Share

Melayat Setelah Dilayat
Melayat Setelah Dilayat
Penulis: Anum

Tradisi

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun .... Telah pulang ke rahmatullah nama, Bapak ...." 

Berita duka terdengar lagi dari toa masjid, mengehentikan sejenek aktifitas para warga yang sedang melayat di rumah Bu Darsih.

"Innalillahi ... ada yang meninggal lagi, tuh kan, gak nurut sih kalau dibilang orang tua. Jadi beruntun 'kan yang meninggal," Bu Naji memulai pembicaraan setelah siaran usai. Sudah menjadi kebiasaan, wanita bertubuh subur itu selalu eksis di manapun tempatnya. Bahkan di rumah duka sekalipun.

"Iya, Bu Naji. Kok bisa beneran, ya. Kalau kayak gini terus bisa habis warga kita," jawab Bu Nia antusias. Di mana ada Bu Naji disitulah Bu Nia. Simbiosis mutualisme yang membuat keduanya saling tertaut. Bu Naji yang aktif dan ember akan semua berita di sekitar dan Bu Nia yang selalu kepo pada semua hal.

"Gak nurut dibilangin apa, Bu? Emang siapa?" sahut Bu Sita yang baru datang.

"Ituloh, Bu. Anak itu, tadi udah dikasih tahu sama Bu Naji kalau setelah kepaten (ditinggal mati salah satu keluarga) gak diperbolehkan melayat dulu, eh malah bandel. Tetep aja kesini." Bu Nia menjelaskan sambil menunjuk seorang gadis dengan isyarat dagunya.

"Nanti langsung kasih tau ke Bu Darsih sama anak-anaknya biar gak melayat ke orang yang baru meninggal ini. Ntar, kejadian lagi kayak gini," tegas Bu Naji dengan melirik sinis kearah gadis di depannya.

Sementara Ira, gadis yang dilirik hanya bisa menunduk pasrah. Sefatal itukah hal yang dilakukannya? Aturan seperti itu sangatlah tak masuk akal menurutnya. 

Tak tahan mendengar gunjingan para tetangganya itu, segera dia beranjak pamit pada Bu Darsih di belakang.

"Bu, saya pamit dulu," ucapnya sambil mencium takzim tangan Bu Darsih, gurunya.

"Eh iya, Ra. Makasih ya. Kalau ada salahnya almarhum tolong dimaafkan."

"Iya Bu, sama-sama. Assalamualaikum," 

sahutnya sependek mungkin. Dia sudah tak tahan ingin menumpahkan kegundahan hatinya di rumah. Ya, hanya rumah. Karena memang rumah itu sudah menjadi miliknya seutuhnya tanpa ada seorang pun di dalamnya sepeninggal sang bapak beberapa hari lalu.

"Waalaikumussalam. Eh, sebentar Ra!" panggil Bu Darsih sambil beranjak berlalu ke kamarnya.

Wanita paruh baya itu keluar dan langsung meraih tangan Ira, "Ini sedekahnya Almarhum, tolong diterima, ya. Maaf, ibu belum sempat melayat ke rumahmu. Tahu sendiri kan, seminggu terakhir Almarhum gak bisa ditinggal barang sebentar," sesal Bu Darsih sambil menyelipkan amplop di genggaman tangan Ira.

Siapa yang tak tahu, kalau Ira adalah gadis yatim piatu tanpa sanak saudara di kampung perantauan ini. Dahulu masih ada bapaknya yang menafkahi, sekarang, entah akan seperti apa dia melanjutkan hidup.

"Eh, Bu, gak usah repot-rep ...."

"Balikin! Balikin, Ra, ayo balikin, sini!"

Entah sejak kapan datangnya, Bu Naji sudah berada di belakang mereka dan merebut amplop di tangan Ira setelah berujar demikian. Amplop itu langsung berpindah tangan dalam sekali tarikan.

Bu Darsih yang melihatnya langsung melotot, wajahnya merah padam menahan amarah. Hampir seluruh tamu yang sedang melayat pun terlihat jengkel dengan kelakuan Bu Naji. Tak ada yang berani memprotes, karena meski terkenal dengan sifat judesnya, Bu Naji juga tergolong orang yang dermawan dan suka menolong terhadap para tetangganya.

"Bu Naji apa-apaan, sih! Itu kan, udah dikasih ke Ira!" Tutur salah satu dari mereka, dengan berbisik-bisik pada sebelahnya tentunya.

Bu Naji yang mendengar bisikan itu, malah melotot menatap mereka tajam. Membuat nyali semua orang itu menciut, terlihat dari tingkah mereka yang langsung menundukkan kepala. Wanita yang terkenal tegas itu menghela napas, sebelum akhirnya menjelaskan, 

"Gini, loh. Masa Bu Darsih enggak tau, sih! Bu Darsih kan guru. Dari dulu, tradisi di desa kita, keluarga yang habis kepaten itu gak boleh melayat. Kalau nekat, ya gini ini konsekuensinya! Orang yang meninggal bakal terus ajak-ajak. Apalagi meninggalnya pas hari Sabtu," jelasnya. Dia menekan akhir kalimat sambil melotot pada gadis di depannya, Ira.

Melihat Ira yang terus menunduk sambil sesekali mengusap pipinya, Bu Darsih merasa tak enak, kasihan. Ira menangis. Ia tahu akan mitos itu. Tapi, bukankah jodoh, rezeki, dan maut adalah ketetapan-Nya? Tak mungkin bisa dinganggu gugat apalagi disebabkan oleh ulah manusia.

Amplop itu pun bukan ia niatkan untuk melayat. Hadiah untuk Almarhum suaminya, hanya itu. 

"Buk, nanti kalau bapak udah dikubur, Ibuk nyuruh Laksa ke ATM, ya, ambil pensiunan Bapak. Ibuk sedekahkan pada orang yang membutuhkan, denga niat untuk menghadiahi bapak. Biar pahalanya bisa jadi temennya bapak di alam kubur. Bapak takut kalau sendiri, kan ibu gak boleh nemenin, hehe."

Terngiang kembali senyum suaminya  beberapa hari lalu. Saat suaminya menolak memakan apapun. Hanya ingin dibarengi, katanya. Air mata Bu Darsih mengalir dengan sendirinya.

"Loh, Bu Darsih kok malah nangis juga. Ini, deh. Pokoknya Bu Darsih gak boleh melayat dulu sebelum seratus harinya suami Ibu. Kamu juga, Ra, dengerin! Cukup sekali ini kamu melayat. Lihat kan, tadi ada siaran orang mati lagi. Kamu sih bandel kalau dibilangin. Apalagi bapak kamu itu meninggalnya hari Sabtu, lebih gampang nularnya! Dah Bu Darsih, ya. Assalamualaikum," pamit Bu Naji setelah mengembalikan amplop tadi kepada Bu Darsih.

"Ingat kata Bu Naji tadi, ya, Ra. Bapak kamu itu udah memakan korban suaminya Bu Darsih. Sekarang Bu Darsih juga, jangan sampe suami Ibu memakan korban pula gegara Ibu!" sungut Bu Nia sambil berlalu meninggalkan Ira, Bu Darsih dan para tamu lain yang telah dibuat melongo.

"Udah Ra, gausah dimasukkin ke hati. Ini kamu terima ya, cuma mitos kok. Kalau takdirnya belum mati, ya gak akan. Semua yang terjadi di dunia ini tak akan terjadi tanpa izin Allah, bukan karena perbuatan manusia," ujar Bu Darsih dengan tersenyum tulus. Tangannya kembali menyelipkan amplop tadi pada tangan Ira.

Dengan sedikit gemetar, Ira menyambut uluran tangan Bu Darsih. "Iya Bu, terima kasih. Saya pulang dulu." 

Sesampainya di depan rumah, Ira langsung merogoh saku nya untuk mengambil kunci rumah. Tapi ada sesuatu yang terjatuh saat tangan nya keluar dari saku. Amplop!

Segera Ira membungkuk untuk mengambilnya.

"Ehm ...!"

Tubuh Ira menegang kala berbalik dan mendapati seseorang telah berdiri di halaman rumahnya. Seseorang yang sangat dikenalnya, tengah menatap menyelidik pada genggam tangannya. Sedetik kemudian, ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status