WARISAN 7
Aku akhirnya memutuskan untuk pulang, meski sebenarnya aku sempat keberatan untuk tinggal di rumah itu lagi, aku ingin tinggal di rumah orangtua ku saja. Di rumah mas Rusdi sempit, sedangkan yang menghuni lima orang, bukan tidak bersyukur tapi memang aku tidak terbiasa. Bahkan, saat pertama ke rumah ini kami harus membangun kamar baru yang sangat sederhana dari kasibot di bagian belakang rumah dekat dengan dapur. Ibu sedang duduk di ruang tamu saat aku dan mas Rusdi masuk, ada mas Haidar juga yang duduk di samping kanannya. Ibu melirik tidak suka ke arahku, sementara mas Haidar, tatapannya itu selalu tajam entah kenapa dia sepertinya sangat membenciku. Entah ada dendam apa sebenarnya dia itu. "Kalau ada masalah itu, jangan apa-apa lari ngadu ke orang tua, kayak anak kecil saja!" Itu celetukan mas Haidar, memang mulutnya lebih julid daripada perempuan aku heran ada model lelaki seperti itu. Aku ingin menimpali, tapi tangan mas Rusdi langsung menggenggam erat tanganku, aku mendongak menatapnya dan dia menggeleng perlahan. Kami akhirnya terus berjalan menuju kamar di bagian belakang. "Nanti malam, ibu mau bicara. Kalian semua anak-anak ibu harus kumpul di rumah ini!" Itu suara ibu, di menekan suaranya di bagian kata 'anak-anak ibu' oh, sepertinya dia ingin menegaskan agar aku tidak hadir malam nanti. Tidak masalah, lagipula aku sudah tidak peduli lagi dengan keluarga ini kecuali tentang mas Haidar dan kesehatan bapak mertuaku. Malam harinya, sesuai perintah ibu semua anak-anaknya berkumpul. "Kamu di sini dulu ya dek? Gak papa, kan? Mas janji gak akan lama." ucap Mas Rusdi. "Iya Mas, kamu tenang aja. Aku sudah memutuskan untuk tidak ikut campur lagi, jadi aku tidak akan ke sana." "Maaf ya, Dek." "Maaf? Maaf untuk apa?" Mas Rusdi yang tadi sudah berdiri kini kembali duduk di sampingku. "Maaf, kalau kamu merasa tidak dianggap di keluarga ini, maaf kalau selama kamu menikah denganku kamu malah jadi banyak masalah dan terus sedih, bukannya bahagia." Aku terdiam, tadinya aku memang emosi tapi mendengar kata-kata mas Rusdi membuat hatiku kembali luluh. Ya, Mas Rusdi memang sebaik dan selembut itu. Dia juga perhatian, sejak dulu sikapnya tidak pernah berubah. Sejak kami masih kecil. "Aku memang awalnya kaget Mas lihat sikap keluarga kamu. Tapi sekarang sepertinya aku paham aku harus bagaimana memposisikan diriku di keluarga ini. Dan aku tidak masalah mau seperti apa sikap keluarga kamu padaku, yang penting itu sikap kamu. Jangan bela mereka kalau mereka memang salah. Aku gak suka!" Mas Rusdi mengangguk. "Aku tahu, aku minta maaf aku tidak bermaksud membela mereka. Aku hanya ingin melindungi kamu. Bertengkar hanya membuat sakit hati, tidak akan merubah apapun, jadi menurutku lebih baik diam saja, Dek." "Tidak juga. Kalau terus diam kita akan diinjak-injak. Tapi, sekarang aku ngerti Mas. Kapan harus diam kapan harus melawan." "Rusdi!!! Kamu lagi ngapain? Jam segini udah kelonan? Sini loh! Anak-anak ibu yang beda rumah aja sudah pada kumpul, kamu masih diam aja di kamar!" Aku dan Mas Rusdi kompak menggeleng ketika mendengar suara mbak Santi. Eh tunggu, ada mbak Santi? Bukannya ini pertemuan ibu dan anak-anak nya? Oh ya, mungkin saja ibu sudah menganggap mbak Santi anak sendiri, sementara aku tidak. "Yasudah, mas ke depan dulu ya." Aku mengangguk dan mas Rusdi pun keluar. Karena penasaran aku juga ikut keluar, hanya mengintip saja ingin memastikan apakah di sana ada mas Dayat~suaminya Ayu atau tidak. Aku berjalan mindik-mindik, pembicaraan sudah dimulai rupanya mereka sedang membahas tanah milik bapak. Dari balik lemari aku melongok mengintip sedikit dan pas sekali sosok yang aku lihat adalah mas Dayat. Ada Reihan juga di sana. Oh, rupanya memang hanya aku yang tidak dianggap. Its oke gak masalah. Aku langsung berbalik, daripada pusing memikirkan mereka lebih baik aku kembali bekerja. Oh ya, apa aku belum memberitahu? Sebenarnya aku bekerja sebagai salah satu anggota tim IT di salah satu perusahaan besar di kota. Cyber security , ya aku bekerja sebagai penjaga sistem keamanan. Benar kata mamah. Memang banyak lelaki lain yang lebih tampan, tajir dan keren daripada mas Rusdi, ada yang terang-terangan sudah menyatakan cintanya padaku, ada juga yang hanya memberikan sinyal-sinyal halus. Bukannya apa, aku sedikit trauma, Sudah berapa kali aku sudah menjalani hubungan mereka yang tampan dan kaya tidak setia, ya memang tidak semua mungkin karena penampilan ku juga yang membuat mereka berpaling. Seperti yang dikatakan Ayu, aku memang sedikit gendut, ya mau bagaimana? Aku memang doyan makan. Dan aku tidak mau merubah penampilanku sekarang ini. Aku ingin ada lelaki yang tulus mencintai aku apa adanya. Dan dari awal saat ayahku datang ke sini lagi setelah lama merantau dan di gegerkan bangkrut aku meminta ayah tidak klarifikasi. Biarkan saja. Aku ingin menguji mas Rusdi apakah dia tulus cinta padaku, tanpa tahu kalau aku kaya. Jadi untuk tujuan itu aku juga menyembunyikan pekerjaan asliku. Oh ya, kembali ke pekerjaan ku. Sebenarnya saat akan menikah aku sudah memutuskan keluar dari pekerjaan ku karena kan aku bohong soal ini pada mas Rusdi, kalau aku tetep kerja nanti ketahuan. Tapi untungnya anggota tim tidak ingin aku keluar, mereka masih membutuhkan aku. Jadi mereka memberi ide agar aku bekerja dari rumah saja dan datang ke kantor jika memang ada yang sangat penting dan mengharuskan aku datang. Jadilah sekarang aku masih harus bekerja dan aku sangat bersyukur tidak jadi keluar waktu itu. "Loh, sudah selesai, Mas?" tanyaku ketika mas Rusdi sudah masuk. Hanya sepuluh menit dia sudah kembali. "Sudah." "Bahas apa?" Mas Rusdi tidak langsung menjawab. "Tanah itu lagi, kan?" "Iya." "Apa kata ibu? Dia bicara apa sampai semua anaknya harus dikumpulkan?" "Pembagian tanah itu, pembagian sementara. Tanah itu, akan dibangun toko oleh mas Haidar. Hampir semua tanahnya. Tanah bapak kan setengah hektar . 100 meter x 50 meter . Mas Haidar ambil posisi tanah membentuk L . 75 meter x 50 meter dan 25 meter x 25 meter . Sisanya 25 meter x 25 meter untuk Ayu." Aku hanya mengangguk-angguk sudah tidak tertarik lagi, tapi bisa aku lihat wajah mas Rusdi yang sedih. Ya, dia pasti kecewa, tapi aku sudah memperingatkan dia kan? Dia yang bilang tidak usah ikut campur dan dia gak berharap tanah itu kenapa sekarang galau? "Kenapa sedih begitu, Mas? Kata kamu kan biarkan saja, gak usah ikut campur dan kamu juga gak mengharapkan tanah itu kan?" Mas Rusdi menghela nafas, "Iya memang, tapi aku tidak menyangka mas Haidar akan mengambil tanah sebesar itu. Kamu tahu, kan? Kalau ini bukan pembagian sementara kalau sudah dibangun toko, tanah itu tidak mungkin dikembalikan lagi aku paham betul sifat—" "Mas, masih ada waktu kalau mau protes. Jadi mau protes atau mau diam saja?" tanyaku karena geram sendiri. "Aku bingung." "Kalau begitu, biarkan saja. Kita tidak butuh tanah itu! Kamu juga tidak mengharapkan, kan?" "Iya, tapi soal bapak dan ibu ... " "Biarkan saja, kan ada mas Haidar. Kita lihat nanti seperti apa mereka akan mengurus kebutuhan ibu dan bapak. Dan biarkan ibumu mengerti seperti apa sifat anak kesayangan nya itu!"WARISAN 10 Aku tertegun, duduk diam sambil menekuk lutut. Udara rasanya pengap sekali, seperti tidak ada oksigen, aku kesulitan bernafas. Kubiarkan laptop yang tadi sangat aku khawatirkan tetap tergeletak di lantai, sekarang semua rasanya sudah tidak penting lagi. "Kalau ibu usir Nina, itu artinya ibu juga ngusir aku," Aku memejamkan kedua mata dengan erat, ketika mendengar apa yang dikatakan mas Rusdi di luar sana. "Gila kamu Rus!! Kamu lebih milih wanita lain daripada ibu kamu sendiri?!" suara Mas Haidar terdengar menggelegar. "Tega kamu, ya!" "Tapi Nina bukan wanita lain, Mas. Dia istriku sekarang. Dia itu tanggungjawab ku! Apapun yang terjadi sama dia, aku akan mendampingi nya!" Tes! Airmataku jatuh, aku memang tidak salah memilih mas Rusdi sebagai suami, terlepas dari semua kekurangan nya tapi dia ternyata benar-benar mencintai aku. "Jadi, kamu lebih memilih wanita itu?" Kini yang aku dengar adalah suara ibu, suaranya sudah lebih tenang tidak terdengar bergetar lagi mes
WARISAN 9 Aku menatap lembaran uang yang berhamburan di lantai mengambilnya lalu kembali melempar uang itu ke arah mbak Sinta tepat nya di muka nya yang menor itu! "Cukup ya mbak! Maksud mbak apa bersikap begini, hah??? Kenapa mbak tiba-tiba marah dan ngatain aku korupsi sampai melempar uang segala? Mbak Bersikap seolah-olah aku ini babu, tukang masak nya mbak?? Sorry ya! Aku gak sudi!!" "Asal mbak tahu, aku ke sini karena perintah ibu untuk mengantar makanan ini buat mbak dan mas Haidar. Uang yang dipakai untuk belanja juga uangku pribadi bukan dari ibu apalagi mbak!! Memangnya mbak pernah kasih uang? Kapan? Orang pelit kayak mbak, mana mungkin mau kasih uang!!" "Hehhh kurang ajar kamu ya!" "Yang kurang ajar itu mbak! Ngaca dongg!!! Sudah mending diantarkan makanan tapi malah ngelunjak!" "Kamu?? Berani ya! Makanan gak enak aja bangga!!" "Oh ya? Gak enak ya? Yaudah sini balikin kalau gak enak!!"Aku berusaha merebut kembali makanan yang tadi aku bawa, tapi mbak Sinta menahannya
WARISAN 8 Pagi ini, aku sedang menyapu halaman rumah saat tiba-tiba saja sebuah mobil pengantar barang bangunan berhenti di depan rumah. "Mbak! Maaf numpang tanya," tanya sopir itu tanpa turun dari mobilnya."Tanya apa ya, Mas?" "Rumahnya mbak Santi di mana, ya?" "Mbak Santi? Oh, lurus saja, itu rumah yang warna ungu, dan pagarnya hitam, itu rumahnya!" Bisa kulihat lelaki itu tersenyum setelah mengucapkan terimakasih. Aku hendak kembali menyapu ketika menyadari kalau di dalam mobil itu juga ada mas Haidar. "Loh? Oh ... Manas-manasi ceritanya? Dasar kakak ipar e-dan!" Makiku ... Aneh sekali, kok ada model kakak ipar seperti itu. Untuk apa coba dia pura-pura bertanya alamat istrinya sendiri."Kamu ngomong sama siapa, Dek?" tanya Mas Rusdi yang datang dengan secangkir kopi. "Ngomong sendirian." "Loh? Masih pagi ini loh, Dek ... Udah ngomong sendirian aja. Nanti dilihat tetangga dikiranya kamu ... " Mas Rusdi tidak melanjutkan kalimatnya. "Dikira aku apa? E-dan? Yang E-dan itu
WARISAN 7Aku akhirnya memutuskan untuk pulang, meski sebenarnya aku sempat keberatan untuk tinggal di rumah itu lagi, aku ingin tinggal di rumah orangtua ku saja.Di rumah mas Rusdi sempit, sedangkan yang menghuni lima orang, bukan tidak bersyukur tapi memang aku tidak terbiasa. Bahkan, saat pertama ke rumah ini kami harus membangun kamar baru yang sangat sederhana dari kasibot di bagian belakang rumah dekat dengan dapur. Ibu sedang duduk di ruang tamu saat aku dan mas Rusdi masuk, ada mas Haidar juga yang duduk di samping kanannya. Ibu melirik tidak suka ke arahku, sementara mas Haidar, tatapannya itu selalu tajam entah kenapa dia sepertinya sangat membenciku. Entah ada dendam apa sebenarnya dia itu. "Kalau ada masalah itu, jangan apa-apa lari ngadu ke orang tua, kayak anak kecil saja!" Itu celetukan mas Haidar, memang mulutnya lebih julid daripada perempuan aku heran ada model lelaki seperti itu. Aku ingin menimpali, tapi tangan mas Rusdi langsung menggenggam erat tanganku, aku
WARISAN 6 "Nina? Kok kamu di sini? Sama siapa? Di mana Rusdi?" tanya Hendro~ayah Nina ketika melihat putrinya membuka pintu. Karena sakit hati, Nina memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya tanpa berpamitan pada Rusdi. "Nina? Kamu nangis? Ya ampun? Kamu di apain di sana, Nak? Ayo duduk dulu!" Yeyen yang melihat sang putri datang dalam keadaan menangis langsung berlari merangsek dan memeluk putrinya. "Ceritakan, ada apa, Nak? Kamu kenapa pulang ke sini sendirian?" tanya Yeyen pelan. "Bu, kamu lebih baik ambil minum dulu untuk Nina!" titah Hendro. Nina menghela nafas, kemudian punggung tangan kanannya bergerak untuk menghapus air mata. "Mereka itu gila, Pak!" ucap Nina. "Siapa yang gila?" "Haidar dan ibunya," "Hus! Nina, kamu gak boleh bicara sembarangan soal ibu mertua kamu sendiri," tegur Hendro. Nina melengos. "Kamu diapain sama mereka, Nin? Dipukul? Ditampar? Cerita sama ibu!" Yeyen datang sambil membawa minum untuk Nina. "Enggak Mah. Nina gak diapa-apain. Cuman, si
WARISAN 5POV Haidar . "Makanya, kan sudah aku bilang lebih baik kamu diam saja! Gak usah ikut campur! Tahu kan akibatnya sekarang?" Aku tersenyum menyeringai. Mengingat saat ibu memarahi Nina tadi aku merasa sangat puas, apalagi sekarang ketika aku melihat perempuan menyebalkan itu menangis. Nina menoleh ke arahku, dia menghapus air mata menggunakan tangan kanannya lalu berjalan mendekat. Sejak tadi, aku sengaja mengadang nya di sini karena tahu Nina pasti akan lewat sini. "Mas Haidar! Kamu benar-benar keterlaluan. Aku heran kenapa ada orang licik seperti kamu! Jelas-jelas kamu yang duluan membahas soal warisan. Ingin membagi nya hanya berdua dengan Ayu. Kenapa kamu fitnah aku?! Kamu sengaja bicara pada ibu seolah-olah aku yang menginginkan warisan itu, kan?! Supaya ibu marah sama aku?" "Haha, iya! Memang aku sengaja. Kenapa? Kamu gak terima? Sudahlah orang miskin kaya kalian itu harusnya diam saja, nurut saja apa kata aku. Kamu tahu kan? Tanah itu akan lebih bermanfaat kalau aku