Lili sedang berada di hadapan arena wall climbing. Rambut panjangnya sedang digulung di dalam helm. Tubuh bagian bawahnya dibalut rangkaian body harness. Tangannya begitu mahir menarik ulur belay device.
Ia sedang menunggui temannya yang berada di atas dan hendak menuju puncak. Kepala Lili menengadah memperhatikan temannya itu sambil menarik ulur tali. Leher rampingnya basah, hasil dari tetesan keringat dari kepalanya.
“Tangan kanan! Kanan! Salah itu! Balik lagi coba. Pegang yang di bawahnya lagi!”
teriak Lili mengarahkan temannya yang berada di 13 meter di atasnya.Ridwan menonton dan menunggu Lili dari tepi arena. Lili menyeka keringat di keningnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya untuk melemaskannya. Tanpa sengaja Lili kemudian melihat Ridwan. Lili pun melambai pada Ridwan dan meneruskan kegiatannya.
Ridwan membalas lambaian tangan Lili sambil tersenyum lebar. Wajahnya begitu melukiskan rasa kagum terhadap apa yang ia lihat di hadapannya.
“Gila ni cewek! Jadi instruktur dia! Gilaa.. gilaa.. Kecil-kecil cabe rawit,”
ucap Ridwan menggumam lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.Beberapa waktu pun berlalu. Kegiatan Lili sudah selesai. Ia langsung menghampiri Ridwan tanpa melepaskan body harness dan helmnya. Ia tidak mau membuat Ridwan menunggu lebih lama.
“Pak Ketua!”
sambut Lili sambil menghampiri Ridwan dengan senyumannya yang anggun. Lili lalu memegangi tali helm di lehernya untuk kemudian dilepaskannya.“Hai.. Lik!”
ucap Ridwan sambil memandangi Lili membuka helmnya dan menggerai rambutnya yang baru saja terlepas dari dalam helm.“Kirain udah berangkat survey ke Pahawang..”
ucap Lili sambil berjalan ke arah bangku yang tidak jauh dari sana. Ridwan berjalan mengikutinya.Ridwan dan Lili lalu duduk di bangku panjang yang sama. Ridwan merogoh kantungnya dan memberikan sebuah benda kecil seukuran uang logam namun lebih tebal. Ia memberikannya kepada Lili.
“Gua lupa ngasih ini kemarin,”
ucap Ridwan.“Magnet speedometerku! Aku sejak beberapa hari terakhir memang lagi mencari-cari ini. Kirain hilang dimana gitu..”
ucap Lili sambil mengambil benda kecil itu dari telapak tangan Ridwan.“Waktu pembekalan KKN, di halaman FISIP,”
ucap Ridwan.“Ya? Jadi jatuh di sana, terus...”
ucap Lili.“Terus ya kebetulan aku lihat, jadi aku ambil. Tapi kemarin malah lupa memberikannya kepada kamu,”
ucap Ridwan.“Eh, kok ngomongnya jadi ‘aku-kamu’? Hahaha...”
ucap Lili.“Ga apa-apa kan? Lebih enak seperti ini kayanya,”
ucap Ridwan.“Oke.. Terima kasih ya Pak Ketuaaa.. Anda sudah mengamankan harta karun berharga ini untuk saya,”
ucap Lili.“Panggil saja Ridwan. Jangan panggil saya ‘ketua’. Jabatan itu khan adalah jabatan sementara. Nanti ketika semua sudah di Pahawang, saya akan menawarkan kalau ada yang mau menggantikan saya. Kita kan harus demokratis,”
ucap Ridwan.“Uw.. Obrolannya berat nih! Demokratis.. Beda memang ya kalau sedang bicara sama anak hukum,”
goda Lili sambil tertawa kecil.“Oh iya. By the way, aku lapar nih. Gimana kalau kita makan? Aku yang traktir deh, soalnya kamu kan sudah menyelamatkan benda kecil ini,”
ucap Lili.“Boleh.. boleh.. Kebetulan banget sama, aku pun lapar,”
ucap Ridwan.“Oke. Kalau begitu aku ganti pakaian dulu ya?”
ucap Lili.*****
Di suatu kantin tidak jauh dari arena wall climbing.
“Emh.. Mantep banget nih serundengnya. Udah lama aku ga makan ini,”
ucap Ridwan.“Makanan di sini memang enak-enak. Kalau aku seneng ini, nih.. tempe bacem saus kecap. Rasanya itu gurih manis.. Pokoknya kuat banget rasanya,”
ucap Lili.Ridwan memandangi Lili yang menyantap potongan tempe itu. Ia terlihat begitu menikmati makanannya.
“Ih.. Kamu mau? Sampai begitu banget cara liatnya. Hahahaa..”
ucap Lili.Ridwan mengangguk sembari meneguk liurnya.
Lili lalu mengeser piringnya ke depan Ridwan.
“Itu, ambil aja. Coba deh. Enak banget tahu,”
ucap Lili.Ridwan lalu memandangi tangan kanannya yang sedang dipenuhi minyak sambal dan beberapa butir nasi.
“Owh lagi belepotan ya. Sini aku ambilin,”
ucap Lili kemudian mengambil sepotong tempe dengan garpunya. Lalu, ia pun menyuapi Ridwan.Bagi Ridwan, kondisi lingkungan seakan melambat. Semua begitu sunyi. Hanya wajah Lili yang hadir di alam pikirannya saat itu, sedangkan sekelilingnya terasa sepi.
Malam pun tiba. Peserta KKN sudah tertidur pulas. “Uhuk.. Uhuk... Hah!” “Keebaakaaraan!” “Tolooong! Toloong!” “Emmy bangun Mik!” “Ayo kita keluar!” Rianty, Lili, Riris dan Emmy pun berhasil keluar dari penginapan mereka yang terbakar setelah melewati kobaran api yang sempat mengurung mereka. Tangan Emmy terlukan karena mencoba menahan kayu yang tiba-tiba jatuh karena terbakar. Sedangkan Riris lemas dan hampir kesulitan bernapas. Demikian pula dengan penginapan Ronco, Wandi dan Ridwan. Penginapan mereka juga terbakar. Untungnya tidak ada korban jiwa di sana. Ronco dan remaja yang menginap untuk bermain playstation di sana ikut terluka. Kejadian malam itu begitu menghebohkan warga setempat. ** Hari pun berlalu. Peserta KKN dipulangkan karena panitia KKN tidak ingin mengambil resiko lebih jauh atas keselamatan para mahasiswa itu. Pihak universitas pun bertanggungjawab pada perawatan kesehatan para peserta KKN yang menjadi korban kebakaran. * Sekembali para peserta KKN
Waktu istirahat siang pun tiba. Setelah membersihkan diri, para peserta KKN pun makan siang bersama di halaman penginapan Ronco, Ridwan dan Wandi.Lili duduk di dekat Wandi. Wandi tampak tidak mengacuhkannya, namun ketika Ronco mengajak ngobrol Wandi, dengan riangnya Wandi berbalas ucapan dengan Ronco, juga teman-teman lainnya.Lili nampak murung. Ia tidak mengerti dengan sosok yang disukainya itu.“Apakah Wandi sudah memperdayaiku? Dia memang memperdayaiku, sepertinya. Karena dia dengan mudah bisa mencium perempuan, lalu tiba-tiba menyukainya,” batin Lili.TIIING...“Apa kabar?” Lili mengirim chat ke ponsel Wandi. Wandi membukanya, namun menaruhnya kembali tanpa membalas pesan Lili itu. Lalu, ia melirik Lili sebentar dan mengalihkan pandangannya kembali.TIIING...“Ada apa?” Lili kembali mengirim pesan ke ponsel Wandi, namun kali ini ia tidak merespon notifikasi di ponselnya itu.Mata Lili berkaca, ia sudah tak sanggup lagi menahan kekecewaannya. Ia pun pergi, kemudian Rianty
Wandi lalu bergantian memandangi tiga orang yang berpenampilan sebagai nelayang yang baru saja menolongnya itu. Ia sedikit banyaknya mampu mengenali masyarakat nelayan asli pulau ini, dan ia tidak mengenali mereka.
Beberapa waktu kemudian di balai desa. Para peserta KKN berkumpul untuk membicarakan program KKN mereka.“Jadi ide apa Wan yang katanya tadi mau lu sampein ke kita-kita di sini?” ta
Hari ini benar-benar di luar dugaan. Wandi telah berhasil mengungkapkan perasaannya dan Lili mampu mengorek sedikit informasi yang dibutuhkan Wandi untuk penyelidikan kasus perusakan lingkungan di lokasi KKN. Informasi yang cukup penting.Wandi dan Lili masih duduk bersama di atas akar banir kering itu, tiba-tiba.KRAAK.. SRUUK SRUUK...Terdengar ranting patah dan belukar di sekitar sumber suara itu bergerak.“Hei! Siapaaa ituu...?” teriak Wandi.“Sepertinya ada orang di sana!” ucap Wandi pelan kepada Lili. Lili ikut memperhatikan dengan seksama, namun mereka tidak menemukan siapapun di balik belukar itu.Itu sebenarnya adalah Arif yang diam-diam memperhatikan mereka. Bersamaan dengan suara-suara tadi Arif telah dengan cepat meninggalkan tempat itu. Arif meninggalkan mereka
Flash back, kembali pada saat para peserta KKN mengantar dosen koordinator yang mengunjungi mereka hingga ke dermaga pulau. Lili kembali ke penginapan usai pengantaran dosen ke dermaga, ia berboncengan motor dengan Ridwan. Lili mengangkap sekelibatan sosok dua orang yang tampak mencurigakan. Kedua orang yang tak dikenal itu tampak mengendap-endap dan sesekali meihat ke sekeliling. Mereka tampak berjalan di atas akar-akar banir mangove Rhizophora yang panjang-panjang. Akar-akar itu seperti cakar-cakar burung besar yang bercokol mantap di atas daratan belumpur di tepian pulau. Hutan mangrove memang cukup tebal di tepian pulau ini. Untuk itu perlu bekerja keras untuk berjalan di atasnya. “Apa yang dilakukan mereka di sana?” batin Lili melihat mereka saat lewat dengan motor. “Apakah mencari kepiting? Mencari kepiting tapi kok celingukan begitu? Jangan-jangan mereka mau mencuri kayu mangrove?” batin Lili kembali.