Share

7. Khawatir

Isack mempercepat langkahnya, takut Eve keburu membuka pintu.

“Tunggu!” Isack meraih tangan Eve, menahannya hingga pintu yang belum sempat terbuka kembali tertutup.

Eve terkejut, saat memutar tubuhnya justru membentur dada Isack

Brugh!

“Aduh!” Mata Eve terkena tetesan air yang mengalir dari rambut Isack sisa cuci muka.

“Tunggu, jangan di usap terlalu keras. Matamu bisa merah.” Isack mencengkeram lembut kedua pergelangan tangan Eve.

“Tapi mataku pedih.” Eve masih menutup matanya.

“Aku akan membantu mengusapnya.” Perlahan tangannya bergerak menyelusup ke sela leher dan rambut. Tangannya yang besar sangat mudah untuk memegang wajah Eve bahkan ketika ibu jarinya mengusap lembut matanya.

Namun tak serta merta dia fokus dengan mata Eve, karena kini perhatian Isack tertuju lada bibirnya.

Bibir mungil, merah jambu dan basah itu seolah melambai minta disentuh.

Kepala Eve semakin menengadah karena tarikan tangan Isack. Membuat bibir Eve semakin terlihat jelas.

Tanpa Isack sadari, kepalanya bergerak maju. Mendekati wajah Eve dengan posisi sedikit miring seperti hendak mencium bibirnya.

Napasnya hangat menderu, menyapu wajah Eve. “Tuan Prishon?” ucapnya saat menyadari tak ada lagi gerakan tangan Isack di mata.

Suara Eve seketika menyadarkan Isack. Hendak menjauh tapi Eve terlanjur membuka mata. Seolah tertangkap basah, Isack kemudian mencium bibirnya.

Deg!

Kedua mata Eve terbelalak, bibirnya terasa hangat dan basah.

Isack tak mungkin menghindar, merasa harga dirinya akan jatuh setelah Eve memergoki dirinya menatap bibir merah jambu yang membuat pikirannya kacau.

Seolah tak ada perlawanan, Isack bisa mencium sesuka hati. Meski sadar, Eve masih pasif dan tidak membalas ciumannya.

“Tunggu, kenapa bisa jadi seperti ini?” Dadanya terasa panas, napas memburu bersamaan dengan detak jantungnya yang tak terkendali. Eve ingin menolak, kedua tangannya bahkan sudah mencengkeram lengan kemeja yang dikenakan Isack tapi seketika saja kekuatannya menghilang. Melebur bersamaan dengan lembutnya bibir Isack.

Eve bisa merasakan ketika Isack membuka bibirnya lalu melahap dan melumat habis bibirnya. Tak hanya itu, Eve juga merasakan lidah Isack mengusap lembut bibirnya yang enggan membuka.

Merasa tak ada respons, Isack kemudian menyudahi ciumannya. Ekspresi wajah malu kini telah berganti dengan senyum impulsif serta sorot mata angkuh. “Ini termasuk dari bagian serangkaian training yang akan dimulai besok.”

“Training?” Kening Eve berkerut. “Training macam apa? Apakah ciuman juga ada Trainingnya?” tanya Eve dalam hati.

“Iya, tapi selebihnya besok kau akan mengunjungi beberapa tempa pelatihan. Namun untuk pelajaran ciuman seperti tadi ... aku yang akan menjadi pelatihmu.”

Bibir Eve kelu, masih belum bisa mencerna maksud Isack.

“Kau pasti bertanya-tanya.” Tangannya bergerak mengusap sisa basah bibir Eve akibat perbuatannya. “Dalam keluargaku semua hal selalu di atur. Tanpa terkecuali ciuman di depan umum. Besok saat berdiri di depan semua orang setelah melakukan sumpah pernikahan ... kau tahu ‘kan maksudku, mempelai lelaki harus mencium pengantin wanitanya. Dan saat itu, kau dilarang keras melakukan kesalahan. Karena semua mata pasti akan tertuju padamu ketika aku menciummu nanti.” Jelas, itu hanya akal-akalan Isack.

“Aneh, kenapa juga harus ada pembelajaran dalam ciuman? Hal seperti itu bahkan mudah dilakukan, anak kecil juga bisa,” gerutu Eve, kesal.

Pffft! “Lalu, kenapa kau tidak membalas ciumanku tadi?”

Eve terdiam sesaat. “Jelas saja aku diam tidak membalas ciumanmu, Tuan Prishon. Kita baru saja mengenal. Kita juga tidak memiliki hubungan apa pun sebelumnya.”

“Kau lupa?” Isack mulai memperingatkan mengenai perjanjian mereka. “Bukankah tadi aku sempat bilang, setelah kau menandatangani surat perjanjian itu ... maka artinya seluruh darimu tanpa terkecuali telah menjadi milik keluarga Prishon. Tidak, aku ralat kalimat itu. Kau seutuhnya menjadi milikku.”

“Aku tahu,” sahut Eve.

“Baguslah, jadi kau tidak perlu menolak dan melawan setiap apa yang aku perintahkan.”

Eve tertunduk muram. “Kenapa jadi seperti ini? Tidak ... pasti ada yang salah,” gumamnya dalam hati.

Isack terkesiap melihat ekspresi Eve berubah murung. Menyadari apa yang baru saja dia lakukan kepada Eve, Isack merasa bersalah. “Maaf.” Tangannya terulur, menyentuh pipi Eve lembut. “Aku tidak bermaksud mengancammu."

Wajah Eve terangkat menatap Isack yang posisinya jauh lebih tinggi. “Tenang, Eve ... hanya dua tahun. Ini demi ibumu dan juga hidupmu. Tapi ... kenapa setiap kali aku melihat mata senior, aku merasa seolah dia menyembunyikan sesuatu dariku?” batinnya.

“Pelan-pelan ... kita akan belajar layaknya suami istri sungguhan. Agar keluargaku tidak curiga.” Ibu jarinya mengusap bibir Eve, merasa belum puas dengan ciuman yang dia lakukan sebelumnya. “Sabar, kau masih memiliki banyak waktu bersama dengan Eve, Isak!” ucapnya dalam hati. Mengecupnya kemudian. “Kau duduk saja, biar aku yang membuka pintunya.” Tentu saja Isack tak mungkin membiarkan Eve membuka pintu karena bisa jadi orang yang di luar bukanlah Noe.

Kepalanya menoleh ke samping saat memastikan kalau Eve telah duduk di sofa. Setelah itu, Isack membuka pintu meski tak lebar. Hanya sedikit dan itu muat untuk dirinya keluar.

Matanya terbelalak melihat yang datang bukanlah pegawai hotel yang dikira akan mengantar pesanan makan malam tapi seorang perempuan.

Dia sekretaris ayahnya di perusahaan. Tanpa sengaja melihat Isack berada di hotel itu, segera dia datang untuk memastikan. “Syukurlah, dugaan saya benar, saya pikir saya salah lihat.” Perempuan itu berucap lembut, diselingi senyum manis setiap kalimatnya.

Di saat itu, Isack menggunakan kesempatan untuk menutup pintu sebelum Lhea, sekretaris ayahnya itu melihat ke dalam. “Sedang apa kau di sini?” Meski sangat gugup, Isack mampu mengendalikan diri. Sikapnya yang sangat tenang membuat Lhea tak curiga.

“Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud mengganggu istirahat Anda. Tapi Tuan Hosea meminta saya untuk datang kemari menjamu tamu yang datang dari luar kota. Kebetulan karena bertemu Anda di sini ... bagaimana kalau Anda ikut sekalian."

Isack terdiam, memikirkan ajakan Lhea. Jika dia menuruti keinginannya lalu bagaimana dengan Eve?

“Saya sudah memberi tahu Tuan Hosea kalau Anda di sini.” Tanpa rasa bersalah Lhea tersenyum polos.

Isack hanya bisa menghela napas. “Aku akan menemui kalian di lantai bawah. Kau pergi saja dulu, aku akan bersiap-siap.”

“Baik Tuan. Uhmm ....” Ujung matanya bergerak ke samping, melirik ke dalam kamar melalui sisa sela pintu yang sebelumnya telah dibuka saat Isack akan masuk.

Langsung saja, Lhea mendapat lirikan tajam dari Isack.

Ghm! “Saya ... saya ke bawah terlebih dulu. Kita akan bertemu di sana, Tuan."

~♤~

Isack telah menutup pintunya, melangkah masuk ke dalam sembari membuang pandangan ke Eve Daphni yang tertidur di sofa.

Langkahnya terhenti di samping sofa, menatap nanar wajah Eve. Pipi Isack merona melihat rambut basah serta posisi tidur Eve yang menggoda.

Lehernya yang kecil terlihat jelas, begitu juga belahan dadanya.

“Ceroboh!” gumam Isack. Hanya melihat Eve tertidur dengan posisi telentang saja mampu membuat Isack tergoda. “Sial!” Dipaksa menahan saat Isack harus mengangkat tubuh Eve ke ranjang.

Setelahnya sebelum menemui Lhea, dia pergi ke kamar mandi membereskan sesuatu yang menegang dari tubuhnya.

Tak lama kemudian, Isack menemui Lhea dan tamu yang datang dari luar negeri di lantai bawah. Kebetulan restoran terletak di sana.

Lhea tersenyum menyambut kedatangan Isack.

Lumayan lama, sekitar satu jam lebih Isack berbincang menemani mereka. Seketika lupa bahwa Eve berada di salah satu kamar hotel itu.

Namun, ketika sedang fokus dengan topik pembicaraan, Isack dikejutkan dengan sekelebatan bayangan seorang perempuan yang menyerupai Eve Daphni berlari keluar menuju lobi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status