WARISAN 4
Nina memutuskan untuk langsung pulang tanpa menunggu Rusdi. Karena memilih jalan memutar Nina harus melewati rumah Haidar, dia melihat Santi istri Haidar sedang cekakak-cekikik teleponan di teras rumah. Saat melihat Nina, Santi langsung menarik ponsel dari telinga dan menghampiri Nina. "Eh Nina! Kok kamu di sini?" tanya Santi. "Iya emang harusnya di mana? Aku mau pulang, jalannya kan lewat sini." Santi mendekat. "Kok pulang? Gak nemenin ibu nya mas Haidar di rumah sakit?" "Enggak, udah ada tiga anaknya di sana. Aku mau pulang dulu, udah ya!" jawab Nina seraya meninggalkan Santi. "Eh, eh! Aku belum selesai bicara loh!" ucap Santi. "Mau bicara apa lagi, mbak?" "Kamu itu menantu gak bertanggung jawab. Ibu masuk rumah sakit kan gara-gara kamu! Kok kamu malah enak-enak pulang? Mau tidur pasti kan?" Nina menghela nafas, enggak Haidar enggak istrinya ternyata sama-sama menyebalkan. "Ibu masuk rumah sakit karena suami mbak, bukan karena aku. Udahlah aku gak mau bahas soal ini, cuman bikin darah tinggi!" Nina memutuskan pergi dia tidak mau meladeni Santi. Tujuan dia pulang dari rumah sakit agar hatinya tenang, kalau meladeni Santi yang ada hatinya kembali memanas . "Eh, dasar menantu kurang ajar! Ibu mertuanya masuk rumah sakit bukannya ditungguin malah pulang enak-enak di rumah!" ucap Santi. Nina mendengar itu tapi dia lebih memilih mengabaikan. Lagipula Nina pulang juga karena ingin melihat kondisi bapak mertua nya yang ditinggal sendirian, Nina takut terjadi sesuatu padanya. Begitu masuk rumah, Nina langsung ke kamar bapak mertua nya. Lelaki itu semakin hari semakin terlihat kurus. Sudar. Entah dia terkena penyakit apa Nina sendiri belum paham betul. Tapi setiap hari lelaki itu hanya bisa terbaring lemah, masih bisa duduk tapi tetap harus dibantu. Nina mendekat, Sudar menyadari kehadiran nya dan seperti hendak menyampaikan sesuatu. "M-ma-af ... " Sepertinya kata itu yang Nina tangkap dari gerakan mulut ayah mertuanya, Nina sendiri kurang paham karena suara itu sangat lirih dan gerak bibirnya tidak kentara karena bapak mertua nya itu juga pernah terkena stroke dan sampai sekarang mulutnya masih agak sulit digerakkan. "Pak ... gak usah mikir yang enggak-enggak. Nina gak papa, bapak gak perlu minta maaf ini bukan salah bapak," ucap Nina . "Babak istirahat saja, ya? Bapak mau makan?" tanya Nina. Kemudian dia bisa melihat ayah mertuanya menggeleng perlahan, sangat pelan sampai terlihat samar . "Yasudah kalau begitu bapak istirahat saja, Nina mau membereskan pekerjaan rumah dulu, ya?" Setelah berkata begitu, Nina pamit. "Kasihan sekali bapak, tanah milik bapak kan lumayan luas. Daripada mau diambil mas Haidar, kenapa tidak dijual sebagian saja untuk biaya berobat yang maksimal ya?" gumam Nina. ~ "Kamu itu benar-benar menantu gak tahu diri, ya! kurang ajar!" "Berani sekali kamu. Sok peduli padahal niat hatinya busuk!" Nina terkejut melihat reaksi Sumi ketika dia mengutarakan ide nya agar membawa Sudar ke rumah sakit yang besar, untuk biaya, Nina mengusulkan untuk menjual secuil tanah milik bapak mertua nya, toh untuk keperluan nya sendiri. "Lancang sekali kamu! Kemarin kamu membahas soal warisan. Sekarang, kamu mau jual tanah itu. Sebenarnya mau kamu apa hah??" "Kamu mau jual tanah itu biar kamu bisa nilep duitnya begitu, kan?! Terus biar kami terlunta-lunta nantinya? Itu kan harta kami satu-satunya selain rumah ini, Nina!" "Astaghfirullah, bukan begitu Bu ... " Nina benar-benar tidak habis pikir dengan reaksi ibu mertuanya. "Kalau bukan begitu terus apa? Ibu sudah menahan diri untuk tidak bicara soal kelakuan buruk kamu yang mau tanah warisan sekarang kamu malah mau jual tanah itu. Hebat juga kamu ya! Gak pantang menyerah. Gagal dapet warisan sekarang mau jual tanahnya!" Dada Sumi terlihat naik turun ketika bicara dengan Nina. Matanya melotot dan tangannya tidak henti menunjuk-nunjuk wajah ayu menantunya itu. "Bu, aku bicara begini karena kasihan sama bapak. Selama aku jadi menantu di sini, aku tidak pernah melihat bapak dibawa periksa dengan layak. Bapak cuman minum obat yang gak tahu obat apa. Saat aku tanya mas Rusdi, katanya bapak harus dirujuk ke rumah sakit besar dan gak ada biaya nya." "Halah! Kalau kamu mau, sana bawa saja bapak berobat pake duit kamu sendiri. Gak usah bahas dan ngungkit soal tanah itu. Inget ya Nina! Kamu itu cuman menantu di sini. Kamu tidak tahu menahu soal tanah itu, gak ada hak jugaa! Jadi berhenti untuk berusaha mendapatkan keuntungan dari tanah itu, paham??" "Ya ampun. Aku sama sekali gak berniat mencari keuntungan, Bu!" "Sudahlah! Maling mana mau ngaku! Kamu itu ya, baru lima bulan jadi menantu di sini sudah berani kurang ajar. Sudah menunjukkan sifat asli kamu. Kalau saja bukan karena suamiku yang ingin punya menantu kamu, aku tidak akan Sudi!" Deg! Hati Nina sakit mendengar ucapan ibu mertuanya itu. "Ada apa ini Bu? Kenapa ribut-ribut?" Rusdi datang dengan wajah bingung. Ditatapnya sang istri yang kini sedang berusaha menahan tangis, kemudian matanya beralih pada sang ibu yang wajahnya merah padam. "Istri kamu tuh! Kasih tau jangan sok ikut campur soal tanah bapak kamu lagi! Dia itu, gagal dapet warisan malah mau jual tanah itu, memang sudah gila istri kamu itu!" Rusdi menarik tangan istrinya agar keluar dari kamar sang ibu. Nina hanya ikut saja, dia pikir Rusdi akan menenangkan dirinya tapi yang terjadi ... "Dek ... Sudahlah, sudah berapa kali Mas bilang kan. Kamu ga usah ikut campur soal keluarga ini. Kamu gak usah bahas soal tanah lagi. Kamu itu ngerti gak sih kalau Mas ngomong? Jangan ngeyel kalau dibilangin suami!" Tangis yang ditahan Nina tadi akhirnya luruh juga, bukan karena sang ibu mertua tapi karena suaminya sendiri. Dia tidak menyangka kalau Rusdi juga akan berkata begitu. Suaranya tidak terlalu tinggi tapi tetap terdengar menyakitkan. Nina mengangkat wajah nya dan menatap sang suami. "Oh begitu, jadi aku tidak boleh ikut campur lagi pada keluarga ini? Oke! Aku gak akan ikut campur lagi. Apapun yang terjadi aku akan menutup mat! Aku kan memang bukan bagian dari keluarga ini!"WARISAN 10 Aku tertegun, duduk diam sambil menekuk lutut. Udara rasanya pengap sekali, seperti tidak ada oksigen, aku kesulitan bernafas. Kubiarkan laptop yang tadi sangat aku khawatirkan tetap tergeletak di lantai, sekarang semua rasanya sudah tidak penting lagi. "Kalau ibu usir Nina, itu artinya ibu juga ngusir aku," Aku memejamkan kedua mata dengan erat, ketika mendengar apa yang dikatakan mas Rusdi di luar sana. "Gila kamu Rus!! Kamu lebih milih wanita lain daripada ibu kamu sendiri?!" suara Mas Haidar terdengar menggelegar. "Tega kamu, ya!" "Tapi Nina bukan wanita lain, Mas. Dia istriku sekarang. Dia itu tanggungjawab ku! Apapun yang terjadi sama dia, aku akan mendampingi nya!" Tes! Airmataku jatuh, aku memang tidak salah memilih mas Rusdi sebagai suami, terlepas dari semua kekurangan nya tapi dia ternyata benar-benar mencintai aku. "Jadi, kamu lebih memilih wanita itu?" Kini yang aku dengar adalah suara ibu, suaranya sudah lebih tenang tidak terdengar bergetar lagi mes
WARISAN 9 Aku menatap lembaran uang yang berhamburan di lantai mengambilnya lalu kembali melempar uang itu ke arah mbak Sinta tepat nya di muka nya yang menor itu! "Cukup ya mbak! Maksud mbak apa bersikap begini, hah??? Kenapa mbak tiba-tiba marah dan ngatain aku korupsi sampai melempar uang segala? Mbak Bersikap seolah-olah aku ini babu, tukang masak nya mbak?? Sorry ya! Aku gak sudi!!" "Asal mbak tahu, aku ke sini karena perintah ibu untuk mengantar makanan ini buat mbak dan mas Haidar. Uang yang dipakai untuk belanja juga uangku pribadi bukan dari ibu apalagi mbak!! Memangnya mbak pernah kasih uang? Kapan? Orang pelit kayak mbak, mana mungkin mau kasih uang!!" "Hehhh kurang ajar kamu ya!" "Yang kurang ajar itu mbak! Ngaca dongg!!! Sudah mending diantarkan makanan tapi malah ngelunjak!" "Kamu?? Berani ya! Makanan gak enak aja bangga!!" "Oh ya? Gak enak ya? Yaudah sini balikin kalau gak enak!!"Aku berusaha merebut kembali makanan yang tadi aku bawa, tapi mbak Sinta menahannya
WARISAN 8 Pagi ini, aku sedang menyapu halaman rumah saat tiba-tiba saja sebuah mobil pengantar barang bangunan berhenti di depan rumah. "Mbak! Maaf numpang tanya," tanya sopir itu tanpa turun dari mobilnya."Tanya apa ya, Mas?" "Rumahnya mbak Santi di mana, ya?" "Mbak Santi? Oh, lurus saja, itu rumah yang warna ungu, dan pagarnya hitam, itu rumahnya!" Bisa kulihat lelaki itu tersenyum setelah mengucapkan terimakasih. Aku hendak kembali menyapu ketika menyadari kalau di dalam mobil itu juga ada mas Haidar. "Loh? Oh ... Manas-manasi ceritanya? Dasar kakak ipar e-dan!" Makiku ... Aneh sekali, kok ada model kakak ipar seperti itu. Untuk apa coba dia pura-pura bertanya alamat istrinya sendiri."Kamu ngomong sama siapa, Dek?" tanya Mas Rusdi yang datang dengan secangkir kopi. "Ngomong sendirian." "Loh? Masih pagi ini loh, Dek ... Udah ngomong sendirian aja. Nanti dilihat tetangga dikiranya kamu ... " Mas Rusdi tidak melanjutkan kalimatnya. "Dikira aku apa? E-dan? Yang E-dan itu
WARISAN 7Aku akhirnya memutuskan untuk pulang, meski sebenarnya aku sempat keberatan untuk tinggal di rumah itu lagi, aku ingin tinggal di rumah orangtua ku saja.Di rumah mas Rusdi sempit, sedangkan yang menghuni lima orang, bukan tidak bersyukur tapi memang aku tidak terbiasa. Bahkan, saat pertama ke rumah ini kami harus membangun kamar baru yang sangat sederhana dari kasibot di bagian belakang rumah dekat dengan dapur. Ibu sedang duduk di ruang tamu saat aku dan mas Rusdi masuk, ada mas Haidar juga yang duduk di samping kanannya. Ibu melirik tidak suka ke arahku, sementara mas Haidar, tatapannya itu selalu tajam entah kenapa dia sepertinya sangat membenciku. Entah ada dendam apa sebenarnya dia itu. "Kalau ada masalah itu, jangan apa-apa lari ngadu ke orang tua, kayak anak kecil saja!" Itu celetukan mas Haidar, memang mulutnya lebih julid daripada perempuan aku heran ada model lelaki seperti itu. Aku ingin menimpali, tapi tangan mas Rusdi langsung menggenggam erat tanganku, aku
WARISAN 6 "Nina? Kok kamu di sini? Sama siapa? Di mana Rusdi?" tanya Hendro~ayah Nina ketika melihat putrinya membuka pintu. Karena sakit hati, Nina memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya tanpa berpamitan pada Rusdi. "Nina? Kamu nangis? Ya ampun? Kamu di apain di sana, Nak? Ayo duduk dulu!" Yeyen yang melihat sang putri datang dalam keadaan menangis langsung berlari merangsek dan memeluk putrinya. "Ceritakan, ada apa, Nak? Kamu kenapa pulang ke sini sendirian?" tanya Yeyen pelan. "Bu, kamu lebih baik ambil minum dulu untuk Nina!" titah Hendro. Nina menghela nafas, kemudian punggung tangan kanannya bergerak untuk menghapus air mata. "Mereka itu gila, Pak!" ucap Nina. "Siapa yang gila?" "Haidar dan ibunya," "Hus! Nina, kamu gak boleh bicara sembarangan soal ibu mertua kamu sendiri," tegur Hendro. Nina melengos. "Kamu diapain sama mereka, Nin? Dipukul? Ditampar? Cerita sama ibu!" Yeyen datang sambil membawa minum untuk Nina. "Enggak Mah. Nina gak diapa-apain. Cuman, si
WARISAN 5POV Haidar . "Makanya, kan sudah aku bilang lebih baik kamu diam saja! Gak usah ikut campur! Tahu kan akibatnya sekarang?" Aku tersenyum menyeringai. Mengingat saat ibu memarahi Nina tadi aku merasa sangat puas, apalagi sekarang ketika aku melihat perempuan menyebalkan itu menangis. Nina menoleh ke arahku, dia menghapus air mata menggunakan tangan kanannya lalu berjalan mendekat. Sejak tadi, aku sengaja mengadang nya di sini karena tahu Nina pasti akan lewat sini. "Mas Haidar! Kamu benar-benar keterlaluan. Aku heran kenapa ada orang licik seperti kamu! Jelas-jelas kamu yang duluan membahas soal warisan. Ingin membagi nya hanya berdua dengan Ayu. Kenapa kamu fitnah aku?! Kamu sengaja bicara pada ibu seolah-olah aku yang menginginkan warisan itu, kan?! Supaya ibu marah sama aku?" "Haha, iya! Memang aku sengaja. Kenapa? Kamu gak terima? Sudahlah orang miskin kaya kalian itu harusnya diam saja, nurut saja apa kata aku. Kamu tahu kan? Tanah itu akan lebih bermanfaat kalau aku