Share

Garam yang Asin

Kegelapan telah menyelimuti hutan, menyembunyikan segala misteri di dalamnya bersama rimbunan daun dari pohon besar dan kecil yang tumbuh subur. Suara-suara serangga serta burung hantu mulai mengalun sebagai musik khas sang malam. Angin berhembus pelan, bukan menyejukkan tapi dingin. Karena itu, semua orang duduk menghangatkan diri di depan api unggun yang berkobar besar, mengelilingi zat berbahaya itu selain sebagai penerangan.

"Oh, baunya enak sekali, sungguh!" ucap Den, prajurit yang khusus menjaga Maxis bersama Rion ketika pergi ke mansion tempat kakaknya tinggal. Ia memuji salah satu rekannya yang kini sedang membakar daging di perapian lain. Aroma daging itu sangat menggugah selera, membelai lubang hidung semua orang.

Selain Den, nama para prajurit yang ikut perjalanan ini adalah Sardine, Ham, dan Butter. Saat mengetahui itu, Misty hanya bisa menahan tawa akan kenyataan kalau nama ketiganya merupakan nama makanan. Semula Misty mengira kalau itu hanya bentuk kerandoman penulis yang malas memilih nama, tapi ternyata ketiganya berasal dari kota yang sama. Sebuah kota di mana kebanyakan nama penduduknya mirip makanan.

Ketiganya pun menyadari hal itu karena Misty pernah melihat mereka diejek atau saling mengejek nama masing-masing saat bercengkrama. Tidak ada yang tersinggung sama sekali justru itu menjadi bahan candaan di antara para prajurit.

"Tidak kusangka kau pandai membakar daging, Ham. Tidak seperti seseorang yang membakarnya sampai hitam legam," sindir Den sambil melirik jahil pada Joyce yang langsung mengulum bibir dan memalingkan wajahnya malu, sementara yang lain menertawakan kecerobohan Joyce sebelumnya.

Kecerobohan yang menyebabkan seketul daging terbuang sia-sia, menghitam bagai arang hingga sudah tidak layak makan kecuali ingin cepat-cepat terkena kanker.

Misty juga baru tahu fakta kalau Joyce buruk dalam memasak tapi ahli mengerjakan yang lain karena ia bukan pembaca melainkan pendengar, mendengarkan cerita dari temannya yang menggilai novel ini.

"Sudahlah, Den. Kau membuatnya malu," sahut Maxis yang baru saja datang setelah membersihkan diri di sungai terdekat. Ia langsung duduk di samping Misty.

"Maafkan saya, tapi itu lucu sekali. Siapa yang menyangka gadis ini sangat buruk dalam memasak sampai-sampai Nona tidak bisa berkata-kata." Den tertawa lepas karena pukulan pelan dari Joyce mendarat di bahu lebarnya. Yang lain melirik Misty sambil menggigit bibir mereka mengingat wajah horor gadis itu saat melihat hasil masakan Joyce yang mengerikan.

Hubungan mereka sudah sedekat itu sebagai rekan. Misty paham, bagaimanapun Joyce adalah penyelamat tuannya dan gadis itu memang menguarkan aura positif dan cerah hingga orang-orang mudah menyukainya. Namun, itu tidak berlaku di istana nanti. Gadis itu akan selalu menjadi sasaran kebencian. Begitulah cerita yang ia dengar dulu.

"Aku penasaran nanti bagaimana kalau kau sudah menikah."

"Jangan bicara lagi, Den!" sentak Joyce kesal, tapi gadis itu segera menutup mulutnya yang tidak sengaja menaikkan suara di depan Misty dan Maxis yang merupakan bangsawan. Joyce menundukkan kepala sambil berucap, "maafkan saya Nona dan Tuan."

Maxis mengibaskan tangannya seraya berucap, "Santai saja. Jangan terlalu kaku padaku, Joyce."

"Baik, Tuan." Joyce membalas sopan.

Dibilang begitupun, Joyce tidak serta-merta langsung merubah sikap. Ia tahu posisinya sebagai orang biasa tidak bisa semudah itu bersikap santai pada kaum bangsawan. Mungkin saja suatu hari ia akan melewati batas jika terlalu santai.

"Tolong seseorang bantu aku menyendok dan membagikan sup. Apa gunanya kalian di sini kalau hanya duduk seperti itu? Memangnya kalian bangsawan?" sindir Ham bergurau diiringi tertawaan kecil. Pria itu sudah selesai membakar daging dan menaruhnya di atas piring kayu besar.

Joyce dan Sardine serentak bangkit dari duduk, mereka berdua saling pandang untuk sejenak melempar senyuman canggung satu sama lain sebab tidak dekat. Selepas itu menghampiri Ham guna membantu pria itu menyiapkan makanan.

"Bangsawan juga punya pekerjaan, Ham. Kau pikir kami hanya duduk santai sambil minum teh?" balas Maxis yang juga bercanda.

Ham terdiam. Sadar kalau gurauan itu seharusnya tidak diucapkan di depan bangsawan itu sendiri sampai disindir balik seperti itu yang berarti sudah keterlaluan.

Den tahu kekhwatiran Ham, karenanya pria itu mencoba mencairkan suasana. "Maaf saja Tuan Muda. Itulah yang saya lihat." Keberaniannya mendapat tepuk tangan dari Maxis sendiri.

Ham yang tangannya masih sibuk menata makanan di wadah membalas kode kedipan mata dari Den sebelum pandangannya bersirobok dengan Misty yang menumpu dagunya dengan kedua tangan, menatapnya lekat. Pria tersebut lantas berdehem pelan lalu menundukkan kepala. "Maafkan saya jika itu menyinggung Anda, Nona."

Permintaan maaf yang mendadak dilontarkan Ham itu membuat alis Misty terangkat. "Apa?" Tidak tahu mengapa, padahal ia tidak merasa terluka akan candaan barusan.

Respon pendek Misty justru membuat orang lain makin yakin kalau ia tidak senang sehingga atmosfer sekitar yang awalnya ceria dan ramai berubah sepi seketika, begitupun Maxis.

"Apa kau kesal, Misty?" Maxis bertanya hati-hati.

"Tidak. Kenapa kau bertanya begitu?"

"Wajahmu mengatakannya."

"Memangnya kenapa dengan wajahku? Biasa saja."

"Itu wajahmu saat sedang kesal."

Perut Misty berbunyi menandakan kalau sang pemilik sudah lapar, bunyi itu menginterupsi ketegangan yang menguar di sana dan malah membuat Maxis tertawa lepas, sedangkan yang lain hanya bisa menggigit bibir bawahnya agar tidak kelepasan.

"Rupanya kau sedang lapar, ya? Sardine, berikan mangkuk terakhir pada Misty."

Baru saja Sardine akan menyerahkan semangkuk sup pada Misty, tetapi terhalang oleh titah Maxis yang membuatnya bingung, lantaran di sini yang paling terlihat lapar adalah gadis berambut biru gelap itu. Namun, sebagai seorang ksatria yang tidak memiliki wewenang serta tidak dekat dengan calon pewaris gelar seperti Den, Sardine tidak berani membantah tetapi bukan berarti tidak bisa bertanya.

"Mohon maaf, tapi mengapa Tuan Muda?"

"Lakukan saja," jawab Maxis ambigu sambil tersenyum miring pada sang kakak.

"Kau sengaja ingin membuatku kelaparan, ya?" Misty balik bertanya ketus, merasa tidak senang akan tindakan aneh adiknya itu.

"Jangan berlebihan. Kau tidak selapar itu."

"Perutku baru saja berbunyi."

"Gadis bangsawan mana yang dengan lantang mengakui ketidaksopanan itu? Ingat posisimu, wahai kakakku yang terhormat."

Misty mencebikkan bibirnya geli. Dari pengamatannya barusan, Maxis bukanlah jenis bangsawan yang saklek. Ia juga baru sadar kalau penilaian awal tentang pemuda itu salah. Maxis bukanlah orang yang kaku. Mungkin ia bersikap dingin di depan banyak orang untuk menjaga wibawa.

Jadi, untuknya memikirkan ketidaksopanan yang manusiawi itu agak berlebihan kecuali mereka berada di muka umum. Karena apapun yang dilakukan seorang bangsawan akan menjadi gosip andai tidak sesuai nilai pada abad ini.

"Peran kita saat ini hanyalah pedagang, wahai adikku tercinta. Mendalami peran itu penting."

"Peran itu didalami nanti, di depan gerbang kota. Sekarang kau masih Misty Mahita."

Sementara dua bersaudara itu adu tatap, Sardine dan Joyce membagikan sup serta menaruh sepiring besar daging untuk mereka sebagai bawahan dan sepiring lagi diletakkan di meja kecil yang khusus untuk tuan mereka.

"Mau apa kau? Kita harus berdoa dahulu dan makan bersama." Dengan gerakan cepat, Maxis menampar punggung tangan Misty yang ingin mengambil sendok, lalu menoleh pada yang lain. "Nah, mari kita berdoa sebelum menyantap makan malam ini."

Masing-masing dari mereka memejamkan mata untuk berdoa pada Dewa yang disembah, menggumamkan kalimat pujian samar, berterima kasih atas makanan untuk hari ini.

Setelah selesai, semua orang membuka mata dan secara bersamaan pilihan mereka jatuh kepada sup yang akan menghangatkan tubuh di tengah dinginnya malam ini. Menyendok lalu menyeruput kuahnya yang ... asin!

Wajah berkerut tak bisa ditahan, menandakan betapa tidak normalnya rasa yang menyentuh lidah mereka. Rasa asin yang berlebihan itu sangat menyiksa indera pengecap hingga beberapa dari mereka tidak bisa menahan diri untuk melepehkan kuah itu ke tanah.

Den menyeka mulut dengan lengan tuniknya. "Apa ini? Air laut rebus?" Ia menyuarakan pendapat yang mewakili pikiran semua orang. "Ham, aku baru saja memujimu," katanya pada pria yang juga memasang ekspresi tersiksa seperti semua orang.

"Tadi rasanya pas."

"Tidak. Lidahmu rusak. Apanya yang pas?"

Ham mendelik tak terima. "Aku serius. Tadi rasanya pas. Kau lihat? sekarang aku juga keasinan."

"Anu .... " Sardine mengangkat tangan, berusaha menginterupsi dengan suara pelan tetapi tidak berhasil sebab suaranya kalah dari dua orang itu.

"Mungkin tadi kau sudah terlalu banyak mencicipi makanan, jadi lidahmu tidak terlalu peka."

"Keasinan ini tidak masuk akal, Den. Kau pikir orang yang terbiasa memasak sepertiku bisa membuat kesalahan seperti itu?"

"Kenapa tidak? Seorang ahli pun bisa salah. Kau terlalu sombong."

"Baiklah. Maaf. Tapi aku sudah memastikan kalau rasanya pas."

"Itu alasanmu saja. Kau hanya tidak ingin mengakui kesalahan. Lihat, Nona yang sudah kelaparan pun tidak jadi makan." Den menunjuk pada Misty yang menunduk sedih menatap mangkok, berpikir sayang sekali sayuran ini kalau dibuang, tapi memaksa makan pastinya akan mengakibatkan darah tinggi.

"Menunjuk langsung ke wajah bangsawan itu tidak sopan, Den." Maxis mengingatkan. "Kau bisa kehilangan jarimu."

Den langsung memutar tubuh menghadap kedua tuannya dan menunduk dalam sebagai permohonan maaf. Ia tahu Maxis tidak marah. Peringatan yang diberikan pemuda itu tak lain ialah bentuk kepeduliannya kepada rakyat biasa seperti Den agar tidak terkena masalah di kemudian hari.

"Mohon maafkan saya, Nona." Permohonan maaf itu dikhususkan untuk Misty yang tadi ia tunjuk di muka.

Gadis itu tidak menunjukkan respon yang berarti. Hanya mengangguk dan berdehem pelan sebab fokusnya masih kepada mangkok berisi sup di tangan.

"Tanganmu sudah pasti akan mengucapkan selamat tinggal kalau itu majikanku dulu," sindir Ham yang membuat Den menoleh sengit ke arahnya.

"Berkacalah, Ham. Tadi kau juga melewati batas dalam bercanda. Jika bukan karena aku, sudah pasti mulutmu hanya bisa terdiam. Cih! Padahal sudah berpengalaman, tapi candaan yang boleh dan tidak boleh saja tidak tahu." Den tersenyum mengejek sambil bersidekap di depan dada.

"Kalian berdua, sudah cukup. Berdebat hanya akan membuat kepercayaan pada rekan menurun. Dalam misi penjagaan, itu tidak boleh terjadi. Kita harus saling bersinergi dengan baik." Rion menginterupsi dengan suara tegasnya.

"Dia yang memulai lebih dulu."

"Dia membuat kesalahan fatal."

Suara berat saling tumpang tindih ketika dua orang pria yang tampaknya masih ingin berdebat itu menjawab secara bersamaan. Rion hanya berdiri tenang, menilik bergantian wajah mereka lalu berkata, "Tidak ada gunanya memperdebatkan hal seperti ini. Daripada seperti itu, lebih baik kita tambahkan air untuk mengurangi rasa asin itu. Sayang sekali kalau dibuang. Benarkan, Tuan?"

Maxis mengangguk, sedangkan Misty melirik saudara lelakinya sambil tersenyum dan berbisik, "Kau sengaja tidak melakukan apapun, kan?"

"Kau sendiri?"

"Mereka orang dewasa. Jika masalah semacam ini saja tidak terselesaikan, maka kelayakan mereka patut dipertanyakan." Walaupun secara jiwa mereka bukan saudara, Misty cukup senang lelaki itu punya pikiran yang sama. Sebagai seorang pemuda berusia 17 tahun, Maxis bisa dikatakan cukup dewasa dalam bertindak.

"Berarti dalam hal ini hanya Rion yang dewasa?"

Misty mengedikkan bahu menanggapi pertanyaan Maxis lalu keduanya saling melirik penuh arti. Sebenarnya adu mulut mengenai makanan antara dua pria berotot yang gagah itu cukup menjadi hiburan yang menarik untuk dilihat.

"Jangan salah, dia memang tampak gagah dan dewasa. Tentu seperti yang diharapkan dari wakil komandan pasukan ksatria milik keluarga bangsawan, tapi hatinya itu akan jadi sangat lembut kalau berhubungan dengan cinta. Saat kekasihnya menikah dengan orang lain, Rion sering sekali menangis. Tiap pagi, rekan-rekannya akan melihat mata pria itu telah membengkak." Maxis menceritakan aib ksatria penjaganya dengan sangat amat lancar sambil tertawa.

Mulut Misty membulat. Sambil mengangguk-anggukkan kepala, ia ikut tertawa kecil membayangkan pria gagah macam Rion menangisi seorang gadis karena ditinggal menikah lebih dulu. Dalam hal ini, Misty dan Rion bisa dikatakan senasib.

"Anu, permisi! Saya minta maaf! Saya 'lah penyebab sup itu keasinan!" Suara Sardine bergema di tengah gelapnya malam, mengejutkan mereka semua. Pria itu menunduk dalam, mengakui kesalahan. Namun, pengakuan itu disambut oleh tinju yang mendarat di kepala yang membuatnya meringis.

"Dasar bodoh! Jangan berisik saat di hutan!" Den menggertak marah sebab yang dilakukan pria itu bisa membahayakan mereka semua. "Kau mau seluruh hewan buas di hutan ini mendekati kita? Kalau itu terjadi maka akan aku lemparkan dirimu sebagai umpan."

"Maafkan aku," kata Sardine dengan wajah memelas penuh rasa bersalah. Suaranya tergolong lembut untuk ukuran pria sangat kontras dibandingkan tubuh yang terbentuk dengan baik.

Hal itu memunculkan kontradiksi yang menarik di mata Misty, ia merasa seperti sedang melihat seekor beruang besar yang tengah menahan tangis saking menyesalnya. Menggemaskan. Lain kali Misty akan mencubit pipi pria itu kalau bisa.

Ham maju, menatap Sardine sejenak lalu membuang ke samping sambil berkacak pinggang. "Kenapa kau melakukan itu?" Ada nada kesal yang terselip di antara ketenangan suaranya.

"Nona sempat berpesan untuk menambahkan garam," jawab Sardine masih belum berani mengangkat kepala.

"Kau menyalahkan Nona?" tanya Ham.

Buru-buru Sardine melambaikan kedua tangannya dengan panik untuk menyangkal pertanyaan itu. "Bukan. Bukan begitu. Ini murni kesalahanku karena ceroboh. Aku lihat, kau sedang sibuk. Jadi kulakukan sendiri."

"Menambahkan garam itu bukan kesalahan, tapi apa kau tidak menakarnya?" Ham bertanya lagi yang dibalas gelengan oleh Sardine. Pria itu menghembuskan napas atas kecerobohan rekannya itu. "Lain kali tambahkan sedikit demi sedikit sambil dicicipi. Kau akan cepat miskin kalau melakukan itu terus menerus."

"Maafkan aku." Hanya itu yang bisa Sardine katakan sebab tidak ada alasan untuk membela diri.

"Lagipula aku sudah bertanya pada Naha mengenai selera Nona. Jadi, sup ini sudah pas." Ham berbalik, berniat mengambil panci sup. "Den, Sardine, bantu aku kumpulkan semua sup. Aku akan memasaknya lagi," titahnya tegas.

"Maafkan aku."

"Berhenti minta ma—" Kalimat Ham mengambang di udara, gerakannnya terhenti dalam keadaan berjongkok. Ia kaget, karena yang meminta maaf barusan bukan Sardine, melainkan Misty dan hampir saja menjawab ketus. Segera pria itu berbalik. "Maaf atas kelancangan saya, Nona."

"I-itu bukan kesalahan Anda! Saya yang salah!" seru Sardine.

"Sudah kubilang jangan berisik!" sela Den memukul belakang kepalanya.

Interaksi yang terjadi di antara para pria itu memang terkesan kasar, tetapi itu hal yang biasa di abad ini dan dalam pergaulan mereka sebagai prajurit yang memang tumbuh dalam lingkungan yang keras.

"Tidak. Aku juga bersalah. Jadi, tolong terima permintaan maafku." Misty menundukkan kepala dalam keadaan duduk lalu mengangkatnya kembali, kemudian melanjutkan, "Omong-omong Ham. Bagaimana kau akan memperbaiki sup keasinan itu?"

"Saya akan mengurangi sedikit airnya yang asin lalu menambahkan air tawar."

"Sebelum itu?"

"Sebelum itu?" Ham terdiam, berpikir sejenak tetapi tidak terpikirkan apapun.

"Sebelum itu, pindahkan sayuran matangnya ke wadah lain untuk mencegah teksturnya semakin lembek." Misty menjawab dengan tenang, tetapi mendapatkan reaksi yang menurutnya berlebihan. Semua mata tertuju padanya dengan tatapan bertanya, bingung, dan agak terkejut.

Sebagai tanggapan, gadis itu hanya mengedikkan bahu seraya berucap santai, "Aku mendapatkan pengetahuan itu dari novel."

Masalah sup keasinan pun selesai tanpa baku hantam ala para prajurit. Semua orang menikmati makan malam mereka dengan riang lalu bercengkerama sebentar sebelum tidur secara bergantian. Misty dan Joyce tidur bersama di dalam tenda sebab ukuran kereta kuda yang kecil tidak nyaman dipakai untuk berbaring. Sedangkan para pria tidur di luar.

Perjalanan terasa lambat bagi Misty yang belum terbiasa lepas dari teknologi. Jadi, untuk mengisi kebosanan itu, ia terkadang ikut membantu memasak meskipun hanya sekedar memotong sayuran. Ham sangat berisik untuk mencegah Misty melakukan pekerjaan yang lebih dari itu.

Dua hari telah berlalu, kini tibalah mereka di depan kota, mengantre bersama yang lain untuk mengikuti pemeriksaan sebelum mendapatkan izin masuk. Ternyata antrean sangat panjang, ada banyak orang yang katanya hanya pengunjung dari desa atau kota lain yang khusus datang untuk melihat rombongan Putra Mahkota Tygre serta mengikuti festival yang diadakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status