Share

Bab 4. Lelaki Dingin

Pak penghulu menjabat tangan Den Abimanyu. Seraya meminta Den Abimanyu untuk mengikuti kata-katanya. Menjabat tangan Pak Penghulu, lalu mengucap ijab kabul. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara kecuali hanya fokus memandang ke arah kedua mempelai.

"Saudara Abimanyu bin Cokro Widodo aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan Salma Wulandari binti Sastro dengan mas kawin emas sebesar lima puluh gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai."

"Aku terima nikah dan kawinnya Salma binti Sastro dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan satu tarikkan napas Den Abimanyu mengucapkan ikrar ijab kabul. 

"Bagaimana para saksi sah?" tanya  Bapak Penghulu.

"Sah."

Para saksi yang menyaksikan pernikahanku dengan Den Abimanyu mengucapkan Alhamdulillah. Tak jauh dariku Ibu ikut menyaksikan proses ijab kabul dengan memandangku dengan tatapan sayu. Jarak kami hanya satu hasta saja sehingga dengan jelas aku bisa menyaksikan wajah Ibu. Sudut matanya terlihat mengembun menyaksikan pernikahanku dengan Den Abimanyu.

Setelah kata sah terucap Pak Penghulu memerintahkan Den Abimanyu untuk menyematkan cincin belah rotan di jari manisku. Lelaki bertubuh tegap itu hanya mengangguk sembari menyematkan cincin pernikahan di jariku. Setelah itu ia mengalihkan pandangannya tanpa menatap wajahku yang bersanding di sebelahnya.

Cincin pernikahan sudah tersemat di jari manisku. Lalu, aku meraih tangan Den Abimanyu yang sedari tadi wajahnya dingin tanpa ekspresi lebih tepatnya mirip dengan bongkahan es batu yang ada di Kutub Utara.  Kucium dengan takzim punggung tangannya yang lebar bagai suhu es batu terasa dingin.

Tidak ada kecupan di kening layaknya pasangan pengantin yang baru menikah. Lelaki berhidung mancung dan beralis tebal itu malah menarik tangannya dari genggamanku. Lalu, memalingkan wajahnya dengan sorotan mata yang memerah. 

Kabut-kabut yang memenuhi kelopak mataku kini mulai mengembun. Bagai rintik-rintik hujan airmataku turun meluruh begitu saja. Detik ini juga aku sadar siapa diriku di matanya. Apalah artinya Salma di depan Den Abimanyu. Tak lebih perempuan kampung yang menumpang hidup di kelurganya. Wanita yang tidak perlu ditanya apakah Salma bahagia dengan pernikahannya ataukah sedih. Aku hanya dipaksa harus menerima tanpa bisa menolak karena tidak punya pilihan.

***

Malam ini menjadi malam pengantin pertamaku bersama Den Abimanyu. Aku di tempatkan di dalam kamar atas jauh dari kamar Nyonya Nadia. Kamarku yang sekarang lebih baik dari kamar pembantu yang aku tempati kemarin. Ranjang empuk dengan ukuran besar dihiasi kelopak mawar sudah dipersiapkan menyambut malam pertama. Ada meja jati berukuran kecil, lemari ukir yang indah dan juga kaca hias yang sudah tertata rapi dengan berbagai alat kecantikan. Jendela kamar pun sudah dipasang kain gorden yang diikat bergelombang dengan pita kupu-kupu berwarna ungu.

Malam ini menjadi istimewa karena aku menjadi Ratu sehari seperti cerita dalam dongeng anak-anak sebelum tidur. Seprei dengan rumbai-rumbai yang menjuntai telah ditata apik dengan aroma kasturi.

Kuayunkan kakiku menuju ranjang pengantin. Kuhempaskan tubuhku di atas seprei merah muda. Kuletakkan kerudung satin berwarna putih yang tadi dipakai untuk akad nikah di sebelahku. Pikiranku melanglang buana hingga tak terasa buliran dingin jatuh membasahi pipiku.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Bayangan Den Abimanyu tak juga kunjung datang ke kamarku. Di luar sayup-sayup kudengar suara kegaduhan. Aku beranjak bangkit memberanikan diri untuk keluar melihat apa yang sudah terjadi.

"Ngapain keluar, Nduk?  Pamali tahu seorang gadis keluar di saat menyambut malam pengantinnya." Suara Ibu menghentikan langkahku. Aku terkejut dan menoleh ke arahnya. Entah sudah sejak kapan ia berdiri di belakangku menepuk bahuku dengan pelan.

"Ada apa ribut-ribut di luar, Bu?" tanyaku penasaran. 

"Ndak ada apa-apa, Nduk. Lebih baik kamu diam saja di dalam tunggu suamimu datang," kilahnya menyembunyikan sesuatu. Wanita berkulit sawo matang itu gugup menyembunyikan sesuatu.

"Ibu katakan dengan jujur apa yang terjadi. Apakah Den Abimanyu dan Nyonya Besar Kinanti bertengkar?"

"Ibu ndak tahu, Nduk. Sudahlah jangan dibahas lagi. Ibu capek mau tidur."

Sebelum Ibu berlalu dari hadapanku, sempat kulihat matanya basah dan menitikkan airmata. Mungkin saja barusan Ibu mendengar pertengkaran Den Abimanyu dengan nyonya besar yang menyakiti perasaannya.

"Maafkan Salma, Bu. Salma sudah buat Ibu sedih dengan pernikahan ini. Salma janji akan belajar ihklas menerima takdir Gusti Allah," ucapku memeluknya dari belakang.

Ibu tak bergeming.

Kurengkuh tubuh wanita kurus itu dari belakang dan membisikkan kata-kata ihklas. Mungkin Ibu merasa kasihan melihat derita yang aku alami sekarang karena tidak sebanding dengan apa yang ia alami.

Wanita yang sering disakiti suaminya itu pun menangis di pundakku dengan sesunggukkan sembari terisak. Tidak ada seorang Ibu di dunia ini yang tidak sedih bila menyaksikan buah hatinya terbelenggu tanpa daya. Usaha Ibu yang membawaku ikut bekerja,  menjadikan aku terjerat dalam ketidak berdayaan tanpa pilihan.

Setelah tangisan Ibu reda ia pun pergi melangkah dengan gontai. Pemilik mata bulat itu tersenyum ke arahku dengan tatapan sayu. Melihat Ibu bersedih hatiku terasa hancur dan tersayat-sayat bagai sembilu.

Maafkan anakmu, Ibu. Aku pun sama tak berdayanya dengan dirimu. Andai aku boleh bertanya kepada sang pencipta mengapa harus kita yang menjalani takdir ini. Bukankah masih banyak di luar sana wanita yang lebih cantik dan sederajat dengan Den Abimanyu yang bisa dijadikan istri? Duh, Ibuku sayang, diriku pun malang.

Ya, aku menagis lagi. Mungkin orang akan mengatakan aku wanita cengeng karena itulah sebutan yang pantas untukku. Hidupku tak ubahnya seperti buih dalam lautan hanya dipermainkan ombak yang bergelombang.

Tiba-tiba bayangan  Nyonya Nadia terlintas dalam benakku sedang marah dan memakiku. Mungkin jika sekarang ia ada di sini sudah menjambak-jambak rambutku hingga rontok dan memakiku dengan kata-kata kasar. Menurut berita yang aku dengar Nyonya Nadia dikirim ke luar negri untuk liburan selama pernikahan ini dilangsungkan.

"Tidurlah! Aku juga lelah mau istirahat," ucap Den Abimanyu berbaring di sebelahku. Lelaki yang dingin seperti Kutub Utara itu sedikit pun tak menoleh ke arahku saat berkata. Matanya hanya terpejam tanpa membuka baju kemeja yang ia pakai tadi saat proses pernikahan.

Aku berpikir kalau Den Abimanyu sangat membenciku. Andai boleh aku meminta maka akan kukatakan padanya sekarang agar mau menceraikanku detik ini juga. Untung aku ingat nasehat Ibu tadi agar belajar ihklas menerima takdir. Andai aku bisa mengeluarkan suara maka sudah dipastikan aku akan menjerit histris.

Mataku tidak bisa terpejam meski berbaring di ranjang yang empuk dan nyaman. Pikiranku masih terbayang wajah Ibu yang menatapku dengan sayu.

Di sebelahku Den Abimanyu sudah tertidur dengan pulas. Dengkuran halus terdengar saat ia tertidur. Sedikit pun aku tidak bisa memejamkan mata meski berulang-ulang kali aku mencoba memaksanya.

"Kenapa belum tidur?" tanya Den Abimanyu. Suaranya terdengar serak.

Aku tak berani menatap manik hitam miliknya. Suara desahanku karena tidak tidur telah membuatnya terjaga. 

"Ma, maaf, Den. Aku sudah menganggu istirahatmu," ucapku gugup. Kuremas bantal guling yang ada di sebelahku. Pandanganku menunduk tak berani menatap wajah tampannya.

"Aku akan pindah di sofa saja. Kamu tidur di sini. Mungkin kamu merasa canggung denganku. Besok jika Nyonya Besar Kinanti bertanya apakah kita sudah melakukannya atau belum kamu jawab saja sudah." 

Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya.

"Iya, Den," jawabku pelan.

Den Abimanyu beranjak dari tempat tidur lalu menuju ke sofa membawa bantal. Di sana ia membaringkan tubuhnya dengan posisi telentang. Tidak seharusnya seorang majikkan tidur di sofa. Akulah yang seharusnya tidur di bawah.

Tapi, malah Den Abimanyu yang tidur di sana. Mungkin Den Abimanyu merasa jijik menyentuhku karena apalah artinya diriku di bandingkan istrinya Nyonya Nadia. Aku hanya seorang pembantu dari kalangan bawah yang menikah dengannya karena ingin memberinya keturunan. 

Jangan tanya apakah Den Abimanyu mencintaiku atau tidak. Kalian pasti tahu jawabannya. Lelaki Dingin itu bahkan melewatkan malam pengantin kami. Ia bersikap acuh dan tidak sedikit pun melirik ke arahku yang berada di sampingnya.

"Maaf, Den. Sebaiknya Den Abimanyu pindah saja di ranjang. Biar aku yang tidur di sini," ucapku mendekat ke arahnya.

Den Abimanyu membuka matanya.

"Jangan ganggu aku, Salma. Tidurlah di ranjang! Aku tidak mau diganggu," ketusnya.

Kata-katanya dingin sama seperti sikapnya. 

Lelaki bertubuh tegap itu malah mengusirku.

Aku terkesiap dengan penolakkannya. Ia bersikap dingin seperti es batu. Jangankan menyentuhku, melirikku pun ia malas.

Di sisi tempat tidur aku terisak. Bagaimana aku bisa memberinya anak jika Den Abimanyu tak pernah menyentuhku. Berdekatan denganku saja ia merasa jijik gimana kalau sampai melakukan hubungan denganku.

Aku hanya terisak tanpa mengeluarkan suara. Malam semakin larut, jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi dini hari. Mataku belum juga terpejam. 

***

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status