Share

Bab 6 Aku Menyerah

Sudah  lebih tujuh hari  pernikahanku berjalan dengan Den Abimanyu. Sedikit pun tidak ada tanda kalau Den Abimanyu akan meleleh hatinya. Padahal Nyonya Besar Kinanti sudah menyarankan aku untuk berdandan cetar agar terlihat cantik dan tampil seksi di hadapan Den Abimanyu. Saat akan tidur pun Nyonya Besar  Kinanti memberiku hadiah gaun malam yang super tipis dan transparan. Sehingga menonjolkan bagian-bagian lekuk tubuhku. 

Penampilanku sudah dirubah oleh nyonya besar agar menarik perhatian Den Abimanyu. Namun, lelaki dingin itu sama sekali tak memandangku sebelah mata. Reaksinya juga masih tetap sama acuh.

Terbuat dari apakah hati Den Abimanyu? Seorang laki-laki normal tak  mungkin tidak tertarik pada seorang wanita bila di hadapannya menggoda dengan tarian erotis. Nyonya besar memintaku berpakaian seksi bila di dalam kamar dan lebih agresif lagi menggoda Den Abimanyu. Aku seperti wanita yang tak punya harga diri. Merayu lelaki dengan gerakkan liar.

Melayaninya makan pun aku ambil alih demi menarik perhatian Den Abimanyu. Meski pembatu yang biasa masak menyiapkan makanan itu melarangku mengerjakan sendiri.

 Mati-matian aku menarik perhatian Den Abimanyu,  dari menyiapkan makanan sampai pakain aku lakukan sendiri. Sudah habis akalku untuk menaklukan hati lelaki bertubuh tinggi tegap itu. Segala upaya sudah aku kerahkan, namun hasilnya tetap sama, nihil.

Malam ini aku tak punya keinginan untuk keluar dari kamar. Bagiku sama saja mau tampil cantik atau enggak, toh Den Abimanyu tak melirikku sama sekali. Aku hanya sembunyi di balik selimut sembari menangis terisak meratapi nasibku yang tak berdaya. Entah sudah berapa liter air mata kutumpahkan mengeluhkan hidupku yang malang.

Lelah, aku benar-benar lelah mengemis perhatian Den Abimanyu agar mau menyentuhku. Setiap kali aku ingin menyudahi pernikahan sandiwara ini, teringat akan nasehat Ibu.

Panggilan Bi Asih menyadarkanku dari lamunan. Berulang-ulang kali wanita separuh baya itu mengetuk pintu kamarku. Panggilan Bi  Asih tidak aku pedulikan atau pun mengubrisnya.

Wanita separuh baya itu  beberapa kali  merayu agar aku mau membukakan pintu kamar dan mau makan bersama bareng Nyonya Besar Kinanti dan juga suaminya. Namun, aku enggan keluar dari kamar untuk makan bersama karena tidak ingin bertatap muka dengan Den Abimanyu. Terlebih Nyonya Nadia selalu ada di sisinya setiap saat.

Bagiku lebih baik mati kelaparan di sini dari pada disuruh lagi mengemis perhatian di depan Den Abimanyu. Bagiku tak masalah mati kelaparan dari pada harus terbelenggu oleh ikatan  yang rumit ini. Berada di posisi madu sangat tidak mengenakkan, harus menerima sisa dari istri pertama. 

Lepas dari Den Abimanyu tak mungkin,  bertahan juga membuatku semakin menderita. Tetap disisinya hanya akan hidup berkalang derita yang sangat panjang. 

Lama-kelamaan perutku terasa nyeri karena tidak diisi sedari sedari semalam. Batang tenggorokkanku juga terasa kering. Tubuhku hampir kehilangan energi.

Selepas salat magrib  aku memejamkan mata di atas ranjang ukuran besar ini. Aku berharap jika esok sudah terbangun akan hilang sakitnya. Atau aku tidak bangun sama sekali bagiku juga tak apa-apa. Tidak ada yang akan bersedih melihat penderitaanku keculai Ibu yang sudah melahirkanku ke dunia dengan susah payah.

"Salma, buka pintunya!" suara Den Abimanyu terdengar mengedor pintu dari luar.

Mataku terpaksa aku buka karena mendengar volume Den Abimanyu yang makin lama makin meninggi. Benarkah suara itu Den Abimanyu? Aku masih tak percaya lelaki dingin itu memanggilku sampai mendatangi kamar. Biasa ia juga akan mengabaikanku begitu saja.

Kulirik jam dinding ternyata sudah pukul tujuh pagi. Aku tertidur hingga melewatkan salat lima waktu. 

Ya Allah ….

Begitu lemahnya diriku hanya karena menunggu perhatian seorang laki-laki. Bahkan namanya saja tak pantas aku sebut. Den Abimanyu tak mau menyentuhku meski aku sudah berdandan sesuai dengan penampilan Nyonya Nadia.

"Salma, ayo buka pintunya! Salma!" suara ketukkan pintu kembali aku dengar.

Namun, tubuhku lemah karena tak punya kekuatan untuk sekedar bangkit dari tempat tidur.

Kepalaku rasanya bagai tertimpa batu, berat dan pusing. Tidak ada tenaga lagi untukku bangkit meski hanya sekedar mengerakkan tangan dan kaki.

Dengan sisa tenaga aku bangkit mengumpulkan kekuatan agar bisa membuka pintu. Namun, tubuhku kembali ambruk hanya terbaring di tempat tidur. Di sinilah sekarang aku terbaring di tempat tidur dengan ketidak berdayaan membelengguku. Tenaga bahkan habis walau hanya sekedar mengerakkan jari-jemari. 

"Salma, buka pintunya, Nduk! Kamu jangan buat Ibu dan suamimu khawatir." Suara Ibu menimpali.

Aku jelas mendengar nada suaranya sangat cemas.

Aku mengucap sembari merutuki kebodohanmu yang menghukum diri sendiri. Mengapa seorang Salma menyiksa diri sendiri hanya karena mengemis perhatian laki-laki. Bagaimana jika aku tak bisa bangun lagi dan Allah mencabut nyawaku. Dosaku akan dicatat malaikat sebagai seorang hamba yang mati bunuh diri. Astagfirullahalazim.

Ya Robbi … mengapa aku sebodoh ini hanya karena menangisi cinta seorang laki-laki beristri yang jelas-jelas tidak mencintaiku sama sekali. Memandangku pun ia tak Sudi.

"Nduk, jangan begitu. Kamu gak boleh menghukum diri sendiri. Nanti Gust Allah marah karena kamu dicatat sebagai hamba tak bersyukur," ucap Ibu terdengar menangis.

Air mataku kembali berhamburan. Kali ini bukan karena menangisi cinta Den Abimanyu yang bertepuk sebelah tangan. Tapi, karena merutuki diri sendiri. Salma, pantas bahagia, tak pantas mati hanya karena lelaki yang tidak punya rasa.

Dadaku terasa sesak menahan tangis. Lamat-lamat pandanganku mengablur dan suara sumbang yang terdengar.

***

Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata berusaha kubuka. Dan di sinilah aku sekarang berada di ruangan serba putih. Tanganku sudah terpasang jarum infus. Seorang dokter  datang ke kamarku dan sudah selesai memasang infus. Benda tajam itu telah menembus denyut nadiku, setetes demi tetesan air infus masuk melalui peradaran darah.

 Tak lama kemudian dokter  Yang biasa menangani keluarga  terlihat pamit keluar pada Nyonya Besar Kinanti. Nyonya besar hanya mengangguk saja saat dokter yang biasa  di percaya  mengobati keluarga itu pamit.

"Salma?" terdengar suara Ibu memanggil. 

"Kamu sudah sadar, Salma?" tanya Den Abimanyu.

Tak kuhiraukan.

"Apa kamu mau mati bunuh diri, Salma? Sebelum melahirkan keturunan untukku?" cecar Nyonya Besar Kinanti.

Nyonya Besar Kinanti tak punya perasaan belas kasihan. Aku baru saja sadar dan membuka mata sudah dijejali omelan yang begitu panjang.

"Mami, sudahlah. Salma baru sadar dari siumannya," timpal Den Abimanyu.

Aku hanya menitikkan air mata. 

"Aku kecewa padamu, Salma. Aku sengaja memilihmu menjadi menantuku dan mengangkat derajatmu jadi babu. Kalau begini aku menyesal karena sudah menikahkanku dengan Abimanyu," ucap Nyonya Besar Kinanti.

Jantungku berdegup dengan kencang mendengar suara Nyonya Besar Kinanti yang menghinaku barusan. Napasku turun naik menahan saliva yang susah payah aku telan. Bahkan, setetes air minum pun belum sempat membasahi batang tenggorokkanku dari kemarin. Tanpa simpati, Nyonya Besar Kinanti mencecarku dengan kata-kata kasar.

"Mami, semua bukan  salah Salma. Akulah yang seharusnya Mami salahkan karena telah mengabaikan Salma jadi begini," potong Den Abimanyu.

Aku hanya diam sembari meremas selimut yang menutupi tubuhku. Rasanya aku ingin pergi sejauh mungkin menghindari Den Abi Manyu.

"Maafkan aku, Salma," bisik Den Abimanyu di telingaku.

Tak lama kemudian nyonya besar dan Ibu keluar dari kamar dan meninggalkanku berdua dengan Den Abimanyu. Kini hanya ada aku dan lelaki dingin itu yang saling diam dengan seribu bahasa.

Tangan Den Abimanyu kemudian meraih bubur di atas meja  yang  terbuat dari  kayu jati,  lantas menyuapkannya ke mulutku.

"Makanlah, Salma! Biar kamu punya tenaga," pintanya tersenyum.

Aku memalingkan pandangan ke arah lain sebagai bentuk perotes terhadapnya.

"Aku tahu kalau aku memang bersalah padamu. Setidaknya kamu terima tawaran makan ini demi kesehatanmu."

Kutatap wajahnya tak percaya kala sorot mata itu memandangku dengan penuh harap. Den Abimanyu lantas naik ke ranjang dan merengkuh tubuhku dalam pelukkannya. Aku berontak, tetapi ia pertahankan dalam dadanya.

Aku menangis tersedu. Dan ia mengelus pucuk kepalaku hingga tangisku reda.

"Maaf … maaf jika aku sudah membuatmu sakit dan kecewa," ucapnya pelan berbisik.

Paru-paruku seakan tersumbat hingga sulit sekali aliran udara ini  bergerak,  seperti ikan keluar dari air kolam megap-megap. Jantungku ini perlahan mulai berhenti berdegup dengan kencang dan melemah. Sesaat aku terbuai dalam pelukkan lelaki dingin yang tak kuharapkan.

"Jangan lakukan hal bodoh ini lagi, Salma," ucapnya menghapus jejak air mataku.

Den Abimanyu melonggarkan pelukkannya.

Bukankah di luar sedang tidak musim semi? Mengapa hatiku berbunga-bunga mendengar ucapan Den Abimanyu. Laksana bunga yang baru mekar dan banyak madu, kumbang datang mendekat ingin menghisap sarinya.

Laki-laki yang selama ini aku nilai dingin ternyata punya sedikit perhatian denganku. Meski cintanya tak seutuh untukku.

"Sekarang kamu makan! Aku tidak ingin lagi melihatmu lemah seperti ini."

Kembali tangan Den Abimanyu menyuapkan bubur ayam yang sedari tadi terletak di atas meja. Dengan telaten lelaki beralis tebal itu menyuapiku dan mengajakku mengobrol hingga tak terasa bubur itu sudah hampir habis dalam piring.

***

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
HR Hasniah
Ayo Abi kamu bisa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status