Share

6. Bicara

Tubuhnya basah oleh keringat, gulungan tinggi rambut hitam gadis itu sudah kendur mengakibatkan beberapa anak rambut jatuh membingkai wajah, yang malah menjadi pemandangan cantik untuk dilihat.

Hampir seperempat jam yang lalu Jasmine bergerak di atas treadmill, setelah pemanasan dan melakukan serangkaian senam lantai Jasmine melanjutkan sesi olahraganya dengan berlari. Tempat ini adalah gym tempat artis agensinya berolahraga. Dari tempatnya berlari sekarang Jasmine dapat melihat langit serta awan, gedung-gedung menjulang dan juga daratan kota Seoul yang padat.

Wajib. Minimal sekali dalam seminggu pasti Jasmine kemari, karena kesehatan fisik untuk jam kerja serta jadwalnya merupakan satu paket komplit. Jadi meskipun Jasmine sedang melakukan tour ke beberapa negara, ia tetap membawa trainer pribadi untuk berolahraga setelah konser usai.

Jasmine ingat, waktu itu di Singapore semasa rangkaian konser pertamanya digelar, kakinya terkilir karena kurang hati-hati, ia juga pemanasan tak cukup baik dan berakhir dengan Jasmine yang cuma duduk sambil bernyanyi tanpa menarikan satu koreografi pun.

Hal yang membuat Jasmine sedikit menaruh perhatian lebih pada kesehatan.

Jasmine menyapu peluh yang hampir masuk mata dengan punggung tangan. Ia akan berhenti lima belas menit lagi, meski rasanya sudah hampir mau muntah karena lelah, Jasmine tak bisa berhenti.

Di antara suara musik dari airpod putih yang menyumpal telinga Jasmine dapat mendengar suara asing dari arah sebelah, mengundang hasrat untuk menolah karena awalnya ia mengira yang hadir merupakan teman seprofesi dari agensi.

Namun ternyata bukan.

Jasmine tertegun, dengan seluruh tubuh basah oleh keringat, napas gadis itu yang terengah-engah, dan juga detak jantung berdetak tak berirama.

Namun kali ini, pasal detak jantungnya, Jasmine yakin bukan hanya karena kelelahan berolahraga, tetapi kehadiran manusia dengan setelan jas rapi yang tengah berdiri diatas treadmill mati sebelah kiri itu juga punya andil besar.

Pria itu menatap Jasmine tanpa putus.

Sedang apa dia di sini?

Jasmine mengalihkan pandangan, menurunkan kecepatan laju, melambat hingga treadmill itu berhenti bergerak, ia kemudian turun, mengambil satu handuk hitam lalu ia seka peluh di keningnya.

Saat berbalik. Ia baru menyadari, tidak ada siapapun di sana, di ruang olahraga itu cuma ada dirinya dan Arjuan.

"Apa aku tidak terlihat?" suara berat itu mengalun saat dengan santai Jasmine melangkah pergi, suara yang lagi-lagi mampu menghentikan syaraf serta membuat kerja otaknya berantakan.

Tiga detik.

Jasmine memutar tubuh. Menatap pribadi gagah itu sebentar lalu tersenyum tipis. "Oh, selamat sore, Pak Direktur."

Formal.

Jasmine menyapa Juan dengan bahasa baku. Mengundang kerutan samar pada dahi lelaki itu, memikirkan kembali bilamana kemungkinan ada yang salah. Tidak lama, sebelum kemudian pria itu berdecak keras, menemukan kembali dalam ingatan kalimat yang ia ucapkan tiga bulan lalu.

"Kamu tersinggung?" tanya Juan pada Jasmine bilamana kalimatnya beberapa waktu lamu menyinggung perasaan.

"Iya," jawab Jasmine dengan tenang dan jujur. "Kamu mau kita jadi orang asing, dan begitulah caraku memperlakukan orang asing."

Juan terdiam beberapa detik.

"Maafkan aku kalau begitu," balas Juan lagi dengan senyuman menyesal.

Jasmine mengendikan bahu. "Tak perlu dipikirkan, toh apa yang terjadi padaku ke depan tidak akan ada sangkut pautnya denganmu."

Juan mengernyit. "Tidak ada sangkut pautnya? Siapa yang bilang?"

"Aku. Sebelumnya, kamu ingin koneksi antara kita terputus bukan?" sarkas Jasmine. "Aku sedang berusaha merealisasikannya."

Sebetulnya Juan datang dengan niat yang baik. Namun melihat bagaimana cara Jasmine berbicara padanya entah mengapa Juan yang biasanya tenang itu jadi terpancing.

Juan menampilkan senyum miring, tipis sekali, tidak terlalu suka dengan ketenangan gadis di depannya. Kepura-puraan gadis musim semi itu membuatnya muak, raut wajah yang seakan tidak mempunyai beban pikiran itu bahkan membuatnya marah.

"Soal itu, bukan berarti kamu bisa seenaknya menggunakan aku sebagai alasan penolakan kerjasama, bukan?" ujar Juan setelahnya.

Oh, jadi ini alasan Juan menemuinya.

Jasmine mengukir senyum miris. Yah, memang apa yang ia harapkan?

Mengesampingkan emosi merah muda di hatinya, sekarang Jasmine melipat dua tangan di depan dada. Menantang. "Itu terserah aku."

Melihatnya Juan langsung terkekeh. Oke. Dia join dalam permainan.

"Kamu bisa terima saja, sayang sekali kalau ditolak, sementara kita bisa tetap jadi orang asing. Tidak ada yang rugi," balas Juan seraya memasukan kedua tangan ke kantong celana.

Dia mengatakan yang sebenarnya dan seadanya.

Jasmine mendecih lirih. "Sayang sekali aku tidak ingin."

Juan mengangguk pelan. "Melihat ini, mungkin aku yang terlalu berlebihan memuji kemampuanmu di televisi. Setelah kulihat, kamu tidak ada profesionalnya sama sekali."

Pria perlente itu turun dari treadmill mati menuju tempat Jasmine berpijak dengan langkah pelan, bunyi ketuk sepatu yang terbentur lantai serta tatapan mata yang Juam berikan sukses membuat jantung Jasmine yang mulanya sudah agak tenang kembali meronta-ronta.

Lalu langkah pria itu berhenti, menyisakan tiga langkah besar antara dirinya dan juga Jasmine.

Jasmine menelan ludah kasar, jemarinya juga sudah mengepal.

"Ada puluhan artis ternama di Indonesia, lalu kenapa kamu mau kenapa repot-repot merayu solois kurang pengalaman dan tidak profesional sepertiku," balas Jasmine dengan senyum remeh, mengikuti alur lajunya pancaran mata Juan yang sedari tadi mengintimidasi. "Butuh rekomendasi?"

Lelaki itu menggeleng samar.

Juan maju selangkah. "Aku maunya kamu." Suaranya nyaris seperti bisikan angin, sangat kecil namun dapat ditangkap dengan bersih oleh rungu Jasmine.

Dengan jarak yang semakin dekat, sulit untuk Jasmine berkata bahwa ia biasa-biasa saja.

Apalagi setelah matanya menangkap kedua lensa Juan menyorot tubuhnya dari atas hingga bawah.

Jasmine yang memakai setelan olahraga biasa berwarna hitam, tanpa lengan serta celana press body selutut itu mengerjap cepat, mencoba mencerna apa yang sedang berlangsung di sana.

"Memangnya aku cantik sekali, ya?" tanya Jasmine dengan berani.

Bersamaan dengan kalimat itu berakhir Juan kembali mengambil satu langkah maju, yang mau tak mau membuat Jasmine ikut mundur selangkah. Menjadi lebih waspada.

"Hm, sangat cantik," ucap lelaki itu ringan.

Sekali lagi Jasmine tertegun.

Namun ketika Juan kembali bergerak mendekat kearah Jasmine dengan sinar mata seperti sebelumnya, Jasmine tak lagi mengambil langkah mundur, ia memilih diam di tempat.

Membiarkan tubuh tinggi pria itu sampai di depan tubuhnya persis. Jasmine bahkan bisa mencium aroma musk seperti waktu itu. Menikmati intimidasi dari pria yang tengah menatap mata serta bibirnya bergantian.

Ia yakin ini bukan firasat semata, Jasmine paham betul Juan sedang mempermainkan dirinya.

Maka ketika Juan merendahkan wajah perlahan, membuat puncak hidung mereka bersinggungan, hingga Jasmine dapat menghirup bau segar mint dari mulut lelaki itu, Jasmine dengan cepat berucap. "Ingat istrimu di rumah. Aku nggak tertarik buat jadi simpananmu."

Waktu itu, mereka diam sebentar. Mempertahankan celah kecil di antara bibir serta hidung yang telah bertemu.

Juan tidak langsung menjauh, lelaki itu sempat memandang mata Jasmine dua detik lamanya sebelum mengambil satu langkah ke belakang. Menggaruk kening menggunakan telunjuk sebelum jemari panjangnya ia gunakan untuk menyugar rambut.

"Memang kapan tepatnya aku bilang mau menjadikanmu simpanan?" Lelaki itu terkekeh. "Aku mau kamu jadi model, bukan simpananku, tidak ada niatan untuk itu sama sekali."

Berhasil.

Pada titik ini, Juan berhasil membuat ego Jasmine tersentil.

Gadis itu berdecih tak suka, ia membenci dirinya sendiri karena tak mampu melayangkan pukulan bahkan setelah Juan mengutarakan kata yang menyakitkan. Bahkan perkataan Juan melecehkan harga dirinya sebagai wanita.

"Aku sudah bilang tidak tertarik," desis Jasmine pelan, pendar matanya sudah menghilang, terganti dengan selapis air menyerupai kaca bening. "Kalau kamu nggak tuli harusnya kamu berhenti menggangguku!"

Jasmine terlihat marah sekaligus terluka.

"Kamu punya banyak sekali perubahan ternyata," ujar Juan.

Padahal, bukan hanya Jasmine yang berubah, Arjuan pun sama.

Juan memutar bola mata, melirik jam tangan di pergelangan tangan sebelum menatap Jasmine lagi. "Tenangkan dirimu, tidak usah emosi cuma karena percakapan yang bahkan tidak ada bobotnya."

Jasmine masih berdiri tegak.

Jangan tanya kondisi hatinya sekarang, karena Jasmine bahkan tak tau bagaimana cara mendeskripsikan gaduh yang Juan buat.

"Aku memang berubah, bahkan lebih dari yang terlihat. Jadi kalau kamu memang mau keinginanmu terpenuhi, jangan pernah sekalipun hadir kembali," ancam Jasmine. "Karena aku bisa lebih nekat dari yang kamu bayangkan."

Juan tersenyum. Jasmine mungkin sudah berkali-kali bilang bahwa ia benci senyum itu.

"Just take it. Karena kamu tahu, bahkan setelah mendekat padamu sedekat itu jangan harap akan ada debar menggelikan. Sudah kubilang bahwa perasaanku telah mati, bukan? Jadi ambil saja tawarannya, dan jangan libatkan perasaan salam hal ini."

__

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Candta Nugroho
bagus lanjut doong
goodnovel comment avatar
Kharem Nisya
nunggu Lanjutannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status