Share

Bab 5 Darah Keperawanan

"Salma, nanti jika Mami bertanya kepadamu katakan saja kalau aku sudah menyentuhmu," ucap Den Abimanyu.

Suara beratnya menyapaku.

Tanpa memandang ke arahku Den Abimanyu berkata. Dadaku serasa sesak mendengar kalimatnya barusan. Aku terduduk lemas di tepi ranjang dengan rongga yang serak.

Aku tidak tahu harus bersedih atau kah bahagia karena sampai detik ini Den Abimanyu tak menyentuhku sama sekali. Pemilik alis tebal itu hanya duduk di tepi ranjang dengan jarak satu hasta. Haruskah aku perotes padanya? Ataukah memang aku yang baper karena sudah menikah dengan seorang putra konlongmerat pemilik kekayaan nomer tiga di negeri ini.

Bahkan hartanya tidak akan pernah habis dalam kurun waktu tujuh turunan. Den Abimanyu sama sekali  tidak menginkanku menjadi istri pengganti Nyonya Nadia, di sisinya  sudah ada wanita yang selalu setia menemaninya, meski tidak bisa melahirkan garis  keturunannya. 

Faktanya aku hanya wanita dari kalangan bawah yang tak pantas menurutnya untuk disentuh. 

"Apa yang harus aku jawab nanti, Den  jika Nyonya Besar Kinanti bertanya yang lain padaku."

"Jawab saja aku sudah menyentuhmu dua kali dalam satu malam."

Den Abimanyu merebahkan tubuhnya di sofa. Malam pengantin menjadi saksi bisu kisah cintaku. Pria yang beralis tebal itu pasti sedang memikirkan Nyonya Nadia istrinya. Apalah artinya diriku baginya? Memang itu faktanya bukan? Pernikahan ini sama sekali tak pernah diharapkan Den Abimanyu.

Air mataku kembali jatuh membasahi pipi. Suara Isak tangisku tertahan di kerongkongan. Tak ingin Den Abimanyu mendengar isakkanku. Aku tahu hati dan cintanya lelaki yang kini sudah resmi menjadi suamiku hanya untuk kekasihnya Nyonya Nadia. 

***

Esok harinya, aku diminta mandi keramas oleh Den Abimanyu. Begitu pun juga dengannya melakukan hal yang sama sebelum menemui Nyonya Besar Kinanti.

"Ingat apa yang aku katakan padamu tadi malam, Salma. Katakan pada Mami jika kita sudah melakukan hubungan suami istri," kata Den Abimanyu mewanti-wanti. 

Sekali lagi aku mengangguk mengerti perintahnya. Sudah kesekian kalinya Den Abimanyu berkata demikian mengingatkanku. Aku mengerti posisiku tidak mungkin bisa menyaingi Nyonya Nadia sang pujaan hatinya. Lagi pula Den Abimanyu tak mau mengkhianati istri tercintanya meski kini Nyonya Nadia jauh darinya terpisah oleh dua Samudra.

Di meja makan persegi panjang itu aku diajak makan bersama kelurga nyonya besar. Sudah resmi menjadi istri pemilik kekayaan nomer tiga di negeri ini diperbolehkan makan dalam satu meja. 

Aku menolak keinginan nyonya besar karena tak terbiasa makan bersama dalam satu ruangan keluarga besarnya. 

Suasana di ruang makan sangat kaku ditambah lagi tatapan Nyonya Besar Kinanti yang tak berteman. Membuatku enggan berlama-lama dalam ruang makan itu dan ingin segera pergi setelah mengakhiri acara makan bersama bareng keluarga.

Di hadapanku tepat duduk Nyonya Besar Kinanti. Sementara suaminya duduk di sebelahnya tanpa suara. Hanya dentingan sendok dan garfu yang beradu dengan piring yang terdengar. Suasana makan menjadi kaku tak ada yang berani mengeluarkan suara saat sedang menikmati hidangan makan.

Selepas makan, Nyonya Besar Kinanti menahan kami berdua di ruang keluarga. Wanita yang selalu berpenampilan elegan itu menyimpangkan kakinya di atas sofa berwarna coklat tua. Dia tasnya tergantung lampu hias yang mewah seharga puluhan juta. 

Dadaku berdebar dengan kencang hingga detaknya tak beraturan. Nyonya Besar Kinanti kembali menatapku dengan tatapan tajam setajam silet. Wanita yang kulitnya mirip dengan artis Korea itu mulai angkat bicara.

"Lusa dokter keluarga kita akan datang kesini."

Nyonya Besar Kinanti berkata sembari mengusap jarinya yang lentik.

Tanda tanya muncul di benakku. Bukankah dalam keluarga ini tidak ada yang sakit? Lagi pula Tuan Cokro juga dalam keadaan sehat tanpa suatu apa pun. Aku melirik sekilas ke arah Den Abimanyu. Ia pasti punya pemikiran yang sama denganku.

"Dokter pasti tahu dan bisa mengecek keperawanan Salma dari hasil tes yang ia lakukan." Nyonya Besar Kinanti melanjutkan kalimatnya.

"Apa maksud, Mami?" tanya Den Abimanyu meradang.

Den Abimanyu faham betul arah pembicaraan ibunya. 

Sementara aku tidak tahu harus berbuat apa. Nyonya Besar Kinanti sama sekali tidak bisa dibodohi. Instingnya begitu tajam kepada putra semata wayangnya.

"Mami hanya ingin memastikan saja kalau kamu sudah melakukan tugasmu sebagai seorang suami. Menamkan benih di rahim Salma." Nada bicara Nyonya Besar Kinanti ditekan.

"Mami, apa hal seintim itu harus Mami ikut campur? Apakah aku harus melakukannya di depan Mami biar Mami percaya hem?" suara berat Den Abimanyu mulai meninggi.

Ia bangkit dari duduknya.

"Abi!" seru nyonya besar. "Mami hanya ingin bukti kalau Salma sudah tidak perawan dengan kamu menunjukkan darah keperawanannya," ketus nyonya besar lagi. Den Abimanyu mengusap wajahnya dengan frustasi.

Semenit kemudian ia bangkit dan berdiri mondar-mandir di depan ibunya. Duduk kembali dengan dada naik turun menahan emosi.

"Katakan Salma. Apa suamimu sudah melaksanakan kewajibannya?" tanya nyonya besar menatap ke arahku.

"Mami!" sela Den Abimanyu meradang.

"Diam, Abi! Mami tidak sedang berbicara padamu," sergahnya.

Aku menundukkan pandangan tak berani menatap wajah nyonya besar yang kini sudah resmi menjadi Ibu mertuaku. Di posisiku sangat serba salah, jujur sudah pasti Den Abimanyu akan membenciku. Bohong, Nyonya besar pasti akan menghukumku karena sudah menutupi kesalahan Den Abimanyu. Keringat dingin kini mulai membasahi wajahku. Jari-jemariku sudah terasa dingin dan lemas.

"Jangan memaksaku, Mami. Sungguh aku tak bisa melakukannya tanpa cinta. Dan aku tidak bisa mengkhianati istriku," tutur Den Abimanyu mengusap wajahnya.

"Kamu jangan egois Abi. Mami tidak memintamu bercerai dari Nadia. Kamu tahu kalau Nadia tidak bisa memberikan Mami seorang cucu. Kamu bisa bisa bersama istrimu setelah menanamkan benih di rahim Salma. Apa itu tidak cukup hah?" ucap nyonya besar.

Deretan kata-katanya sangat menusuk hatiku hingga tepat mengenai detaknya. 

"Cukup, Mami. Aku hanya ingin Nadia dan Nadia. Tidak ada perempuan lain Salma atau yang lainnya di dunia ini yang aku cintai," lirih Den Abimanyu.

Suaranya kini terdengar melemah dari yang tadi.

Kukuatkan hatiku agar tak menangis menitikkan air mata. Seorang Salma hanya perlu menerima tanpa boleh memberontak. Tidak usah menangis karena ini fakta. Suamiku hanya akan menyentuhku sampai aku hamil. Setelah hamil ia akan kembali pada kekasih hatinya. Kalian pasti tahu bukan? Siapa kekasih hati Den Abimanyu.

Ibu dan anak itu hanya beradu mulut di depanku tanpa memikirkan perasaanku. Padahal aku ada di depan mereka dengan hati terluka. Den Abimanyu hanya memikirkan kekasihnya terluka sementara ada aku di sini yang patah hati. Mereka tak pernah menganggapku ada di sini yang juga punya hati untuk di tanya.

Kuremas-remas ujung bajuku untuk melampiaskan rasa sakit hati dan kekesalan yang menyelimuti jiwaku. Aku hanya bisa menyaksikan perdebatan Nyonya Besar Kinanti dan Den Abimanyu tanpa ada ujung pangkalnya. Diriku tidak boleh marah atau buka suara walau hanya mengatakan tidak suka.

Untuk menengahi keduanya mana mungkin aku mampu. Suaraku tidak akan pernah di dengar mereka berdua. Aku hanya bisa diam sembari menikmati rentetan kata yang menyayat-nyayat hati dan jiwaku hingga luka ini berdarah. Jiwaku terluka terlebih lagi perasaanku hancur mendengar ucapan Nyonya besar dan Den Abimanyu yang bersikeras tanpa ada satu pun dari mereka yang mengalah.

Sakitnya tuh di sini. Di dalam hatiku.

"Salma, aku ingin bukti besok kalau suamimu sudah menyentuhmu. Harus ada darah keperwananmu di atas sprei tanda kamu sudah tak suci lagi. Jika tidak kamu tahu akibatnya bukan?" ancam Nyonya Besar Kinanti menatapku tajam.

Kugigit bibir bawahku sekuat-kuatnya menahan rasa sesak yang menyeruak dalam dadaku. Ingin aku berteriak histeris menolak keinginan nyonya besar. Namun, bibirku kelu tak mampu mengucapkan kata sepatah pun untuk berbicara. 

Ruangan yang begitu luas itu terasa sempit bagiku, seolah-olah hendak mengapitku dan menengelamkanku ke dasar bumi. Kabut-kabut kecil mulai mengembun membasahi kelopak mataku. Rintiknya tertahan hingga membuat mataku terasa perih dan panas.

*** 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status