WARISAN 3
"Nah ... Ini dia orangnya. Tukang nguping. Di mana-mana bisanya nguping. Kamu nguping pembicaraan kita lagi kan?" Nina tergagap karena ternyata Haidar dan Ayu sudah berjalan ke arahnya. Mereka berpapasan. "Enggak kok! Siapa yang nguping. Orang aku mau keluar!" "Heh, kenapa mau keluar? Mertua sakit bukanya ditemenin! Ayo anter di mana ruangan ibu!" titah Ayu sambil mendelik. "Ibu di ruangan kenanga nomor 32. Ada di lantai dua. Kalian ke sana sendiri aja!" "Heh dasar menantu kurang ajar!" Nina tidak peduli. Biarkan saja, mereka anak-anak nya kan? Kalau ada mereka kenapa harus Nina yang mengurus ibu dan bapak? Sumpah, baru lima bulan Nina menikah dengan Rusdi tapi Nina sudah sangat pusing. Apa memang Nina yang terlalu ikut campur? Tapi, yang dilakukan Haidar dan Ayu salah, dan kemungkinan akan berimbas pada kehidupannya jadi wajar kan kalau Nina protes? * "Di mana ibu?" tanya Haidar pada Rusdi yang sedang duduk termenung. "Ada di dalam, tapi dokter bilang ibu butuh istirahat Mas. Jadi sebaiknya Mas Haidar jangan masuk dulu," ucap Rusdi. Haidar menyeringai. "Maksud kamu apa? Memangnya di dalam aku mau ngapain? Aku cuman mau jenguk ibu aku sendiri, gak boleh?" Rusdi menghela nafas. "Jangan bahas soal warisan dulu, Mas! Hargai ibu. Dia masih hidup." "Wah, wah ... Sepertinya kamu sudah terpengaruh oleh Nina ya? Berani ngomong sekarang kamu Rusdi?" "Selama ini aku diam demi kebaikan Ibu, Mas! Bukan karena takut." "Oh ya?" Haidar meremehkan. "Iya." "Kamu tenang saja, aku tidak akan mencelakai ibu secara langsung. Kamu tahu aku, kan?" Rusdi menatap tajam Haidar. "Sudahlah Mas! Ayo masuk. Kita mau ketemu ibu kan?" Ayu menarik lengan Haidar agar meninggalkan Rusdi. Mereka berdua masuk, Rusdi berdiri berusaha mengintip dari jendela. Sayang, dia tidak bisa melihat apapun. "Ibu ... " Sumi menoleh, dia tersenyum melihat Haidar dan Ayu. "Ibu gak papa?" tanya Haidar dengan suara yang lembut. Sumi mengangguk samar, "ibu gak papa," jawabnya lemah. "Bu, ibu ngapain sih tadi turun dari ranjang segala? Kaki ibu kan masih sakit ibu jangan memaksakan diri begini, dong ... " Haidar mengelus pelan rambut ibunya. "Ibu gak papa, kok. Ibu denger kalian ribut-ribut tadi, jadi ibu ingin tahu apa yang terjadi ... " Hening, baik Ayu maupun Haidar tidak ada yang menyahut. "Kenapa kalian ribut?" tanya Sumi. "Ya bukan salah kita Bu, menantu ibu duluan tuh yang ngajak ribut!" seru Ayu. "Iya apa yang kalian ributkan?" tanya Sumi lagi. Haidar dan Ayu saling pandang. "Bukan apa-apa, Bu. Gak usah dipikirin." jawab Haidar. "Ya gak bisa begitu, dong. Ibu pengen tahu, kalian ribut apa? Ibu gak mau kalau kalian sampai ribut-ribut kayak tadi. Suaranya kedengeran sampe belakang walau gak jelas apa yang diucapkan. Memangnya apa yang dilakukan Nina sampai kalian ribut begitu? Sebelumnya ibu gak pernah denger keributan di rumah. Baru pertama kali ini." Haidar menghela nafas, seperti berat sekali untuk bercerita. Sementara Sumi semakin penasaran. "Ceritakan saja, apa yang kalian ributkan?" desak Sumi. "Ini, tentang tanah milik bapak," Kening Sumi mengernyit. "Tanah? Kenapa dengan tanah itu?" "Nina ingin menuntut hak nya Bu." "Hak? Hak apa yang kalian maksud?" Ayu menatap Haidar, lalu bercicit lirih "Warisan, bu." "Apa? Warisan?" Sumi sangat terkejut. "Nina ngomongin warisan? Ibu dan bapak masih hidup loh!" "Iya Bu! Dia itu kurang ajar sekali kan!" "Bukan kurang ajar lagi, dia juga tidak tahu diri! Nina itu menantu, gak ada hak apapun soal tanah itu. Kenapa dia itu berani sekali membahas soal tanah itu?" "Nah itu dia, Bu. Makanya tadi aku sama mas Haidar marah. Nina seenaknya sendiri Bu. Dia kurang ajar! Masa berani-berani nya dia mau menuntut hak soal tanah itu? Padahal ibu dan bapak masih hidup loh!" seru Ayu. Luar biasa, kakak beradik itu ternyata selain tega mereka juga pandai sekali berbohong dan memutar balikan fakta. "Kurang ajar!" ucap Sumi dengan geram. Melihat kebencian di wajah ibunya, Haidar tersenyum senang. "Kan dari awal Haidar sudah bilang Bu, sepertinya Nina bukan perempuan yang baik, tapi ibu tetap kekeh ingin menikahkan Rusdi dengan Nina." Sumi terlihat menyesal. "Bukan ibu, tapi bapak. Nina itu menantu pilihan bapak kamu sebelum akhirnya beliau jatuh sakit. Ibu sudah menyampaikan protesan kamu sama bapak, tapi bapak tidak mau mendengarkan. Bapak bilang Nina itu perempuan yang baik. Bapak kenal betul dengan keluarga nya." "Sekarang sudah kelihatan kan Bu sifat asli Nina." ucap Ayu lagi. "Tapi, ibu jangan membicarakan soal ini dengan Nina, Bu. Dia gak akan mau ngaku. Dia itu pandai bersilat lidah. Nanti yang ada kondisi ibu semakin drop karena ngomong sama dia pasti bikin darah tinggi." ucap Haidar. Sumi menggeleng. "Ya gak bisa dong Haidar, Nina harus diberi pelajaran." "Biar Haidar saja yang mengurus Nina, Bu. Ibu gak perlu repot-repot turun tangan. Semua akan Haidar urus, Haidar kan anak pertama, pengganti bapak yang sekarang sedang terbaring lemah," ucap Haidar terdengar bijaksana. Sumi tersenyum. "Terimakasih ya Haidar, ibu sangat beruntung punya kamu. Sejak dulu kamu memang selalu bisa diandalkan." "Sama-sama, Bu. Oh ya, soal tanah itu aku punya solusi supaya Nina gak nuntut-nuntut lagi," ucap Haidar dengan licik. "Oh ya? Solusinya apa?"WARISAN 10 Aku tertegun, duduk diam sambil menekuk lutut. Udara rasanya pengap sekali, seperti tidak ada oksigen, aku kesulitan bernafas. Kubiarkan laptop yang tadi sangat aku khawatirkan tetap tergeletak di lantai, sekarang semua rasanya sudah tidak penting lagi. "Kalau ibu usir Nina, itu artinya ibu juga ngusir aku," Aku memejamkan kedua mata dengan erat, ketika mendengar apa yang dikatakan mas Rusdi di luar sana. "Gila kamu Rus!! Kamu lebih milih wanita lain daripada ibu kamu sendiri?!" suara Mas Haidar terdengar menggelegar. "Tega kamu, ya!" "Tapi Nina bukan wanita lain, Mas. Dia istriku sekarang. Dia itu tanggungjawab ku! Apapun yang terjadi sama dia, aku akan mendampingi nya!" Tes! Airmataku jatuh, aku memang tidak salah memilih mas Rusdi sebagai suami, terlepas dari semua kekurangan nya tapi dia ternyata benar-benar mencintai aku. "Jadi, kamu lebih memilih wanita itu?" Kini yang aku dengar adalah suara ibu, suaranya sudah lebih tenang tidak terdengar bergetar lagi mes
WARISAN 9 Aku menatap lembaran uang yang berhamburan di lantai mengambilnya lalu kembali melempar uang itu ke arah mbak Sinta tepat nya di muka nya yang menor itu! "Cukup ya mbak! Maksud mbak apa bersikap begini, hah??? Kenapa mbak tiba-tiba marah dan ngatain aku korupsi sampai melempar uang segala? Mbak Bersikap seolah-olah aku ini babu, tukang masak nya mbak?? Sorry ya! Aku gak sudi!!" "Asal mbak tahu, aku ke sini karena perintah ibu untuk mengantar makanan ini buat mbak dan mas Haidar. Uang yang dipakai untuk belanja juga uangku pribadi bukan dari ibu apalagi mbak!! Memangnya mbak pernah kasih uang? Kapan? Orang pelit kayak mbak, mana mungkin mau kasih uang!!" "Hehhh kurang ajar kamu ya!" "Yang kurang ajar itu mbak! Ngaca dongg!!! Sudah mending diantarkan makanan tapi malah ngelunjak!" "Kamu?? Berani ya! Makanan gak enak aja bangga!!" "Oh ya? Gak enak ya? Yaudah sini balikin kalau gak enak!!"Aku berusaha merebut kembali makanan yang tadi aku bawa, tapi mbak Sinta menahannya
WARISAN 8 Pagi ini, aku sedang menyapu halaman rumah saat tiba-tiba saja sebuah mobil pengantar barang bangunan berhenti di depan rumah. "Mbak! Maaf numpang tanya," tanya sopir itu tanpa turun dari mobilnya."Tanya apa ya, Mas?" "Rumahnya mbak Santi di mana, ya?" "Mbak Santi? Oh, lurus saja, itu rumah yang warna ungu, dan pagarnya hitam, itu rumahnya!" Bisa kulihat lelaki itu tersenyum setelah mengucapkan terimakasih. Aku hendak kembali menyapu ketika menyadari kalau di dalam mobil itu juga ada mas Haidar. "Loh? Oh ... Manas-manasi ceritanya? Dasar kakak ipar e-dan!" Makiku ... Aneh sekali, kok ada model kakak ipar seperti itu. Untuk apa coba dia pura-pura bertanya alamat istrinya sendiri."Kamu ngomong sama siapa, Dek?" tanya Mas Rusdi yang datang dengan secangkir kopi. "Ngomong sendirian." "Loh? Masih pagi ini loh, Dek ... Udah ngomong sendirian aja. Nanti dilihat tetangga dikiranya kamu ... " Mas Rusdi tidak melanjutkan kalimatnya. "Dikira aku apa? E-dan? Yang E-dan itu
WARISAN 7Aku akhirnya memutuskan untuk pulang, meski sebenarnya aku sempat keberatan untuk tinggal di rumah itu lagi, aku ingin tinggal di rumah orangtua ku saja.Di rumah mas Rusdi sempit, sedangkan yang menghuni lima orang, bukan tidak bersyukur tapi memang aku tidak terbiasa. Bahkan, saat pertama ke rumah ini kami harus membangun kamar baru yang sangat sederhana dari kasibot di bagian belakang rumah dekat dengan dapur. Ibu sedang duduk di ruang tamu saat aku dan mas Rusdi masuk, ada mas Haidar juga yang duduk di samping kanannya. Ibu melirik tidak suka ke arahku, sementara mas Haidar, tatapannya itu selalu tajam entah kenapa dia sepertinya sangat membenciku. Entah ada dendam apa sebenarnya dia itu. "Kalau ada masalah itu, jangan apa-apa lari ngadu ke orang tua, kayak anak kecil saja!" Itu celetukan mas Haidar, memang mulutnya lebih julid daripada perempuan aku heran ada model lelaki seperti itu. Aku ingin menimpali, tapi tangan mas Rusdi langsung menggenggam erat tanganku, aku
WARISAN 6 "Nina? Kok kamu di sini? Sama siapa? Di mana Rusdi?" tanya Hendro~ayah Nina ketika melihat putrinya membuka pintu. Karena sakit hati, Nina memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya tanpa berpamitan pada Rusdi. "Nina? Kamu nangis? Ya ampun? Kamu di apain di sana, Nak? Ayo duduk dulu!" Yeyen yang melihat sang putri datang dalam keadaan menangis langsung berlari merangsek dan memeluk putrinya. "Ceritakan, ada apa, Nak? Kamu kenapa pulang ke sini sendirian?" tanya Yeyen pelan. "Bu, kamu lebih baik ambil minum dulu untuk Nina!" titah Hendro. Nina menghela nafas, kemudian punggung tangan kanannya bergerak untuk menghapus air mata. "Mereka itu gila, Pak!" ucap Nina. "Siapa yang gila?" "Haidar dan ibunya," "Hus! Nina, kamu gak boleh bicara sembarangan soal ibu mertua kamu sendiri," tegur Hendro. Nina melengos. "Kamu diapain sama mereka, Nin? Dipukul? Ditampar? Cerita sama ibu!" Yeyen datang sambil membawa minum untuk Nina. "Enggak Mah. Nina gak diapa-apain. Cuman, si
WARISAN 5POV Haidar . "Makanya, kan sudah aku bilang lebih baik kamu diam saja! Gak usah ikut campur! Tahu kan akibatnya sekarang?" Aku tersenyum menyeringai. Mengingat saat ibu memarahi Nina tadi aku merasa sangat puas, apalagi sekarang ketika aku melihat perempuan menyebalkan itu menangis. Nina menoleh ke arahku, dia menghapus air mata menggunakan tangan kanannya lalu berjalan mendekat. Sejak tadi, aku sengaja mengadang nya di sini karena tahu Nina pasti akan lewat sini. "Mas Haidar! Kamu benar-benar keterlaluan. Aku heran kenapa ada orang licik seperti kamu! Jelas-jelas kamu yang duluan membahas soal warisan. Ingin membagi nya hanya berdua dengan Ayu. Kenapa kamu fitnah aku?! Kamu sengaja bicara pada ibu seolah-olah aku yang menginginkan warisan itu, kan?! Supaya ibu marah sama aku?" "Haha, iya! Memang aku sengaja. Kenapa? Kamu gak terima? Sudahlah orang miskin kaya kalian itu harusnya diam saja, nurut saja apa kata aku. Kamu tahu kan? Tanah itu akan lebih bermanfaat kalau aku