Setelah Lili menyuapinya sepotong tempe, bagi Ridwan dunia seolah melambat.
“Gimana? Enak banget khan?”
ucap Lili.Lili lalu mendapati Ridwan sedang melamun memandanginya. Lili lalu melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ridwan.
“Halo? Halo halo? Hai? Halo halo hai hai? Mas! Mas bangun mas!”
ucap Lili.Ridwan lalu tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum miring meringis karena merasa malu sudah dipergoki seperti itu.
“Hahaha.. Kayaknya di dalam tempe ini ga pakai bumbu ganja deh. Kok bisa .. itu.. kamu seperti tadi tuh.. Bengong begitu?”
ucap Lili.“Ya.. Enak banget. Enak banget kok tempenya,”
ucap Ridwan.“Oh iya. Di dekat simpang lapangan tembak ada restoran baru loh. Menu-menu makanan di sana enak-enak banget. Kamu suka seafood ga?”
ucap Ridwan.“Iyaa... Suka bangeeeet! Cumi, cuminya diasam-pedas. Emmm.. Yummy!”
ucap Lili bernada manja.“Ya sudah. Lain waktu aku ajak kamu ke sana ya? Di sana ada macam-macam olahan seafood. Bumbunya apalagi! Bahkan ada rempah yang dia dari impor gitu. Lupa apa nama rempahnya,”
ucap Ridwan antusias.“Iya. Mau! Mau!”
ucap Lili.“Yes! Doi mau jalan sama gua!”
ucap Ridwan membatin.“By the way.. Kapan kamu dan Ronco akan berangkat survey ke Pahawang?”
tanya Lili.“Besok. Besok pagi,”
ucap Ridwan.“Untuk kelengkapan dokumen, surat perijinan dan lain-lain gimana? Udah siap kan?”
ucap Lili.“Iya. Sudah. Eh! Aku lupa! Peta lokasi! Aku ga paham-paham banget ngakses dan d******d data citra. Ya ampun, aku baru ingat,”
ucap Ridwan khawatir.“Oh. Sini biar aku bantu,”
ucap Lili. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menyalakan aplikasi g****e earth. Ridwan kemudian duduk mendekat. Ia memperhatikan apa yang sedang Lili lakukan.“Ponselku ini sudah sering terhubung ke ArchGIS mobile. Jadi gampang. Tuh G****e earthnya ada tambahan iconnya. Tinggal klik ini, terus ini.. Nah, kalau tertutup awan seperti ini, kita harus menghilangkan distorsi pakai rekayasa RGB. Nah seperti ini,”
ucap Lili.Ridwan mengangguk-ngangguk mendengarkan Lili. Namun, sebenarnya ia tidak paham dengan apa yang Lili jelaskan.
“Selesaaai!”
ucap Lili riang.“Wah, kamu jago banget pemetaan ya?”
ucap Ridwan kagum.“Mungkin karena sudah terbiasa aja kali ya. Kalau dibilang jago, enggak juga sih. Cuma kebetulan apa yang aku tahu bisa buat bantuin urusan kita ini,”
ucap Lili merendah.Ridwan terus memandangi Lili bicara sambil ia tersenyum kepada Lili. Sebenarnya kadang Ridwan tidak menyimak ucapan Lili. Dia hanya kagum dengan paras, tutur kata dan skill Lili yang baru saja dia lihat tadi.
“Ridwan?”
tanya Lili.Ridwan lalu tersentak dari lamunannya lagi. Lili lalu tersenyum geli melihat Ridwan.
“Ya sudah lah. Kita habiskan dulu makanan ini,”
ucap Lili mengalihkan pembicaraan.Sepekan kemudian. Suatu sore pukul 15.30 di teras rumah Lili. Ia sedang memetik senar gitar bernada akustik diiringi suara hujan. “Halo?”Lili mengangkat panggilan telepon melalui ponselnya. “Aku sudah kembali. Malam ini kita bertemu, ya? Aku sudah tidak sabar memenuhi janjiku kepadamu,”ucap seorang pemuda melalui percakapan telepon itu. Lili terdiam. Lingkungan tiba-tiba terasa hening baginya. Semua yang bergerak di sekelilingnya terasa melambat. Perasaan tak menentu dan lebih tepatnya adalah sebuah kesedihan menyerang hatinya. Lili tidak lagi menyimak suara orang yang berbicara di ponselnya itu. Tanpa sadar genggaman tangan Lili terhadap ponselnya melemah. “Bruuuk..”ponsel terjatuh ke lantai. Ia tidak mempedulikan ponselnya. Lili mengubah posisi tubuhnya dari duduk menjadi berdiri. Lalu, dengan cepat ia melangkah menerobos hujan. Langkahnya terhenti di sebuah gorong-gorong di seberang jalan depan rumahnya.
Anak-anak kucing itu mengingatkannya dengan teman masa kecil Lili. Lili mencoba mengingat-ngingat apakah ada petunjuk terkait dengan identitas teman masa kecilnya itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. “Ibu.. Seandainya Ibu masih ada, aku akan menanyakannya kepadamu, Bu,”ucap Lili di dalam hati. Lili lalu tersentak melihat ponselnya tergeletak di lantai. Dengan cepat ia mengambilnya dan menekan-nekannya, ternyata ponselnya sudah mati. Ia kemudian menekan tombol power dan ponselnya pun hidup kembali. Lalu, Lili ingat bahwa ia tadi sedang bercakap dengan temannya di telepon. Kamudian, Lili menghubungi temannya itu kembali. “Halo?”ucap Ridwan dalam panggilan telepon. “Ridwan, maaf soal tadi. Obrolan kita terputus tiba-tiba. Ponselku tadi habis jatuh,”ucap Lili. “Jatuh? Memangnya tadi kamu lagi ngapain?”ucap Ridwan. “Emh.. Hehe.. Ga penting juga sih, jadi ga usah terlalu dipikirin. By the way tadi kamu bilang kam
Wandi dan asisten Azmi sedang serius membahas sesuatu di sebuah ruangan di dalam hotel. “Sudah ku duga. Kita lihat nanti. Dalam waktu kurang dari 40 hari aku akan membuka kedok mereka,”ucap Wandi mantap. “Apa Tuan? Anda akan melakukannya lagi?”ucap asisten Azmi. Wandi adalah pewaris pekerjaan ayahnya sebagai pemegang sebagian besar saham pada perusahaan pengembang pariwisata. Kematian ayahnya dua tahun yang lalu membuat dia menggantikan posisi ayahnya di perusahaan itu. Meskipun Wandi berada pada posisi atas, namun ia tidak segan untuk turun langsung ke lapangan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis karyawan-karyawannya. Beberapa kali Wandi menemukan kecurangan dan pemalsuan laporan yang dilakukan oleh beberapa direktur di perusahaannya. Hal itu ia dapatkan dari hasil perhitungan langsung ketika ia turun langsung mengerjakan pekerjaan-pekerjaan karyawan. Sempat terlintas di ingatan Wandi ketika ia sedang berbicara dengan
Laju motor matic Lili berhenti di sebuah restoran seafood yang baru saja buka beberapa pekan lalu. Ridwan sebelumnya berjanji kepada Lili agar mendatanginya bersama. Lili memarkirkan motornya kemudian masuk ke dalam restoran. Begitu sampai di pintunya, salah seorang pelayan menyapanya. Pelayan muda dengan senyumnya yang menawan, dengan rambut yang diminyaki rapi diikat ke belakang. Seragamnya berwarna hitam putih dan berdasi kupu-kupu. Lili melihat ke sekeliling dan memandangi penampilan pelayan yang tampak formal itu. Landsace restoran begitu indah. Beberapa sudut di plafon atas dihiasi oleh ornamen tumbuhan rambat yang rindang. Kursi dan meja begitu antik, terbuat dari kayu-kayu berukiran mewah dan glossy. Di atas kursi keras itu terdapat selapis bantalan empuk yang merekat erat dengannya. “Indah sekali.. Pelayan ini! Orang-orang itu! Aku datang ke sini dengan pakaian seperti ini. Apakah aku salah kostum?”ucap Lili kemudian melihat busana casualnya di a
Lili memesan makanan di restoran bersama Ridwan. Begitu banyak menu yang dipesan, namun itu bukannya membuat Ridwan kesal, melainkan merasa gemas kepada Lili. “Ih, banyak amat? Kamu yakin? Nanti otot binaragamu meleleh loh sama lemak?”ucap Lili. “Hahaha.. Bisa saja. Ini akan kita makan sama-sama. Kamu bisa cicip dulu. Kalau ga suka ya ga akan aku habiskan,”ucap Ridwan sambil tertawa kecil. “Baik, minumannya Tuan?”ucap pelayan itu. “Aku mau ini,”ucap Lili. “Kalau aku ini saja. Oh iya, plus air mineral ya?”ucap Lili. Pelayan itu lalu berlalu. “Eh, ngomong-ngomong, gimana dengan survey kamu dan Ronco kemarin?”ucap Lili memulai perbincangan. “Asik! Serius asik banget di sana! Untuk penikmat alam seperti kamu Pulau Pahawang adalah destinasi wisata laut yang gini banget,”ucap Ridwan mengacungkan dua jempol. “Oh iya? Ih, jadi penasaran deh,”ucap Lili sambil menopang dagunya dengan kedua
Lili melakukan apa yang dilakukan Ridwan terhadap makanan yang baru datang itu. Lili menghirup aromanya sambil memejamkan matanya. Di dalam pikiran Lili, tiba-tiba melintas ingatannya saat Wandi menghirup aroma kopi susu di suatu pagi saat mereka bertemu sebelumnya. “Ekpresi itu.. Sebegitu nikmat kah menikmati aroma itu? Aku belum bisa merasakannya. Alih-alih ingin menikmati aroma makanan, aku malah menikmati ekspresi laki-laki itu menghirup kopi susu pagi itu,”ucap Lili di dalam hati sambil memejamkan matanya. Ridwan lalu menawarkan menu-menu makanan di atas mejanya. Lili diajarkan cara menikmati makanan itu. Ia menyisihkan sendok dan garpunya. Ia hanya menggunakan kedua tangannya saja. Lili menyedot kerang. Suara sedotan itu membuat Ridwan tergelitik. Ridwan lalu mencoba menyedot kerang dengan tekanan yang lebih besar. Maka, suara sedotan itu terdengar lebih nyaring daripada suara sedotan Lili. Mereka pun tertawa bersama oleh suara yang sali
Lili berjalan berdua di sebuah areal parkir restoran bersama Ridwan. “Seru banget. Aku sampe ngekek-ngekek ngelihatin kamu narik kaki-kaki guritanya tadi. Plop! Terus mulutmu belepotan semuanya kena saus. Hahaha...”ucap Lili membahas makan malamnya dengan Ridwan. “Memangnya gitu ya bunyinya? ‘Plop’ gitu? Tapi beneran alot banget sih. Kaya makan ban mobil. Mobilnya mobil tronton lagi. Gede-gede,”ucap Ridwan. “Ih? Emang udah pernah makan ban mobil?”protes Lili. “Ya kan perumpamaan.. Gitu loh!”ucap Ridwan. “Ngomong-ngomong, sudah malam. Aku mau pamit duluan ya?”ucap Lili. “Aku antar deh? Ya? Please..”ucap Ridwan. “Ga usah. Aku pulang sendiri aja. Lagipula kita kan bawa kendaraan masing-masing. Memangnya mau jalan beriringan gitu? Kaya karnaval aja,”ucap Lili. “Aku yang bonceng kamu pakai motormu. Ntar aku balik lagi ke sini pakai angkot,”ucap Ridwan. “Ga! Gausah! Ga usah! Rempong tah
Suatu hal yang aneh terlihat oleh Lili dan teman-teman saat baru saja hendak membahas persiapan KKN. Wandi dan Riris berjalan beriringan dengan wajah Wandi yang sumringah. “Ciyeee... Kalian datang berdua gitu..”goda Ridwan. “Kelihatannya udah akrab banget ya?”tambah Ronco. Emmy dan Rianti hanya memandangi mereka tanpa berkomentar. Mereka melayangkan sedikit senyuman ramah. “Apaan woy! Kebetulan aja tadi kami dari tempat parkiran yang sama,”protes Wandi. Riris pun memandangi Wandi sebentar dengan rona merah di pipinya. Ia terlihat senang apabila dirinya digosipkan sedang bersama Wandi. Melihat senyuman Wandi yang mempesona, perempuan mana pun pasti akan langsung menyukainya. Wandi pun menaruh kotak yang ia bawaa ke atas meja. Riris dengan cekatan membukanya. “Apaan tuh, Ris?”tanya Emmy. “Ini buat kalian. Kalian aku bawakan bihun goreng spesial. Sesekali aku pikir ga apa-apa kan. Karena di rumah aku su