Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda.
Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil menggendong anak kecil dan membawa tas besar di pagi hari seperti ini? Dina merasa dirinya seperti seorang pengemis yang kerap berada di lampu merah. Banyak orang yang menatap iba kepadanya, namun tak jarang juga yang mencibir ketika menyadari jika dirinya adalah istri dari Raka Pradana. Sosok yang terkenal baik, meski terkesan angkuh dan tidak peduli pada sekitar. Namun, Dina tidak peduli. Yang ada di kepalanya hanya pergi sejauh mungkin, menjauh dari rasa sakit dan pengkhianatan yang ia rasakan. Kemana ia harus pergi sekarang? Sempat terlintas keinginan untuk pulang ke rumah keluarganya, tapi Dina merasa itu bukanlah hal yang bijak. Setiap rumah tangga pasti pernah mengalami masalah. Dan Dina harap masalah yang saat ini terjadi dalam keluarga kecilnya, akan bisa diperbaiki. Dina marah pada Raka? Ya! Dia marah dan amat kecewa! Wanita mana yang tidak marah ketika pria yang dia cintai setengah mati hingga rela mengorbankan keluarganya sendiri, ternyata berkhianat? Dina ingin pergi meninggalkan Raka? Tentu saja! Dia ingin melupakan pria itu kalau bisa. Pergi sejauh mungkin darinya. Tapi kini, bukan hanya dirinya. Ada Esa yang masih membutuhkan figur seorang ayah dalam hidupnya. Jadi demi Esa, Dina rela mempertimbangkan segalanya. Memberikan kesempatan bagi keluarga kecil mereka untuk memperbaiki keadaan. Mereka mungkin hanya butuh waktu. Waktu untuk belajar memaafkan dan waktu untuk berdamai dengan perasaan. Ya... semoga saja ini hanyalah kesalahan sesaat yang dilakukan Raka. Sebagai ujian dari rumah tangga mereka. Pria itu hanya jenuh dan lelah dengan segala beban dalam hidup mereka. Setelah ia sadar, Raka pasti akan mencarinya lagi. Meminta maaf dan memohon Dina untuk kembali. Karena itulah, sebisa mungkin Dina tidak akan kembali ke rumah orangtuanya, karena jika hal itu sampai terjadi, rumah tangga mereka mungkin tidak akan pernah terselamatkan lagi. Tanpa Dina sadari, langkah kakinya membawanya ke sebuah rumah kecil dengan pagar hijau dan tanaman bunga yang tertata rapi di depan teras. Rumah Bibi Safitri—saudara dari Ibu Irma, mertuanya. Mereka memang tak cukup dekat, namun setidaknya Bibi Safitri adalah satu dari sedikit orang dari keluarga Raka yang memperlakukannya dengan baik. Dina berdiri di depan pagar sejenak, ragu-ragu. Namun, ketika kakinya mulai terasa gemetar dan lelah, ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Dina mengetuk pintu perlahan. Tak lama, pintu terbuka menampilkan sosok Bibi Safitri yang tampak terkejut melihatnya. "Dina? Ya Tuhan, Kamu kenapa Sayang? Kamu terlihat sangat berantakan," tanya Bibi Safitri dengan nada khawatir. "Masuk, Nak. Masuk dulu." Dina mengikuti Bibi Safitri masuk ke dalam rumah. Begitu duduk di ruang tamu, tubuhnya langsung merosot ke sofa. Esa masih tertidur di pelukannya, napasnya teratur namun masih terasa panas. "Biar Bibi yang gendong Esa. Kamu istirahat dulu," ujar Bibi Safitri, dengan lembut mengambil Esa dari pelukan Dina. Dina hanya mengangguk lemah, membiarkan tangan Bibi Safitri mengangkat tubuh kecil anaknya. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Setelah membaringkan Esa di kamar belakang, Bibi Safitri kembali dengan segelas es jeruk di tangannya. "Minum dulu, Dina. Kamu kelihatan sangat lelah." Dina mengambil gelas itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Bi." Bibi Safitri duduk di samping Dina, memandangnya penuh kekhawatiran. "Sekarang ceritakan pada Bibi, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu datang ke sini? Apa Raka melakukan sesuatu padamu?" Dina menggigit bibirnya, menahan isak. "Aku... aku sudah tidak tahan lagi, Bi." "Ada apa? Apa kalian bertengkar?" Dina mengangguk. "Mas Raka... dia selingkuh, Bi. Aku menemukan noda lipstik di bajunya, dan baunya seperti parfum wanita lain." Bibi Safitri menutup mulutnya, terkejut. "Ya Tuhan, Dina... Kamu sudah bicara padanya?" "Aku sudah tanya langsung. Awalnya dia mengelak, tapi akhirnya dia mengaku. Katanya... katanya dia memang ingin menikah lagi. Dengan bosnya sendiri." Bibi Safitri terperangah. "Kenapa bisa begitu? Apa alasannya?" "Dia bilang, bosnya itu bisa memberikan uang untuk kebutuhan kami. Katanya dia melakukannya demi aku dan Esa. Tapi... bagaimana mungkin? Selama ini aku tidak pernah menuntut apa-apa. Aku tidak pernah meminta lebih dari sekadar kebutuhan sehari-hari," suara Dina bergetar, air matanya kembali mengalir deras. Bibi Safitri mengusap punggung Dina perlahan. "Dina... Bibi tidak menyangka Raka bisa berpikir sependek itu. Dia seharusnya melindungimu, bukan malah membuatmu menderita." "Tapi itu belum seberapa Bi, yang paling menyakitkan... dia bilang dia tidak yakin kalau Esa anaknya." "Astaga!" Bibi Safitri menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Bagaimana mungkin dia mengatakan hal sekejam itu?" Dina menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Bi. Aku sudah tidak tahu apa-apa lagi. Aku hanya ingin pergi. Aku tidak ingin Esa tumbuh mendengar kata-kata yang menyakitkan dari ayahnya sendiri." Bibi Safitri menarik napas panjang. "Dina, kamu tenang dulu. Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau. Bibi juga akan bicara pada keluarga, memastikan tidak ada yang mengganggumu untuk sementara waktu." "Terima kasih, Bi. Aku tidak tahu harus ke mana lagi." Bibi Safitri memeluknya erat, membiarkan Dina meluapkan semua tangisannya. "Kamu sudah sangat kuat, Dina. Bibi tahu kamu sudah berusaha sebaik mungkin selama ini." "Tapi aku merasa gagal, Bi. Aku tidak bisa membuat Mas Raka bahagia. Aku bahkan tidak bisa melindungi Esa..." "Ssst... Jangan bicara begitu. Ini bukan salahmu. Tidak ada yang pantas diperlakukan seperti ini. Apalagi kamu dan Esa." Dina mengusap wajahnya, mencoba mengembalikan ketenangannya. "Aku hanya ingin Esa tumbuh bahagia. Aku tidak mau dia melihat pertengkaran kami, merasakan kebencian di rumah kami." Bibi Safitri mengangguk penuh pengertian. "Kamu ibu yang hebat, Dina. Mengambil keputusan untuk pergi bukanlah hal yang mudah. Kamu sudah melindungi Esa dengan cara yang terbaik." "Sudah, jangan berpikir yang berat-berat dulu. Yang penting sekarang kamu istirahat. Biar Bibi yang urus Esa. Kamu tiduran saja dulu, ya?" Dina hanya bisa mengangguk. Rasa lelah, bukan hanya di tubuh tapi juga di hatinya, membuatnya tak sanggup berkata-kata lagi. Sementara itu, Bibi Safitri menatap Dina dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, keputusan Dina bukan hal yang mudah. Tapi ia juga tahu, perempuan itu sudah terlalu lama menahan luka batin yang mendalam. Bibi Safitri menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan hal itu atau tidak. Ia merasa inilah waktu yang tepat untuk mengatakannya, namun di sisi lain, ia khawatir jika Dina akan semakin terpukul setelah mendengarnya. Karena kenyataan yang sesungguhnya, bahkan jauh lebih menyakitkan dari apa yang ia kira.Udara pengap bercampur ketegangan, membuat ruangan terasa lebih kecil daripada biasanya. Satu per satu, hadirin yang datang mencuri pandang ke arah Dina. Sorot matanya tidak gentar, hanya fokus dan tekad yang jelas. Ini bukan hanya soal dirinya. Ini tentang keadilan, tentang anaknya, dan tentang harga dirinya yang dulu pernah diinjak-injak.Di sisi lain, Raka tampak canggung. Meski mengenakan jas formal dan duduk dengan postur tegak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Sesaat lalu ia mendengar bisikan dari pengacaranya jika pihak Dina mungkin menemukan beberapa bukti tindakan pidana yang bisa memberatkannya. Raka meremas sandaran kursi di sebelahnya. Bukankah dirinya sudah bermain dengan sangat rapi? Helena yang menjadi salah satu pion dalam rencananya saja tidak sadar sama sekali. Jadi bukti apa yang mungkin ditemukan oleh pihak Dina?Di sebelahnya, pengacara mudanya sibuk membolak-balik berkas, berusaha mempertahankan ketenangan yang perlahan mulai mengelupas.“Sidan
Gedung pengadilan itu menjulang angkuh, namun hari itu, langkah Dina tetap tegak. Ia berdiri di bawah langit mendung, mengenakan blus putih gading dan celana panjang hitam yang rapi. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah tengah menahan badai yang mengamuk di dalam hatinya.Ia tentu saja tidak datang sendirian. Di sisi kirinya berdiri Celia, menggenggam tangan Dina seerat mungkin sejak mereka pertama kali melangkahkan kaki di area pengadilan. Di belakangnya, Anggara tampak serius dalam setelan jas abu-abu gelap. Terlihat sedang berbicara serius dengan pengacara mereka. Wajahnya menegang, namun sorot matanya penuh keberpihakan. Tidak jauh dari mereka, Darmawan berdiri didampingi dua putra lainnya—Adrian dan Ariasa—yang jarang memiliki waktu luang, namun hari itu menyempatkan diri hadir demi adik perempuan mereka.Dina menarik napas dalam-dalam. Matanya menelusuri satu per satu wajah orang yang berdiri di sekitarnya. Mereka ada di sana bukan hanya sebaga
Pagi itu, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Reihan sudah berdiri di depan lemari pakaiannya. Tangannya bersedekap, lalu turun, lalu naik lagi untuk menggaruk kepala. Di hadapannya, sederet pakaian tergantung rapi, tapi tak satu pun yang terasa cocok."Yang ini terlalu formal," gumamnya, sambil melemparkan kemeja biru dongker yang sesaat tadi ia tempelkan di badannya. Ia berniat mengambil kemeja abu-abu, lalu buru-buru menggeleng. "Terlalu dingin. Dina bisa ngira aku mau wawancara kerja."Ia menurunkan pandangan ke kaus polo, lalu mengambil jaket denim, tapi kembali mengurungkannya. "Ini terlalu santai. Nggak sopan juga kalau aku dateng cuma pake ini."Matanya kemudian melirik ke arah kemeja bermotif bunga-bunga dan celana pendek senada, namun secepat itu pula ia mengalihkan pandangannya. Ia menarik satu jaket semi-formal. "Hmm... ini... ah, sepertinya terlalu berlebihan. "Reihan menghela napas panjang, lalu memandangi cermin dengan tatapan putus asa. Ia menatap dirinya s
Langit mendung pagi itu seolah mencerminkan perasaan Dina yang penuh waspada. Di dalam mobil yang melaju menuju kafe tempat pertemuan, tangannya saling menggenggam lebih erat dari biasanya. Ia sudah siap dengan semua kemungkinan—atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan diri bahwa ia siap.Beberapa hari lalu, Anggara mengirim pesan pendek, tapi isinya cukup untuk membuat dada Dina sesak sepanjang malam:“Dina, detektif David dapat sesuatu. Kayaknya cukup kuat buat jadi senjata utama. Besok kita ketemu ya, aku mau kamu lihat sendiri.”Hari ini, “sesuatu” itu akan terungkap. Dina parkir di depan kafe kecil yang dipilih Anggara untuk menjaga privasi. Di dalam, sudut ruangan dipilih dengan cermat—jauh dari jendela dan pengunjung lain.Anggara sudah menunggu bersama seorang pria yang segera berdiri saat melihat Dina mendekat.“Dina, kenalkan. Ini Pak David,” ujar Anggara.“Senang bertemu langsung, Bu Dina.” Suara David tenang, berwibawa. Wajahnya tak asing—ia tampak seperti salah satu karakte
Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi udara, menyatu dengan aroma kain baru dan kertas sketsa yang terbuka di atas meja. Esa sedang bermain balok warna-warni di pojok ruangan, sesekali berceloteh dengan suara kecilnya yang menggemaskan. Dina duduk di kursinya, jari-jarinya menari di atas keyboard laptop, membalas pesan dari pelanggan dan menjadwalkan pengambilan barang oleh kurir. Di tengah kesibukannya, ponsel di samping laptop bergetar pelan. Nama Karissa muncul di layar. Dina segera mengangkatnya. “Halo, Karissa,” ucapnya sambil tersenyum. “Pagi, Dina! Aku cuma mau kasih kabar, jahitan batch kedua udah hampir rampung. Kalau kamu sempat hari ini, datang ke studio ya. Sekalian kita cek detail finishing-nya bareng.” Dina mengangguk, walau Karissa tentu tak bisa melihatnya. “Oke, aku akan kesana siang ini. Kamu free jam berapa ?” “Aku hari ini di studio, kamu bisa datang jam berapapun,” jawab Karissa lagi. "Sekitar jam dua aku sudah ada di sana. Terimakasih ya..." "
Langkah-langkah Reihan bergema pelan di lantai bangunan yang belum sepenuhnya rampung direnovasi. Udara sore masih membawa aroma cat baru dan kayu yang baru dipernis. Beberapa tukang sibuk mengecat tembok bagian depan, sementara yang lain membereskan peralatan di halaman.Bangunan tiga lantai itu memang belum selesai, tetapi perlahan sudah mulai menunjukkan wujudnya yang baru: terang, bersih, dan hidup.Reihan berdiri di tengah ruang lantai dasar yang kelak akan menjadi tempat Dina memulai lembaran baru. Tangannya menyentuh meja kerja panjang yang baru dipasang. Masih kosong, tapi ia sudah bisa membayangkan tumpukan kain, pita warna-warni, dan kertas pesanan yang akan mengisi meja itu suatu hari nanti. Ia bisa membayangkan Dina berdiri di sana, menggulung pita sambil menggendong Esa di sisi lain tubuhnya—sibuk, tapi bahagia.Ia tersenyum tipis. Sebagian karena senang melihat kemajuan tempat ini. Sebagian lagi karena ingatan masa lalu yang diam-diam menyeruak.Mereka sudah saling meng