Lima tahun kemudian...
Tahun demi tahun telah terlewati. Namun, pencarian Hugo tidak membuahkan hasil. Selama itu pula, dia hanya menjadi orang yang gila kerja sampai membesarkan perusahaannya berkali-kali lipat. Akan tetapi, semua itu masih terasa hambar baginya.Hugo memang terkenal sekeras batu. Namun, semua orang tidaklah tahu bahwa hati kecilnya masih mengharapkan seseorang yang telah dia sakiti secara fisik maupun batin. Selama ini, dia hanya hidup berdampingan dengan lembah penyesalan."Tuan, 10 menit lagi kita akan sampai di perusahaan Glory Company," ucap Jay yang berhasil menarik kesadaran Hugo. Saat ini, mereka berdua berada di London dan sedang melakukan perjalanan ke perusahaan kliennya.Hugo pun hanya mengangguk kecil, lalu membuang pandangannya ke arah jendela. Netra hitam legamnya meneliti pemandangan sekitar. Tidak ada yang menarik menurutnya, hingga pandangannya menangkap segerombolan anak kecil di depan gapura sebuah sekolah. Mereka terlihat riuh sekali. Tak sedikit dari anak-anak tersebut saling mendorong ke tepi jalan."Ck, berhenti di depan sekolah itu! Di mana para guru, sampai membiarkan anak didiknya bermain di pinggir jalan seperti ini? Aku harus memberi mereka peringatan," decak Hugo kesal.Sang supir menurut saja dan mobil pun berhenti tepat di depan gapura sekolah khas taman kanak-kanak. Hugo langsung turun dari mobil untuk membubarkan kerumunan anak-anak yang menghadang jalan tadi. Namun, aktivitasnya itu harus terhenti karena melihat 2 anak yang saling adu mulut."Semua orang tahu kalau kalian itu anak haram! Dan lihat adikmu, dia juga jelek sekali. Warna matanya seperti burung gagak!" ejek Mike pada seorang gadis yang pipinya sudah basah karena air mata. Ejekkan itu mengundang gelak tawa dari anak-anak yang lain."Jangan coba-coba mengejek adikku! Kami juga bukan anak haram!" balas Axel dengan lantang. Setelah mengatakan itu, Mike pun langsung meninju pipi Axel dengan kuat sampai dia terhuyung ke belakang."Kakak, hentikan! Angel tidak apa-apa, biarkan saja mereka," pinta Angel sambil membantu saudara kembarnya berdiri.Namun sayang, Axel malah menulikan telinganya. Setelah dia berdiri dengan sempurna, anak lelaki itu malah mendorong tubuh Mike kuat, lalu mencekik lehernya. Hugo yang melihat itu langsung terkejut dan ingin melerai. Sayangnya, seorang guru tiba-tiba datang dan membuatnya mengurungkan niat."Axel, apa yang kau lakukan?! Lepaskan Mike sekarang juga!" ucap Ms. Morgan dengan lantang. Axel pun segera melepaskan tangannya. Sementara itu, Mike langsung terbatuk-batuk."Axel, ada apa ini sebenarnya? Kenapa kau mencekik temanmu?!" imbuh Ms. Morgan sambil membantu Mike berdiri."Dia mencekik leherku, Ms. Morgan. Padahal, aku tidak melakukan apa pun padanya," kilah Mike sebelum Axel membuka suaranya.Tangan anak tersebut langsung mengepal kuat. "Tidak, Ms. Morgan, dia pembohong! Dia mengatai adikku jelek dan menyebut kami anak haram!" sergah Axel cepat."Cukup, aku tidak ingin mendengar alasan apa pun lagi! Axel, cepat minta maaf pada Mike!" putus Morgan secara sepihak.Mendengar itu, Axel langsung menggelengkan kepalanya cepat. Dalam hati kecilnya, dia merutuki semua orang yang berlaku tidak adil padanya dan juga saudari kembarnya. Selama ini, tidak ada orang yang mau membela mereka hanya karena tidak memiliki orang tua yang lengkap. Namun, apakah hanya alasan itu saja yang membuat kedua anak tersebut harus dikucilkan seperti ini?Di tengah panasnya drama antara Axel dan Mike, tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan Hugo. Pria itu berhasil menyita perhatian semua orang."Wah, aku tidak menyangka bahwa ada guru yang seadil dirimu. Bagaimana bisa kau melindungi seorang pelaku bullying? Aku menduga, dulu kau pasti jadi salah satu bagian dari pelakunya, Ms," ujar Hugo seraya berjalan mendekat ke arah Axel."Mohon maaf, Tuan. Anda siapa sebenarnya?" tanya Morgan dengan dingin.Hugo menghela napas kecil. "Hanya seseorang yang lewat karena melihat gerombolan anak kecil bermain di pinggir jalan. Lalu, aku datang ke sini dan mendengar ada seorang anak berumur 5 tahun sedang mengolok-olok gadis dengan sebutan burung gagak dan juga anak haram. Bukan begitu, Mike?" tanyanya dengan senyum sinis.Mendengar hal itu, Mike pun langsung menunduk. Dia tertangkap basah kali ini. Ketakutannya itu bertambah saat Hugo menyetel sebuah rekaman suara saat dirinya mengolok-olok Angel tadi."Saranku, panggil saja orang tuanya ke sekolah sekarang. Jika tidak, biar aku saja sendiri yang menyampaikannya. Kebetulan, setelah ini aku akan pergi ke perusahaan milik ayahnya," imbuh Hugo kembali."Ti–tidak, Paman. Jangan adukan ini pada ayahku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi," balas Mike yang sedari tadi diam saja. Anak itu bahkan sudah menangis sekarang.Aura otoriter dan kekuasaan dari Hugo sangatlah tajam. Semua anak yang berada di sana sangat takut, kecuali Angel. Gadis cilik itu malah tersenyum manis. Dia sedari tadi sibuk memandangi wajah Hugo yang tampan dan kharismatik.Beberapa saat kemudian, netra keduanya pun bertemu. Mereka berdua memiliki warna bola mata yang sama. Hugo cukup tertegun saat melihatnya, begitu pun Angel. Namun, pria itu segera memutus pandangannya karena tiba-tiba merasakan ada yang aneh."Terima kasih, Paman karena sudah menolong kami," ucap Angel pelan, tapi masih bisa di dengar oleh Hugo. Kemudian, gadis itu menyikut Axel yang sedari tadi memasang raut wajah cemberut ke arah pria yang sudah menolongnya."Kak...," bisik Angel.Axel menghela napasnya kasar. "Terima kasih," ujarnya dingin pada Hugo. Bibir pria itu pun langsung tertarik ke atas dengan samar. Dia kemudian berpamitan karena sedang dikejar waktu.***"Mommy, kami pulang!" teriak Angel saat sudah membuka pintu.Sang ibu yang sedang berada di dapur pun terkejut, lalu segera menghampiri kedua anaknya yang baru saja pulang sekolah. Senyum kecilnya seketika terbit. Namun, hal itu tidak bertahan lama setelah melihat ada memar di pipi putranya."Axel, apa yang telah terjadi padamu, Sayang? Kenapa pipimu memar seperti itu?" tanya Elea khawatir. Lalu, wanita itu segera mengambil es batu dari kulkas untuk mengompres pipi sang putra.Axel bergeming dan tidak menjawab pertanyaan dari ibunya barusan. Bahkan, dia diam saja saat Elea menaruh kain berisi es batu ke pipinya. Mulutnya sudah terlalu malas untuk mengadukan hal yang sama setiap harinya. Soal burung gagaklah, soal bullylah, atau soal anak haram."Mommy, tadi Kakak dipukul sama Mike. Tadi bu guru juga memarahi Kakak. Untung saja ada paman tampan yang menolong kita. Dia membela kami di depan semua orang," timpal Angel tiba-tiba.Mendengar aduan putrinya, hati Elea terasa sakit. Dia sangat sedih saat tahu anak-anaknya jadi korban pembullyan lagi. Wanita itu sudah sering mengadukannya ke pihak sekolah. Namun, mereka malah tidak peduli dan menganggap hal itu hanya bercandaan semata.Namun, Elea tidak pernah menunjukkan kesedihannya itu di depan si kembar. Dia selalu tersenyum dan menanggapi semuanya dengan tegas."Oh, ya? Siapa nama paman itu, Sayang?" tanya Elea mengalihkan.Angel yang sedang minum pun menghentikan aktivitasnya. Kemudian, dia melihat ke arah ibunya sambil berkata, "Aku tidak tahu namanya, Mom. Tapi, paman itu sangat tampan, mirip seperti Kakak. Dan punya warna mata hitam sepertiku."“Mommy! Mommy!”Angel berteriak sambil menangis karena tak melihat keberadaan Elea sama sekali di kamar. Teriakannya tersebut berhasil membuat Axel ikut terbangun. “Hei, ada apa denganmu?” tanya Axel yang masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Angel mengusap air matanya kasar. “Mom–Mommy tidak ada, Kak. Apa Mommy meninggalkanku?” balasnya, tapi malah balik bertanya.Axel pun berdecak pelan dan turun dari ranjang. Anak tersebut mencoba untuk mencari keberadaan Elea di luar. “Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana! Aku akan segera kembali,” pinta Axel pada sang adik. Lantas, Angel pun membalasnya dengan anggukan kecil. Axel membuka pintu dengan perlahan dan mulai keluar dari kamar. Dia kemudian celingak-celinguk seperti orang kebingungan. Ya, bagaimana tidak kebingungan, kalau di sekitar kamar mereka ada 7 pintu lain yang tertutup rapat. “Ck, ini rumah atau hotel sebenarnya? Kenapa pintu kamarnya banyak sekali?” gerutu Axel dalam hati. Namun, anak laki-laki tersebut tetap melanj
“Di mana Elea?” Hugo berjalan mendekat ke arah Aria yang hendak pergi ke dapur. Kemudian, wanita itu memberi salam dan membungkuk dengan hormat pada tuannya. “Nyonya Elea sedang berada di kamar bersama anak-anak. Tadi saya sudah mengatakan bahwa beliau akan berada di satu kamar bersama Anda. Namun, nyonya menolaknya,” jelas Aria. Mendengar itu, Hugo hanya mengangguk pelan. Lalu, dia pun berlalu dari hadapan sang pelayan tanpa mengatakan apa pun. Baginya, hal tersebut tidaklah penting dan buang-buang waktu. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya Hugo sampai di depan kamar anak-anak Elea. Tanpa berpikir panjang, pria itu langsung menyelonong masuk. Elea yang sedang menata barang pun sontak terlonjak. Mata ambernya seketika menatap tajam ke arah Hugo. “Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?” tanya Elea dengan kesal. Namun, Hugo tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia malah balik bertanya. “Kenapa kau tidak mau tidur denganku?” serobotnya. Mulut Elea seketika menganga s
“Halo, bagaimana? Apa Elea sudah di mansion sekarang?” Hugo bertanya pada seseorang yang ada di seberang telepon. “Sudah, Tuan. Saya sudah menyuruh Tores untuk menjemput mereka tadi,” jawab Jay.Setelah mengatakan itu, tanpa aba-aba Hugo langsung menutup panggilannya. Pria tersebut lantas menyandarkan punggungnya ke kursi seraya menghela napas kasar. Sebenarnya, dia tadi ingin sekali menjemput Elea dan kedua anaknya. Hugo merasa rindu dengan mereka. Namun, ego dan dirinya sudah menyatu layaknya batang dengan akar. Sangat susah untuk terpisah. Di tengah kekalutannya, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu ruangan. Hugo langsung mengatur posisi menjadi siap sambil berkata, “Masuk!”Akhirnya, pintu pun terbuka dan menampilkan sosok Beatrice Migelda–sekretaris Hugo. Wanita itu mulai melangkahkan kaki jenjangnya untuk memasuki ruangan. Pakaian yang dikenakannya hari ini sangatlah tidak menunjukkan kesopanan sama sekali. Bagaimana bisa dia pergi ke kantor dengan mengenakan mini dres
“Ayo, pulang. Ini sudah larut malam.”Hugo mengajak Elea dan Axel untuk meninggalkan rumah sakit dan pergi ke mansion. Kebetulan, Angel juga sudah tidur. Namun, Elea malah pergi ke sofa sambil menggendong Axel. Dia tidak menghiraukan ucapan Hugo barusan. Hal ini membuat mood pria itu semakin bertambah buruk. “El …” panggil Hugo pelan. Namun, sang empunya yang dipanggil masih tidak menjawab. “Jika kau tidak mau pulang, terserah! Tapi, biarkan aku membawa Axel untuk pu–“ ucapan Hugo terpotong karena Elea tiba-tiba menatapnya dengan tajam. Wanita itu menaruh sebentar Axel yang sudah pulas ke atas sofa. Setelah itu, dia berjalan mendekat ke arah Hugo dengan langkah tegas. “Kenapa kau yang malah jadi sibuk sendiri dengan anak-anakku? Aku ibunya! Jangan berlagak sok jadi ayah ketika kau sendiri sebenarnya tidak mau menerima putra dan putriku!” sembur Elea. “Hentikan sandiwaramu sekarang juga!” imbuhnya lagi. Mendengar hal tersebut, rahang Hugo pun mengeras. Dia mengepalkan tangannya e
“Kemarilah, ikut aku!”Elea menggeret tangan Hugo dengan paksa. Dia kemudian membawa pria itu menuju ke luar ruangan supaya anak-anaknya tidak melihat hal yang tidak seharusnya mereka lihat. Sesampainya di tempat yang aman dan cukup sepi, barulah Elea meledakkan seluruh emosinya yang sempat tertahan. “Kenapa bisa aku sampai tertangkap oleh paparazi begitu?! Apa kau tidak memerintahkan pengawalmu dengan benar?!” berang Elea. Namun, kening Hugo malah mengernyit. Dia tidak tahu, kenapa wanita itu protes seperti tak terima begini? “Memang apa salahnya? Kau istriku,” balas Hugo singkat. Mendengar itu, emosi Elea semakin bertambah besar. Dia bahkan memukul lengan Hugo dengan keras tanpa sadar. Ya, meski itu tidak akan memberi efek apa pun padanya. “Aku bukanlah istrimu! Aku hanyalah wanita yang menjadi tawananmu!” sergah Elea. Lantas, wanita itu maju selangkah dan mengatakan sesuatu kembali, tepat di depan wajah Hugo. “Jikalau kau tidak mengancam dengan menggunakan anak-anakku, maka ak
“Putra? Kau!” Tanpa aba-aba lagi, George langsung melayangkan pukulan pada pipi kanan putranya. Sementara itu, Hugo yang tidak siap pun langsung tersungkur ke lantai. “George! Apa yang kau lakukan? Hentikan!” teriak Melda, lalu segera menghampiri sang putra yang tengah terduduk di lantai. Wanita itu pun membantunya untuk berdiri. Axel hanya bergeming saja melihat kejadian barusan. Lalu, netra ambernya tak sengaja bersitatap dengan netra hijau George. Anak tersebut tiba-tiba langsung berlari dan bersembunyi di balik punggung Hugo. “Hei, ada apa?” tanya Hugo kebingungan. “Aku takut …” cicit Axel pelan. Mendengar itu, Hugo jadi merasa tak enak sendiri. Akhirnya, dia pun berdiri dan langsung meraih sang putra ke dalam gendongannya. Pemandangan tersebut tak luput dari sorotan kedua orang tua Hugo. “Baiklah, mari kita pergi dari sini. Kita akan menjenguk adikmu ke rumah sakit,” ajak Hugo pada Axel, tapi masih bisa terdengar oleh telinga Melda. Wanita itu segera mencegat langkah Hugo