“Setelah makan malam selesai aku akan pergi,” ucap Alby masih mengelus-ngelus pipi Khalifa. “Pergi saja.”“Nggak bakal rindu?” “Nggak.”Alby terkekeh. “Yakin?”“Ish, udah! Katanya mau pergi. Ya sana tinggal pergi.” Khalifa sedikit mendorong dada Alby, namun yang di dorong justru tertawa cukup senang. “Kalau rindu bilang,” bisiknya. “Enggak bakal, udah… ini kamar mandi Kak, nggak baik lama-lama di sini!” ucap Khalifa. “Hehe, iya, iya, istriku yang cantik yang manis yang imut. Aku pergi nih…” Alby melepaskan genggaman tangannya. “Mau cium dulu gak?”“Gak!”“Hanya kecupan singkat saja, Khalifa… ayolah ….” Alby memohon, ia menunjukkan pipi kanannya. “ayo, di sini.”Khalifa memilin jari-jemarinya, resah. Apa ia harus menuruti keinginan Alby yang satu ini?“Khalifa, hanya kecupan singkat, satu detik juga nggak papa. Ayo.” Alby masih menunggu. “Hanya singkat kan? Setelahnya kakak harus pergi.”“Iya… “ Dengan jantung berdebar, dengan perasaan bungkah nan bergejolak, Khalifa menelan s
“Alif diem disitu, aku fotoin ya?” Alby mengeluarkan ponselnya, gegas ia ambil jepretan saat melihat ada objek bagus di mana Khalifa berada. Cantik. Satu kalimat yang Alby ucapkan melihat Khalifa yang ia fotoin secara diam-diam. “Kak Al?” Khalifa melambai, dia berfose dua jari dengan bibir tersenyum. Alby terkekeh, gegas ia ambil foto tersebut dengan gaya Khalifa yang berbeda. “Ganti gaya lagi ya?” ucap Alby dituruti oleh Khalifa. Perempuan itu tampak ceria sekali setelah dibawa keliling di tanaman permainan ini. Walau tidak banyak hal yang dilakukan tapi terasa penuh artinya untuk hari ini. “Sekarang giliran kakak, Khalifa ambil ya?” Khalifa mengambil alih ponselnya, mulai mundur menyesuaikan objek yang akan ia ambil. Alby yang jelas difotokan merasa bingung harus bergaya apa, pada akhirnya ia hanya bergaya dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia tersenyum. “Wahh, pasangan ini ya? Sini biar saya fotokan kalian berdua.” Seseorang yang tidak Alby kenali tiba-tiba
Seharian diajak jalan-jalan oleh Alby membuat Khalifa merasakan capek, ingin segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Selepas diantar sampai rumah, Khalifa langsung menuju kamarnya, namun gerakan yang hendak masuk itu terurung sudah sesaat Khalifa mendengar sebuah suara di kamar Khanza. Terdengar Khanza seperti tengah berbicara dengan seseorang? Sebuah tawa bahkan terdengar cukup renyah. Khalifa mengerutkan alis. “Dengan siapa Khanza berbicara?” tanya Khalifa mencoba dekat pada pintu yang tertutup. Khalifa niatnya tidak ingin kepo hanya saja jiwa penasarannya semakin meronta-ronta, membuat Khalifa berani untuk mengintip. Khalifa diam-diam membuka pintu, cukup pelan sangat pelan, takut Khanza menyadarinya. Sesaat pintu itu sedikit dibuka Khalifa mengintip dengan salah satu matanya yang ia sipitkan, melihat ke dalam apa yang sebenarnya terjadi. Khalifa mencoba mengintip, namun yang ia lihat hanya punggung Khanza yang sedang membelakanginya. Perempuan itu tertawa entah menertawak
Jam 3 pagi seperti biasa Alby sudah bangun dengan rasa kantuk yang masih hinggap. Pagi ini dirinya harus pulang, tidak mungkin jika harus tidur di sini sampai pagi tiba. Masalahnya hubungan pernikahan ini jelas masih dirahasiakan dari Khanza, hal itu membuat Khalifa maupun Alby akan tetap berpura-pura sampai Khanza benar-benar sudah pulih dari ingatannya. Alby mulai mengumpulkan kesadarannya, apalagi melihat wajah Khalifa yang jelas membuat matanya kembali segar. “Aku pergi, nanti kita ketemu lagi. Muach!” Alby mencium kening serta kedua pipi Khalifa. Perempuan itu masih tertidur untuk itu tidak terganggu sama sekali. Alby menghela napas lantas bangun dari jaringannya, namun gerakannya terhenti saat tangan Khalifa justru menariknya. “Tetap di sini,” ucapnya melindur. Khalifa memeluk lengan Alby. “jangan pergi.”Alby tersenyum kecil, nyatanya istrinya ini mulai merasakan cinta sepertinya. Lihat saja? Alby bergerak menjauh saja langsung dilarang. “Aku harus pergi, sayang… udah wakt
PENGANTIN PENGGANTI 30 HARI #64Siang ini Khalifa sudah siap dengan pakaian yang ia kenakan. Sesuai janjinya bahwa hari ini ia akan bertemu dengan Gama. Ditempat biasa? Tentu saja ia sudah tahu tempatnya. Jangan tanyakan pasal Alby, pria itu sudah pergi 4 jam yang lalu. Tring! Suara ponsel Khalifa berbunyi menandakan ada pesan masuk. [Aku jemput ya?]Pesan itu dari Gama, Khalifa tau pasti Gama sudah pulang dari kampusnya. [Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri.] send. [Hm, baiklah. Hati-hati tapi ya, jangan ngebut.][Iya, siap Bos!] kirim Khalifa di akhiri dengan emot hormat. Khalifa terkekeh kecil lantas memasukan ponselnya ke dalam tas. Perempuan itu dengan cepat keluar kamar, berlari kecil dalam menuruni anak tangga. Namun ada satu hal saat Khalifa keluar dari dalam kamar, Khanza, perempuan itu melihat kepergian Khalifa dengan tatapan sulit diartikan. “Akhir-akhir ini Khalifa sering pergi, dan kepribadiannya … benar-benar berbeda dengan yang dahulu,” gumam Khanza mencoba men
"Lahirkan anak untukku!" ucapnya dengan datar nan dingin. Pemuda dengan pahatan yang tampak sempurna itu menyodorkan uang merah pada perempuan di depannya."Apa Pak? Melahirkan?" Terdapat rona keheranan dari seorang wanita berjilbab tersebut."Maaf, Pak. Saya hanya ingin pinjam uang 200 juta untuk pengobatan ibu saya. Bukan berarti saya ingin mengorbankan keperawanan saya!" Perempuan bernama lengkap Kinara Ariana menggeleng pelan, dia menatap heran sang atasan.Kinara yang terjebak dalam masalah ekonomi membuat dia bertekad menemui sang atasan. Bukan karena apa-apa, tapi saat ini sang ibu tengah terbaring di atas kasur. Dengan rasa sakit yang dia derita membuatnya harus segera ditangani.Dokter menyarankan untuk melakukan operasi sang ibu, namun tentu ada administrasi untuk semuanya. Dan hal yang paling Kinara menyerah adalah masalah uang. Dia tidak mempunyai simpanan banyak untuk operasi Ibunya."Anggap saja ini sebuah tawaran. Saya akan memberimu uang lebih dari 200 juta kalau kau ma
"Perkenalkan, nama saya Aarav, calon suami Kinara." Dengan pelan Aarav menyalami Runi. Mencium punggung tangan wanita berkepala empat itu. "Kamu? Calon suami Kinar?" tanya Runi dengan tatapan tidak percaya. Lirikan matanya beralih menatap Kinara yang termenung dengan melamun. "Kamu sudah punya calon, Kinar? Tapi, kenapa kamu enggak kasih tau Ibu?" Tatapan Runi mengarah pada Kinara yang menatap Aarav. Dia masih tercengang atas ungkapan Aarav padanya. Apa maksudnya? Menikahinya? "Kinar, Kinar berani nyembunyiin masalah ini dari Ibu? Kamu bilang gak ada yang mau sama kamu. Tapi ini apa? Bahkan ini lebih dari sempurna Kinar. Ya Allah ...." Terdapat raut senang dari wajah Runi kala menatap Aarav. Tidak senang bagaimana? Wajah Aarav yang putih berseri begitu memenuhi wajahnya. Alisnya tebal, hidung mancung, kulit putih. Tidak lupa, bibir yang manis saat tadi dia tersenyum membuat Runi yakin bahwa Aarav pria yang telah Allah pilihkan untuk putrinya ini. "Bu, i--ini bukan---""Saya akan
Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris. Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera. Selang beberapa jam kemudian. "Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara. Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu. Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong. Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya. Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karen