"Ma..."
Anara melirik cepat ke arah Lila sebagai kode untuk merubah panggilannya.
"Tante..." Lila meralat panggilannya. Anara tersenyum lalu bertanya, "ada apa, sayang?"
Lila menunjukkan sehelai kertas berisi gambar hasil karyanya. Gambar sebuah pemandangan pedesaan. "Bagus nggak, Tante?"
Anara memperhatikannya dengan seksama, namun akhirnya ia tak terlihat berminat. "Bagus," jawabnya sekenanya.
"Tante suka?" tanya Lila lagi dengan mata berbinar. Anara menarik napas sesaat. "Suka. Tapi tante akan lebih suka lagi kalau Lila bisa menang di kompetisi piano," sahutnya. Wajah Lila lantas berubah murung. "Tapi piano sulit, Tante. Lila nggak berbakat. Lila lebih suka menggambar,"
Anara menghela napas sesaat lalu mengusap lembut rambut Lila. "Tapi piano penting untuk masa depanmu, sayang. Kakek dan nenek, semuanya menginginkan Lila untuk jadi pianis hebat suatu hari nanti. Seperti ibu
Chapter 16: INVITATIONBeberapa detik kemudian, Anara segera tersadar dan langsung menampar Pram dengan ekspresi marah yang mendominasi wajah cantiknya. Pram tak membalas. Ia hanya menatap Anara tenang lalu berkata, "bahkan kau sendiri tak bersedia jadi istri yang baik untukku. Sudahlah. Setidaknya kita akan sama-sama ada disana nantinya," Pram bangkit, melangkah dengan tenang meninggalkan Anara yang masih terkejut dan marah.Sepeninggal Pram, Anara menghela napas berat. Ia selalu tak suka keintiman fisik seperti ini. Bahkan sejak awal pernikahannya dulu, ketika Pram menyentuhnya, ia merasa jijik. Tak pernah ia bayangkan bahwa suatu saat Pram lah pria pertama yang menyentuhnya, kakak iparnya sendiri.Sebetulnya, saat masih menikah dengan Amira, Pram memang sosok pria yang baik. Bahkan sebelum menikah dengan Amira pun, ia yang saat itu datang pertama kali ke kediaman Aryasena dalam rangka pesta perayaan pernikahan orang tua Anara dan
Dirga menghentikan motornya tepat di sebuah bangunan yang tak asing baginya. Bangunan yang selalu menjadi tempat bernaungnya dulu.Panti Asuhan Muara CahayaDirga menatap plang nama bangunan itu yang kini mulai melapuk akibat termakan usia. Ia menghela napas. Ia begitu merindukan tempat ini. Meskipun beberapa teman sebayanya sudah tak lagi ada disini. Beberapa tahun telah berlalu sejak Dirga diambil oleh Hardian Hadinata dari panti asuhan ini. Sejak itu pula ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya disini.Saat itu semua teman-temannya iri karena Dirga akan tinggal bersama keluarga kaya raya. Kehidupannya pasti akan sejahtera. Dirga pun sama yakinnya. Bahwa ia pasti akan bahagia. Asanya melambung tinggi ke angkasa.Tapi nyatanya?Ia begitu malu untuk kembali ke tempat ini. Untuk memberi tahu bahwa bukannya merasa bahagia, ia justru sangat terluka. Tak disangka, dunia di luar bangunan ini terasa begit
"Nak Dirga, kenalkan, ini Nak Lyan. Ibu ketemu sama Nak Lyan minggu lalu di pasar. Nak Lyan ini baik sekali. Dia nolongin ibu yang lagi di copet. Nak Lyan berhasil mengambil kembali dompet ibu dan menghajar pencopetnya. Sejak itu Nak Lyan berminat untuk bantu bantu disini. Sudah beberapa kali dalam minggu ini Nak Lyan bantu mengajar anak-anak panti," cerita Bu Sumia pada Lyan dan Dirga yang kini berdiri berhadapan. Dirga sendiri tercengang menatapnya. Tak menyangka, karena sepertinya Lyan akan terus memasuki kehidupannya.Lyan tersenyum canggung pada Bu Sumia yang memujinya. Lalu menatap Dirga dengan kaku."Nah, Nak Lyan, ini Nak Dirga. Dia ini sudah ibu anggap seperti putera kandung ibu sendiri karena sejak kecil dia tinggal disini. Nak Dirga ini juga anak yang baik. Lihat, walaupun dia sudah tidak lagi tinggal di panti ini, tapi dia masih mau datang kesini,"Dirga tersenyum miris. Lyan menatapnya dengan pandangan yang kini berbeda
Siang ini di kantin kampus seharusnya sama seperti biasanya. Sama tenangnya, sama serunya. Namun kali ini Deana mendengus kesal. Tak lain tak bukan karena lagi-lagi ia dan Lyan menjadi pusat perhatian penghuni kantin. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan si mahasiswa penuh kontroversi, Dirga Hadinata?Dirga melangkah cepat ke arah mereka dan kemudian langsung duduk dihadapan mereka. Namun anehnya, kali ini Lyan diam saja. Ia bahkan menatap Dirga dengan tenang. Deana bergerak-gerak gelisah.Ada apa ini?"Hai!" sapa Dirga singkat. Lyan hanya menggumam kecil sebagai balasannya. Sementara Deana masih menatap heran kepada keduanya.Dirga meraih buku menu dan segera memanggil penjual kantin. Mbak Ratmi, sang penjual kantin, tergopoh-gopoh mendekati mereka."Kalian mau makan apa? Pesan aja. Biar aku yang traktir," ujar Dirga."Nggak usah!" sahut Deana cepat. Dirga mengernyit heran ke arahnya."Ayam penyet dua," sahut Lyan kemudian."Wha
"Wah...ternyata nggak sulit juga," komentar Dirga begitu Lyan selesai menjelaskan materi. "Kau cocok jadi guru. Kau pintar mengajar," lanjut Dirga lagi, memuji dengan tulus.Lyan tersenyum. "Mungkin karena kau juga sebetulnya mudah diajari,""Mungkin karena pengajarku cantik" goda Dirga sambil mengerling. Lyan langsung melempar pelan sehelai kertas ke wajah Dirga. "Berani gombal sekali lagi privatnya nggak gratis,""Oke! Mau aku traktir lagi? Atau mau kubelikan hadiah?" tawar Dirga antusias. Lyan memutar bola matanya sebal, "lupakan!"Tiba-tiba ponsel Lyan berbunyi. Sebuah nomor asing tertera di layar. Lyan segera mengangkatnya."Halo," sapa Lyan."Ini aku,"Sebuah suara yang tidak asing di seberang telepon. Tidak dibutuhkan kejeniusan bagi Lyan untuk segera mengetahui sang penelepon tak lain tak bukan adalah Abi. Ia terdiam sesaat, kemudian bangkit."Sebentar ya guys," pamitnya. Deana mengiyakan sambil tetap fokus pa
Dirga ingin langsung keluar dari persembunyiannya begitu melihat air mata Lyan yang jatuh karena dosen yang sangat dicintainya itu. Namun pegangan tangan Deana mencegahnya. Dirga melotot ke arahnya. Namun Deana hanya menggeleng."Lyan harus berhenti menjadi pengecut," bisiknya dengan nada tegas. Dirga mengernyit."Lyan harus menyelesaikan masalahnya dengan cinta pertamanya. Dan kita jangan ikut campur," lanjut Deana lagi.Dirga terdiam. Dalam hati ia setuju meskipun sesungguhnya dia ingin sekali segera menarik Lyan menjauh dari sana. Akhirnya ia kembali menunggu di tempat persembunyiannya bersama Deana. Sudah beberapa menit mereka disini sejak Lyan tak juga kembali. Mereka pun mencarinya, namun begitu ketemu, ternyata Lyan terlihat sedang berbicara serius dengan Pak Abi. Dan Deana pun segera menarik Dirga agar jangan mendekat."Kita harus pergi," ujar Deana tiba-tiba."Apa?!""Kita harus menghormati privasi mereka,""Apa kau nggak pena
"Hei! Kau nggak capek ya terus-terusan sok baik?? Dasar cowok munafik!"Kenangan itu melintas sejenak kala Anara tengah memejamkan matanya. Kenangan masa lampau yang tidak akan pernah dia lupakan. Kenangan ketika pertama kalinya dia berbicara langsung dengan Abi. Dan selamanya, Anara akan selalu mensyukuri hari itu sebagai hari terbaik dalam hidupnya.Hari itu sebelas tahun yang lalu, ketika Anara masih berstatus sebagai mahasiswi tahun pertama. Siapa yang tidak kenal dirinya? Putri keluarga Aryasena yang meskipun prestasinya tidak pernah terdengar gaungnya, tapi setidaknya ia cantik jelita."Kamu Anara kan? Aku udah lama lho naksir kamu. Pacaran yuk!"Kalimat langganan yang selalu terdengar membosankan di telinga Anara. Ia melirik cowok yang tengah berdiri di hadapannya. Ia bahkan sudah malas menghitung sudah di urutan keberapakah cowok ini yang mendamba dirinya sambil memamerkan mobil mewahnya di depan Anara, berharap benda mahal itu akan semakin meningkatk
"Kau dan Abi, kalian pacaran ya?"Sebuah pertanyaan meluncur dari salah seorang anggota organisasi yang ditujukan pada Anara. Anara gugup. Jantungnya berdebar kala mendengar pertanyaan itu."Hmm...itu...kami cuma lumayan akrab aja kok," sahut Anara seadanya. Ya, nyatanya hubungannya dan Abi hingga saat ini hanya sebatas itu.Beberapa bulan sudah berlalu sejak peristiwa itu. Anara memutuskan untuk bergabung dengan organisasi kemasyarakatan yang juga diikuti Abi. Ia sangat tertarik. Ia bertanya tentang banyak hal. Dan ia pun mulai melakukan banyak hal.Mau tak mau, ia juga mulai akrab dengan Abi. Tak disangka, meskipun berbeda sifat, nyatanya keduanya nyambung kala berbicara. Selain itu, Abi juga rutin selalu mengantar dan menjemputnya.Anara tak memikirkan banyak hal selain fokus pada kuliahnya dan juga membantu di organisasi ini. Hingga kemudian pertanyaan barusan mulai mengusik pikirannya.Mendengar kata 'pacaran', kenapa jantungnya berdeba