Pertanyaan itu seketika menyadarkan Clara dari lamunannya tentang Sebastian. Tatapannya yang semula terpaku pada pria itu kini beralih dengan gugup. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sempat melayang entah ke mana.Dengan cepat, Clara mengalihkan perhatiannya dari Sebastian. Dia melangkah sedikit mundur, menatap gaun yang masih tergantung rapi, lalu kembali menoleh ke arah pria yang kini berdiri tegap di depannya. Ada sesuatu dalam sorot mata Sebastian yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa bisa menahan rasa ingin tahunya lebih lama, Clara akhirnya bertanya, "Memangnya ada acara apa? Mengapa saya harus memakai gaun?"Suaranya terdengar ragu-ragu, namun cukup jelas untuk menunjukkan kebingungannya. Hatinya mulai dipenuhi berbagai spekulasi. Apakah ada perayaan penting yang dia lupakan? Ataukah ini adalah kejutan yang telah Sebastian siapkan untuknya?Dia menunggu jawaban dengan perasaan berdebar, sementara Sebastian hanya tersenyum tipis, seol
Clara tertegun beberapa saat, membiarkan matanya menjelajahi pemandangan yang terbentang di hadapannya. Tatapan takjub sekaligus heran begitu jelas terpancar dari sorot matanya.Udara malam yang sejuk terasa membelai kulitnya, sementara kelap-kelip cahaya lilin dan lampu-lampu kecil yang tergantung di dahan pepohonan menciptakan suasana yang begitu hangat dan menenangkan.Sebastian telah menyulap taman dekat kolam menjadi sebuah arena makan malam romantis yang begitu indah. Meja bundar dengan taplak putih bersih berdiri di tengah, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar merah dan lilin-lilin kecil yang menyala lembut.Kursi-kursi elegan telah disiapkan, dan di atas meja, dua piring porselen dengan peralatan makan berkilauan tersusun dengan rapi, seolah menunggu pemiliknya untuk menikmati hidangan istimewa.Kolam di dekatnya memantulkan cahaya dari lampu-lampu gantung, menciptakan bayangan yang berkilauan di permukaan air yang tenang. Aroma lembut dari bunga mawar yang bermekaran di sekit
Clara menyandarkan punggungnya ke kursi dengan napas yang sedikit berat. Perutnya terasa penuh setelah menikmati berbagai hidangan lezat yang tersaji di meja. Tanpa sadar, dia telah menyantap terlalu banyak makanan, terbawa suasana hangat dan romantis yang diciptakan Sebastian.Tangannya perlahan mengusap perutnya yang kini terasa begah. Dia menatap piring di depannya yang hampir kosong, menyadari bahwa setiap suapan yang ia nikmati tadi benar-benar menggoda seleranya. Namun kini, rasa kenyang mulai mendominasi tubuhnya, membuatnya ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan percakapan dengan Sebastian.Sebastian yang duduk di seberangnya tampak menyadari perubahan ekspresi Clara. Dengan alis yang sedikit terangkat dan senyum menggoda di wajahnya, dia bertanya, "Kenyang?"Clara mengangguk pelan sambil tersenyum malu. "Sepertinya saya makan terlalu banyak," ujarnya jujur, membuat Sebastian tertawa kecil."Itu karena ada kehidupan lain di perutmu. Sebaiknya kamu beristirahar sebentar
Malam yang penuh kehangatan itu perlahan mencapai puncaknya. Sebastian yang telah terpenjara hasrat, membawa Clara ke kamar pribadinya. Dia meletakkan tubuh Clara di atas kasur yang empuk. Lampu utama dimatikan dan menyisakan lampu tidur.Di bawah cahaya temaram yang lembut, Sebastian menatap Clara dengan penuh kasih. Kedalaman matanya memancarkan ketulusan dan rasa cinta yang begitu nyata, seolah ingin meyakinkan bahwa malam ini sepenuhnya dia dedikasikan untuk wanita yang kini berada di bawah kungkungannya.Dengan penuh perhatian, Sebastian membelai wajah Clara, jemarinya yang hangat menyusuri pipi wanitanya dengan kelembutan yang tak terlukiskan. Dia tahu bahwa Clara kini tengah mengandung, dan itu membuatnya semakin berhati-hati dalam setiap gerakan. Baginya, Clara dan buah hati yang sedang dikandungnya adalah anugerah terbesar dalam hidupnya.“Aku akan melakukannya dengan sangat berhati-hati.” Bisikan itu terdengar begitu menggelitik daun telinga Clara. “Jika kamu merasakan kesak
Kalau tidak ingat ini adalah pekerjaan penting, Sebastian pasti akan membatalkan niatnya untuk pergi ke Zairo dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama dengan Clara. Bayangan permainan semalam, menari-nari di pelupuk mata Sebastian, membangkitkan gairah dalam dirinya yang sempat menghilang.Namun, karena pekerjaan, Sebastian harus menekan hasratnya itu. Kecupan berlangsung cukup lama sebelum akhirnya Sebastian lebih dulu mengakhirinya.“Kamu sudah mulai berani menggodaku?”Clara menundukkan kepalanya. “Maafkan saya.”“Tunggu aku pulang, kamu akan mendapatkan jatah yang lebih lama.” Sebastian mengelus puncak kepala Clara sebelum akhirnya membalik diri dan menghilang di balik pintu mobil.Clara melambaikan tangan, perasaan cemas, dan khawatir berlebihan merasuk dalam diri Clara. Ini tidak seperti biasanya. Perasaan ini sangat berlebihan.“Firasat macam apa ini?” gumam Clara sembari memegangi dadanya.Kendaraan mulai menghilang dari pandangannya, namun entah mengapa Clara masih ingin
“Penerbangan komersial bernomor 784 yang lepas landas dari Bandara Internasional Arbour hilang kontak beberapa menit setelah mengudara, pesawat tersebut membawa 169 penumpang dan 5 orang awak. Pesawat dengan tujuan Zairo itu lantas ditemukan pada titik menghilang yaitu pegunungan Arphen dalam kondisi tidak utuh.”Clara seketika tercengang setelah mendengar kabar itu. Pikirannya mendadak kosong, sementara detak jantungnya berdegup semakin cepat. Suara di sekelilingnya seolah meredup, menyisakan hanya gema kalimat mengejutkan yang baru saja masuk ke telinganya.“Tidak mungkin, Tuan Bastian.”Tubuh Clara terasa lemas, seakan seluruh kekuatannya lenyap dalam sekejap. Tanpa mampu menahan diri, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tangannya gemetar, dan napasnya memburu cepat, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Di dalam hatinya, ribuan pertanyaan berkecamuk tanpa jawaban. Dunia yang selama ini terasa stabil tiba-tiba goyah, seolah segalanya runtuh di hadapannya dalam sa
Clara termundur ke belakang, langkahnya goyah seakan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dadanya terasa sesak, seolah-olah udara di sekitarnya semakin menipis. Pandangannya kabur oleh genangan air mata yang terus mengalir tanpa henti.Tangisnya kembali pecah, menggema di tengah hiruk pikuk yang dan keramaian. Tubuhnya luruh ke lantai, menarik perhatian orang-orang lannya. Isakan yang tertahan akhirnya meluap, tak lagi mampu dia bendung. Bahunya terguncang hebat, sementara kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha keras menahan emosi yang membanjiri dirinya.Seluruh kepedihan yang berusaha dia redam sejak tadi kini meledak begitu saja. Kakinya terasa lemas, hampir tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Dalam keputusasaan, Clara menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seakan berharap segalanya hanyalah mimpi yang bisa dia hapus begitu saja.“Tuan Bastian.” Tanpa mampu menahan diri, air matanya mulai jatuh. Satu per satu butiran bening itu mengalir di pipinya, hingga akhirnya isak
Kecupan itu disambut hangat oleh Sebastian, keduanya saling memagut mesra, tanpa peduli tatapan orang lain yang menghujam ke arah mereka. Sebastian merengkuh tubuh Clara, memperdalam kecupan, dan sesekali menjulurkan lidah. Mengabsen setiap inci gigi Clara yang segera disambut oleh hal yang sama. Seolah dunia milik berdua. Dan seolah tidak ada sesuatu yang mampu menghentikan mereka. Sebastian dan Clara benar-benar telah dimabuk asmara. Permainan bibir itu berlangsung lama sebelum akhirnya sebuah suara mengganggu keduanya. "Maaf, Nona..." Suara itu seketika menyadarkan keduanya dari buaian permainan perang lidah itu. Keduanya saling melepas pagutan lalu menoleh ke arah sumber suara. "Ada apa? Kamu siapa?" tanya Sebastian yang tampak kesal karena kesenangan telah diganggu. "Maaf, Nona ini belum membayar ongkos taksi." Mendengar itu, Clara seketika menepuk keningnya. "Astaga! Aku lupa!" Karena Clara tidak membawa uang, akhirnya biaya taksi diselesaikan oleh Sebastian dengan perw
Richard terdiam sejenak setelah mendengar penuturan Sebastian. Raut wajahnya tidak segera menunjukkan reaksi apa pun. Tatapannya kosong, namun sorot matanya mengisyaratkan bahwa pikirannya tengah bekerja keras mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan sang menantu. Suasana di antara mereka seketika menjadi hening, hanya terdengar suara ketukan jam dinding dan deru napas yang saling bersahutan. Sebastian terdiam, menunggu dengan sabar, meskipun di dalam hatinya terselip kegelisahan. Dia tahu bahwa setiap kata yang diucapkannya barusan mengandung makna pentin. Tentang Clara, tentang keluarga, dan tentang harapan akan hubungan yang lebih baik. Dia tidak bisa membaca isi pikiran Richard, namun dia berharap kejujuran dan ketulusannya mampu menembus lapisan jarak yang selama ini membentang di antara mereka.Richard akhirnya mengangkat wajahnya, memandang Sebastian dengan mata yang lebih teduh. Meski ekspresinya masih tenang dan sulit ditebak, nada suaranya ketika akhirnya berbicara t
Clara menghampiri Sebastian yang masih duduk di balkon, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping suaminya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Kaisar sudah tertidur di pangkuan Sebastian, wajah kecilnya terlihat damai."Dia sudah mulai mirip kamu," ucap Clara pelan, sambil menatap wajah putra mereka."Mirip aku?" Sebastian tersenyum tipis. "Semoga dia tidak mewarisi keras kepalaku."Clara terkekeh pelan. "Sayangnya, dia sudah punya itu. Tapi juga mewarisi hatimu yang hangat."Sebastian menatap langit sejenak, lalu kembali menatap Clara. "Hari ini aku merasa lega. Pusat pelatihan itu... aku harap benar-benar bisa membawa perubahan. Itu yang Kakek impikan."Clara mengangguk mantap. "Aku yakin akan berhasil. Kau telah melakukan segalanya dengan tulus dan sepenuh hati, Bas."Sebastian menghela napas panjang, mengingat kembali hari-hari ketika hidup mereka masih penuh ketegangan dan luka masa lalu. Dari pertentangan dengan orang tua Clara, ancaman dari Ziyon dan rekan-rekannya,
Minggu berikutnya, suasana di rumah keluarga Abraham mulai lebih ringan. Meskipun duka masih membekas, namun kehidupan terus berjalan, dan setiap anggota keluarga berusaha untuk tetap kuat. Sebastian memutuskan untuk mengambil waktu istirahat sejenak dari kantor. Ia mengajak Clara, Kaisar, Dareen, serta Lucia dan Louis untuk berlibur ke vila lama Maxime di pegunungan—tempat yang dulu sering mereka datangi untuk mencari ketenangan. Vila itu dikelilingi pepohonan pinus dan hamparan bunga liar yang bermekaran. Udara segar dan sejuk menyambut mereka begitu tiba. Kaisar berlari kecil dengan wajah ceria, sementara Clara mengejarnya sambil tertawa. "Ini pertama kalinya kita kembali ke sini setelah semuanya," ujar Lucia sambil memandang langit biru yang bersih. "Iya," jawab Sebastian. "Dan tempat ini seakan masih menyimpan jejak Kakek. Rasanya seperti dia masih ada bersama kita." Hari-hari di vila itu berjalan tenang. Mereka menikmati waktu bersama tanpa gangguan teknologi maupun urusan b
Tiga hari setelah kepergian Maxime Abraham, upacara perpisahan digelar dengan penuh khidmat. Keluarga, kerabat, kolega bisnis, serta karyawan dari seluruh lini usaha yang pernah disentuh oleh tangan dinginnya, hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Aula utama di kantor pusat Abraham Group dipenuhi karangan bunga dan potret besar Maxime dengan senyum teduhnya.Clara menggenggam tangan Kaisar yang duduk tenang di pangkuannya, seolah mengerti suasana yang berbeda dari biasanya. Sebastian berdiri di samping mimbar, memberikan pidato terakhir sebagai cucu sekaligus penerus sang pendiri."Maxime Abraham bukan hanya seorang pemimpin besar. Ia adalah seorang ayah, kakek, dan guru kehidupan. Kami semua belajar banyak darinya—tentang kejujuran, kerja keras, dan pentingnya menjaga martabat di tengah segala kemewahan yang ia bisa miliki. Ia pergi dengan damai, meninggalkan warisan yang tidak akan kami sia-siakan."Sebastian berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar, lalu melanjutkan, "Ha
Beberapa hari setelah percakapan terakhir antara Sebastian dan Clara, suasana di rumah keluarga Abraham sedikit berubah. Bukan karena duka, melainkan karena sebuah kesadaran baru yang lahir—tentang waktu yang tak dapat diulang, dan pentingnya menjaga apa yang telah diwariskan dengan penuh kesungguhan.Maxime kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, tetapi sesekali ia meminta untuk dibawa keluar, ke taman belakang yang penuh bunga matahari, tempat di mana Kaisar biasa bermain. Di sanalah ia merasa paling damai.Pada suatu pagi, ketika matahari baru saja menyentuh permukaan bumi dengan sinar keemasannya, Sebastian membantu Maxime duduk di kursi roda. Kaisar, dengan langkah kecilnya yang kini sudah mulai stabil, membawa boneka kesayangannya lalu meletakkannya di pangkuan sang kakek.“Ini buat Kakek,” katanya polos, disusul tawa renyah yang membuat semua hati yang menyaksikan menjadi hangat.Maxime mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Kakek tak perlu harta apapun lagi, Nak. Ta
Beberapa minggu berlalu sejak Maxime kembali dari rumah sakit. Meski kesehatannya belum sepenuhnya pulih, semangat hidupnya tidak pernah surut. Ia semakin sering menghabiskan waktu bersama keluarga, terutama bersama Kaisar, yang kini menjadi pusat kehidupannya. Setiap pagi, Maxime akan duduk di taman belakang dengan selimut di pangkuannya, menanti Sebastian atau Clara membawakan secangkir teh hangat dan kehadiran si kecil yang lincah itu.Suatu sore, Sebastian tengah mengawasi Kaisar yang bermain dengan Dareen dan Louis. Clara datang menghampiri sambil membawa sebuah berkas.“Ini laporan terakhir dari cabang di Marseille,” ujar Clara sambil menyerahkannya. “Dareen sudah menandatangani beberapa perjanjian kerja sama baru.”Sebastian membaca sekilas, lalu tersenyum bangga. “Aku tidak menyangka dia akan tumbuh sejauh ini.”“Karena kamu percaya padanya. Itu yang membuatnya terus berusaha,” ujar Clara lembut. “Kamu juga seperti itu dulu.”Sebastian menoleh dan menatap istrinya dengan penuh
Beberapa hari setelah perayaan kecil di rumah keluarga Abraham, suasana bahagia itu masih terasa menggema di setiap sudut rumah. Kaisar, si kecil yang menjadi pusat perhatian semua orang, semakin aktif dan cerdas. Ia mulai mengenali beberapa kata sederhana dan bisa menyebut “Mama” dan “Ayah” dengan fasih, membuat Clara dan Sebastian semakin kagum akan pertumbuhannya.Pagi itu, Sebastian tengah duduk di ruang kerja pribadinya, menatap beberapa dokumen merger lanjutan antara Abraham Group dan mitra baru dari luar negeri. Konsentrasinya terganggu ketika ponselnya berdering. Nama Andrew muncul di layar. Segera ia angkat.“Halo, Andrew. Ada kabar apa?” tanya Sebastian.“Tuan Sebastian, saya baru mendapat kabar dari rumah sakit. Tuan Maxime sudah sadar, namun dokter menyarankan agar keluarga terdekat menemuinya.”Sebastian berdiri dari kursinya. “Baik. Saya akan segera ke sana.”Dalam waktu singkat, Sebastian telah berada di rumah sakit bersama Clara dan Kaisar. Lucia, Louis, serta Dareen j
Pagi itu langit tampak cerah. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela besar ruang makan keluarga Abraham, memantulkan kehangatan yang menyelimuti seluruh ruangan. Clara tengah menyuapi Kaisar yang kini semakin aktif. Bocah satu tahun itu tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Setiap kali melihat buku bergambar, ia akan menunjuk dengan ekspresi penuh semangat, membuat semua orang di rumah tersenyum.Sebastian baru saja turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih yang sudah sedikit kusut. Di wajahnya tergambar lelah, tetapi matanya tetap menyiratkan semangat.“Pagi, Sayang,” ucap Clara lembut saat Sebastian mencium keningnya.“Pagi,” jawab Sebastian, lalu berjongkok di sisi Kaisar. “Dan pagi juga untuk pangeran kecil ayah. Sudah makan?”Kaisar hanya tertawa dan mengoceh dalam bahasanya sendiri, sementara tangannya menunjuk ke arah sendok yang dipegang Clara.Sebastian tertawa kecil. “Lihat dia. Sudah mulai pintar memerintah.”Clara mengangguk. “Dia tiru d
Beberapa hari setelah peresmian Yayasan Maxime Abraham, suasana bahagia masih terasa di rumah keluarga itu. Clara berjalan menyusuri lorong rumah sambil menggendong Kaisar yang tertidur lelap di pelukannya. Ia berhenti sejenak di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Dari situ, terlihat Sebastian dan Dareen sedang berbincang di dekat gazebo, tampak serius namun akrab.Clara tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur. Segala ketegangan dan konflik yang dahulu pernah mereka alami kini seolah tinggal kenangan. Ia yakin, semua telah menjadi bagian dari perjalanan yang membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih matang.Tak lama, Louis datang menyusul Clara, membawa secangkir teh.“Lucia sedang beristirahat. Hari ini ia tampak lebih lelah dari biasanya,” ujar Louis sembari menyerahkan teh ke tangan Clara.Clara menerima dengan anggukan kecil. “Terima kasih, Louis. Lucia sangat bersemangat akhir-akhir ini. Ia bahkan ikut mencatat nama-nama calon penerima bantuan dari yayasan.”Lou