Share

Chapter III : Keluarga

              Mentari seperti bola putih besar yang perlahan menguning. Diperjalanan menuju rumah, Nana merasa iba dengan apa yang dirasakan Lea. Ini adalah pertama kalinya bagi Nana mendapat perasaan iba seperti ini. Biasanya dia sama sekali tidak peduli dengan orang-orang sisekitarnya kecuali keluarganya. Biasanya dia hanya memiliki sifat keras yang tak ada satupun boleh menyainginnya. Namun, kali ini berbeda. Dia merasakan perbedaan kelas yang terlalu jauh yang bahkan dia tidak mampu untuk iri terhadap hal tersebut.

Hatinya gusar, Lea masih terus menerus menangis dan memeluk boneka kotor itu.

Brakkk

Tiba-tiba boneka beruang itu melayang kearah bangku depan mobil dengan sangat cepat. Segudang perasaan yang tak dirasakan Nana, kini semakin nyata. Setiap panca indranya perlahan-lahan menarik dirinya untuk terus peduli dengan sikap Lea. Dia bahkan merasa bersalah atas apa yang dia lakukan pagi tadi.

“ Boo-oneka , Boo-onekanya mengeluarkan lipan!” jerit Lea.

Suara tangis bercampur dengan nada takut. Kebingungan menyelimuti Nana, dia sama sekali melihat sikap Lea yang sangat berbeda dari sebelumnya.

“ Kita sudah sampai!” ucap Nana dengan tegas.

Dia keluar dari mobil dan menuju kearah pintu mobil Lea, tangan kasar Nana secara perlahan membukakan pintu mobil Lea, dan membantu Lea yang menangia keluar dari mobil.

Setelah keluar, bagaikan kilat Lea berlari menuju kamarnya. Pak Joko dan istrinya sangat takut melihat kejadian tersebut. Bagaian seember air yang ditumpahkan diatas batu, kini pertanyaan tetumpah kepada Nana.

“ Anakku, apa yang terjadi?” tanya Pak Joko sopan.

“ Maaf ayah, aku hanya membantunya mencari bukti, namun dia menangis saat melihat boneka.” Ujar Nana pelan.

“ Cukup Nana, jujur kamu!” tegas ibunya.

“ Apa mungkin ini ada kaitannya dengan pagi tadi?”

“ Jelaskan pada Ibu!” suara itu menggelegar ditelinga Nana.

Dari sudut pandang manapun, dia pasti disalahkan atas kejadian ini.

“ Benar, aku tidak melakukan apapun ibu. Tadi pagi hanyalah kesalah pahaman saja.” Balas Nana,

Pak Joko mempertanyakan maksud ucapan yang dilontarkan Nana, dia juga ikut bingung dengan perkataan Nana. Nana menjelaskan apa yang telah dia lakukan pagi tadi terhadap Lea, dia juga membela dirinya bahwa kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan pertemuan mereka sebelumnya.

Bu Joko berjalan mendekati Nana dan memeluk anaknya, “ Nana, kamu sudah berjanji untuk tidak menunjukkan sikap aroganmu lagi semenjak SMK. Ibu tidak habis pikir juka kamu mengulangi kesalahan yang sama. Ibu harap kamu berhenti membulli siapapun dengan kekuatanmu.” Bu Joko tidak tega jika dia harus memukul anaknya. Dia malah memeluk dan membelai rambut anak sulungnya tersebut.

“ Hentikan prilaku burukmu. Kita hanyalah keluarga miskin” sambung ibunya kembali.

Langit seakan-akan runtuh, kalimat itu membuat jiwa Nana bergetar. Hampir-hampir dia ingin menuauk dadanya dengan pisau.

“ Tidak….. tidak Ibu. Kita bukan orang miskin. Kita hanya perlu berusaha sedikit lagi. Jadi, tolong jangan pernah ucapkan kata-kata itu.” Tegas Nana, dia melepas rangkulan ibunya.

“ Sial!!” jeritnya, lalu berlari kekamar yang disediakan untuknya.

Nana memiliki trauma dengan kata-kata miskin, seluruh hidupnya penuh dengan penderitaan dan kesusahan. Hingga dia beranjak SMP. Disaat itu pula ayahnya menjadi supir tuan Rebin yang baik hati dan kehidupan mereka berubah menjadi sedikit  lebih baik. Hanya saja trauma kemiskinan dan penindasan orang-orang disekitarnya terdahulu, menjadikan dirinya memiliki ambisi yang besar untuk menindas siapapun yang jauh lebih baik darinya. Dia sangat membenci itu, itulah salah satu sebab dia menyerang Lea. Karena iri hati.

Rebin membiayai sekolah Nana, bahkan Rebin memasukkan Nana kekursus Taekwondo. Bukan main, Nana memanglah gadis berprestasi. Sebab itupula, dia mendapat beasiswa penuh dari Rebin untuk dapat berkuliah di Winsterlang. Salah satu universitas terbaik di kota itu. Dengan cepat Nana mampu menjajaki namanya menjadi salah satu mahasiswi kebanggaan kampus. Namun, sikap buruknya tidak mampu ia hilangkan.

Akal Nana terbentur dengan sikap aneh yang ditunjukkan oleh Lea, dia merasa sedikit heran dengan perubahan emosional yang drastis. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat sesosok gadisSeperti itu.

“ Apa aku mengunjunginya saja?” besitnya dihati.

Dikamar, Lea masih menangis tersedu, dia mengingat masa lalunya dengan tajam. Meskipun dia mengalami short memory, tapi dia tidak mampu menghilangkan kenangan buruk tersebut.

“ Sayangku, sudahlah. Kami berada disini.” Ucap Callista menenangkan. Dia membelai rambut kusut Lea.

“ Iya, tenanglah. Setidaknya, kita tahu kalau Jevanya ( cara membaca llevaña ) pelakunya.” Sahut Amanda.

Mereka seakan-akan bergiliran menenangkan Lea, mata indah Lea mulai sedikit sembab. Dia mulai mengusap air matanya.

Knock knock

Pintu diketuk, Lea menyuruh Callista untuk membantunya membukakan pintu. Dengan senang hati Callista berdiri dan membukakan pintu.

Terlihat seorang gadis berdiri, dia adalah Nana. Lea menyuruh Nana masuk dengan tenang.

Lagi-lagi Nana tersentak kaget dengan pemandangan itu. Dia berjalan mendekati Lea dan mencoba meminta maaf atas apa yang terjadi sebelumnya. Teman-teman Lea sedikit kesal melihat Nana, namun Nana seperti mengabaikan tatapan sinis tersebut.

Diluar langit mulai mendung, waktu sudah menunjuki pukul tujuh malam. Sudah hampir tiga jam Lea menangis tanpa henti. Hal itu membuat Nana khawatir, sehingga dia memutuskan mengunjungi Lea.

Dan hatinya cukup tenang saat ini, ketika Lea sudah mulai membaik. Nana mendekati Lea dan mencoba duduk disampingnya. Tapi, tiba-tiba saja Lea menerjang Nana, hingga membuat Nana terjatuh.

“ Uh Maaf. Aku tidak bisa mengontrol emosiku.” Ucap Lea.

Betapa terkejutnya Nana, mendapat swrangan kejutan itu. Untungnya, dia mampu menahan kejatuhan tubuhnya.

“ Tidak masalah Lea.” Balas Nana, “ Syukurlah kau sudah bisa bicara dengan normal” aambung Nana kembali.

“ Ya, apa kau sudah berkenalan dengan sahabatku.” Sahut Lea.

“ Ah, eh belum. Kalau begitu, perkenalkan aku Nana.” Sahut Nana ramah, dia juga tersenyum ceria.

“ dasar Jalang. Aku callista” ucap Callista,

Tatapan Nana sinis, saat mendengar ucapan Callista.

“ Haha.. kau pasti kesal dengan yang kubuat tadi pagi ya? Maafkan aku Callista.” Balas Nana, dia mencoba mengontrol emosinya.

Tubuh Nana berkeringat hebat, wajahnya juga sedikit gugup saat berkenalan dengan Callista.

“ Aku, panggil aku Valencia” sahut Valencia dengan nada datar dan tegas. Nana hanya membalas dengan senyum.

“ Aku Grace” ucapnya lembut. “ Aku Rose” sambung Rose. “ Aku Amanda, namamu Nana? Itu nama yng tidak terlalu buruk” sapa Amanda.

Nana hanya mengangguk.

“ Oh iya dan satu lagi.” Sahut Lea menunjuk kearah Veronica.

Pandangan Nana tertuju kearah jari Lea, “ Aku Veronica, salam kenal” sapa Veronica.

“ Ah, salam kenal semua. Kalau begitu aku pamit ya. Aku harus membantu ibu menyajikan makan malam” balas Nana.

Dia dengan cepat keluar dari kamar Lea, kepala Nana sedikit sakit atas perkenalan sebelumnya. Dia berjalan menuju ke ayahnya dan ingin menyampaikan apa yang ia ketahui tentang Lea.

“ …..A” sahutnya, namun Pak Joko dengan cepat memotongnya.

“ Anakku, bantulah ibumu membawa seluruh hidangan. Dan tolong diambil enam piring lagi, untuk temannya nyonya Lea.” Lugas ayahnya memotong, Pak Joko tampak menyiapkan piring dan enam buah kursi tambahan untuk teman Lea.

Nana hanya mendengar ucapan ayahnya dan mencoba melupakan apa yang ingin dia sampaikan. Dia juga merasa aneh dengan ayahnya.

Lalu, Nana membantu ibunya didapur dan mencoba mengantar hidangan menuju keruang tengah.

“ Selamat Makan!!” jerit semua penghuni rumah yang telah berkumpul diruang makan.

Pemandangan yang membahagiakan, sekaligus menyenangkan. Lea tampak menyuruh teman-temannya menikmati hidangan yang disajikan Pak Joko dan istrinya.

Raut dan ekspresi keluarga Pak Joko juga ikut senang melihat keceriaan Lea yang telah kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status