Share

Tidak Akan Ada Pembelaan

Bab 3

Dulu kau juga supir di kantorku, Mas. Kau harus ingat itu!

Setelah aku biayai kuliah, bahkan keluargamu pun hidup enak tapi malah ini balasanmu. Tidak tahu malu. Kenapa juga Tuhan menciptakan makhluk sepertimu?

"Tidak ada pilihan untuk jadi pengangguran ya. Ingat, kamu menanggung biaya hidupku dan istri mudamu itu. Jangan karena aku kaya kamu melupakan nafkah untukku. Aku masih istrimu bukan?"

"I–ya. Kamu istriku, sampai kapanpun kita tidak akan pernah berpisah."

Tidak akan berpisah kepalamu! Aku bahkan ingin sekali mendorongmu ke dalam akuarium piranha.

Cepat-cepat menetralkan perasaanku saat kembali memuncak karena emosi. Aku tidak boleh bicara buruk pada siapapun, kondisiku saat ini sedang hamil.

"Kalau begitu cepat. Aku tidak suka menunggu."

Mas Dafri buru-buru melangkah menaiki tangga.

Sedangkan aku menunggu di meja makan sambil memeriksa jadwalku hari ini. Sepertinya aku akan mengurangi aktivitas seperti apa yang disarankan dokter. Bagaimanapun anakku lebih berharga daripada pekerjaan.

"Aww!" Suara jeritan Luna bisa kudengar dengan jelas.

Dia sedang berperang dengan cipratan minyak panas sekarang. Dia harus tahu diri, enak saja mau ongkang-ongkang kaki di rumah ini, numpang saja sombong

Sepuluh menit berlalu, Mas Dafri turun dari kamar menggunakan pakaian kantor. Sontak membuat tawaku pecah.

"Kenapa tertawa? Ada yang salah?" tanyanya sambil memperhatikan penampilannya sendiri.

"Supir mana yang memakai dasi dan jas seperti itu? Kamu bukan supir presiden, Mas!"

"Aku bukan supir. Aku akan mengantarmu kemanapun, aku suami siaga."

"Suami siaga? Sudahlah, cepat ganti. Eh tidak, buka saja dasi dan jasnya. Lebih baik hanya kemeja."

Mas Dafri mengikuti perintahku dan menaruh kembali jas dan dasi ke kamar. Berbarengan dengan itu Luna datang membawa ikan goreng dan juga sayur bayam yang tadi kuminta. Dari tampilannya sudah tidak meyakinkan karena aku tahu Luna tidak bisa masak.

"Makan saja itu. Aku baik bukan? Makan yang banyak supaya anakmu itu punya otak yang cerdas, tidak buntu seperti ibunya," sindirku.

Prang!

Luna menjatuhkan piring berisi ikan itu ke lantai, sorot matanya memicing padaku.

"Kurang ajar kau ya!"

Aku langsung mundur saat dia maju untuk menyerang.

"Sebelum bicara, ganti dulu piringku ini. Kau sudah memecahkannya."

Luna tersenyum meremehkan, "Cuih! Dasar pelit, piring saja minta diganti. Kubelikan sepuluh yang seperti itu."

"Benarkah? Satu piring ini harganya tiga setengah juta jadi siapakan saja 35 juta untuk membelinya. Aku tunggu piring gantinya."

Mata Luna membeliak, "A–pa? Jangan coba-coba menipuku!"

"Luna … Luna. Berapa tahun kau menjadi temanku? Masih belum tahu seleraku? Oh ya, aku lupa. Kau terlalu sibuk digarap suamiku ja–"

"Apa yang terjadi?" Mas Dafri datang menghampiri, dia melihat ke arah lantai dimana pecahan piring dan ikan berserakan.

"Dia menghinaku, Mas!" Luna langsung mengadu. Semuanya akan percuma karena Mas Dafri akan membelaku meski aku salah sekalipun.

"Diam, Luna! Bereskan semuanya, aku harus mengantar Elea ke kantor."

Aku tersenyum puas melihat wajah merah padam Luna, dia ingin marah tapi ditahannya.

"Tapi, Mas. Aku sedang hamil, tega kamu menyuruhku untuk membereskan ini? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada bayiku?"

Dasar ratu drama!

"Jangan manja. Kau tidak kusuruh untuk salto, hanya bereskan semua itu."

Kau tidak akan mendapatkan pembelaan dari siapapun, Luna. Ingat, ini baru awal.

***

“Loh, kenapa kamu duduk di belakang?” tanya Mas Dafri saat aku membuka pintu belakang.

Sebelah alisku terangkat, “Kenapa? Bukankah majikan itu memang duduk di belakang. Ini jam kerjamu, Mas. Jadi harus profesional, jam kerja, aku adalah majikanmu bukan istrimu.”

Mas Dafri terperangah namun tidak membalas ucapanku. Saat aku masuk dan menutup pintu dengan keras baru dia tersadar dan juga ikut masuk.

“Ke rumah papa.”

“Un–tuk apa kesana? Bukankah kamu harus ke kantor?”

“Suka-sukaku dong, Mas. Aku ingin bertemu dengan papa, memang salah?”

“Ti–dak, tapi apa kamu sudah baikan dengan papa?”

“Iya atau tidaknya bukan urusanmu, Mas!”

Dia pasti takut jika aku akan mengatakan semuanya pada papa, tapi jika aku bicara sekarang. Permainan ini akan langsung berakhir. Enak saja mereka bisa bebas setelah menghancurkan hatiku berkeping-keping.

Sepanjang perjalanan Mas Dafri mencoba untuk mengambil perhatianku, menanyakan apa yang kuinginkan. Jika ditanya seperti itu jelas aku ingin dia menderita. Aku hanya membatin tanpa berniat menjawab semua perkataannya dan fokus pada tablet di tangan.

Lebih penting mengurus pekerjaanku daripada menanggapi ocehannya.

Setelah mendengar apa yang diobrolkannya dengan Luna tadi, aku semakin yakin, yakin untuk menendang lelaki ini jauh-jauh dari hidupku. Tidak akan kubiarkan dia membawa sepeserpun harta, aku bukan serakah tapi tidak rela Luna mendapatkan apa yang diincarnya. Semua aset Mas Dafri akan menjadi hak anakku nanti. Karena setelah nanti proses perceraian selesai, aku tidak akan pernah mau lagi bertemu dengannya.

Anakku tidak akan membutuhkannya. Kasih sayang dariku dan juga orang tuaku sudah pasti lebih dari cukup. Lebih baik anakku tidak mengenal ayahnya.

“Tunggu disini!” Aku menahan Mas Dafri yang akan ikut keluar saat kami sudah sampai di rumah papa.

“Tapi-”

“Ingat batasanmu! Diam di dalam mobil dan jangan berani keluar!”

Setelah melihat anggukan Mas Dafri baru aku turun dan mengayunkan langkah memasuki mansion. Disambut para pelayan yang membukakan pintu.

“Dimana papa?”

“Ada di taman belakang, Nona.”

Kutarik nafas dalam-dalam. Rasanya bimbang antara mengatakannya atau tidak, tapi aku tidak ingin melihat papa lebih kecewa karena memang bertahun-tahun aku sudah mengecewakannya. Saat papa sudah mulai menerima keberadaan Mas Dafri, tapi lelaki tak tahu diri itu malah berulah.

Dia menghancurkan dirinya sendiri. Dia akan kehilangan segalanya dengan satu kesalahan yang dilakukannya.

Langkahku terhenti melihat papa duduk di kursi taman dengan buku di tangannya.

Tanpa bisa ditahan air mataku tiba-tiba menyeruak, dadaku terasa sesak.

Pa … pilihan anakmu ini ternyata salah.

“El!”

Aku terhenyak mendengar suara mama dari belakang tubuh, buru-buru kuseka air mata agar tak berbekas.

“Ma.” Kupaksakan senyum saat wanita yang melahirkanku itu berjalan mendekat lalu berhambur memelukku.

“Kalian berdua sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah!” ucap mama dengan terisak.

Mengerti apa maksudnya. Mama tahu aku dan papa keras kepala, tidak ada yang mau mengalah dan saling mengakui kesalahan. Dan sekarang aku akan mengalah karena memang aku salah, salah memilih pasangan.

Bukannya membahagiakan dia malah menghancurkan tanpa perasaan.

“Maaf, Ma," sesalku.

“Umur tidak ada yang tahu, Nak. Mama tidak mau jika mama lebih dulu pergi kamu dan papa masih seperti ini.”

Refleks aku mengurai pelukan, melayangkan tatapan protes dengan apa yang mama katakan.

“Jangan bicara sembarangan, Ma!”

Tangan mama terangkat mengelus kepalaku.

“Mama sakit melihatmu dan papa menciptakan jarak yang sangat jauh. Bertahun-tahun seperti ini hati kalian juga sama tersiksa. Apa kamu tidak rindu menceritakan keluh kesahmu itu pada papa? Apa kamu tidak rindu menghabiskan senja bersama papa?"

Bukan sekali dua kali. Mama membujukku untuk bisa mengikis tembok ego agar hubunganku dan papa kembali membaik. Tapi memang dasarnya aku keras kepala, setelah tertimpa masalah baru aku menyadari. Aku butuh sosok papa yang selalu menguatkanku saat aku jatuh.

Pundak Mas Dafri yang selalu menjadi sandaran kini sudah ditempati wanita lain.

Memang tidak akan ada lelaki yang mencintai dan menyayangiku dengan begitu besarnya seperti papa.

“Jangan sampai cucu mama lahir kamu dan papa masih belum baikan.”

Mataku membulat mendengar penuturan mama. Aku bahkan belum mengatakan hal ini pada siapapun. Jika mama tahu soal kehamilanku apa mama juga tahu soal Mas Dafri?

Bersambung ….

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
berlagak orang kaya pake gaya yinggal fi mansion segala tapi gampang banget dibohongi. makan tu cinta dan jilat ludah yg sdh kau buang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status