Bertempat di gedung C Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ruangan Socrates.
Pukul 9.45, suasana halaman gedung begitu ramai tidak seperti biasanya. Pagi ini adalah masa matrikulasi bagi sebagian besar mahasiswa Universitas Indonesia tingkat tiga.
Di suatu papan informasi di pelataran teras gedung tertempel nama-nama mahasiswa yang yang dibagi berdasarkan kelompok menurut lokasi program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik. Dalam satu kelompok terdiri dari tujuh orang mahasiswa dari jurusan dan fakultas yang berbeda.
Terdapat tujuh nama mahasiswa di dalam kelompok ini. Kelompok ini akan melakukan KKN pada lokasi Pulau Pahawang, Lampung.
“Hai, Dek,”
ucap salah satu mahasiswa senior berkulit putih dan berwajah tampan seraya menepuk pundak Lili.“Wey, Bang. Gimana... gimana..?”
ucap Lili yang menoleh kepada pemuda itu.Pemuda itu adalah senior Lili. Pemuda populer di jurusan Biologi itu berbicara dengan Lili tidak seperti biasanya.
“Tumben, orang ini menyapaku?”
ucap Lili dalam hati dengan perasaan berbunga-bunga.“Ini..”
ucap pemuda itu sambil menunjuk ke papan informasi.“Ini adalah nama cewek gua. Elu satu kelompok kan sama dia? Gua mau minta tolong sama elu, Dek,”
ucap pemuda itu.“Jlep..”
perasaan berbunga-bunga Lili mendadak berubah menjadi perasaan berlumpur.“Sialan.. Kok malah membicarakan pacarnya, sih? Aku baru tahu kalau abang ini punya pacar,”
ucap Lili membatin.“Gua minta tolong elu jagain dia, ya Dek? Dia anaknya kaya puteri raja gitu, rentan lecet. Sementara elu...”
ucap pemuda itu.“Aku kenapa?”
ucap Lili di dalam hati.“Pokoknya gua yakin elu cewek yang tangguh,”
ucap pemuda itu.Lili jadi teringat ketika ia menjadi mahasiswa baru tidag tahun yang lalu. Mahasiswa baru jurusan Biologi selalu dilakukan orientasi pengkaderan di dalam hutan. Lili adalah perempuan yang terkenal tangguh oleh para seniornya.
Masing-masing senior punya peran dalam orientasi itu, di antaranya adalah status ‘Senjah’ atau Senior Jahat dan ‘Semat’ atau Senior Malaikat.
Pemuda tampan ini berlakon sebagai Senior Malaikat yang selalu penuh dengan wejangan dan kata-kata motivasi kepada para juniornya, terutama Lili.
“Oh.. Iya, Bang. Tenang aja pokoknya, Bang,”
ucap Lili sambil meringis dan mengangkat jempol kepada pemuda itu.“Tenang.. tenang.. Cewek gua bakal lu jagain, kan?”
tanya pemuda itu.“Kagak, Bang,”
ucap Lili membatin.“Pokoknya tenang aja, dah..”
ucap Lili sambil meringis kepada pemuda itu.Pemuda itu lalu pergi sambil menoleh ke sekelilingnya. Ia nampak seperti sedang mencari seseorang.
“Enak aja, begitu datang langsung nyuruh-nyuruh. Emangnya aku pembantunya? Jadi bodyguard eemm.. Bodyguard siapa tadi ya namanya? Aduh, tadi pacarnya yang mana nih. Lupa!”
ucap Lili sembari menyentuh dan mengurut daftar nama di papan informasi dengan ujung telunjuknya.Dia adalah Lili, mahasiswi jurusan Biologi Fakultas MIPA. Lili adalah sosok tangguh yang sebenarnya berhati lembut. Sejak bersekolah di sekolah dasar hingga sekolah menengah ia memiliki hobi yang berhubungan dengan alam bebas.
Lili berkutat dengan camping, sains, beladiri dan musik. Namun, kemampuannya yang multitalent itu tidak diimbangi dengan kemampuannya bersosialisasi dengan orang lain.
Dia adalah seorang yang dingin, namun di balik itu ia menutupi sifat pemalunya. Terlebih apabila berhubungan dengan orang-orang yang belum dikenalnya.
“Kelompok KKN Lampung kumpul! Kumpul! Masuk ke ruangan sekarang!”
ucap seorang pemuda bergestur militer yang sedang berdiri di depan pintu ruangan Socrates. Ia memanggil para mahasiswa lainnya dengan sedikit berteriak.Dia adalah Ridwan, mahasiswa jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum. Sekilas Ridwan terlihat memiliki sikap kepemimpinan. Ia terlihat tegas namun tidak bossy. Dia begitu mengayomi orang-orang yang dalam pengarahannya.
“Buggg..”
seseorang menabrak mahasiswa bertubuh gemuk. Dia adalah Ronco, mahasiswa jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik.Mengetahui orang lain menabraknya dan bersikap serampangan, Ronco hanya menggeleng dan easy going. Sekilas, Ronco memiliki pembawaan yang bijaksana dan dewasa.
Lili kemudian masuk ke dalam ruangan Socrates. Ia duduk pada kursi yang masih kosong di deretan tengah. Sudah bukan rahasia umum lagi, mahasiswa yang mengambil tempat pada barisan depan adalah mereka para unggulan yang kutu buku.
Sedangkan, mahasiswa yang begitu datang langsung mengambil tempat di barisan belakang adalah mereka yang tidak serius dengan perkuliahan. Mereka lebih suka bersantai dan bersenang-senang saja di kampus.
Lili duduk di antara mahasiswa yang tidak dikenalnya. Seperti biasa, dia tidak mengeluarkan sepatah katapun di sekitar orang-orang yang tidak dikenalnya.
Lili duduk di dalam kelas untuk mengikuti matrikulasi KKN. Ia berada di antara mahasiswa yang tidak dikenalnya. Seperti biasa, dia tidak mengeluarkan sepatah katapun di sekitar orang-orang yang tidak dikenalnya. “Hai, mbak.. KKN di lokasi mana?”sapa Riris dengan wajah yang datar. Kadang dia seperti sedang tersenyum, namun Lili tidak yakin dengan senyuman itu. “Mungkin dia sedang mencoba berbaur. Tapi, kok kaku begitu sih?”ucap Lili membatin sambil tersenyum kepada Riris yang duduk di sampingnya. “Saya dapat di lokasi...”ucap Lili yang tertahan kata-katanya. “Permisi.. permisi..”ucap seorang mahasiswi tinggi berpenampilan girly menerobos jarak antara kursi Lili dengan kursi pada barisan di depannya. Dia adalah Rianti, mahasiswa Ilmu Kedokteran. Dia hendak duduk beberapa kursi di samping Riris. Penampilannya yang eye catcing dia coba jaga dengan hati-hati. Ia berjinjit dan menyamping dalam berjalan menembus barisan kursi, sep
Beberapa waktu pun berlalu. Pengarahan dari dosen koordinator sudah selesai. Beberapa pemuda kemudian berdiri dan saling mengeluarkan suara lantang. “Kelompok Pahawang bisa berkumpul di sini!”ucap Ridwan. “Kelompok Mesuji.. mana yang kelompok Mesuji?”“Liwa sini Liwa!”“Maringgai? Ada yang Maringgai?”suara para pemuda yang diperkirakan sebagai ketua kelompok itu terdengar meriuh memecah suasana hening semasa pengarahan dari dosen tadi. Suasana ruangan itu kemudian riuh dengan suara-suara pertanyaan para mahasiswa dan seretan kursi lipat di lantai. Ridwan, Ronco, Lili, Riris, Rianti, Wandi, dan Emmy pun berkumpul duduk membentuk lingkaran. Mereka saling memandang satu sama lain, mencoba mengenali wajah teman-teman sekelompoknya. Emmy dan Rianti saling melempar senyum. Ronco dan Riris memperhatikan Ridwan bicara memberi informasi. Sedangkan, Wandi hanya sibuk pada ponsel yang ia pegang sedari tadi. Lili memandangi Wandi dengan sedi
Suatu pagi pukul 7.05 di kantin pinggir kolam kampus. Lili mengendarai sepeda MTB dengan santai. Ia berhenti di depan kantin dan memarkirkan sepedanya tidak jauh dari tempat duduk yang rencananya akan ia pilih untuk ia tempati. Pagi ini rencananya kelompok KKN Pulau Pahawang akan melangsungkan pertemuan untuk membicarakan persiapan keberangkatan. “Bibi Sari, kopi susu satu ya..”ucap Lili sambil berjalan menuju tempat duduk. Lili lalu membukan helm dan tas kecilnya kemudian menaruhnya di meja. “Kopi susu siap,”ucap petugas kantin yang meninggalkan segelas kopi susu di meja kasir. Belum sempat Lili mengambilnya, segelas kopi susu itu lalu diambil oleh seseorang yang baru datang. Dia adalah Wandi. Wandi datang langsung membawa kopi itu dan duduk di tempat duduk tepi kolam. Lili sudah berjalan menuju kasir, namun langkahnya tidak mampu menjemput kopi susu pesanannya itu. “Ya ampun! Ada yang nyelonong ngambil pesanan
Setelah lama menunggu, Lili tidak juga mendapat kepastian dari teman-temannya. Lili yang sejak tadi sibuk mengendarai sepeda MTB-nya tidak kunjung memeriksa ponselnya. Merasa jenuh menunggu, akhirnya Lili memeriksa ponselnya itu. Ia mengeluarkannya dari tas kecilnya kemudian menekan-nekan layarnya. “Pertemuan kita ditunda sore saja, ya? Mengingat banyak yang ga bisa hadir pagi ini,”pesan WA yang dibaca Lili. Lili lalu mekalukan scroll chat ke atas. Tampak di sana beberapa respon dari aggota lainnya yang tiba-tiba memberikan informasi perihal ketidakhadiran mereka. “Astaga.. Kenapa ga daritadi WAG ini aku buka? Sudah menghabiskan waktu seperti ini. Ah! Menyebalkan sekali. Selain menunggu sia-sia, minumanku pun dirampok oleh orang aneh itu,”gumam Lili kesal. Lili lalu langsung dengan cepat mengenakan tas kecil dan helm sepedanya. Ia kemudian pergi dengan mengendarai sepeda dengan kecepatan yang lebih tinggi. **** Sore hari pu
“Bro.. Sis.. Gua duluan ya!”ucap Ronco, orang terakhir yang masih tinggal di sana. Ia kemudian pergi. “Oke, hati-hati di jalan!”ucap Lili. Lili lalu mengeluarkan dua botol soda itu dan menaruhnya di hadapannya dan di hadapan Wandi. Demikian juga cokelat yang ada di sana. “Nih, aku minum ya?”ucap Lili kemudian menenggak sebotol soda tanpa jeda. “Oke, minumannya sudah habis. Sekarang cokelatnya..”ucap Lili kemudian menyobek bungkus cokelat itu dan menggigitnya dengan potongan yang besar-besar. “Saya mohon..”ucap Wandi pelan. “Hah? Apa?”tanya Lili heran. Ia kemudian menghentikan aktivitas makannya dan mendenarkan Wandi dengan seksama. “Saya mohon, kamu jangan membicarakan apa yang terjadi dengan tangan saya kepada orang lain,”ucap Wandi pelan. “Jangan-jangan, dia benar-benar pengguna narkoba?”gumam Lili. “Oke..”ucap Lili kemudian menyatukan ujung telunjuk dan ujung jempolnya dan
Suatu sore, pukul 16.09 bertempat halaman belakang gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Lili sedang berada di hadapan arena wall climbing. Rambut panjangnya sedang digulung di dalam helm. Tubuh bagian bawahnya dibalut rangkaian body harness. Tangannya begitu mahir menarik ulur belay device. Ia sedang menunggui temannya yang berada di atas dan hendak menuju puncak. Kepala Lili menengadah memperhatikan temannya itu sambil menarik ulur tali. Leher rampingnya basah, hasil dari tetesan keringat dari kepalanya. “Tangan kanan! Kanan! Salah itu! Balik lagi coba. Pegang yang di bawahnya lagi!”teriak Lili mengarahkan temannya yang berada di 13 meter di atasnya. Ridwan menonton dan menunggu Lili dari tepi arena. Lili menyeka keringat di keningnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya untuk melemaskannya. Tanpa sengaja Lili kemudian melihat Ridwan. Lili pun melambai pada Ridwan dan meneruskan kegiatannya. Ridwan membalas lambaian tangan Lili sambil te
Setelah Lili menyuapinya sepotong tempe, bagi Ridwan dunia seolah melambat. “Gimana? Enak banget khan?”ucap Lili. Lili lalu mendapati Ridwan sedang melamun memandanginya. Lili lalu melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ridwan. “Halo? Halo halo? Hai? Halo halo hai hai? Mas! Mas bangun mas!”ucap Lili. Ridwan lalu tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum miring meringis karena merasa malu sudah dipergoki seperti itu. “Hahaha.. Kayaknya di dalam tempe ini ga pakai bumbu ganja deh. Kok bisa .. itu.. kamu seperti tadi tuh.. Bengong begitu?”ucap Lili. “Ya.. Enak banget. Enak banget kok tempenya,”ucap Ridwan. “Oh iya. Di dekat simpang lapangan tembak ada restoran baru loh. Menu-menu makanan di sana enak-enak banget. Kamu suka seafood ga?”ucap Ridwan. “Iyaa... Suka bangeeeet! Cumi, cuminya diasam-pedas. Emmm.. Yummy!”ucap Lili bernada manja. “Ya sudah. Lain waktu aku ajak kamu ke sana ya? Di
Sepekan kemudian. Suatu sore pukul 15.30 di teras rumah Lili. Ia sedang memetik senar gitar bernada akustik diiringi suara hujan. “Halo?”Lili mengangkat panggilan telepon melalui ponselnya. “Aku sudah kembali. Malam ini kita bertemu, ya? Aku sudah tidak sabar memenuhi janjiku kepadamu,”ucap seorang pemuda melalui percakapan telepon itu. Lili terdiam. Lingkungan tiba-tiba terasa hening baginya. Semua yang bergerak di sekelilingnya terasa melambat. Perasaan tak menentu dan lebih tepatnya adalah sebuah kesedihan menyerang hatinya. Lili tidak lagi menyimak suara orang yang berbicara di ponselnya itu. Tanpa sadar genggaman tangan Lili terhadap ponselnya melemah. “Bruuuk..”ponsel terjatuh ke lantai. Ia tidak mempedulikan ponselnya. Lili mengubah posisi tubuhnya dari duduk menjadi berdiri. Lalu, dengan cepat ia melangkah menerobos hujan. Langkahnya terhenti di sebuah gorong-gorong di seberang jalan depan rumahnya.