“Alif diem disitu, aku fotoin ya?” Alby mengeluarkan ponselnya, gegas ia ambil jepretan saat melihat ada objek bagus di mana Khalifa berada. Cantik. Satu kalimat yang Alby ucapkan melihat Khalifa yang ia fotoin secara diam-diam. “Kak Al?” Khalifa melambai, dia berfose dua jari dengan bibir tersenyum. Alby terkekeh, gegas ia ambil foto tersebut dengan gaya Khalifa yang berbeda. “Ganti gaya lagi ya?” ucap Alby dituruti oleh Khalifa. Perempuan itu tampak ceria sekali setelah dibawa keliling di tanaman permainan ini. Walau tidak banyak hal yang dilakukan tapi terasa penuh artinya untuk hari ini. “Sekarang giliran kakak, Khalifa ambil ya?” Khalifa mengambil alih ponselnya, mulai mundur menyesuaikan objek yang akan ia ambil. Alby yang jelas difotokan merasa bingung harus bergaya apa, pada akhirnya ia hanya bergaya dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia tersenyum. “Wahh, pasangan ini ya? Sini biar saya fotokan kalian berdua.” Seseorang yang tidak Alby kenali tiba-tiba
Seharian diajak jalan-jalan oleh Alby membuat Khalifa merasakan capek, ingin segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Selepas diantar sampai rumah, Khalifa langsung menuju kamarnya, namun gerakan yang hendak masuk itu terurung sudah sesaat Khalifa mendengar sebuah suara di kamar Khanza. Terdengar Khanza seperti tengah berbicara dengan seseorang? Sebuah tawa bahkan terdengar cukup renyah. Khalifa mengerutkan alis. “Dengan siapa Khanza berbicara?” tanya Khalifa mencoba dekat pada pintu yang tertutup. Khalifa niatnya tidak ingin kepo hanya saja jiwa penasarannya semakin meronta-ronta, membuat Khalifa berani untuk mengintip. Khalifa diam-diam membuka pintu, cukup pelan sangat pelan, takut Khanza menyadarinya. Sesaat pintu itu sedikit dibuka Khalifa mengintip dengan salah satu matanya yang ia sipitkan, melihat ke dalam apa yang sebenarnya terjadi. Khalifa mencoba mengintip, namun yang ia lihat hanya punggung Khanza yang sedang membelakanginya. Perempuan itu tertawa entah menertawak
Jam 3 pagi seperti biasa Alby sudah bangun dengan rasa kantuk yang masih hinggap. Pagi ini dirinya harus pulang, tidak mungkin jika harus tidur di sini sampai pagi tiba. Masalahnya hubungan pernikahan ini jelas masih dirahasiakan dari Khanza, hal itu membuat Khalifa maupun Alby akan tetap berpura-pura sampai Khanza benar-benar sudah pulih dari ingatannya. Alby mulai mengumpulkan kesadarannya, apalagi melihat wajah Khalifa yang jelas membuat matanya kembali segar. “Aku pergi, nanti kita ketemu lagi. Muach!” Alby mencium kening serta kedua pipi Khalifa. Perempuan itu masih tertidur untuk itu tidak terganggu sama sekali. Alby menghela napas lantas bangun dari jaringannya, namun gerakannya terhenti saat tangan Khalifa justru menariknya. “Tetap di sini,” ucapnya melindur. Khalifa memeluk lengan Alby. “jangan pergi.”Alby tersenyum kecil, nyatanya istrinya ini mulai merasakan cinta sepertinya. Lihat saja? Alby bergerak menjauh saja langsung dilarang. “Aku harus pergi, sayang… udah wakt
Siang ini Khalifa sudah siap dengan pakaian yang ia kenakan. Sesuai janjinya bahwa hari ini ia akan bertemu dengan Gama. Ditempat biasa? Tentu saja ia sudah tahu tempatnya. Jangan tanyakan pasal Alby, pria itu sudah pergi 4 jam yang lalu. Tring! Suara ponsel Khalifa berbunyi menandakan ada pesan masuk. [Aku jemput ya?] Pesan itu dari Gama, Khalifa tau pasti Gama sudah pulang dari kampusnya. [Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri.] send. [Hm, baiklah. Hati-hati tapi ya, jangan ngebut.] [Iya, siap Bos!] kirim Khalifa di akhiri dengan emot hormat. Khalifa terkekeh kecil lantas memasukan ponselnya ke dalam tas. Perempuan itu dengan cepat keluar kamar, berlari kecil dalam menuruni anak tangga. Namun ada satu hal saat Khalifa keluar dari dalam kamar, Khanza, perempuan itu melihat kepergian Khalifa dengan tatapan sulit diartikan. “Akhir-akhir ini Khalifa sering pergi, dan kepribadiannya … benar-benar berbeda dengan yang dahulu,” gumam Khanza mencoba mengingat jelas
“Habisin Alif, sedikit lagi itu,” ucap Alby saat melihat nasi yang masih tersisa di atas daun pisang. “Nggak mau, kenyang….” Khalifa tampak lesu, ia mengusap bibirnya dengan tissue. “Masa sih? Padahal kamu makan dikit sekali, sebagian dikasih ke aku lho.”“Tapi aku beneran udah kenyang, aku pengen ini aja!” Khalifa berbinar saat melihat ada salad buah. Setelah makan makanan khas orang Sunda, Khalifa dibuat kenyang, namun pula tidak tahan dengan godaan salad buah yang tersimpan. Ya, nyatanya keduanya saat ini tengah makan di sebuah rumah makan khas Sunda! Entah apa yang ada dalam pikiran Alby, pria itu tiba-tiba membawa Khalifa untuk makan di sana. Katanya, makan masakan Sunda itu berbeda, tidak seperti makan-makanan khas Jakarta, cukup membosankan. Jangan tanyakan apa keduanya datang ke tanah Jawa? Jelas tidak! Rumah makan khas Sunda masih terletak di kota Jakarta, tidak perlu jauh-jauh, karena banyak rumah makan berkhas Sunda di sini. “Sini punya kamu, aku habisin,” ucap Alby me
“Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Khanza? Kenapa dia tega melakukan ini semua?” tanya Alby tidak mengerti. Setelah kepergian Yuza keduanya kembalu duduk dengan pikiran yang sama-sama berkecamuk, terlebih untuk Khalifa, dirinya yang lebih memikirkan perkataan itu. “Alif, katakan padaku. Apa Khanza sejahat itu sama kamu? Sampai-sampai apa yang dikatakan Yuza? Membuatmu selalu merasakan penderitaan,“ tanya Alby benar-benar penasaran. “Alif, katakan juga, apa selama ini kamu benar-benar menderita atas ulahnya? Katakan padaku Alif, ayo.” Alby menggoyangkan lengan Khalifa, dipegangnya tangan itu menunggu jawaban Khalifa. “Dia sebenarnya baik, Kak. Hanya saja … aku juga nggak tau apa yang terjadi dengannya. Dia … membenciku.” “Tapi kenapa? Kalian saudara kan. Kenapa harus saling bertengkar seperti ini? Khalifa, andai jika pernikahan aku bersamanya terjadi kau tau apa yang aku rasa. Penyesalan… sungguh, aku benar-benar menyesal jika sampai menikahi Khanza. Aku baru tau bahwa
PENGANTIN PENGGANTI 30 HARI #69Derrttt DerrtttSuara dering ponsel terdengar cukup nyaring membangunkan seseorang yang saat ini tengah tertidur dengan pulas. Khalifa membuka matanya saat suara itu kian terdengar membuat dirinya sadar bahwa itu ponsel miliknya. Khalifa terbangun, hal yang pertama kali Khalifa lihat adalah wajah Alby yang tertidur pulas, tidak terganggu sama sekali dengan suara dering ponselnya. Tangan pria itu melingkar di pinggang Khalifa, memeluknya dengan erat. Khalifa tersenyum malu-malu, entah kenapa untuk akhir-akhir ini, Khalifa mulai terbiasa dengan perlakuan Alby terhadapnya. Apalagi saat rasa nyaman mulai hadir di relung hati Khalifa, ia merasakan senang, tenang nan bahagia apabila bersama Alby. Ah entahlah, perasaan apa itu? Khalifa tersadar dari rasa lamunannya, teringat satu hal yang membuatnya terbangun gegas Khalifa menoleh ke kiri, menatap ponselnya yang berada di atas nakas pinggirnya. Khalifa mengambil ponsel itu saat suara tersebut tidak lagi t
Khalifa memasuki halaman rumahnya dengan tergesa-gesa. Sampai di pintu utama ia langsung masuk setelah mengucapkan salam. “Bi Wawa?” Khalifa memanggil namun tak ada sahutan apapun. Memilih untuk melihat keadaan Khanza, Khalifa menaiki anak tangganya untuk sampai ke atas. Pintu Khanza tertutup rapat saat Khalifa sudah berdiri di depan kamarnya. Hendak mengetuk pintu namun Khalifa urungkan. “Apa yang akan aku lakukan jika aku masuk dan bertanya keadaan padanya?” gumam Khalifa. “aku bahkan tidak terlalu dekat dengan saudaraku sendiri. Bagaimana aku bisa sekhawatir ini?” Pikiran Khalifa mendadak berkecamuk. “Tidak. Lebih baik aku membiarkannya saja. Toh dia tidak akan membutuhkan aku. Selain itu … aku sendiri yang memang enggan untuk bertemu Khanza. Aku … aku membencinya!” Khalifa memilih abai, tidak peduli pada keadaan Khanza yang entah apa di dalam sana. Khalifa memilih pergi, kali ini tidurnya benar-benar terganggu membuat Khalifa merasakan ngantuk kembali. Namun, sesaat Khalifa i