Share

Chapter IV : Perginya Callista.

              Ring ring….

Terdengar pelan musik dari nada dering ponsel milik Pak Joko. Dia meletakkan sendok yang dia pegang dan mulai merogoh kantung miliknya. Tatapan matanya terlihat sangat fokus, dia mengangkat ponsel itu dengan wajah yang bercampurkan seluruh emosi. Di luar hujan mulai turun, Pak Joko mengangkat ponselnya dan izin untuk menjauh dari meja makan.

Lea memfokuskan kedua matanya, dia memandang kearah Pak Joko. Hatinya menduga bahwa itu pasti panggilan dari Rebin.

“ Ya, sangat baik Tuan. Nyonya Lea bahkan membawa teman-temannya kemari dan ikut tinggal dirumah bersama kami.”

“ Oke Tuan, Sama-sama. Seharusnya saya yang berterima kasih.” Balas Pak Joko.

Panggilan terputus, Pak Joko kembali ke meja makan. Tidak beberapa lama kemudian ponsel Lea yang diletak di atas meja makan berdering. Mata Lea tertuju kembali kelayar ponselnya.

“ Sudah kuduga, ini dari Paman Rebin” besitnya dalam hati.

Lea mengangkat panggilan telepon dari Rebin dengan hati yang lapang.

“ Baik Paman, Paman sendiri bagaimana keadaannya?”  

“ Syukurlah. Oh Paman mau kenalan dengan temanku. Bentar ya, aku berikan ponselku kemereka.”  Jawab Lea.

Bu Joko terlihat berbicara kepada anaknya yang paling kecil. Entah alasan apa, dia beranjak menjauhi meja makan bersama anaknya dan menuju kekamar.

“ Loh Bu? Mau kemana?” tanya Lea yang masih merapatkan ponsel ditelinganya.

Bu Joko memberikan penjelasan, bahwa anaknya sedang sakit perut dan harus kekamar mandi.  Lea hanya mengangguk dengan senyum. Pak Joko hanya bisa tertunduk, begitu pula Nana, sedangkan adik Nana yang bernama Royan, hanya asyik makan sembari bermain ponsel.

“ Hallo Paman. Selamat malam ini aku Amanda, teman Lea. Paman jangan khawatir, kami pasti akan menjaga Lea. Dahhhh” sahut Amanda. Dia memberikan ponse itu1 kembali kepada Lea. Amanda tidak mau berlama-lama berbicara, kalimatnya singkat nan jelas dengan nada yang tidak membuat orang khawatir.

Lea mengambil kembali ponsel miliknya, dan melanjutkan perbincangannya dengan Rebin, dia berbohong tentang keadaan dirinya dikampus tadi pagi. Dia berkata bahwa hari ini sangat menyenangkan dan menghibur hari-harinya, dia juga menjelaskan bahwa anak Pak Joko yang bernama Nana adalah gadis yang baik dan ramah. Malam itu menjadi sangat panjang, Lea berbicara kepada Rebin seperti seorang anak yang sangat dekat dengan ayahnya. Ada hampir satu jam dia berbicara bersama Rebin sembari menyantap hidangannya, hingga Rebin izin untuk menutup teleponnya.

Bu Joko kembali setelah Lea menutup teleponnya, setelah itu mereka membereskan meja makan dan mulai menghabiskan malam dikamar masing-masing.

Lea terlihat duduk dan termenung diatas bangku dihadapan meja belajar miliknya, dia melihat kembali beberapa lembar koran tua yang tertempel di dinding sebelah meja balajarnya. Jari-jemari Lea mulai mengidentifikasi buku yang ingin dibacanya malam ini.

Blarrr

Petir menyambar kuat, malam semakin larut dan hujan yang menyertai semakin ganas. Jari telunjuk Lea terhenti disebuah buku tebal dengan memiliki sampul hardcover yang bertuliskan “ Ensiklopedia Kerajaan-kerajaan Nusantara”, buku itu merupakan buku yang hanya terdapat diperpustakaan nasional, namun karena Rebin memiliki pengaruh yang besar, dia diperbolehkan untuk menyalin buku itu sesuka hatinya.

Meski sedikit bingung, tapi Lea tetap mengambil buku itu dan mencoba membacanya. Tangannya terlihat merogoh laci dan mengambil kacamata baca miliknya.

“ Ensiklopedia Kerajaan-kerajaan Nusantara. Jilid tiga.”

“ Hemm, tidak buruk.” Ucap Lea.

Dikamar Lea sangat senyap, teman-teman Lea seperti tahu bahwa saat Lea membaca, mereka tidak boleh berisik dan mengganggunya. Lembar demi lembar dia baca secara lirih dan seksama, kurang lebih setelah satu jam membaca, dia mulai menutup buku tersebut dan mengambil buku lainnya. Kali ini, dia mengambil kita Al-bidayah wa An-Nihayah : Karya Ibnu Katsir. Jika menerjemahkan artinya maka buku itu berjudul Permulaan dan Akhir atau Permulaan hingga Akhir. Itu buku menjelaskan tentang awal mula penciptaan langit dan bumi dan segala perangkat yang didalamnya hingga kisah para nabi yang bahkan menjelaskan nabi-nabi yang diluar dua lima nabi. Setelah membaca buku itu Lea terlihat sedikit merasa tenang.

Lea menyimpulkan dari kedua buku yang memiliki tajuk sejarah itu, bahwa orang-orang terdahulu hingga sekarang itu terlihat sama dan tidak pernah berubah. Hal itu terjiplak dikepalanya dengan sangat erat saat mengetahui beberapa kisah kaum-kaum yang memberontak para utusan Tuhan sepanjang tahun-tahun yang dialami pada zamannya, juga begitulah yang dia simpulkan dari buku Ensiklopedia kerajaan-kerajaan Nusantara.

Manusia selalu memonopoli kehidupan hanya untuk memuaskan hasrat pribadinya, semua diiringi oleh ketamakan dan rasa bangga yang berlebihan. Dan sifat itu adalah sifat yang dari dulu sudah ada. Satu hal yang berubah hanyalah penempatan nama. Jika dulu mereka tidak mengenal Internet sebagai gudang ilmu namun sebagai gantinya mereka memiliki teknologi yang memadai dizaman itu sebagai pengganti internet, seperti buku dan hal lainnya. Meski keduanya adalah hal yang cenderung berbeda, namun itu memiliki akar yang sama. Begitu pula tempat pelacuran yang namanya selalu berubah seiring zaman berganti.

“ Ya, bukannya motif pembunuhan kedua orang tuaku hanya sifat umum pada manusia?” ujarnya sendiri.

Pemikiran Lea cukup jauh, dia mencari refensi tentang insiden masa lalu yang dia alami dengan mencari sifat dasar manusia itu terdahulu. Dia mencocokkan kecenderungan itu hanya untuk mendapatkan motif asli pembunuhannya.

“ Iri hati” hanya itu yang keluar dari mulut Lea.

Meski aspek sebenarnya sangat luas, namun Lea mengenyampingkan sebagian isi bukunya dan hanya berfikir sampai disana.

Waktu membaca Lea berakhir, malam itu banyak sekali ilmu yang Lea cerna. Dan sekarang dia mulai menghampiri teman-temannya yang diatas kasur pribadi miliknya, dia berbaring sembari menatap langit-langit kamar miliknya.

“ Mungkin kau perlu membaca Al-Muqadimmah” ujar Grace kepada kepada Lea.

Lea hanya sedikit senyum tanpa mengalihkan tatapannya dari langit-langit rumah,

“ Menurutmu, buku itu bagaimana?” tanya Lea pada Grace.

“ Hemm, buku itu mengandung segala unsur kemanusiaan. Cocok jika kau ingin melihat sudut pandang tentang manusia lebih jauh. Karena penulisnya sendiri merupakan orang yang sangat cakap dalam berkomunikasi dan mengerti peradaban manusia secara umum. Bagaimana tidak? Dia bahkan seorang penjelajah seperti Vasco da Gamma atau siapapun yang kau kenal.” Jawab Grace, dia mengalihkan pandangannya dan menarik selimut.

Ya, itu rekomendasi buku yang sangat baik menurut Lea. Lea mulai memejamkan matanya dan berharap dia mendapatkan mimpi yang sangat indah, lebih indah dari sekedar tidur ditumpukkan sutra sembari mendengar percikan air yang mengalir.

Hati Nana bergemuruh malam itu, dia masih tidak bisa berfikir jernih tentang apa yang telah terjadi hari ini. Satu hal yang pasti, dia berniat untuk memperbaiki dirinya dan mulai hidup jauh dari iri hati. Dia merasa sangat rugi jika potensi yang dimilikinya harus hilang karena kedunguannya terhadap akhlak dan perilaku.

Hari ini menyadarkannya bahwa manusia memiliki beraneka ragam rupa dan bakat alaminya sendiri yang bahkan orang lain tidak miliki. Dan itu yang membuat kalau sesuatu itu tidak boleh direnggut begitu saja.

“ Huft, kamar ini cukup besar bagiku. Tuan Rebin benar-benar penyelamat” ucapnya lirih hingga dia terbenam oleh bisikan manja dari alam mimpi.

Suasana sangat memaksa siapapun untuk tidur malam ini, bahkan suasana dinginnya menegaskan bahwa akan indah jika kau tidur dengan pasanganmu saat itu.

Cuaca memang sedang tidak normal belakangan ini, pada akhirnya badan prakiraan cuaca hanya mampu memprediksinya saja, tidak lebih. Padahal sebelumnya, jelas-jelas tertera bahwa malam ini akan cerah.

Kring….. Kring

Pukul 04.00 pagi. Hujan masih belum berhenti, suara alarm tidak terdengar kuat ditelinga Lea. Namun, karena kebiasaannya bangun pukul 04.00, dia seperti mendapatkan sentakan keras saat itu. Tubuh dan otaknya seakan-akan telah merespon bahwa dia harus benar-benar bangun sekarang.

Lea menatap teman-temannya yang tidur,  hanya satu yang terjaga kala itu yaitu Callista. Dia kini telah mengambil posisi duduk dibangku dihadapan meja belajar, sebelumnya bangku itu adalah bangku yang dia duduki. Melihat Callista yang terbangun mendahuluinya, Lea kemudian tidur kembali.

Callista sedang melatih tulisan tangannya, dia menulis aksara Jawa dan beberapa aksara asing. Callista memang menyukai sastra dan bahasa. Dia bahkan menguasai setidaknya empat bahasa yang lumayan sulit seperti Rusia, Arab, China, dan Vietnam. Juga menguasai bahasa internasional yaitu inggris.

Terdengar lirih suaranya menghafal kosakata dan terkadang dia mencatatnya, kali ini dia benar-benar ingin mempelajari bahasa ibunya, yaitu bahasa Jawa.

Ayah Callista adalah campuran Belanda-Indonesia, hal itu yang membuat Callista terlihat sekilas seperti orang Eropa. Dia berniat akan mempelajari bahasa belanda setelah dia bisa berbicara Jawa dengan Pak Joko. Sebelumnya, Callista mengamati Pak Joko dengan Joanita sedang berbincang menggunakan bahasa Jawa, hal itu membuat Callista bersemangat untuk memperdalam bahasa Jawa.

Satu hal yang menjadi motivasi Callista, yaitu ‘ Bahasa merupakan peradaban dunia, jika tidak ingin tertinggal maka kuasailah setidaknya satu bahasa asing ataupun bahasa ibumu.’

Asyik menulis, Callista tanpa sengaja melihat tempelan dari koran-koran tua di dinding sebelah meja belajar. Dia kembali teringat tentang penderitaan yang di alami oleh Lea. Callista berdiri dan mencoba mendekatkan kepalanya kearah koran-koran itu. Dia perlahan membaca dan mencermatinya, kecurigaan menyelimuti hati Callista, dia semakin penasaran dan mengambil ponsel miliknya. Kini, dia berselancar bebas di internet hanya untuk sepotong informasi tentang sahabat dekatnya itu.

Menurut pengamatan Callista semua sudah sangat jelas, seluruh bukti dan media tertuju pada seorang gadis kecil yang tidak lain adalah Lea itu sendiri. Dia melihat bahwa isi berita itu sedikitpun tidak ada yang aneh, dan investigasi polisi yang dia baca sangat wajar dan bisa dibilang sangat logis.

Namun, Callista tidak ingin Lea mengetahui fakta bahwa Lea yang memang membunuh kedua orang tuanya. Daripada memberitahu, Callista malah menyembunyikan informasi itu dan membiarkan Lea menguak jati diri miliknya sendiri.

Tapi, dari boneka yang di antar Nana kekamar Lea menunjukkan bahwa ada seorang gadis kecil lain yang terlibat di tempat kejadian perkara saat itu. Callista berjalan dan mengambil boneka yang tergeletak disebelah pintu kamar.

“ LLEVAÑA”

Begitulah pola yang tercabik diatas tubuh boneka sedang itu, Callista merasa aneh. Biasanya pengamatannya tidak pernah salah. Dia yakin bahwa investigasi dan penyelidikan polisi sangat tepat dari media yang dia baca. Namun, sesuatu yang janggal terjadi begitu saja, kini Callista mulai mencari tahu siapa Jevanya sebenarnya. LLEVAÑA sendiri merupakan nama yang cara membacanya menggunakan dialek Espanyol. Double L dalam bahasa Spanyol dibaca ‘J’ dan Ñ dibaca ‘ Ny’, jadi  LLEVAÑA dibaca menjadi Jevanya. Nama itu dihafal mati oleh Callista, tidak peduli dengan hujan yang menimpanya. Dia mengambil beberapa sepotong Jacket kulit milik Lea dan mengenakannya. Dia berjalan perlahan dan mulai keluar dari rumah Lea dengan Jacket yang telah diselimuti Jas. Callista memiliki fisik yang hampir mirip dengan Valencia dan Lea, dia memiliki tubuh yang atletis dan stamina yang kuat. Entah apa yang dipikirkan Callista, namun dipukul 04.00 lewat sedikit itu, dia meninggalkan rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status