandang, dan Jasmine pun tak urung menyelam dalam lensa lelaki itu.Terlihat indah. Punya pancaran dewasa, juga hangat, namun terlalu serius. Jasmine rindu kerlingan jenaka di sana."Baik. Kamu?" Jasmine membalas dengan suara normal. Jangan lupakan bahwa ia adalah seorang celebrity yang memang punya kendali diri yang amat baik.Arjuan hanya mengangguk pelan, sangat pelan sampai tak terlihat mengangguk. Pria dengan kemeja dark blue itu menaikan tangan ke atas meja.Mereka masih saling memandang, meski Jasmine sekuat tenaga menahan kecanggungan ia tetap bisa membalas tatapan mata Arjuan sama tajam."Ke mana waktu itu?" tanya Arjuan. Menanyakan perginya. Dulu."New Zealand," jawab Jasmine setelah beberapa saat.Arjuan mengangguk-angguk lagi. Mulutnya membentuk huruf o kecil tanpa suara. "Belajar?""Hm." Jasmine berbohong.Perginya meninggalkan tanah air bukan untuk belajar atau hal semacam itu."Waktu itu di pemakan ibu, aku pikir... itu kamu," kata Arjuan.Jasmine mengerjap. Ia tentu sudah dengar tentang berpulangnya ibu Arjuan, seminggu setelah ia menetap di Selandia baru. Berita itu cukup ampuh untuk membuat rasa bersalah Jasmine melambung pada angka yang tinggi. Ia merasa jadi wanita paling jahat di muka bumi.Benar. Jasmine meninggalkan Arjuan saat lelaki itu kehilangan ibunya.Jasmine berdehem kecil. "Mungkin sudah amat terlambat tapi, Soal ibumu, aku turut berduka."Di situ Arjuan tersenyum. Manis atau mungkin cuma sekedar senyum maklum. Ia tak butuh belasungkawa sekarang, tetapi enam tahun lalu. Dan kembali hadirnya gadis yang pernah sangat berhasil membuat Juan merasakan sakit hati yang parah itu membuatnya berpikir kembali.Kenapa baru sekarang.Setelah seluruh hidupnya tertata dengan baik, gadis- ah wanita musim semi itu justru datang dengan pancaran mata seolah ia yang paling berharga."Suya yang kasih suratnya ke kamu?" tanya Jasmine kemudian, mengingat masa dulu.Detik itu Arjuan tidak menahan decakan. "Iya, dia hujan-hujanan. Kasihan. Harusnya kamu hantarkan sendiri."Sudut bibir Jasmine terangkat perlahan.Tidak ada yang berubah dari lelaki ini. Mungkin Jasmine yang terlalu khawatir. Negatifnya pikiran bahwa kemungkinan Arjuan akan membencinya membuat Jamine hampir gila karena ketakutan."Kalau aku bisa ke sana, gak perlu ada surat untuk perpisahan, aku akan bicara langsung."Arjuan setuju. Dan juga, jika Jasmine tidak menitipkan surat perpisahan itu pada Suya, mungkin tidak akan perlu enam tahun untuk keduanya bertemu kembali. Atau mungkin juga jika Jasmine yang mendatanginya dulu, Arjuan tak akan biarkan gadis itu pergi.Dan tanpa disadari kecanggungan yang semula memeluk ruang itu perlahan mencair."Betul juga. Awalnya aku pikir kamu pergi karena kita marahan waktu itu, tapi setelah melihat kamu dan keadaanmu sekarang, aku mengerti.""Kamu membenciku?" Jasmine masih tak putus menatapnya. Dalam teduhnya mata itu Arjuan bisa melihat sebuah rasa takut. Arjuan membalas ringan, tak mengerti."Atas dasar apa?""Semuanya. Patah hatimu dan jahatnya aku yang pergi saat kamu terpuruk."Satu alis Arjuan terangkat. "Emangnya aku siapa sampai berani membenci bintang televisi seperti kamu, Jasmine."Arjuan sedikit terkekeh sebelum melanjutkan. Membuat Jasmine tertegun beberapa detik. "Gak benci. Aku cuma marah. Pun marahku cuma sesaat, beberapa minggu setelah itu hidupku normal kembali. Dan soal patah hati, itu adalah resiko jatuh cinta, semua orang pasti pernah merasakan hal sejenis itu, pun kita masih muda, dan itu wajar. Lagipula kamu juga tidak pernah berjanji untuk tidak menyakitiku. Sebaliknya, aku bersyukur, karena telah menepati janji untuk tidak membuatmu patah hati."Lewat rangkaian kalimat panjang yang terdengar akrab itu, Jasmine justru merasakan sesuatu yang asing."Benar," balas Jasmine pelan.Arjuan berdehem, menunjuk milkshake strawberry yang sudah mencair. "Gak diminum? Rasanya mirip buatan Sean, kesukaanmu dulu, aku belajar dari dia."Jasmine tersenyum lagi mendengar nama-nama yang pernah ada di masa remajanya."Bagaimana kamu bisa mengenali aku?" tanya Jasmine kemudian. "Rosa bilang tampilanku udah kayak buronan, jadi agak amaze waktu kamu bisa tahu."Sebagaimana cueknya Jasmine pada lingkungan sekitar masa SMA, Arjuan kembali sadar sesuatu, wanita itu masih belum tau letak serta berbahayanya pesona yang dia miliki."Matamu itu identitas mutlak."Kalau memang Arjuan bisa mengenali Jasmine karena matanya, apa itu berarti Arjuan sebenarnya sudah tau sejak pertama kali Jasmine datang kemari?Terhitung lima kali Jasmine menginjak kaki di tempat beraroma kopi itu. Dan kenapa sekarang lelaki itu menegur?"Gelang yang kamu pakai juga cuma ada dua di dunia. AT, dia itu lelaki yang beruntung kayaknya," ujar Arjuan lagi seraya menunjuk pergelangan tangan Jasmine dengan matanya.Arjuan tersenyum, agak geli kalau diingat bahwa dialah yang membuat gelang couple itu. "Kamu hebat bisa menyimpan gelang itu selama enam tahun, punyaku sudah entah ke mana."Jasmine hanya tersenyum kecil, ia menyentuh gelang di pergelangan tangannya sendiri, hatinya kian tak nyaman."Ah ya! Aku kasih ke Luvi!" Setelah terlihat berpikir dalam, Arjuan menyeletuk kalimat itu."Luvi?" tanya Jasmine bingung."Luvi kucing jalanan di sekitar rumahku dulu.""..." hening.Seingat Jasmine.Dulu Arjuan bahkan menyuruh Jasmine untuk tidak melepas gelang itu apapun keadaannya, namun apa ini, Arjuan memberikan gelang itu pada seekor kucing jalanan. Jasmine tau alasan pasti bagaimana hatinya bisa berdenyut nyeri, namun ia masih ingin bertanya. Kenapa?Karena semua tak lagi sama.Menghindari lagi laju darah yang berdesir tak karuan serta denyut jantung yang dirasa bisa membuat air matanya luruh, Jasmine memilih membuka ponsel, membuka kuncian, tak ada notifikasi baru."Jay sudah di bawah. Aku harus pergi sekarang," bohongnya."Oke, aku antar." Arjuan berdiri.Melangkah mendahului Jasmine."Soal kita..." suara lembut itu mengundang senyap. Arjuan berbalik, berhadapan dengan gadis itu, melayangkan tatapan tanya, sebentar sekali.Lalu senyum manis yang terpampang di wajah rupawan itu lagi-lagi mampu mengundang debar, Jasmine menelan ludah. Seakan tau setiap senyum itu hadir hatinya harus bersiap merasakan sayatan perih."Gak usah khawatir, Jasmine. Aku sudah tidak mengharapkanmu, rasa merah muda itu sudah lama hilang, lukaku juga sudah sembuh, aku bahkan nyaris nggak ingat. Dan juga, enam tahun bukan waktu singkat, berkatmu duniaku bertambah, sekarang kamu juga punya duniamu sendiri, bukan?"Jasmine mengerjap. Benar-benar perih. Gadis itu mencoba memberi senyum sehangat mungkin. "So, we're friends now?"Dengan mulut rapat mewakili segala raut tak paham, Arjuan menjawab. "No. kamu dan aku tidak akan pernah bisa jadi teman. Kita akhiri semuanya sekarang, from now on, just like a stranger."Dan lelaki itu tersenyum lagi.Rasanya Jasmine lebih baik dicaci maki daripada harus melihat senyum itu."Papa!"Keduanya menoleh, dari arah pintu masuklah balita perempuan sekitar empat tahunan, berlari kecil dengan tubuh mungil yang berbalut Hoodie peach berbulu. Sangat lucu, Jasmine berpikir demikian, sebelum matanya menangkap kejanggalan lain, setelah anak itu berteriak memanggil 'papa' diruangkan yang hanya ada dia dan Juan.Lalu mata bulat gadis kecil itu seakan menjawab segalanya.Mata yang amat mirip dengan mata yang dulu membuatnya jatuh."Kei, jangan lari-lari!"Mata Arjuan.Juan berjongkok, membawa tubuh mungil itu dalam dekapannya, sebelum memberi kecupan gemas pada pipi bulat Kei. "Beri salam ke aunty Jasmine, sayang."Bersamaan dengan jemari kecil Kei terangkat melambai dengan malu-malu, detik itu juga Jasmine telah merasakan hancurnya patah hati. Tahu seberapa sakit tak berdarah mampu berpotensi membunuh. Dan Jasmine patah hati karena Arjuan."Namanya Keysha, dia duniaku."Tidak sibuk? Kalau saja dua jam yang lalu Jasmine menjawab pertanyaan singkat itu dengan kata 'aku sibuk' ia tidak akan bersanding canggung bersama bunga-bunga yang gugur, melewati jalanan pinggiran kota sambil membawa kemelut di dada yang belum reda. Namun sayang, teman-temannya bersantai ia pergi. Mendukung kala pria berjas hitam meminta ijin tadi untuk membawanya sebentar. "Mau bicara apa?" Jasmine maju, kakinya berhenti melangkah. Bernaung di bawah pohon yang rindang. Dan tak lepas dari mata bagaimana gerakan halus Juan ketika pria itu berputar, menghadapnya. Netranya berbicara banyak kata, namun bibir besi lelaki itu tidak terbuka. Jasmine cukup paham ia tak akan mendapat jawaban setidaknya hingga lima menit ke depan, maka dari itu ia melanjutkan. "Atau kamu cuma mau membuat aku senang? Dengan mengajakku jalan bersama?" Masih. "Sebagai obat setelah apa yang kamu katakan kemarin." Jasmine mengulas lengkungan tipis. Yakin bahwa senyum tipisnya tak terlihat wanita cantik itu m
18."Je?""Hm?"Lili menghela napas sabar. Melirik Suya di sebelahnya yang juga menatap penuh pengertian. "Sudah tiga kali."Sedari tadi, sejak pertama kali duduk di bangku kafe berbau kopi ini tiga kali sudah Lili memergoki sahabatnya kehilangan fokus. Tenggelam dalam pikiran. Menatap kosong pada satu arah."Milkshake-mu sudah mencair," Suya menunjuk satu gelas besar minuman berwarna merah muda. "Nah, temanku yang cantik, Gue sudah pernah bilang kalau bercerita merupakan step awal pengurangan stress bukan?"Jasmine tersenyum, kemudian menggeleng singkat, mengucek matanya lembut seperti sedang mengembalikan kesadaran. Memandang ke beberapa sudut kafe yang beberapa bulan lalu dikunjunginya."Apa ada hubungannya dengan si mantan pacar itu lagi?" Suya menebak curiga. Mengingat terakhir kali Jasmine berkonsultasi padanya membawa nama Juan.Suya ingin bertanya lebih. Namun urung ketika jemari tangannya digenggam oleh Lili, gadis jangkung berambut hitam sebahu itu menggeleng meminta ia untu
17.Di ruang kamar berukuran sedang itu berputar musik klasik. Mengiringi sosok wanita cantik berbalut dress floral selutut dengan satu berita harian di tangannya. Meski wajah gadis kecil bersurai hitam legam itu disamarkan, ia bisa tahu dengan jelas."Putrimu?" Suara lelaki menggema di seluruh ruang.Si wanita berambut merah bergeming. Memandang koran yang menampilkan artikel tentang skandal percintaan artis muda, Tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara, tak perlu menjawab karena diamnya sudah cukup mengatakan segalanya.Langkah kaki mendekat, berhenti dua langkah dari pribadi bersurai merah disisi kanan. Menyerahkan satu lembar kertas foto. Menampakkan dua insan yang berciuman."Mereka jadi lebih dekat. Ayah dari anakmu, dan Jasmine." Lelaki bertubuh tinggi itu melaporkan. "Kamu mau apa sekarang, Irish?"Hal yang sebenarnya sudah dibayangkan sejak lama. Yang ia takutkan.Wanita yang dipanggil Irish itu mengangguk. "Melakukan yang harusnya kulakukan sejak awal."———"Masih sam
"Debar jantungmu jadi satu-satunya alasan mengapa aku mau bertahan." -Jasmine Sahanaya. — Tidurnya terusik. Mimpi siang hari yang baru saja dirajutnya beberapa menit menit tiba-tiba buyar entah ke mana, bersamaan dengan sapuan lembut pada puncak kepala, membawa separuh sadar, namun enggan menyikap kelopak mata. Jasmine mengerang. Kali ini karena sebuah bulatan keras menyusup ke ceruk lehernya. "Aunty Je, lelah sekali ya?" Waktu itu Jasmine tersenyum. Tak ada niatan membuka mata sedikit pun. Ia benar-benar lelah dan membutuhkan tidur berkualitas, namun anak orang yang amat lucu ini mengusik dengan cara yang amat menggemaskan sepanjang dunia. Jasmine memeluk Kei erat, membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapan hangat, agar ikut tertidur. Tidak memikirkan bagaimana cara anak empat tahun ini bisa sampai ke ruang tunggu sebuah stasiun televisi. Yang tentunya bukan tempat yang bisa dikunjungi orang sesuka hati. Jasmine mendusel kepala, menghirup aroma khas bayi milik Kei hingga gadis
—— "Presdir Namu yang menawarkannya padaku." Jasmine menjeda kalimat, sembari menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga. "Dia bilang aku boleh mengubah poin-poin jika keberatan dan menambah beberapa jika memang dibutuhkan." Gadis berbalut mantel bulu berwarna abu-abu muda, berambut coklat tergerai yang wajahnya berhias make up tipis natural itu memindahkan tatapan mata dari cangkir kopi yang mengepul pada pribadi rupawan di kursi depan. Yang ternyata sama. Pria dewasa itu menatapnya juga. Dengan mata yang masih tajam seperti terakhir kali. Jasmine tidak tahu. Apa yang membuat pancaran mata Juan terasa begitu mengintimidasi ketika mereka bertatap muka, juga tentang bagaimana atmosfer dalam ruang rasanya berganti amat drastis jika mereka bersama. Arjuan mengangkat tangan, melirik arloji yang ternyata sudah hampir jam makan siang. Kafe mulai terisi orang-orang baru, yang tentunya tidak akan nyaman berbincang dengan artis besar di tempat ramai. Jadi ia memutuskan untuk seg
-Selimut hitam pekat itu tersikap setelah matahari merajai bumi.Kicau burung gereja di ranting pohon tak lagi terdengar. Alarm yang disetel pukul lima tak lagi ada bunyinya, Jasmine lupa melempar benda itu ke arah mana. Bahkan setelah segar menyiram diri dengan air dingin, rasanya Jasmine enggan keluar kamar untuk sarapan.Dengan gulungan handuk putih di kepala serta kaos hitam dan celana selutut Jasmine menyandarkan diri ke kepala ranjang. Meraih ponsel di nakas, mengabaikan ratusan notifikasi yang datang dan memilih mengetik sebuah pesan pada Yuni- managernya. Setelah itu ia melepas handuk di kepala, membiarkan rambut setengah basah agar kering sendiri lalu keluar kamar, pergi ke dapur guna membakar dua potong roti untuk sarapan, walau sudah terlalu lambat untuk itu. "Lo ini sakit atau memang gila, sih?"Jasmine terlonjak. Roti bakar berlapis nutella yang baru ia makan segigit itu terhempas ke atas meja dapur. Memandang dengan mata terbelalak sosok berkaos hitam yang tengah
——"Belum mau pulang?"Detik itu juga lamunannya pecah. Pikirkan mengganggu yang sedari tadi menghantui hingga membuatnya fokus pada bayangan gelas ditangan seketika menguar.Pada ruas detik arloji yang hendak mendekati angka tiga saat langit amat gelap ini Juan masih setia bersimpuh dalam kebimbangan. Menelan sendiri bulat-bulat kegundahan setelah apa yang terjadi padanya empat jam lalu.Bukan sesuatu yang bagus, namun bukan juga sebuah petaka, mungkin bisa disebut tabu.Setelah beberapa bulan belakangan ia sebisa mungkin tidak bertatap muka, menghindar, sampai-sampai Juan bersedia menunda bertemu Kei saat putrinya sakit hanya karena Namu bilang bahwa Jasmine ada bersama mereka. Namun tanpa sangka netra coklat yang selama ini dijauhinya malah justru melekat dalam bayang mata. Juan tentu tak akan bisa lupa. Ia ingat, tiap sekon yang ia lewati bersama gadis berambut hitam sepunggung itu. Semuanya.Terlalu ingat.Hingga menyesakkan.Juan sampai merasa tak sehat. Tidak waras.Leb
Hadirmu layaknya salju putih yang hangat, badai yang menenangkan, tsunami berperasaan, sianida berperisa morfin, pun bencana dengan sejuta warna. Jangan tanya apa maksudnya. Entah. Aku saja tak tahu apa. – Jasmine Sahanya.--Untuk pertama kali dalam dua puluh lima tahun hidupnya Jasmine menginjakkan kaki di tempat remang-remang. Lampu berputar berdenyar samar, beberapa orang menari menggerakkan badan sejalan dengan hentak musik terdengar memekak sampai rasanya mau mati karena sakit telinga. Jasmine sampai heran kenapa banyak sekali orang menggemari tempat ini.Club.Setelah rumah sakit, mungkin bagian bumi ini jadi tempat terakhir yang ingin Jasmine singgahi. Jasmine sangat tidak suka keramaian di sini, meski tanpa asap rokok atau bau alkohol menyengat, tetap saja Jasmine tidak menyukainya.Nay benar-benar memikirkannya dengan sangat baik. Setelah kemarin Jasmine absen di pesta ulang tahunnya, wanita pentolan girl grup senior itu memaksa Jasmine habis-habisan untuk hadir di pesta
"Oke, istirahat lima belas menit."Selaju dengan berakhirnya teriakan dari produser, tiga orang dari luar set mendekati wanita bergaun putih dengan model off shoulder tanpa motif, mengarahkan payung melindungi artis dari sengatan panas mentari, yang satu lagi menyerahkan satu botol minuman kemasan beserta pipet.Jasmine sedang mempersiapkan comeback, masih rahasia, dan sekarang ia tengah shooting video music untuk titled single pada album terbarunya. Hari ini hari terakhir, dan besok akan ada sesi latihan koreografi, lusa juga sama, latihan akan terus berlanjut hingga agensi mengumumkan tanggal comebacknya.Baru saja Jasmine duduk di bawah naungan payung besar, segerombol rumput liar berbunga putih menarik perhatiannya. Dulu, ia pernah tidak tertarik pada bunga, tidak suka. Namun sekarang, justru pribadi manis itu tengah membidik bunga kecil berwarna putih itu dengan kamera ponselnya. Kemudian berpose, meminta tolong make up artist pribadinya untuk mengambilkan gambar."Kamu bisa