"Assalamualaikum!" Ucap orang tersebut.
"B-bu Naji, eh, waalaikumussalam. Mari masuk, Bu," jawab Ira terbata di tengah keterkejutannya.
"Dah, gausah ribet! Ini ada sumbangan dari warga buat acara tujuh harian bapak kamu," tuturnya sambil mengulurkan sekantong plastik uang receh dan lembaran.
"Baru terkumpul tadi pagi, soalnya kemaren-kemaren saya masih sibuk ngurus ini itu. Kamu masih belom belanja keperluan acaranya, kan?" lanjutnya.
Ira menggeleng sambil tersenyum. Dia mengambil kantong kresek tersebut dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Ira tahu, sumbangan ini adalah inisiatif Bu Naji yang memang selalu peduli pada orang-orang miskin sepertinya. Bu Naji akan mengambil sumbangan dari rumah ke rumah saat ada warga kurang mampu yang tertimpa musibah, seikhlasnya.
Dari sepeninggal Bapaknya, Ira resmi menjadi gadis sebatang kara karena Ibunya sudah tiada sejak dia kecil. Maka dari itu, untuk acara tahlil bapaknya selama lima hari ini hanya disediakan kacang atau kadang hanya teh hangat saja. Tak ada sanak saudara yang membantu mendanai, dirinya pun belum punya pekerjaan. Selama ini hanya bapaknyalah sumber kehidupan mereka.
Entah bagaimana, Bu Naji seakan bisa merasakan kegelisahan Ira selama ini lewat tatap matanya. Hanya saja, gaya bicara Bu Naji memang terkesan angkuh, persis seperti almarhumah ibunya. Tapi Ira bersyukur masih ada orang sepeduli Bu Naji dalam desanya. Bukan hanya Ira yang merasakan tapi seluruh warga yang kurang berada juga.
"Mari masuk dulu Bu, saya ambilkan minum."
"Gak perlu, ini mau melayat ke rumah ujung. Numpang duduk bentar ya, nunggu Bu Nia," tolak Bu Naji yang dijawab anggukan oleh Ira.
"Dikubur jam berapa jenazah nya, Bu?" tanya Ira berbasa-basi setelah mengambil posisi duduk di samping Bu Naji. Mendengarnya, membuat Bu Naji menatap gadis yatim piatu itu jengkel.
"Mau melayat lagi? Masih ngeyel, kamu?"
"E-enggak kok Bu, maaf. Bu Darsih kan guru saya, gak enak kalau gak datang. Lah ini kan, cuma tetangga jauh."
"Mau guru kek, saudara kek, tetangga deket kek, pokoknya sebelum 100 harinya bapakmu, kamu gak boleh melayat! Paham?!" Ira tersenyum mengiyakan ucapan Bu Naji, meski hati nya tak membenarkan.
Ketegasan Bu Naji ini jadi mengingatkannya pada sifat almarhumah ibunya, "Orang seperti Ibumu ini gak bisa dibantah, iya kan saja. Kalau hati nya lega kan nambah uang jajanmu," tutur almarhum bapaknya dulu.
Menurut cerita almarhum bapaknya, sewaktu gadis Bu Naji dan ibu Ira dijuluki 'mimi lan mintuno' oleh warga desa karena kedekatannya. Sahabat baik, lah, bahasa gampangnya. Sebab itu, tak pernah sedikitpun terselip rasa benci di hati Ira untuk Bu Naji.
Bayangan masa kecil kembali berputar di ingatan Ira. Waktu itu dirinya masih kelas dua SD ketika belajar kelompok bersama teman-temannya. Karena tugas yang dikerjakan adalah menggambar, mereka membentuk lingkaran dengan posisi semua anak tengkurap dengan kedua kaki diayunkan ke depan-belakang (ager-ager). Ibu Ira yang sedang mengantarkan camilan langsung murka dan memukul kaki kanan Ira dengan keras.
"Sama saja kalian mendoakan orang tua kalian mati jika seperti itu! Pamali! Awas kalau diulangi lagi," geram ibunya saat itu.
Ira yang merasa kesakitan dan takut seketika berlari menuju kebun belakang rumah, tempat bapaknya berkebun, sambil menangis. Disusul teman-temannya di teras yang langsung membubarkan diri untuk pulang.
"Udah, gak papa, Nak. Ibu itu sayang sama kamu. Dia gak pengin mata kamu sakit, mangkannya gak bolehin. Ira tahu, kan, kalau melihat buku terlalu dekat bikin mata rabun," bujuk bapaknya saat Ira mengadu.
Kenangan itu membuat mata Ira berembun. Bapak, Ibu, Ira kangen.
"Dah, gak usah cengeng, Ra. Ibu ngerti kamu ini kurang kasih sayang. Gak ada yang ngajari secara tulus dan halus. Tapi jangan jadikan alasan untuk kamu jadi anak yang ngeyel, keras kepala, apalagi cengeng gini! Hidup ini keras, Ra. Harus kuat!" sorak Bu Naji saat melihat bulir bening menetes dari pelupuk mata Ira.
"Oh iya, uang tadi kamu buat beli bumbu dapur sama ayam jantan 1 ekor, ya, minta disembelihin sekalian. Lauk lain sama suguhan biar Ibu yang beli. Ingat, Ra, ayamnya harus utuh, gak boleh ada bagian ayam yang dibuang satupun. Atau kalau mau lebih aman, bersihin ayamnya sendiri aja di rumah," sambung Bu Naji sambil berlalu karena terlihat Bu Nia sudah melambai dari depan rumahnya.
* * *
Kamis sore, rumah Ira begitu ramai dipadati ibu-ibu yang melayat. Kebanyakan dari desa sebelah karena kalau orang desa Ira sendiri sudah dari beberaoa hari yang lalu. Pamali katanya, jika melayat setelah tujuh harinya, harus menunggu 40 harinya baru boleh melayat.Terlihat beberapa lelaki memasang tenda dan menggelar tikar di halaman depan untuk tahlil malam ini. Mengantisipasi, karena ketika acara tujuh harinya, kebanyakan bapak-bapak membawa serta anaknya untuk ikut tahlil. Juga, tetangga jauh pun biasanya akan hadir. Tahlil pengantar terakhir, katanya.
Sedang Bu Naji sibuk menyiapkan 'berkat' bersama para rewang di dapur.
"Loh, Bu Sita! Itu ceker, kepala sama usus ayam kenapa di sisain?"
"Masa diikutin, Bu Naji? Kan gak pantes," jawab Bu Sita dengan muka masam.
"Ya harus lah, Bu. Gimana, sih! Namanya juga roboh gunung. Sini, biar saya masukin ke berkat di sana."
Ibu-ibu di dapur dibuat melongo karena ucapan Bu Naji. Meski mereka satu desa, namun tak paham jika ada aturan seperti itu. Karena bagian pengemasan berkat kali ini didominasi oleh ibu-ibu yang masih muda, belum terlalu paham. Sedang ibu-ibu yang berumur hanya memasakkan saja.
Hingga malam tiba, tamu sudah mulai berdatangan di halaman rumah Ira sehabis isya'. Pak RT lah yang bertugas menerima tamu karena Ira memang tak memiliki satupun sanak saudara di sini.
Dari kejauhan, nampak Bu Naji tergopoh-gopoh memasuki pintu belakang rumah Ira sambil membawa suatu gulungan agak panjang berwarna cokelat. Dia langsung menuju kamar Ira dan membuka pintunya, "Aaaa ....!" teriaknya nyaring.
Bruk!
"Tolooong ...!"
Para tamu yang mendengar teriakan nyaring seseorang dari dalam rumah Ira langsung berlomba menuju sumber suara.
Mereka menemukan Bu Naji yang tergeletak tak sadarkan di depan pintu kamar dengan Ira yang terlihat syok di sampingnya.
"Tolong cari informasi mengenai orang ini. Untung-untung bisa tahu detail masa lalunya sebelum menikah," ujar Cahyo pada lelaki paruh baya di hadapannya.Lelaki tersebut tersenyum seraya membaca lembar kertas yang baru saja ia pungut. "Kualitas tergantung harga," jawabnya tersenyum miring. Melihat dari data pribadi ini, sepertinya agak rumit karena yang bersangkutan sedang dalam masa tahanan.Rendi menyuap siomai yang baru saja diantar oleh pramusaji. Warung tempat mereka janjian dengan penjual es cincau memang cocok. Meski ramai pengunjung, tetapi setiap meja satu dengan yang lain ada pembatasnya. Memungkinkan untuk berbicara hal yang bersifat privasi tanpa khawatir didengar oleh pengunjung lain."Baik. Berapapun, asal saya puas dengan kinerja Anda," putus Cahyo akhirnya. Sarto, penjual es cincau yang mengaku sebagai inteligen itu tersenyum puas. "Bisa diatur," ujarnya jumawa.Pagi itu, Cahyo sengaja mengajak adiknya menemui penjual es cincau di depan kant
Rumah terlihat sepi saat Rendi mengetuk pintunya. Heran, itulah yang dirasa. "Tadi saat di telepon terdengar heboh sekali, tapi sekarang kok sepi banget. Apa sudah tidur semua?" pikirnya. Rendi putuskan untuk lewat pintu belakang karena tak membawa kunci cadangan.Dengan mengendap, lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi ayah tersebut menyusuri rumahnya. Mengintip satu-satu ruangan untuk menemukan keberadaan mama dan kakak lelakinya."Ren ...." Rendi berjingkat saat tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ternyata kakaknya. Dua tangan saudaranya itu mengisyaratkan sesuatu yang berlainan. Satu tertempel di bibir, dan satunya melambai pada dirinya."Mama udah tidur," tutur Cahyo, "pakai penenang," lanjutnya. Terlihat lawan bicaranya mendelik."Aman, kok. Dosisnya sesuai kebutuhan," lanjutnya lagi. "Tapi kan nggak bisa sembarangan gitu, kasih obat penenang. Apalagi mama udah nggak muda," protes Rendi. Kesal saja, hanya karena marah-marah langsung dikas
"Yah, ini kayaknya Dedeknya udah mau keluar deh. Kontraksinya udah sering banget." Ira melapor saat Rendi baru memasuki kamar mereka."Mamah masih kuat? Ayah salat dulu sebentar, ya.""Ren, sini." Cahyo memanggil Rendi dari dalam kamarnya saat Rendi menuju dapur. "Kenapa, Mas?""Lihat!" Dina menyodorkan sebuah album pada adik iparnya. Belum sempat membukanya, Rendi mengembalikan lagi. "Kapan-kapan aja, Mbak. Itu, aku mau bawa Ira ke bidan sekarang. Udah sering mulesnya.""Loh? Tadi nggak ada kontraksi sama sekali, kok udah mau berangkat aja," tanya Dina bingung. Namun yang ditanya sudah terbirit ke dapur."Nda, Syila mau bobo." Kaki yang semula hendak menengok Ira, kini berbalik lagi karena putri semata wayangnya memanggil."Nanti habis magrib aja tidurnya, Sayang. Kalau mau magrib gak boleh tidur," jelasnya. "Dingin." Dina mengernyit tak mengerti, pasalnya dirinya merasa gerah. "Ayo, Nda! Kasih selimut." Syila menarik bundanya ke ranjang, a
Pelataran rumah bidan Roudho, bidan terdekat dari rumah Rendi sesak dengan beberapa kendaraan roda dua dan empat. Sudah biasa, saat pagi dan malam hari memang seperti ini. Makanya Ira jarang periksa di sini, terlalu lama antre. Bidan ini memang terkenal dengan keramahan dan kemanjurannya. Banyak yang jodoh, kalau kata orang-orang."Bu, perut istri saya sudah mulas dari sebelum subuh tadi. Sepertinya mau melahirkan. Apa bisa didahulukan?" tutur Rendi pada asisten bidan yang bertugas melakukan tensi darah dan pendaftaran."Boleh saya lihat buku KIA-nya?" Rendi mengangsurkan buku berwarna merah muda. Kasihan sekali melihat wajah istrinya yang sudah memucat. Sedari tadi tangannya tak berhenti mengelus perut buncitnya. Tak tega jika meninggalkannya mengantre sendiri, jadi dia mengusahakan istrinya ditangani dulu, atau setidaknya berada dalam ruang bersalin agar ada yang memantau. Lepas itu, dia akan mencari sarapan."Sebentar, ya." Perawat itu masuk ke r
Pagi hari di rumah Rendi seperti biasa, semua orang sibuk menyiapkan aktifitas pagi mereka. Ira yang sudah beres menjemur baju yang dicuci Dina, kaget saat melihat meja makan masih kosong melompong. "Syila lihat Oma?" tanyanya pada balita yang bermain seorang diri di depan kamar. "Oma kan masak kalau pagi." Pertanyaan konyol. Ira menepuk jidat, menertawakan dirinya sendiri. Dia segera berlalu ke dapur."Ini nanti sopnya mau ditumis atau dikuah, Ma?" Mamanya tidak mengerjakan apapun, hanya diam menatap ke luar jendela. Tak ada jawaban. Ira mendekat pada mama mertuanya. Sudah jam enam kurang, namun sarapan belum matang separuhnya. Akhirnya Ira putuskan untuk mengambil alih mengolahnya."Ma, Mama sakit? Kalau masih pening, istirahat aja dulu. Biar Ira yang masak," ujar Ira sambil memotong wortel. Masih di posisi yang sama, Rumi--mama Rendi tak menyahut. Ira mengembuskan napas berat, beberapa hari ini mama mertuanya memang lebih sering melamun. Pekerjaan ru
Siang menjelang sore saat Rendi, Bu Naji dan Pak Hadi mengadakan pertemuan di salah satu kafe yang terletak di pinggiran kota. Bu Naji sangat tertarik dengan cerita Rendi tentang tamu yang menginap di rumahnya. Sementara Rendi pun demikian, ingin tahu bagaimana masa lalu mereka."Jadi malam itu, Bi Naji merasa ada orang di rumah Bu RT?" tanya Rendi memastikan dirinya tak salah tangkap. Bu Naji mengangguk. "Tapi saya nggak tau pasti juga, karena sehari itu ada di rumah kamu, bersih-bersih sama Bu Nia.""Anehnya, kompor di Rumah Bu RT seperti habis dipakai gitu, kita ngecek besoknya sih, saat saya sudah pulang," sambung Pak Hadi. Jiwa detektif Rendi meronta-ronta.Kali ini Rendi menceritakan detail kejadian malam hari saat mereka menginap di rumah Rendi."Sebentar. Album, kamu bilang? Mereka cari album?""Dari yang saya dengar begitu, entah juga kalau ternyata kata itu hanya penyebutan untuk hal lain yang disamarkan." Bu Naji diam. Te