Para saksi yang menyaksikan pernikahanku dengan Den Abimanyu mengucapkan Alhamdulillah. Tak jauh dariku Ibu ikut menyaksikan proses ijab kabul dengan memandangku dengan tatapan sayu. Jarak kami hanya satu hasta saja sehingga dengan jelas aku bisa menyaksikan wajah Ibu. Sudut matanya terlihat mengembun menyaksikan pernikahanku dengan Den Abimanyu.
Setelah kata sah terucap Pak Penghulu memerintahkan Den Abimanyu untuk menyematkan cincin belah rotan di jari manisku. Lelaki bertubuh tegap itu hanya mengangguk sembari menyematkan cincin pernikahan di jariku. Setelah itu ia mengalihkan pandangannya tanpa menatap wajahku yang bersanding di sebelahnya.Cincin pernikahan sudah tersemat di jari manisku. Lalu, aku meraih tangan Den Abimanyu yang sedari tadi wajahnya dingin tanpa ekspresi lebih tepatnya mirip dengan bongkahan es batu yang ada di Kutub Utara. Kucium dengan takzim punggung tangannya yang lebar bagai suhu es batu terasa dingin.Tidak ada kecupan di kening layaknya pasangan pengantin yang baru menikah. Lelaki berhidung mancung dan beralis tebal itu malah menarik tangannya dari genggamanku. Lalu, memalingkan wajahnya dengan sorotan mata yang memerah. Kabut-kabut yang memenuhi kelopak mataku kini mulai mengembun. Bagai rintik-rintik hujan airmataku turun meluruh begitu saja. Detik ini juga aku sadar siapa diriku di matanya. Apalah artinya Salma di depan Den Abimanyu. Tak lebih perempuan kampung yang menumpang hidup di kelurganya. Wanita yang tidak perlu ditanya apakah Salma bahagia dengan pernikahannya ataukah sedih. Aku hanya dipaksa harus menerima tanpa bisa menolak karena tidak punya pilihan.***Malam ini menjadi malam pengantin pertamaku bersama Den Abimanyu. Aku di tempatkan di dalam kamar atas jauh dari kamar Nyonya Nadia. Kamarku yang sekarang lebih baik dari kamar pembantu yang aku tempati kemarin. Ranjang empuk dengan ukuran besar dihiasi kelopak mawar sudah dipersiapkan menyambut malam pertama. Ada meja jati berukuran kecil, lemari ukir yang indah dan juga kaca hias yang sudah tertata rapi dengan berbagai alat kecantikan. Jendela kamar pun sudah dipasang kain gorden yang diikat bergelombang dengan pita kupu-kupu berwarna ungu.Malam ini menjadi istimewa karena aku menjadi Ratu sehari seperti cerita dalam dongeng anak-anak sebelum tidur. Seprei dengan rumbai-rumbai yang menjuntai telah ditata apik dengan aroma kasturi.Kuayunkan kakiku menuju ranjang pengantin. Kuhempaskan tubuhku di atas seprei merah muda. Kuletakkan kerudung satin berwarna putih yang tadi dipakai untuk akad nikah di sebelahku. Pikiranku melanglang buana hingga tak terasa buliran dingin jatuh membasahi pipiku.Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Bayangan Den Abimanyu tak juga kunjung datang ke kamarku. Di luar sayup-sayup kudengar suara kegaduhan. Aku beranjak bangkit memberanikan diri untuk keluar melihat apa yang sudah terjadi."Ngapain keluar, Nduk? Pamali tahu seorang gadis keluar di saat menyambut malam pengantinnya." Suara Ibu menghentikan langkahku. Aku terkejut dan menoleh ke arahnya. Entah sudah sejak kapan ia berdiri di belakangku menepuk bahuku dengan pelan."Ada apa ribut-ribut di luar, Bu?" tanyaku penasaran. "Ndak ada apa-apa, Nduk. Lebih baik kamu diam saja di dalam tunggu suamimu datang," kilahnya menyembunyikan sesuatu. Wanita berkulit sawo matang itu gugup menyembunyikan sesuatu."Ibu katakan dengan jujur apa yang terjadi. Apakah Den Abimanyu dan Nyonya Besar Kinanti bertengkar?""Ibu ndak tahu, Nduk. Sudahlah jangan dibahas lagi. Ibu capek mau tidur."Sebelum Ibu berlalu dari hadapanku, sempat kulihat matanya basah dan menitikkan airmata. Mungkin saja barusan Ibu mendengar pertengkaran Den Abimanyu dengan nyonya besar yang menyakiti perasaannya."Maafkan Salma, Bu. Salma sudah buat Ibu sedih dengan pernikahan ini. Salma janji akan belajar ihklas menerima takdir Gusti Allah," ucapku memeluknya dari belakang.Ibu tak bergeming.
Kurengkuh tubuh wanita kurus itu dari belakang dan membisikkan kata-kata ihklas. Mungkin Ibu merasa kasihan melihat derita yang aku alami sekarang karena tidak sebanding dengan apa yang ia alami.
Wanita yang sering disakiti suaminya itu pun menangis di pundakku dengan sesunggukkan sembari terisak. Tidak ada seorang Ibu di dunia ini yang tidak sedih bila menyaksikan buah hatinya terbelenggu tanpa daya. Usaha Ibu yang membawaku ikut bekerja, menjadikan aku terjerat dalam ketidak berdayaan tanpa pilihan.
Setelah tangisan Ibu reda ia pun pergi melangkah dengan gontai. Pemilik mata bulat itu tersenyum ke arahku dengan tatapan sayu. Melihat Ibu bersedih hatiku terasa hancur dan tersayat-sayat bagai sembilu.Maafkan anakmu, Ibu. Aku pun sama tak berdayanya dengan dirimu. Andai aku boleh bertanya kepada sang pencipta mengapa harus kita yang menjalani takdir ini. Bukankah masih banyak di luar sana wanita yang lebih cantik dan sederajat dengan Den Abimanyu yang bisa dijadikan istri? Duh, Ibuku sayang, diriku pun malang.Ya, aku menagis lagi. Mungkin orang akan mengatakan aku wanita cengeng karena itulah sebutan yang pantas untukku. Hidupku tak ubahnya seperti buih dalam lautan hanya dipermainkan ombak yang bergelombang.Tiba-tiba bayangan Nyonya Nadia terlintas dalam benakku sedang marah dan memakiku. Mungkin jika sekarang ia ada di sini sudah menjambak-jambak rambutku hingga rontok dan memakiku dengan kata-kata kasar. Menurut berita yang aku dengar Nyonya Nadia dikirim ke luar negri untuk liburan selama pernikahan ini dilangsungkan."Tidurlah! Aku juga lelah mau istirahat," ucap Den Abimanyu berbaring di sebelahku. Lelaki yang dingin seperti Kutub Utara itu sedikit pun tak menoleh ke arahku saat berkata. Matanya hanya terpejam tanpa membuka baju kemeja yang ia pakai tadi saat proses pernikahan.Aku berpikir kalau Den Abimanyu sangat membenciku. Andai boleh aku meminta maka akan kukatakan padanya sekarang agar mau menceraikanku detik ini juga. Untung aku ingat nasehat Ibu tadi agar belajar ihklas menerima takdir. Andai aku bisa mengeluarkan suara maka sudah dipastikan aku akan menjerit histris.Mataku tidak bisa terpejam meski berbaring di ranjang yang empuk dan nyaman. Pikiranku masih terbayang wajah Ibu yang menatapku dengan sayu.Di sebelahku Den Abimanyu sudah tertidur dengan pulas. Dengkuran halus terdengar saat ia tertidur. Sedikit pun aku tidak bisa memejamkan mata meski berulang-ulang kali aku mencoba memaksanya."Kenapa belum tidur?" tanya Den Abimanyu. Suaranya terdengar serak.Aku tak berani menatap manik hitam miliknya. Suara desahanku karena tidak tidur telah membuatnya terjaga. "Ma, maaf, Den. Aku sudah menganggu istirahatmu," ucapku gugup. Kuremas bantal guling yang ada di sebelahku. Pandanganku menunduk tak berani menatap wajah tampannya."Aku akan pindah di sofa saja. Kamu tidur di sini. Mungkin kamu merasa canggung denganku. Besok jika Nyonya Besar Kinanti bertanya apakah kita sudah melakukannya atau belum kamu jawab saja sudah." Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya."Iya, Den," jawabku pelan.Den Abimanyu beranjak dari tempat tidur lalu menuju ke sofa membawa bantal. Di sana ia membaringkan tubuhnya dengan posisi telentang. Tidak seharusnya seorang majikkan tidur di sofa. Akulah yang seharusnya tidur di bawah.Tapi, malah Den Abimanyu yang tidur di sana. Mungkin Den Abimanyu merasa jijik menyentuhku karena apalah artinya diriku di bandingkan istrinya Nyonya Nadia. Aku hanya seorang pembantu dari kalangan bawah yang menikah dengannya karena ingin memberinya keturunan.
Jangan tanya apakah Den Abimanyu mencintaiku atau tidak. Kalian pasti tahu jawabannya. Lelaki Dingin itu bahkan melewatkan malam pengantin kami. Ia bersikap acuh dan tidak sedikit pun melirik ke arahku yang berada di sampingnya."Maaf, Den. Sebaiknya Den Abimanyu pindah saja di ranjang. Biar aku yang tidur di sini," ucapku mendekat ke arahnya.
Den Abimanyu membuka matanya."Jangan ganggu aku, Salma. Tidurlah di ranjang! Aku tidak mau diganggu," ketusnya.Kata-katanya dingin sama seperti sikapnya.
Lelaki bertubuh tegap itu malah mengusirku.Aku terkesiap dengan penolakkannya. Ia bersikap dingin seperti es batu. Jangankan menyentuhku, melirikku pun ia malas.Di sisi tempat tidur aku terisak. Bagaimana aku bisa memberinya anak jika Den Abimanyu tak pernah menyentuhku. Berdekatan denganku saja ia merasa jijik gimana kalau sampai melakukan hubungan denganku.
Aku hanya terisak tanpa mengeluarkan suara. Malam semakin larut, jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi dini hari. Mataku belum juga terpejam. ***Bersambung."Kau akan bercerai dengan Abimanyu dan terbebas darinya. Tapi … tidak boleh membawa Arkan." Nyonya Besar Kinanti berkata dengan nada tinggi.Sudah kuduga, perempuan angkuh itu pasti tidak akan pernah melepaskan kami begitu saja. Dia akan menggunakan kekuasaan, dan uangnya untuk memenjarakanku."Maaf, Nyonya. Keputusan saya sudah bulat. Saya tidak akan kembali pada Den Abimanyu."Nyonya Besar Kinanti murka, dia langsung berdiri menatapku tajam. Wanita angkuh itu tidak terima. Aku membawa keturunan keluarga Widodo."Sudahlah, Mami. Aku sudah memutuskan untuk menceraikan Salma." Den Abimanyu menimpali."Tidak. Salma tidak mungkin bisa membesarkan Arkan dengan baik. Mau dikasih makan apa cucuku." Ibu mertua berteriak.Dadanya bergemuruh menahan amarah. Jelas di netranya terlihat berapi-api, seperti akan m
"Maafkan, aku. Gara-gara aku kamu jadi terluka seperti ini." Aku tak berani menatap wajah Saka. Lelaki jangkung itu terbaring lemah di ranjang periksa.Sudah dua hari dia tidak berdaya, terluka karena tusukan pisau. Saka terluka parah, ketika beberapa preman melukainya."Tidak apa. Cinta perlu pengorbanan."Aku terdiam. Nyaliku tidak cukup kuat untuk sekedar bertanya pada Saka. Siapakah para berandalan itu, yang sudah membuatnya terluka. Meski beberapa kata-kata ingin berdesakan keluar, namun niat ini kuurungkan."Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Tidak ada. Aku hanya ….""Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.""Apa?""Kamu pasti ingin tahu siapa mereka yang sudah menyerangku, bukan?"Aku bergeming. Saka menatap ke arah kaca jendela. Dia dirawat di lantai atas. Tampak pemandangan di bawah sangat indah."Siapa mereka?""Prema
Setelah kejadian mengerikan itu, Den Abimanyu meminta rujuk, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku menyapu pandangan ke taman bunga yang terhampar di halaman depan. Dia berdiri di sana memakai balutan jas mahal."Ayo kita pulang Salma! Aku berjanji akan berbuat adil padamu." Kata Den Abimanyu. Dia menatapku dengan pandangan sayu."Maaf, Den. Aku tidak bisa kembali padamu." Suaraku tercekat di tenggorokan, menatap wajahnya yang lesu."Kenapa?""Aku lelah.""Haruskah ku buktikan padamu jika permohonanku ini serius. Sejujurnya aku tak bisa hidup tanpa kamu."Tidak kulihat senyumnya yang biasa terpancar, hanya wajah sendu dan mata yang berembun dengan buliran bening hampir menitik di kedua kelopaknya."Sudah kuputuskan, Den. Aku mundur dari pernikahan ini. Biarlah aku yang mengalah, mundur dari kehidu
Bagiku keputusan pergi dari rumah terkutuk itu adalah akhir sebuah kisah. Aku meninggalkan Den Abimanyu bukan karena tidak sayang. Hubungan ini sudah berakhir sejak lama setelah ia pergi bersama Nyonya Nadia.Kemarin ia masih bersamaku merasakan indahnya bersama mahligai cinta meski itu hanya satu malam merasakan sentuhan. Aku sudah tidak peduli dengan hatinya. Wanita berhati busuk itu sudah menguasai suamiku. Dia tidak ingin berbagi suami denganku yang derajatnya terlalu rendah sebagai babu.Disini aku dihargai layaknya seorang wanita yang sama derajatnya dengan mereka. Keluarga Saka sangat baik memperlakukanku. Merek menyambut kedatanganku bak seorang ratu."Selamat datang di istana kami, Salma," ucap wanita berparas cantik menyambut kami.Aku menoleh ke arah Saka yang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Lelaki itu hanya mengangguk hormat kepada ibunya.Lantai marmer putih menjadi sak
Aku sudah mempersiapkan semuanya untuk kabur dari rumah neraka ini. Aku akan pergi membawa Arkan bayi mungil yang baru dilahirkan beberapa minggu. Menghadapi sikap Abimanyu membuatku tak sanggup bertahan lebih lama."Bu, malam ini aku akan kabur lewat jalan belakang setelah semua para pelayan tidur dan penjaga gerbang juga tidur," ucapku lirih."Apa tidak sebaiknya kamu pikirkan dulu, Nduk. Ibu tidak mau kamu tertangkap dan akan mendapat hukuman dari Nyonya Besar Kinanti."Sepasang mata sembab ku menatap wanita tua yang duduk di tepi ranjang. Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Ibu sendiri di tempat ini. Aku tahu konsekuensinya bila kabur dari rumah ini. Jika sampai tertangkap maka hukumannya berat.Nyonya Besar Kinanti pasti tidak akan memaafkan bila ketahuan pergi dari rumah dengan membawa putra mahkota. Sudah bisa dipastikan hukuman sangat berat dan mendapat ganjaran yang setimpal.Tidak mungk
Aku tak ingin memupuk angkara, ingin lekas berpisah dari derita. Tidak ingin bertambah lagi bebannya.Membayangkan menjadi Cinderella? Pernah. Memang itulah diri ini yang beruntung dipersunting oleh lelaki yang tampan bak pangeran. Pekerjaan mapan, punya rumah dan mobil mewah juga penerus kekayaan tujuh turunan. Namun, ketika malam demi malam tersiksa sendirian dan tidur dengan kamar terpisah saat itu baru aku sadar. Aku tidak layak menjadi Cinderella layaknya putri dalam cerita.Tapi, keinginan itu bangkit kembali ketika hadirnya Arkan pangeran kecil dan dukungan dari Saka. Aku wanita tanpa kasta yang bersimpuh memohon perpisahan demi kebaikan semua. Kehadiranku di tengah rumah tangga Den Abimanyu hanya membawa malapetaka, pertengkaran dan kebencian Nyonya Nadia."Putuskan saja ikatan pernikahan ini, Den agar kalian bisa kembali seperti dulu seperti pasangan yang romantis."Pertahanan yang kumiliki selama ini