Tania langsung melepaskan diri ketika pria yang berusaha melecehkannya menjadi tidak fokus karena kedatangan seseorang. Xander. Tania berlari menghampiri lelaki itu dan bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Tolong aku...," ucap Tania lirih. Wanita itu mencengkeram ujung jas Xander. Tampak sangat ketakutan. Tubuhnya bahkan bergetar dengan wajah yang dipenuhi air mata.
Xander meliriknya sesaat. Tatapannya menjadi datar.. Memandang pria di depannya. "Apa seperti ini cara seseorang dari kalangan terhormat bersikap pada perempuan?"
Pria itu menggeleng. Tampak takut, tapi disembunyikan. "Anda salah paham, Mr. Artadewa. Perempuan itu menggodaku lebih dulu padahal aku sudah berusaha menolaknya, karena tahu dia sudah menjadi milikmu," ucapnya berusaha membela diri.
Xander tidak merespon. Ia masih menatap datar pria itu.
"Dia adalah seorang pelacur. Dan Anda tahu bukan bagaimana sifat mereka?" Pria itu kembali bersuara. Berusaha meyakinkan Xander bahwa bukan dirinya yang bersalah. "Mereka senang mendekati laki-laki kaya. Menggodanya untuk mencari keuntungan. Sama seperti yang dilakukannya padaku." Dia menunjuk Tania dengan dagunya.
"Aku bukan pelacur...," sanggah Tania setengah berbisik.
"Kau seorang pelacur, tapi tidak mau disebut seperti itu?" Pria itu terkekeh sinis. Menatap Tania dari balik bahu Xander. "Mr. Artadewa, aku sarankan, sebaiknya Anda tinggalkan perempuan itu. Dia wanita licik. Untuk apa terus menyimpannya? Aku bersyukur tidak jadi menyewanya waktu itu," ucapnya panjang lebar.
"Ah iya, aku rasa istrimu saja sudah jauh lebih cukup. Dia wanita terhormat, cantik. Tidak seperti perempuan itu yang–"
"Tutup mulutmu," potong Xander dengan nada rendah dan matanya yang menajam. Tangannya terkepal. Berusaha menahan diri. Lelaki itu tidak ingin mengotori citranya hanya untuk berkelahi di tempat ini.
Xander berbalik. Menatap Tania tanpa ekspresi. Ia melepas jasnya, memakaikannya di tubuh wanita itu sebelum kemudian menggendongnya dengan gaya bridal.
Tania hanya diam. Mungkin terlalu shock dengan apa yang terjadi.
*****
"Apa aku seburuk itu?" Tania berucap pelan. Tatapan sendunya bertanya pada Sera yang duduk di sebelahnya.
Sera menggeleng. Tangannya mengusap rambut Tania. "Kau wanita yang baik. Aku tahu itu," jawabnya jujur.
Meski Tania berasal dari tempat yang tidak baik, tapi Sera tahu wanita ini seperti apa. Dari wajahnya saja sudah terlihat betapa polosnya Tania.
Sera jadi merasa menyesal sudah memaksa Tania untuk ikut dengannya. Ia cukup terkejut melihat keadaannya yang cukup memprihatinkan.
"Orang itu sangat jahat." Mata Tania mulai berkaca-kaca. Tidak bisa menahannya lagi. Ia terlalu sakit dengan hinaan yang diterimanya. "Apa itu salahku jika terlahir di tempat para pelacur dan menjadi bagian dari mereka? Jika bisa meminta, aku bahkan tidak ingin dilahirkan. Aku tidak ingin hidup seperti ini," ucapnya dengan nada menyedihkan. Bulir bening dari kelopak matanya sudah meluncur membasahi pipinya.
"Kau tidak salah. Tenang saja, Mr. Smilt pasti akan diberikan pelajaran karena berani melecehkanmu," balas Sera dengan mengusap-usap punggung Tania. Menenangkannya.
Xander melirik sesaat ke kaca spion sebelum kembali fokus mengemudi. Ia tidak mengatakan apapun, tapi telinganya mendengar pembicaraan dua wanita yang duduk di kursi belakang itu.
Mobilnya berbelok memasuki gerbang dan berhenti di halaman mansion.
"Aku akan mengantar Tania ke kamarnya," ujar Sera pada Xander yang dibalas anggukan kepala oleh lelaki itu.
Sera merangkul Tania dan mengajaknya masuk ke dalam. Mengantar perempuan itu ke kamarnya. Sementara Xander masih berada di luar. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana bahannya untuk menelepon seseorang.
"Cari informasi tentang Tania Ghrestalea. Pelacur di Galaxy club secara lengkap," perintah Xander tanpa basa-basi. "Dan juga, batalkan kerja sama kita dengan keluarga Smilt. Jika perlu semua perusahaan yang terlibat kerja sama dengan perusahaan itu. Minta mereka untuk membatalkan kerja samanya. Aku ingin mendengar kabar kebangkrutan keluarga Smilt secepatnya."
*****
Tania menanggalkan seluruh pakaiannya. Menyalakan shower dan berdiri di bawahnya. Kemudian mulai menangis lagi.
Tania belum bisa melupakan kejadian tadi. Bagaimana pria itu menghina dan melecehkannya. Itu benar-benar melukai harga dirinya. Ia seperti seorang pelacur sungguhan.
Terkadang Tania ingin menyerah. Pergi jauh yang tidak pernah kembali. Tapi ia selalu teringat ibunya ketika akan melakukannya. Bagaimana jika dia datang dan mencarinya? Karena Tania masih mengharap kehadirannya.
Tania menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ia mematikan shower ketika airnya sudah mengguyur tubuhnya lebih dari satu jam. Merasa menggigil, tapi diabaikan.
Tania mengambil jubah mandinya, memakainya tanpa mengeringkan badannya terlebih dahulu. Kemudian keluar dari kamar mandi. Duduk di meja rias tanpa melakukan apapun. Sebelum seorang pelayan perempuan yang biasa melayani Tania datang, mengeringkan rambut wanita itu dan menyisirnya.
"Nona baik-baik saja?" Pelayan itu bertanya, karena melihat wajah Tania yang selalu tampak ceria berubah sendu.
Tania mengangguk lesu.
"Nona bisa bercerita pada saya jika membutuhkan teman cerita. Saya selalu siap mendengar cerita Nona."
Tania memutar tubuhnya. Menatap pelayan itu. "Lyla–" ucapannya terhenti, terpotong oleh nada dering ponsel milik pelayan bernama Lyla itu.
"Maaf, Nona." Lyla mengambil ponselnya dari saku seragam hitam putih yang dipakainya dengan tergesa. Berniat mematikannya karena suaranya yang mengganggu. Tapi Tania melarangnya.
"Angkat saja. Siapa tahu penting."
"Tidak, Nona–"
"Tidak apa-apa. Angkat saja."
Pelayan itu dengan sungkan mengangkat teleponnya dan diperhatikan oleh Tania. Wajah Lyla terlihat cemas setelah menutup panggilan teleponnya.
"Kenapa?" tanya Tania merasa penasaran.
"Anak saya sakit, Nona. Dia demam tinggi dan tidak ada yang mengurusnya."
"Suamimu?"
"Saya sudah bercerai dengan suami saya. Jadi kami hanya tinggal berdua saja."
"Kalau begitu pulanglah. Kasihan anakmu," suruh Tania.
"Tapi, Nona, baru-baru ini saya sudah meminta cuti dengan alasan yang sama. Saya takut Tuan akan marah jika saya meminta cuti lagi," balasnya. Tuannya tidak menyukai orang yang tidak niat bekerja. Apapun alasannya, ia akan memecat orang itu jika bekerja dengan tidak benar.
"Aku yang akan bicara padanya. Sekarang kau pergilah."
Pelayan itu mengangguk. "Terima kasih, Nona. Saya akan segera kembali setelah anak saya sembuh," ucapnya. Lalu pergi dengan terburu-buru.
Tania melihatnya dengan senyuman miris. Berandai-andai, jika saja wanita yang melahirkannya seperti Lyla. Ibu yang sangat menyayangi anaknya. Mengkhawatirkannya ketika dia sakit. Tania pasti akan sangat senang.
Tapi tidak. Dia bahkan meninggalkannya. Tidak pernah menemuinya sekalipun. Dia tidak ada ketika Tania sangat membutuhkannya seperti sekarang ini. Mungkin cukup sampai di sini ia menunggu kedatangannya. Wanita yang disebut ibunya itu tidak akan pernah datang.
Tania tetap bertahan karena menunggu ibunya. Jika ibu yang ditunggu tidak pernah datang, bukankah lebih baik ia menyerah saja?
Tania lelah menjalani kehidupan yang seperti ini. Ia ingin pergi.
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia