Share

10. Kejutan baru

April hampir habis.

Angka pada kalender tanpa terasa sudah bergerak jauh. Kembang yang waktu itu masih kuncup kini telah mekar. Bumi tempatnya berpijak telah berangsur menghangat. Jasmine menyukainya. Bahkan semuanya. Suara ranting yang patah, desau angin menyapa sejuk, atau sekedar udara segar yang ia hirup serta embun yang ia jumpai pukul enam.

Debu halus menyapa, tak selalu mengganggu, gadis pecinta sepertinya bahkan menyukai ketika partikel halus yang sejatinya dihindari, hujan yang disumpahi banyak orang karena turun tanpa aba-aba atau mentari terik yang membuat orang-orang mengernyit marah.

Di antara sisa detik pada lampu lalu lintas yang akan berganti hijau serta deras gemeletuk air menyerbu dinding-dinding mobilnya Jasmine tersenyum, sesekali melihat kanan kiri pada orang yang berlarian dengan tas di atas kepala atau lebih fokus pada wiper mobil yang menyala.

"Oh my Gosh! Unbelieveable! Ini kenapa langit moody banget sih! Kenapa tiba-tiba hujan padahal kata ramalan cuaca bakal cerah berawan," keluh kesah itu terdengar, Jasmine menyingsing sebuah senyum tipis, yah, manusia memang begitu bukan? Tetapi memangnya apa yang salah dengan hujan? Jasmine suka, sejuk dan membuat nyaman tidur.

Jasmine menekan pelan pedal gas setelah rambu berganti hijau, memberi sign, memutar setir ke arah kanan.

"Hujannya cantik kok," balas Jasmine santai. Memilih untuk tidak menekan tombol merah.

"Apanya yang cantik? Ini tuh ganggu tahu." Dan Jasmine yakin gerutu dari bibir Rosa tak akan berakhir di sini. Betul saja, setelah beberapa detik Jasmine tak memberi jawaban gadis itu kembali bertanya. "Lo gak putar balik ke rumah kan, Je?"

Iya.

Kalau hari-hari biasa mungkin Jasmine akan melakukannya.

Namun hari ini sedang bagus, Jasmine bahkan menggunakan pakaian nyaman dengan t-shirts hitam polos serta celana panjang, dan tanpa atribut ala-ala perampok seperti biasa. Ia pergi tanpa masker atau topi. Di mobil juga ada payung, tiga hari ia libur sebelum nantinya tak akan ada jeda dalam pekerjaan. Jasmine tentu harus menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya.

"Gue sama Lili sudah di lokasi! Awas saja kalo elu nggak datang!" Mungkin kadar kesal dalam suara Rosa sudah menyentuh angka delapan.

Jasmine mengalihkan pandang, pada deret Billboard menampilkan wajah artis naik daun dengan ucapan selamat ulang tahun sebagai event tahunan dari para penggemar. Jasmine juga mendapatkannya tiap tahun, dan diistimewakan begitu rasanya cukup menyenangkan, dikenal orang. Namun kendati merasa bahagia saat ini Jasmine justru berharap orang tak mengenalinya, atau mungkin berpura-pura tak kenal untuk menghargai privasi.

Sebenarnya ia juga membawa kacamata hitam dari brand yang baru-baru ini mengajaknya kerja sama, namun daripada menggunakan itu di hari dingin mendung lalu akan dipandang aneh dan akan semakin mencurigakan, Jasmine mungkin lebih memilih pamer bare face pada publik.

"Pesan smoothie sama tiramisu buat gue, nanti kalo Suya udah masuk ke mobil, sepuluh menit gue sampai," jawab Jasmine berbarengan dengan mobilnya memasuki area parkir rumah sakit, memutus sambungan telepon sepihak sebelum mematikan mesin dan menggenggam gagang payung. Ia masih gadis yang kurang suka basa-basi.

Baru saja hendak duduk di kursi tunggu lantai satu karena Suya memintanya menunggu di bawah alih-alih naik ke atas langkah Jasmine terhenti. Rungunya menangkap suara tangis dari bangsal anak, membuatnya teralih sejenak. Dulu Jasmine juga sangat histeris saat Mama mengajaknya ke rumah sakit, vaksin imun agar tubuhnya tak mudah sakit menghadapi pergantian musim. Yah, rumah sakit memang momok mengerikan bagi semua anak-anak.

Mengabaikan, Jasmine mendaratkan bokong pada salah satu kursi, ponsel di tangannya gemetar menyampaikan sebuah pesan kematian dari Rosa yang tak terima teleponnya diputus sepihak.

Sejenak Jasmine mendongak, pada kusen pintu serta jendela-jendela kayu bercat putih di bangsal berisik tadi terlihat orang-orang berkumpul di sana. Tidak ada yang aneh dengan suara tangis anak-anak di rumah sakit bukan? Jadi kenapa banyak yang menengok ke sana seperti itu pemandangan yang langka dilihat. Namun saat suara tangis tadi jadi bertambah kuat, Jasmine jadi ikut penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

Pertanyaan itu tak terjawab bahkan setelah seorang lelaki tinggi dengan setelan jas resmi keluar membelah kerumunan bersama gadis kecil di gendongannya. Jasmine berdiri. Mendekat. Ia bisa lihat pribadi di sana terlihat gelisah dengan tangan bergerak menepuk punggung anak itu menenangkan. Dan berhenti saat melihat Jasmine. Terlihat terkejut.

"Aunty Je." Suara Kei serak, masih menangis sesegukan, bahkan wajah balita itu memerah dengan mata bengkak dan ingus ke mana-mana. Meronta kecil dari gendongan pria dewasa itu lalu mengulurkan tangan pada Jasmine. Kasihan sekali.

Jasmine mengambil Kei dari pelukan Namu, dan balita bermata rusa itu langsung menenggelamkan wajah pada lekuk leher Jasmine. Masih terisak parah, sebelum Jasmine mengelus punggungnya lembut sambil memantra penenang. Setelah cukup tenang, gadis kecil ini mengungkapkan kalimat panjang. Lebih terdengar seperti aduan, dan penjahatnya adalah pria dewasa dengan jas kusut di hadapan mereka.

"Aunty tolong antarkan Kei pulang. Daddy jahat, Kei ‘kan sudah bilang enggak mau, Kei sudah bilang semutnya sudah hilang, tetapi Daddy tidak dengarkan."

Jasmine tak langsung menghakimi Namu dengan pancaran mematikan yang ia miliki, ia tahu, kadang orang dewasa bisa terlihat semengerikan itu kendati apa yang dilakukan untuk kebaikan mereka sendiri. Jasmine hanya memandang bertanya, pada wajah pria dewasa yang terlihat gelisah sekaligus bingung itu.

Jasmine bahkan lebih bingung.

Kenapa Kei memanggil Namu dengan sebutan ayah?

Sedangkan Namu, ia juga melewatkan bagaimana Putri keluarganya mengenal Jasmine hingga mau melepas pelukan dan menempel erat pada mantan pacar Juan itu.

Namu menelan ludah ketara, wajahnya frustasi. "Kemarin Kei minta hujan-hujanan dan aku membiarkannya karena Kei terlihat senang, namun mungkin itu keputusan buruk, pagi ini setelah bangun dia menangis karena telinganya berdengung dan dia bilang semut-semut masuk ke sana dan berkata tak jelas."

Pria jangkung itu terlihat menyesal. Jasmine bisa lihat itu dengan jelas.

Mengesampingkan tanda tanya di otaknya serta segerombol manusia yang menatap mereka penasaran, Jasmine mengelus rambut Kei lembut, membalas Namu. "Lalu apa kata dokter, sir?"

"Tidak ada yang serius, telinganya kemasukan air dan harus dibersihkan." Namu melirik ruang THT itu, kemudian sadar, banyak orang melihat mereka, atau lebih tepatnya Jasmine. Berbisik, tertawan dan beberapa dari mereka bahkan sudah menyalakan kamera ponsel. "Orang-orang mengenalmu, Je. Mungkin besok akan ada artikel gosip tentang ini, maaf ya."

Jasmine bisa mengerti. Namu tidak enak hati, namun tak bisa menampik kalau ia memang membutuhkan sosok wanita dewasa untuk menenangkan Kei. Jasmine hanya tersenyum seraya menggeleng kecil. Sebuah tanda kalau ia tak keberatan sama sekali. Jasmine kemudian menengok sedikit Kei yang masih bersembunyi di lehernya.

"Kei takut, sayang?" Jasmine bertanya lembut, ia merasa lehernya basah, tak keberatan sama sekali terkena campuran air mata serta ingus. Saat Kei mengangguk pelan Jasmine tak bisa tahan untuk tidak tersenyum.

"Telinganya masih sakit?" tanya Jasmine kembali, lalu kini gelengan menjadi balasan.

Ia mengerti bagaimana gangguan telinga terasa sangat menyiksa, Jasmine mengerti lebih banyak dari siapa pun. Baginya yang waktu itu masih remaja ia bisa menangis seharian ketika telinganya tak dapat menangkap suara, lalu bagaimana dengan anak empat tahun ini? Kemasukan air memang bukan perkara serius, namun Jasmine yakin rasanya tetap jauh dari nyaman.

"Kalau masih sakit, bilang ya, nanti aunty akan bantu sembuhkan," kata Jasmine lagi.

Kei mengangkat wajah pelan-pelan, matanya mengerjap hati-hati, bulu matanya berdempetan oleh air dan masih sedikit tersedu. "Memangnya bisa?"

Jasmine tersenyum. Bagaimana bisa ada anak selucu ini. Namun dibalik indahnya mata rusa yang sinarnya seperti rembulan dibalik awan ini Jasmine melihat sesuatu, yang mungkin bisa menjadi tanda tanya lain. Dan jika memang masih sakit anak-anak harusnya merintih atau merengek pedih bukan? Setelah mendengar tangisan Kei, Jasmine mengerti bukan sebab itu ia menangis. Bukan sebab sakitnya.

"Bisa. Tetapi Kei harus menurut ya, nanti aunty keluarkan semut-semutnya."

Mendengar itu Kei mengangguk tanpa ragu, lebih mempercayai ucapan bidadari daripada harus kembali pada pelukan Namu. Tetapi rontaan kembali Kei layangkan ketika tahu langkah kaki Jasmine membawanya kembali pada ruang putih di mana paman yang memakai jas putih memegang benda aneh yang hendak dimasukkan telinganya.

Tangisan Kei membuat Jasmine berhenti. Namun tidak mundur. Ia hanya diam dulu sambil menepuk pelan punggung Kei yang mulai kembali terisak. Mencoba menenangkan.

"Kei mau sama Daddy saja?" Namu berdiri dengan jarak dekat, mengelus rambut Kei lalu sang anak cepat-cepat menggeleng, mengeratkan rengkuhan pada leher Jasmine.

Isak Kei makin terdengar jelas. "K-kei mau Pa-pa."

Jasmine terdiam.

Papa?

Apa itu sebutan untuk Juan?

Saat itu Jasmine tertegun. Sadar jika Kei mampu membuat ia melupakan kaitannya dengan Juan sejenak. Lagi-lagi tanda tanya menyebar pada tiap celah di balik tempurung kepala.

Di saat Namu tanpa henti melayangkan permintaan maaf, Kei cuma berdiam diri, terisak, tak peduli, mungkin sebagai aksi ngambek pada Namu. Namun, ingat? Gadis kecil ini menginginkan Juan.

Ke mana laki-laki itu?

Jasmine kembali menimang Kei dalam peluknya.

"Kei tahu tidak? Aunty juga pernah sakit telinga," ucapnya lembut, pengertian. "Sakit sekali, sampai-sampai harus pergi jauh untuk menghilangkan sakitnya."

Kei tetap terisak pelan dan Jasmine masih sekuat tenaga menenangkan. Ia jadi merasa bersalah pada mamanya, yang ia ingat dulu Jasmine lebih-lebih rewel dari Kei ketika takut, ia bahkan bisa melemparkan benda-benda di sekelilingnya dan ternyata mendiamkan anak menangis sesulit ini.

Tanpa bisa ditahan Jasmine kembali mengingat masa remajanya, saat dulu ia terjatuh, kepalanya terbentur, hingga pagi hari di mana ia menemukan fakta bahwa telinganya kehilangan fungsi untuk mendengar. Lalu kemudian mengingat pula detik-detik pengumuman pesawat atas kepergiannya ke Selandia Baru untuk pengobatan. Meninggalkan sekolah dan semua merah muda yang ia punya.

Meninggalkan Juan dan memutuskan hubungan mereka secara sepihak.

"Aunty juga takut, takut sekali jika tidak bisa mendengar lagi," Jasmine menjeda saat Kei mengalihkan mata padanya. "Tetapi gadis cantik tidak boleh takut, apalagi menangis seperti ini." lanjutnya, menyeka lembut pipi Kei yang berantakan.

"Kei gadis cantik, bukan?"

Sedikit malu, anak empat tahun berkuncir dua ini mengangguk ragu. Lucu sekali.

"Takut atau tidak?"

Kei mengangguk dua kali. Masih takut.

Jasmine menghembuskan napas pelan, terlihat berpikir. "Iya sih, dulu juga aunty masih takut walaupun aunty ini cantik. Lagi pula siapa yang menentukan kecantikan cuma dengan keberanian. Kan tidak ada hubungannya."

Melihat Kei tersenyum Jasmine menambah level pada omongan tak masuk akal yang ia ciptakan.

"Kei tahu tidak, di bulan hidup sekelompok kelinci," ucapnya, sambil melanjutkan langkah satu persatu ke dalam bangsal tadi. Kei mengangguk, anak itu tahu. Jasmine mengernyit. "Tahu? Dari siapa?"

"Papa," cicit gadis kecil itu. Membuat Jasmine terenyuh. Soal kelinci itu, mereka diberi tahu oleh orang yang sama.

"Benarkah?" balas Jasmine, melirik Namu sejenak. Setelah sampai di depan pintu putih tadi Jasmine kembali berujar. "Dulu waktu aunty takut, seseorang bilang, hitung kelinci di bulan satu-satu. Jadi waktu dokter mengobati telinga, rasa takutnya tidak terasa. Kei pernah dengar itu juga?"

Kei menggeleng. Merasa tak ada penolakan berarti, Jasmine melanjutkan langkah, masuk ke ruang putih, lalu mendekat pada salah satu brangkar di sana. Duduk hati-hati dengan Kei di pangkuannya.

"Kei mau coba? Hitung sampai sepuluh saja, nanti semut-semut nakal semuanya akan pergi dan tak mau datang lagi." Setelah mengucapkan itu Jasmine menatap dokter laki-laki di dekatnya. "Iya, kan, dok?"

Kei melirik, dokter pria tadi mengangguk dengan segenap senyum.

"Mau ya?" tanya Jasmine lagi, masih selembut biasa.

Seajaib anggukan kecil yang Kei berikan sebagai persetujuan, sebesar itu pula kelegaan mengakar pada jiwa Jasmine, ia tak tahu apa yang menyebabkan ia bisa selega ini, apa yang menjadi dasar bagaimana perasaan berangsur menghangat melihat seorang anak mendapat pengobatan.

Hitungan berlanjut, dari satu hingga sepuluh berlalu lambat, Jasmine tetap menghitung sambil mengelus lembut punggung Kei yang mulai terisak kembali, namun tak meronta, dan terus menunggu hitungan Jasmine menyentuh sepuluh. Sampai dua sisi telinga berhasil dibersihkan, Kei tetap bersembunyi di lekuk lehernya, tak mau lepas dari peluknya, atau kembali pada Namu yang sedari tadi berdiri dengan raut wajah seperti baru selamat dari maut.

"Terima kasih," ujar Namu.

Jasmine berdiri, Kei perlahan jadi tenang, Jasmine mendapati dari napas tenang menerpa kulit lehernya, tanda pasti bahwa anak empat tahun ini kelelahan menangis dan telah terlelap.

Terlihat lagi bagaimana raut nyaman Kei mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang punya wajah sepolos ini kalau tidur. Tanda tanya yang sejak awal ia pelihara agaknya sudah tak mungkin disimpan lebih lama. Dilihat dari segi ini, usia, kecakapan dan kematangan, Namu memang terlihat lebih pantas menjadi ayah Kei. Entah apa yang Jasmine mau sebenarnya. Siapa ayah Kei? Juan atau Namu, semuanya tak punya hubungan dengannya, semua rasa ingin tahunya melewati batas pribadi, dan tak masuk akal kalau dia bertanya hanya berdasarkan rasa penasaran bukan?

"Kei..." ucapan Jasmine tertahan. "Apa dia putri anda?" Namun akhirnya Jasmine menanyakan itu.

Mungkin Jasmine bertanya bukan pada tempat serta waktu yang tepat hingga Namu perlu waktu untuk berdiam sepersekon sebelum mengerjap dan memberi kalimat sebagai jawaban. Jasmine masih menunggu seksama.

"Kei, Putri biologis adikku."

Sudah jelas?

Jasmine menelan ludah. "Dan di mana dia saat anaknya sakit begini?"

"Ada pekerjaan di Bali, mengawasi perkembangan perkebunan, aku menugaskan dia tiap bulan ke sana." Namu menjeda, jemari panjangnya mengelus sekilas rambut Kei. "Dan dia langsung memutuskan pulang setelah ku telfon tadi pagi, mungkin sekarang masih dalam perjalanan."

Mengatakan tersirat, bahwa Juan akan segera sampai. Jika begitu, itu tandanya Jasmine harus segera pergi bukan?

"Lalu ibunya?" tanya Jasmine lagi. Sebelum Namu membuka suara, Jasmine lebih dulu melanjutkan. "Saya tidak ada maksud buruk. Hanya saja, sedikit tak masuk akal kalau putri mereka sakit namun istri Juan tidak di sini. Itu saja."

Namu mengangguk beberapa kali. "Itu benar, tetapi bagaimana dia ada di sini kalau dari awal saja kami tidak tahu keberadaannya di mana?" Pria dewasa bersurai hitam legam itu tersenyum.

Kejutan lainnya, pelipis Jasmine tiba-tiba berkedut, pening.

Jasmine perlu penjelasan lebih panjang, ia tidak mengerti.

Dan Namu pun melanjutkan.

"Juan tidak punya istri, dia tidak pernah menikah."

--

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yani Zainum
lanjut thorr...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status