Mendengar ucapan dari Devan, membuat Siella sama sekali tidak bisa menjawab apa yang brausan dikatakan kepada dirinya tersebut.
Meski ucapan dari Devan benar, dan jelas saja mencoba untuk membuat Siella sadar dan tidak tutup mata lebih jauh mengenai apa kenyataan yang ada. Namun, hati Siella seolah menolak untuk menerimanya.
Tatapan Siella yang bergetar penuh keraguan itu disadari oleh Devan yang daritadi berada di depannya. Dia sebagai pria hanya bisa terheran dengan logika wanita yang tidak jalan kalau sudah urusan perasaan.
Segera Devan menarik tangan Siella, supaya masuk ke dalam mobil. Siella sama sekali tidak melawan. Dia mengikuti kemana perginya Devan. Ia banyak terdiam tanpa melawan sama sekali meski Devan sudah sampai sedemikian rupa.
Tatapan mata yang melihat ke jalanan tersebut membuat Siella sadar, bahwa Devan mengarahkan mobil yang mereka naiki ke salah satu hotel dekat sana.
Dengan mata yang terbelalak, dirinya menoleh ke arah Devan dengan raut wajah yang terkejut sekali, “Kenapa kamu mengajakku ke sini?!” hardik dari Siella sambil menyilangkan tangan menutupi dadanya.
Devan yang melihat respon dari Siella merasa sangat jengkel sekali. Devan dengan segera mendorong kepala Siella dengan pelan, kemudian menunjuk ke arah kaca mobil di sebelahnya.
Saat Siella menoleh, betapa terkejut dirinya melihat Vano dan juga Rifia yang berdiri tepat di samping mobil yang mereka naiki. Sontak melihat keberadaan dari Vano membuat kedua tangan Siella menutupi wajahnya.
“Kamu gila?!” pekik Siella dengan suara yang pelan.
“Kaca mobilku tidak tembus pandang dari luar. Mereka tidak akan tahu kamu berada di sini!” Devan memberitahu.
Meski ia merasa lega mendengar ucapan dari Devan, tetap saja, Siella merasakan dengan jelas degup jantung yang berpacu sangat kencang sekali di dalam hatinya tersebut. Setengah tidak percaya dan setengah ragu menjadi satu.
Keringat dingin yang membasahi wajahnya tersebut menggucur deras, ia tidak merasa berani untuk menoleh.
“Hahaha, menyenangkan sekali tadi sayang…”
“Apa pun untuk pujaanku. Bukankah aku bilang bahwa aku pasti akan memilihmu?”
Sebuah lautan fakta seolah membasahi kepala Siella setelah mendengarnya. Dengan sedikit terbata dirinya perlahan menoleh ke arah tempat dimana Vano yang ternyata sedang bermesraan dengan Rifia tersebut.
Kedua bola matanya seperti mau melompat dari tempatnya, melihat bagaimana dua pasangan tersebut bercumbu dengan sangat ganasnya di tempat umum.
Mata Siella mendelik saat melihat jelas ada bekas cupang di leher Vano, dan bagaimana berantakan dari pakaian Vano. Sakit, hati Siella sakit melihat bahwa benar…., mereka berdua ke hotel untuk melakukan hal bejat tersebut.
Pasangan tersebut meninggalkan hotel setelah naik ke mobil Vano, yang merupakan pemberian Siella sebagai bentuk hadiah ulang tahun. Harga diri dan kasihnya tergores, melihat bahwa Vano membawa wanita lain dengan mobil tersebut.
Sorot mata Siella tidak lepas memandangi dari awal berjalannya mobil Vano meninggalkan parkiran. Pria itu benar-benar brengsek. Hati nuraninya sudah mati.
“Bagaimana? Kamu masih mau pakai hati lagi? Setelah melihat bahwa suamimu saja tidak memikirkanmu sedikit pun,” ucap Devan.
Nyelekit, menukik, dan sangat tajam sekali. Devan tidak memberi filter pada omongannya yang disampaikan kepada Siella pada saat itu.
Kedua tangan Siella gemetar hebat setelah kali ini melihat sendiri bahwa suaminya memang benar-benar berselingkuh. Apa yang mau dibantah lagi? Bahkan ia tidak merasakan hatinya terasa nyaman lagi. Sakit!
“A… apa aku harus benar-benar membereskan mereka berdua?” tanya Siella dengan suara gemetar.
“Terserahmu. Aku membantumu karena aku kebetulan juga punya dendam dengan Vano. Kamu bisa membuat Vano menyesal, dan aku bisa balas dendam. Win-win solution untuk kita berdua. Tapi kalau kamu tidak mau, santai saja, aku tidak memaksa,” jawab Devan.
Pria berwajah dingin ini sama sekali tidak menunjukkan simpati setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Siella berusaha menahan air mata akan sakit hati yang tidak tertandingi tersebut.
Tenggorokannya terasa sakit hanya dengan memikirkan apa yang harus dirinya lakukan sekarang. Apalagi? Siella dengan kasar langsung memukul kepalanya dengan sangat keras. BUAGHHHHH.
Tetapi, rasa sakit itu tidak membuatnya merasa jauh lebih baik. Devan yang melihat Siella menyerang dirinya sendiri terkejut.
“Hei!”
Siella tidak peduli. Ia langsung memukuli kepalanya sendiri berkali-kali sampai ia merasa puas. Benar-benar seperti orang kesetanan. Devan yang melihatnya demikian tidak tinggal diam. Dia berusaha menghentikan Siella dengan meraih tangan Siella.
“Hentikan! Kenapa kamu menyakiti dirimu sendiri?!” bentak Devan yang berusaha menahan tangan Siella yang berusaha untuk memukul lagi.
“Kenapa, KENAPA HARUS AKU YANG MERASAKAN INI!!! Aku tak pernah melakukan hal buruk tapi kenapa aku harus mendapatkan cobaan ini!!!!!” teriak Siella, ia merasa stres sendiri.
Devan tidak berucap lagi. Dia memilih terus mencoba menagan tangan Siella yang masih melawan ingin menyakiti dirinya sendiri. Wanita tersebut menangis terisak dengan air mata yang terurai membasahi pipinya tersebut.
Hingga akhirnya setelah hampir setengah jam berusaha melawan, Siella merasa lelah. Ia hanya bisa menangis tersedu dengan tenaga yang sudah habis karena hal ini. rasanya benar-benar kehilangan seluruh energi dalam satu waktu.
“Hu hu…., Hiks…, kenapa Tuhan rasanya tidak adil padaku! Aku sudah hidup dengan baik dan tidak membuat masalah, tetapi kenapa harus AKU yang menerima cobaan ini….,” tangis dari Siella.
Tangan Devan yang memegang kuat Siella tadi perlahan melepasnya dengan pelan. Wanita tersebut sudah kehilangan banyak tenaga hendak menyakiti dirinya sendiri secara brutal.
Melihat Siella yang menangis tersebut, membuat Devan ingin menenangkan Siella. Tetapi dengan cepat Devan mengurungkan diri. Ia sadar posisi, bahwa di sini dia bukan orang yang sedekat itu dengan Siella.
Kembali berusaha memasang wajah cueknya, Devan buang muka dan berusaha melihat ke arah lain sambil memegang setirnya. Sebenarnya hati kecilnya merasa teriris melihat nasib Siella, tapi ia terlalu gengsi untuk memberikan respon kepadanya.
“Sudahi tangismu. Menangis tidak akan menyelesaikan masalahmu. Sebaiknya kamu bertindak dengan cepat, sebelum kamu yang ditendang,” ucap dari Devan.
Masih dalam kondisi sedikit terisak, Siella melirik ke arah Devan yang tidak melihatnya sama sekali. Pria ini benar-benar tidak punya hati. Bahkan cara bicaranya tidak menunjukkan bahwa dia merasa kasihan kepada Siella.
“Apa kamu tidak kasihan padaku! Kamu tidak merasakan bagaimana posisiku! Kamu tidak tahu rasanya dikhianati seperti ini!” pekik dari Siella, kesal.
Devan ingin berbicara dengan lebih lantang, namun ia menahan diri dengan segala upaya supaya tidak sampai mengatakan hal-hal buruk kepada Siella. Bicara dengan wanita yang sedang emosional hanya akan membuang tenaga serta waktunya saja.
Dia lebih memilih mendiamkan Siella yang masih terbawa emosi tersebut. Ia tahan lebih lama lagi rasa kesalnya, biarkan saja Siella yang marah-marah, daripada dirinya.
Sementara itu, perasaan Siella jadi makin berkobar setelah melihat lebih dekat dan jelas bagaimana Vano yang berselingkuh tersebut. Rasanya benar-benar mencabik perasaannya sendiri. Gila!!!!!
“Aku ingin membuat mereka melarat!” gumamnya.
“Apa?” Devan menyadari, namun tidak mendengar dengan jelas.
Dengan kilat dirinya menoleh dan melihat ke arah Devan yang kebingungan dengan perubahan emosi dari Siella tersebut.
“Aku akan membalas seperti apa yang kamu bilang! Aku ingin membuat dia melihat, apa konsekuensi dari perbuatannya ini!!!”
Devan yang mendengarnya merasa sangat menggebu sekali. Benar, seharusnya dia tidak membuat Siella berada di titik yang tidak seharusnya. Seharusnya dia adalah orang yang bisa diandalkan bagi Siella, dan juga menjadi orang yang bisa bersamanya setiap saat.Dengan penuh keberanian yang meski sudah terlambat ini, Devan tidak mau menyia-nyiakan kembali apa yang belum bisa ia lakukan. Apa pun hasilnya, ia akan menerima semua keputusan Siella.Devan segera mengendarai mobil dan menuju ke bandara, sesuai dengan apa yang dikatakan Bu Ina, bahwa Siella sebentar lagi akan pergi dari negara ini.Masih belum terlambat selama ia masih mau mencoba. Ia benar-benar berharap bahwa Siella belum pergi dari sana. Ia masih harus menebus hutang pertanggungjawaban kepada Siella.Di bandara, Devan benar-benar tidak tahu harus mencarinya kemana. Ia menelepon Siella berkali-kali, setelah sekian lama ia berusaha menghindari komunikasi dengannya. Ia tidak akan membuang masa lagi.‘Kumohon Siella…, angkat,’ batin
Siella yang mendengarnya langsung mematung tidak bisa berkata selama beberapa saat. Hamil? Dirinya ini hamil? Ia merasakan tangannya gemetar setelah mendengar ucapan dari Dokter barusan.“Aku akan memberikanmu vitamin untuk bayi dalam kandunganmu. Harus rajin diminum untuk calon bayinya ya?” seru dari sang Dokter yang kelihatan sangat senang.Sementara Siella masih belum bisa berkata apa-apa. Dia benar-benar tidak tahu harus merespon bagaimana kabar barusan. Antara tidak percaya, atau mungkin dirinya harus percaya dengan hal barusan.Perlahan ia memegangi perutnya, dan terus berpikir bahwa ini adalah mimpi saja. Ia masih belum bisa mencernanya dengan baik. Jadi, selama ini dirinya sudah hamil? Tapi ia sama sekali tidak sadar?“Apa suamimu ada? Apa yang di depan itu-““Bu- Bukan, na- nanti aku beritahu padanya,” Siella langsung menolak.Ia tidak tahu bagaimana Devan akan meresponnya. Siella hanya pernah berhubungan dengan Devan, jadi ia yakin kalau Devan adalah anak dari dalam kandunga
Siella merasa sepertinya memang masih ada yang mengganjal dari pihak Vano. Tetapi ia menolak bertemu, karena sejatinya, bagi Siella ini sudah berakhir sepenuhnya.Biarlah Vano harus berdamai dengan sendirinya dengan emosi yang juga masa lalu yang tidak ia bisa terima sama sekali. Tugas Siella sekarang ini benar-benar sudah tidak ada lagi. Ia kini sudah tidak boleh ikut campur lebih jauh.“Kamu merasa sedih?” tanya Devan kepadanya.“Entahlah. Padahal penyebab awalnya bukan aku. Tapi kenapa aku seperti dibuat mendapatkan semua karmanya?” Siella merasa tidak adil.Di dalam mobil suasana jadi sangat hening dan tidak ada yang memecah sama sekali. Sepertinya mereka berdua dalam kondisi perasaan yang sama-sama tidak nyaman sama sekali.Tetapi, entah kenapa Devan yang kala itu sedang menyetir tidak mengantarkan Siella pulang sebagai mana seharusnya. Dia malah berbelok ke Danau yang tidak jauh dari sana. Jelas sekali Siella terkejut.“H- Hei! Kita kemana?!” terkejut Siella.
Devan sebenarnya setengah senang hati mendengar ucapan dari Siella yang memilih mengajaknya. Tetapi, tahu bahwa dia akan diajak menemui Vano, jelas membuat Devan merasa agak sedikit jengkel.Mereka kemudian pergi setelah berpamitan dengan Rifia. Sudah usai perasaan terpendam dan juga masalah internal yang jelas membuat mereka jadi seperti ini. sekarang semua sudah baik-baik saja di antara mereka berdua.Mereka pergi ke tempat Vano dengan mengendarai mobil. Rasanya sedikit gugup memikirkan bahwa dirinya akan menemui orang itu lagi. Padahal dia sudah bertekad yang waktu ini akan menjadi yang terakhir bagi dirinya itu.“Kamu takut dia akan melakukan hal buruk?” tanya Vano kepadanya.“Ah, tidak, hanya saja, aku kepikiran apa yang mungkin dia lakukan kalau melihatku lagi,” balas Siella.Devan yang melihat ke depan dengan tatapan kosong itu selama beberapa saat sempat tidak memberikan jawaban yang pasti. Perasaan jengkelnya lebih besar ketimbang perasaan khawatirnya.Ketika mereka sudah sam
Siella membawakan buah tangan untuk Rifia, dan juga sedikitnya susu ketika ia hendak mengunjungi Rifia. Bukan tanpa alasan. Anggap saja ini sebagai formalitas karena dirinya akan menengoki orang sakit. Jadi dia tidak mungkin datang dengan tangan kosong, kan?“Kamu sungguh tak apa mendatangi Rifia?” tanya Devan yang khawatir.Siella menganggukkan kepala, ia jelas tidak merasa masalah kalau memang begitu perlunya dirinya untuk saat ini. Ia sudah memantapkan diri untuk bertemu dengan Rifia, jadi tidak seharusnya ia membatalkannya.Ruangan Rifia benar-benar dijaga dengan sangat ketat. Mungkin karena dia sempat bersekutu dengan Vano, jadi dia juga mendapatkan label berbahaya dari pihak keamanan yang ada.Masuk ke dalam sana, Siella terus mengatur napas untuk bisa menenangkan dirinya. Ia akan menahan segala emosi yang ada, baik atau buruk pun akan dia coba bendung di dalam dirinya.Di dalam sana, ia melihar Rifia berbaring dengan perban di kepalanya. Entah apa yang dilakukan oleh Vano sampa
Siella menikmati bagaiman Devan mengajaknya berkeliling, dan juga sesekali melihat berbagai binatang kecil yang tersedia di dekat sana. Devan tidak pernah melepas kamera di tangannya, dan selalu siaga untuk mengambil gambar untuk Siella.“Kamu tak mau aku foto juga?” Siella menawarkan diri.Devan yang sedang mencoba membidik gambar tersebut menurunkan kamera, dan melihat ke arah Siella. Dia tampak lebih bahagia daripada sebelum-sebelumnya.“Tidak apa. Aku tidak terlalu suka foto,” tolaknya dengan lembut sekali.Siella merasa agak terpukau mendengar jawabannya, rasanya seperti melihat orang yang berbeda, padahal baru kemari Devan sangat menyebalkan sekali. Tetapi, sekarang jauh berbeda, dia seperti menjadi orang lain yang belum pernah Siella lihat sebelumnya. Sungguh mengagetkan sekali.“Jarang-jarang kita bisa keluar begini, kamu serius tidak mau?” ucap Siella, lagi.Devan sekali lagi menolak sambil menggelengkan kepala dan tersenyum cukup tipis kepada dirinya ini. “Tenang, aku akan m