"Innalillahi wainna ilaihi rojiun .... Telah pulang ke rahmatullah nama, Bapak ...."
Berita duka terdengar lagi dari toa masjid, mengehentikan sejenek aktifitas para warga yang sedang melayat di rumah Bu Darsih.
"Innalillahi ... ada yang meninggal lagi, tuh kan, gak nurut sih kalau dibilang orang tua. Jadi beruntun 'kan yang meninggal," Bu Naji memulai pembicaraan setelah siaran usai. Sudah menjadi kebiasaan, wanita bertubuh subur itu selalu eksis di manapun tempatnya. Bahkan di rumah duka sekalipun.
"Iya, Bu Naji. Kok bisa beneran, ya. Kalau kayak gini terus bisa habis warga kita," jawab Bu Nia antusias. Di mana ada Bu Naji disitulah Bu Nia. Simbiosis mutualisme yang membuat keduanya saling tertaut. Bu Naji yang aktif dan ember akan semua berita di sekitar dan Bu Nia yang selalu kepo pada semua hal.
"Gak nurut dibilangin apa, Bu? Emang siapa?" sahut Bu Sita yang baru datang.
"Ituloh, Bu. Anak itu, tadi udah dikasih tahu sama Bu Naji kalau setelah kepaten (ditinggal mati salah satu keluarga) gak diperbolehkan melayat dulu, eh malah bandel. Tetep aja kesini." Bu Nia menjelaskan sambil menunjuk seorang gadis dengan isyarat dagunya.
"Nanti langsung kasih tau ke Bu Darsih sama anak-anaknya biar gak melayat ke orang yang baru meninggal ini. Ntar, kejadian lagi kayak gini," tegas Bu Naji dengan melirik sinis kearah gadis di depannya.
Sementara Ira, gadis yang dilirik hanya bisa menunduk pasrah. Sefatal itukah hal yang dilakukannya? Aturan seperti itu sangatlah tak masuk akal menurutnya.
Tak tahan mendengar gunjingan para tetangganya itu, segera dia beranjak pamit pada Bu Darsih di belakang."Bu, saya pamit dulu," ucapnya sambil mencium takzim tangan Bu Darsih, gurunya.
"Eh iya, Ra. Makasih ya. Kalau ada salahnya almarhum tolong dimaafkan."
"Iya Bu, sama-sama. Assalamualaikum,"
sahutnya sependek mungkin. Dia sudah tak tahan ingin menumpahkan kegundahan hatinya di rumah. Ya, hanya rumah. Karena memang rumah itu sudah menjadi miliknya seutuhnya tanpa ada seorang pun di dalamnya sepeninggal sang bapak beberapa hari lalu."Waalaikumussalam. Eh, sebentar Ra!" panggil Bu Darsih sambil beranjak berlalu ke kamarnya.
Wanita paruh baya itu keluar dan langsung meraih tangan Ira, "Ini sedekahnya Almarhum, tolong diterima, ya. Maaf, ibu belum sempat melayat ke rumahmu. Tahu sendiri kan, seminggu terakhir Almarhum gak bisa ditinggal barang sebentar," sesal Bu Darsih sambil menyelipkan amplop di genggaman tangan Ira.
Siapa yang tak tahu, kalau Ira adalah gadis yatim piatu tanpa sanak saudara di kampung perantauan ini. Dahulu masih ada bapaknya yang menafkahi, sekarang, entah akan seperti apa dia melanjutkan hidup.
"Eh, Bu, gak usah repot-rep ...."
"Balikin! Balikin, Ra, ayo balikin, sini!"
Entah sejak kapan datangnya, Bu Naji sudah berada di belakang mereka dan merebut amplop di tangan Ira setelah berujar demikian. Amplop itu langsung berpindah tangan dalam sekali tarikan.
Bu Darsih yang melihatnya langsung melotot, wajahnya merah padam menahan amarah. Hampir seluruh tamu yang sedang melayat pun terlihat jengkel dengan kelakuan Bu Naji. Tak ada yang berani memprotes, karena meski terkenal dengan sifat judesnya, Bu Naji juga tergolong orang yang dermawan dan suka menolong terhadap para tetangganya.
"Bu Naji apa-apaan, sih! Itu kan, udah dikasih ke Ira!" Tutur salah satu dari mereka, dengan berbisik-bisik pada sebelahnya tentunya.
Bu Naji yang mendengar bisikan itu, malah melotot menatap mereka tajam. Membuat nyali semua orang itu menciut, terlihat dari tingkah mereka yang langsung menundukkan kepala. Wanita yang terkenal tegas itu menghela napas, sebelum akhirnya menjelaskan,
"Gini, loh. Masa Bu Darsih enggak tau, sih! Bu Darsih kan guru. Dari dulu, tradisi di desa kita, keluarga yang habis kepaten itu gak boleh melayat. Kalau nekat, ya gini ini konsekuensinya! Orang yang meninggal bakal terus ajak-ajak. Apalagi meninggalnya pas hari Sabtu," jelasnya. Dia menekan akhir kalimat sambil melotot pada gadis di depannya, Ira.
Melihat Ira yang terus menunduk sambil sesekali mengusap pipinya, Bu Darsih merasa tak enak, kasihan. Ira menangis. Ia tahu akan mitos itu. Tapi, bukankah jodoh, rezeki, dan maut adalah ketetapan-Nya? Tak mungkin bisa dinganggu gugat apalagi disebabkan oleh ulah manusia.
Amplop itu pun bukan ia niatkan untuk melayat. Hadiah untuk Almarhum suaminya, hanya itu.
"Buk, nanti kalau bapak udah dikubur, Ibuk nyuruh Laksa ke ATM, ya, ambil pensiunan Bapak. Ibuk sedekahkan pada orang yang membutuhkan, denga niat untuk menghadiahi bapak. Biar pahalanya bisa jadi temennya bapak di alam kubur. Bapak takut kalau sendiri, kan ibu gak boleh nemenin, hehe."
Terngiang kembali senyum suaminya beberapa hari lalu. Saat suaminya menolak memakan apapun. Hanya ingin dibarengi, katanya. Air mata Bu Darsih mengalir dengan sendirinya.
"Loh, Bu Darsih kok malah nangis juga. Ini, deh. Pokoknya Bu Darsih gak boleh melayat dulu sebelum seratus harinya suami Ibu. Kamu juga, Ra, dengerin! Cukup sekali ini kamu melayat. Lihat kan, tadi ada siaran orang mati lagi. Kamu sih bandel kalau dibilangin. Apalagi bapak kamu itu meninggalnya hari Sabtu, lebih gampang nularnya! Dah Bu Darsih, ya. Assalamualaikum," pamit Bu Naji setelah mengembalikan amplop tadi kepada Bu Darsih.
"Ingat kata Bu Naji tadi, ya, Ra. Bapak kamu itu udah memakan korban suaminya Bu Darsih. Sekarang Bu Darsih juga, jangan sampe suami Ibu memakan korban pula gegara Ibu!" sungut Bu Nia sambil berlalu meninggalkan Ira, Bu Darsih dan para tamu lain yang telah dibuat melongo.
"Udah Ra, gausah dimasukkin ke hati. Ini kamu terima ya, cuma mitos kok. Kalau takdirnya belum mati, ya gak akan. Semua yang terjadi di dunia ini tak akan terjadi tanpa izin Allah, bukan karena perbuatan manusia," ujar Bu Darsih dengan tersenyum tulus. Tangannya kembali menyelipkan amplop tadi pada tangan Ira.
Dengan sedikit gemetar, Ira menyambut uluran tangan Bu Darsih. "Iya Bu, terima kasih. Saya pulang dulu."
Sesampainya di depan rumah, Ira langsung merogoh saku nya untuk mengambil kunci rumah. Tapi ada sesuatu yang terjatuh saat tangan nya keluar dari saku. Amplop!
Segera Ira membungkuk untuk mengambilnya."Ehm ...!"
Tubuh Ira menegang kala berbalik dan mendapati seseorang telah berdiri di halaman rumahnya. Seseorang yang sangat dikenalnya, tengah menatap menyelidik pada genggam tangannya. Sedetik kemudian, ....
"Assalamualaikum!" Ucap orang tersebut."B-bu Naji, eh, waalaikumussalam. Mari masuk, Bu," jawab Ira terbata di tengah keterkejutannya."Dah, gausah ribet! Ini ada sumbangan dari warga buat acara tujuh harian bapak kamu," tuturnya sambil mengulurkan sekantong plastik uang receh dan lembaran."Baru terkumpul tadi pagi, soalnya kemaren-kemaren saya masih sibuk ngurus ini itu. Kamu masih belom belanja keperluan acaranya, kan?" lanjutnya.Ira menggeleng sambil tersenyum. Dia mengambil kantong kresek tersebut dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Ira tahu, sumbangan ini adalah inisiatif Bu Naji yang memang selalu peduli pada orang-orang miskin sepertinya. Bu Naji akan mengambil sumbangan dari rumah ke rumah saat ada warga kurang mampu yang tertimpa musibah, seikhlasnya. Dari sepeninggal Bapaknya, Ira resmi menjadi gadis sebatang kara karena Ibunya sudah tiada sejak dia kecil. Maka dari itu, untuk acara tahlil bapaknya selama lima hari ini
P.O.V IraHari yang melelahkan, dari pagi buta Bu Naji mengajakku ke pasar untuk berbelanja keperluan tahlil tujuh harinya Bapak. Beliau bilang tidak akan kebagian apapun di pasar jika berangkat terlalu siang.Saat kami sampai rumah, sudah banyak ibu-ibu yang bersiap rewang (membantu memasak). Entah siapa yang menyuruh mereka datang, yang jelas tak ada satupun yang pulang sebelum semua urusan dapur usai. Tak terbayang olehku jika saja tak ada seseorang sebaik Bu Naji yang mau membantuku mengurus acara ini satupun. Pasti acara ini tak akan terselenggara.Meski siang tadi Bu Naji sempat kesal padaku lantaran aku lupa melaksanakan pesannya untuk memisahkan beras lawatan di hari pertama dengan hari berikutnya, tapi Beliau tetap mau mengurus tetek bengek acara ini dengan paripurna.Sampai adzan isya' berkumandang, aku bergegas menuju kamar untuk salat dan bersiap-siap mengikuti tahlil, meski dari dalam rumah. Kulihat Pak RT sudah mengambil pe
Kalau tidak salah, teman bapak yang dulu sering mengunjungi keluarga kami.Ah, iya benar, aku ingat. Wajahnya persis. Hanya saja dihadapanku saat ini versi tuanya, kulitnya lebih berkeriput, tubuhnya pun tak segagah dulu."Ada yang mau saya bicarakan," lanjutnya.Aku mempersilahkan Pak Warjo duduk di teras rumah setelah sebelumnya aku menyetujui ajakannya untuk berbincang di rumahku. Beliau menolak untuk masuk, "Bukan mahram, tak baik," katanya.Ya, namanya Pak Warjo, teman Bapak. "War," begitulah Bapak memanggilnya. Aku sedikit mengingat wajahnya karena terakhir kali bertemu saat acara pemakaman Ibu, saat aku kelas empat SD. Seingatku Bapak sempat bersitegang di pemakaman dengan Beliau ini waktu itu. Aku yang saat itu masih kecil tak mengerti apa yang mereka ributkan, meski mendengar dengan jelas ucapan yang mereka lontarkan. Sejak saat itu, tak pernah lagi ku jumpai Pak War ini berkunjung ke rumah kami hingga saat ini."Gausah repot-repot Ndu
"Mungkin apa, Pak?" Tanyaku tak sabar."Mungkin sengaja ditabung untuk masa depanmu. Bisa jadi, kan?" Pak Tar meringis setelahnya."Kamu ingat, dulu setiap kamu liburan semester saat ibumu masih hidup, bapak pasti kesini. Ya untuk itu, bagi hasil. Nah, waktu kamu udah sekolah itu, pas jaya-jayanya rumah makan kita, jadi lumayan banyak emas batangan yang diterima bapakmu. Gak mungkin habis buat makan kan, kalau katamu kalian gak pernah hidup mewah?". Aku membenarkan ucapan Pak War. Seperti tidak mungkin memang."Apa kamu ndak pernah diajak Bapakmu ke bank atau tempat apa gitu yang buat nabung-nabung emas?" Selidiknya lagi.Pertanyaan Pak War kali ini membuatku mengerutkan kening mengingat-ingat kebersamaanku bersama Bapak. Benar, Beliau memang selalu datang dan mengajakku sekeluarga berlibur saat liburan sekolah tiba. Tapi mengenai tabungan emas, aku benar-benar tak tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu. Apa mungkin Bapak ngojek itu cuma pura-pura?
Dia adalah Aryo, anaknya Bu Naji. Bagaimana aku bisa lupa, ya, pada kakak kelasku yang baik hati itu, dasar aku!"Hayo! Ngapain?!"Aku berjingkat kaget. Ternyata ada Bu RT dibelakangku, dia menenteng barang belanjaan, sepertinya terhalang jalannya olehku yang diam agak lama di sini. Hihi."Eh, itu, Bu, lihat Pak War," gugupku."Pak War yang muda apa yang tua? Haha," goda Bu RT sambil berjalan terbahak melewatiku menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Bu Naji.Ih, beneran yang muda kok, Bu. Eh.Sebenarnya ingin ketemu Pak War sih, pengin tau lebih banyak hal. Tapi sekarang gak tepat, besok-besok saja jika aku luang.***Hari ini rencananya aku akan ke pasar menjual sembako lawatan untuk bertahan hidup. Setelah kupikir, lebih baik mengikuti saran Mpok Siti kemaren supaya lekas terjual, keburu ngapang (menjamur) juga sembakonya. Nanti sekalian mau cari lowongan kerja di toko pasar. Siapa tahu ada yang butuh tenagaku menjaga to
Nampak Bu Naji menenteng belanjaan dua kantong kresek merah besar baru mendudukkan diri di kursi kayu sampingku."Buk, saya bungkusin seperti biasa," ujarnya pada pemilik warung. Tanpa bertanya apapun, wanita yang baru saja berbincang denganku itu menuju bagian belakang warungnya. Sepertinya Bu Naji sudah langganan di sini."Bawa apa kamu itu, Ra?""Ini, mie kuning, Bu."Bu Naji terkekeh sebelum menjawab, "Lawatan? Mau jual buat makan, ya?" Ejeknya agak keras sambil mencomot gorengan yang tertata apik di hadapan.Aku malu pada pelanggan lain yang seolah menatapku prihatin. Kenapa ketemu di sini, sih! Nanyanya juga gak pakai kira-kira lagi. Tetanggaku yang satu ini memang ajaib, kadang seperti malaikat, membantu tanpa pamrih kadang juga kayak gini ini, pengin tak sleding, hih!Aku hanya menanggapi pertanyaan Bu Naji dengan anggukkan kepala yang kutundukkan dalam-dalam setelahnya untuk menutupi rasa maluku."Mangkannya, Ra, Ibu ny
"Ya Allah .... " gumamku dengan dada yang terasa sesak seperti ada ribuan benda yang menghimpit.Entah mengapa, ada rasa sesal dan kecewa yang sangat mendominasi di hatiku. Mengapa secepat ini? Bukankah banyak hal yang masih belum kutanyakan?.Segera kuletakkan kembali kotak-kotak ini dan mengunci pintu lemari Bapak. Biarlah baju-baju ini berserak dulu, aku akan ke rumah Bu Naji sebentar. Jika melayat tidak dibolehkan, ya sudah aku kesana tanpa membawa lawatan. Biasanya jika di hari pertama begini banyak orang yang masih menanyakan kronologi kematiannya. Aku juga ingin tahu kenapa mendadak seperti ini.Di luar kulihat Bu Nia dan Bu Sita berjalan beriringan menuju arah rumah Bu Naji. Santai sekali mereka, pikirku. Mereka berjalan sambil mengobrol dan sesekali tertawa lepas. Aku mempercepat langkah agar segera sampai."Kenapa di kubur sini ya Bu? Kan rumahnya di kota."Ku dengar Bu Sita bertanya pada Bu Nia. Terdengar jelas karena posisiku mengekor
Dua orang yang sangat kukenal. Pria yang sangat kucintai, kuhormati dan kurindukan saat ini. Dan wanita itu, Ibu, kah? Sepertinya bukan. Lebih mirip Bu Naji. Bapak dan Bu Naji.Ada yang terasa perih saat melihat potret ini meski kutahu pasti, foto ini diambil ketika mereka masih lajang. Bukankah bapak pernah bilang kalau ibu dan Bu Naji itu bersahabat baik? Lantas apa maksudnya ini?Hei, tidak!Lihatlah, perut Bu Naji sedikit membuncit seperti ... orang hamil!Kuamati setiap inchi tubuh wanita tersebut. Benar! Ini Bu Naji yang tengah hamil."Sebelas sebelas delapan tujuh," gumamku mengeja angka di belakang foto ini. Itu berarti 6 tahun sebelum aku dilahirkan. Bukankah Ibu, yang asli orang sini? Setauku bapak adalah perantau dari pulau sebrang yang menetap di sini setelah menikahi Ibu. Sebelum itu beliau mengontrak di kota. Tapi kenapa bisa foto ini diambil sebelum bapak tinggal di sini? Apa mungkin ada kejadian lain yang di maksud oleh ta