“Hai, mbak.. KKN di lokasi mana?”
sapa Riris dengan wajah yang datar. Kadang dia seperti sedang tersenyum, namun Lili tidak yakin dengan senyuman itu.“Mungkin dia sedang mencoba berbaur. Tapi, kok kaku begitu sih?”
ucap Lili membatin sambil tersenyum kepada Riris yang duduk di sampingnya.“Saya dapat di lokasi...”
ucap Lili yang tertahan kata-katanya.“Permisi.. permisi..”
ucap seorang mahasiswi tinggi berpenampilan girly menerobos jarak antara kursi Lili dengan kursi pada barisan di depannya.Dia adalah Rianti, mahasiswa Ilmu Kedokteran. Dia hendak duduk beberapa kursi di samping Riris. Penampilannya yang eye catcing dia coba jaga dengan hati-hati. Ia berjinjit dan menyamping dalam berjalan menembus barisan kursi, seperti tidak rela rok cantiknya tergesek pinggiran kursi.
Dari sudut lain Lili memandangi seorang mahasiswi bertubuh gemuk sedang menoleh ke kanan dan ke kiri seakan mencari kursi kosong yang bisa ia jangkau.
Ia melakukan itu sambil menempelkan ponselnya di telinga. Dilihat dari pergerakan dan bentuk mulut saat berbicara, mahasiswi ini terlihat seperti seorang rentenir yang terus saja bertanya berulang-ulang dan menuntut jawaban kepada orang yang sedang diteleponnya.
Dia adalah Emmy, mahasiswa jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan.
Acara matrikulasi pun dimulai. Seorang dosen koordinator KKN lokasi Lampung itu memulai sambutannya. Dosen pria berusia paruh baya itu memulai sambutannya dengan pembawaan yang kaku dan wajah yang menyeramkan.
Nada suaranya begitu datar, terdengar membosankan, dan terkesan seperti tokoh pada judul lagu musisi legend, ‘Umar Bakri’. Umar Bakri tokoh guru yang selalu mengendarai sepeda kumbang.
Untuk menahan kelopak mata Lili dari mantera-mantera sihir tidur dosen tersebut, Lili membatin bersenandung lagu ‘Umar Bakri’ ciptaan Iwan Fals.
Sesekali Lili membayangkan sosok yang sedang berbicara di depan itu sedang mengendarai sepeda kumbang lalu dihadang oleh gerombolan mahasiswa pendemo. Hal itu sebagaimana lirik lagu yang berbunyi:
Laju sepeda kumbang di jalan berlubang
Selalu begitu dari dulu waktu jaman JepangTerkejut dia waktu mau masuk pintu gerbangBanyak polisi bawa senjata berwajah garangBapak Umar Bakri kaget apa gerangan
‘Berkelahi Pak’ jawab murid seperti jagoanBapak Umar Bakri takut bukan kepalangItu sepeda butut dikebut lalu cabut kalang kabut Bakri kentutCepat pulangBusyetStanding dan terbangPengarahan di dalam kelas oleh dosen koordinator KKN masih berlangsung. Sesekali Lili senyum-senyum sendiri sambil memandangi dosen yang sedang berbicara di depan itu. Ia tidak begitu menyimak apa yang disampaikan oleh dosen tersebut, karena secara detil rincian kegiatan sudah tertera pada buku panduan yang sudah ia baca.
“Kreeeeek..” (suara pintu dibuka)
Beberapa mahasiswa yang duduk di belakang menoleh. Namun, karena sorotan mata dosen pembicara yang tajam dan kejam kepada orang yang baru masuk itu, maka semua mahasiswa lainnya pun ikut menoleh memperhatikannya.
Orang yang baru datang itu adalah Wandi, mahasiswa Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan.
Ekpresinya begitu santai dan tidak menunjukkan rasa menyesal sama sekali pada keterlambatannya. Ia nampak menunduk sekali dengan cepat kepada dosen itu kemudian menuju kursi kosong dan duduk dengan tubuh yang tidak tegak. Tubuhnya begitu landai ia sandarkan pada sandaran kursi.
“Bapak peringatkan kepada kamu.. Hargai waktu! Jangan terlambat seperti ini! Untung saya tidak mengajar kamu, kalau tidak kamu akan dapat stempel buruk dari saya sampai kamu lulus,”
ucap dosen pembicara itu.Wandi kemudian tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya yang saling menelungkup. Ia memberi isyarat permohonan maaf kepada dosen itu dari tempat duduknya yang berada di barisan belakang.
Beberapa waktu pun berlalu. Pengarahan dari dosen koordinator sudah selesai. Beberapa pemuda kemudian berdiri dan saling mengeluarkan suara lantang. “Kelompok Pahawang bisa berkumpul di sini!”ucap Ridwan. “Kelompok Mesuji.. mana yang kelompok Mesuji?”“Liwa sini Liwa!”“Maringgai? Ada yang Maringgai?”suara para pemuda yang diperkirakan sebagai ketua kelompok itu terdengar meriuh memecah suasana hening semasa pengarahan dari dosen tadi. Suasana ruangan itu kemudian riuh dengan suara-suara pertanyaan para mahasiswa dan seretan kursi lipat di lantai. Ridwan, Ronco, Lili, Riris, Rianti, Wandi, dan Emmy pun berkumpul duduk membentuk lingkaran. Mereka saling memandang satu sama lain, mencoba mengenali wajah teman-teman sekelompoknya. Emmy dan Rianti saling melempar senyum. Ronco dan Riris memperhatikan Ridwan bicara memberi informasi. Sedangkan, Wandi hanya sibuk pada ponsel yang ia pegang sedari tadi. Lili memandangi Wandi dengan sedi
Suatu pagi pukul 7.05 di kantin pinggir kolam kampus. Lili mengendarai sepeda MTB dengan santai. Ia berhenti di depan kantin dan memarkirkan sepedanya tidak jauh dari tempat duduk yang rencananya akan ia pilih untuk ia tempati. Pagi ini rencananya kelompok KKN Pulau Pahawang akan melangsungkan pertemuan untuk membicarakan persiapan keberangkatan. “Bibi Sari, kopi susu satu ya..”ucap Lili sambil berjalan menuju tempat duduk. Lili lalu membukan helm dan tas kecilnya kemudian menaruhnya di meja. “Kopi susu siap,”ucap petugas kantin yang meninggalkan segelas kopi susu di meja kasir. Belum sempat Lili mengambilnya, segelas kopi susu itu lalu diambil oleh seseorang yang baru datang. Dia adalah Wandi. Wandi datang langsung membawa kopi itu dan duduk di tempat duduk tepi kolam. Lili sudah berjalan menuju kasir, namun langkahnya tidak mampu menjemput kopi susu pesanannya itu. “Ya ampun! Ada yang nyelonong ngambil pesanan
Setelah lama menunggu, Lili tidak juga mendapat kepastian dari teman-temannya. Lili yang sejak tadi sibuk mengendarai sepeda MTB-nya tidak kunjung memeriksa ponselnya. Merasa jenuh menunggu, akhirnya Lili memeriksa ponselnya itu. Ia mengeluarkannya dari tas kecilnya kemudian menekan-nekan layarnya. “Pertemuan kita ditunda sore saja, ya? Mengingat banyak yang ga bisa hadir pagi ini,”pesan WA yang dibaca Lili. Lili lalu mekalukan scroll chat ke atas. Tampak di sana beberapa respon dari aggota lainnya yang tiba-tiba memberikan informasi perihal ketidakhadiran mereka. “Astaga.. Kenapa ga daritadi WAG ini aku buka? Sudah menghabiskan waktu seperti ini. Ah! Menyebalkan sekali. Selain menunggu sia-sia, minumanku pun dirampok oleh orang aneh itu,”gumam Lili kesal. Lili lalu langsung dengan cepat mengenakan tas kecil dan helm sepedanya. Ia kemudian pergi dengan mengendarai sepeda dengan kecepatan yang lebih tinggi. **** Sore hari pu
“Bro.. Sis.. Gua duluan ya!”ucap Ronco, orang terakhir yang masih tinggal di sana. Ia kemudian pergi. “Oke, hati-hati di jalan!”ucap Lili. Lili lalu mengeluarkan dua botol soda itu dan menaruhnya di hadapannya dan di hadapan Wandi. Demikian juga cokelat yang ada di sana. “Nih, aku minum ya?”ucap Lili kemudian menenggak sebotol soda tanpa jeda. “Oke, minumannya sudah habis. Sekarang cokelatnya..”ucap Lili kemudian menyobek bungkus cokelat itu dan menggigitnya dengan potongan yang besar-besar. “Saya mohon..”ucap Wandi pelan. “Hah? Apa?”tanya Lili heran. Ia kemudian menghentikan aktivitas makannya dan mendenarkan Wandi dengan seksama. “Saya mohon, kamu jangan membicarakan apa yang terjadi dengan tangan saya kepada orang lain,”ucap Wandi pelan. “Jangan-jangan, dia benar-benar pengguna narkoba?”gumam Lili. “Oke..”ucap Lili kemudian menyatukan ujung telunjuk dan ujung jempolnya dan
Suatu sore, pukul 16.09 bertempat halaman belakang gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Lili sedang berada di hadapan arena wall climbing. Rambut panjangnya sedang digulung di dalam helm. Tubuh bagian bawahnya dibalut rangkaian body harness. Tangannya begitu mahir menarik ulur belay device. Ia sedang menunggui temannya yang berada di atas dan hendak menuju puncak. Kepala Lili menengadah memperhatikan temannya itu sambil menarik ulur tali. Leher rampingnya basah, hasil dari tetesan keringat dari kepalanya. “Tangan kanan! Kanan! Salah itu! Balik lagi coba. Pegang yang di bawahnya lagi!”teriak Lili mengarahkan temannya yang berada di 13 meter di atasnya. Ridwan menonton dan menunggu Lili dari tepi arena. Lili menyeka keringat di keningnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya untuk melemaskannya. Tanpa sengaja Lili kemudian melihat Ridwan. Lili pun melambai pada Ridwan dan meneruskan kegiatannya. Ridwan membalas lambaian tangan Lili sambil te
Setelah Lili menyuapinya sepotong tempe, bagi Ridwan dunia seolah melambat. “Gimana? Enak banget khan?”ucap Lili. Lili lalu mendapati Ridwan sedang melamun memandanginya. Lili lalu melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ridwan. “Halo? Halo halo? Hai? Halo halo hai hai? Mas! Mas bangun mas!”ucap Lili. Ridwan lalu tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum miring meringis karena merasa malu sudah dipergoki seperti itu. “Hahaha.. Kayaknya di dalam tempe ini ga pakai bumbu ganja deh. Kok bisa .. itu.. kamu seperti tadi tuh.. Bengong begitu?”ucap Lili. “Ya.. Enak banget. Enak banget kok tempenya,”ucap Ridwan. “Oh iya. Di dekat simpang lapangan tembak ada restoran baru loh. Menu-menu makanan di sana enak-enak banget. Kamu suka seafood ga?”ucap Ridwan. “Iyaa... Suka bangeeeet! Cumi, cuminya diasam-pedas. Emmm.. Yummy!”ucap Lili bernada manja. “Ya sudah. Lain waktu aku ajak kamu ke sana ya? Di
Sepekan kemudian. Suatu sore pukul 15.30 di teras rumah Lili. Ia sedang memetik senar gitar bernada akustik diiringi suara hujan. “Halo?”Lili mengangkat panggilan telepon melalui ponselnya. “Aku sudah kembali. Malam ini kita bertemu, ya? Aku sudah tidak sabar memenuhi janjiku kepadamu,”ucap seorang pemuda melalui percakapan telepon itu. Lili terdiam. Lingkungan tiba-tiba terasa hening baginya. Semua yang bergerak di sekelilingnya terasa melambat. Perasaan tak menentu dan lebih tepatnya adalah sebuah kesedihan menyerang hatinya. Lili tidak lagi menyimak suara orang yang berbicara di ponselnya itu. Tanpa sadar genggaman tangan Lili terhadap ponselnya melemah. “Bruuuk..”ponsel terjatuh ke lantai. Ia tidak mempedulikan ponselnya. Lili mengubah posisi tubuhnya dari duduk menjadi berdiri. Lalu, dengan cepat ia melangkah menerobos hujan. Langkahnya terhenti di sebuah gorong-gorong di seberang jalan depan rumahnya.
Anak-anak kucing itu mengingatkannya dengan teman masa kecil Lili. Lili mencoba mengingat-ngingat apakah ada petunjuk terkait dengan identitas teman masa kecilnya itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. “Ibu.. Seandainya Ibu masih ada, aku akan menanyakannya kepadamu, Bu,”ucap Lili di dalam hati. Lili lalu tersentak melihat ponselnya tergeletak di lantai. Dengan cepat ia mengambilnya dan menekan-nekannya, ternyata ponselnya sudah mati. Ia kemudian menekan tombol power dan ponselnya pun hidup kembali. Lalu, Lili ingat bahwa ia tadi sedang bercakap dengan temannya di telepon. Kamudian, Lili menghubungi temannya itu kembali. “Halo?”ucap Ridwan dalam panggilan telepon. “Ridwan, maaf soal tadi. Obrolan kita terputus tiba-tiba. Ponselku tadi habis jatuh,”ucap Lili. “Jatuh? Memangnya tadi kamu lagi ngapain?”ucap Ridwan. “Emh.. Hehe.. Ga penting juga sih, jadi ga usah terlalu dipikirin. By the way tadi kamu bilang kam