Share

Perjalanan

Sementara Misty sarapan, beberapa pelayan lain sibuk menyiapkan air dan peralatan mandi di ruang samping yang salah satu pintunya terhubung ke kamar Misty, kamar mandi.

"Kimi. Katakan pada Naha untuk membuat telurnya setengah matang besok," ujar Misty setelah mengelap mulut, meletakkan serbet itu di troli makanan. Ia rindu nasi. Nasi dengan kuning telur setengah matang pasti sangat enak. Sayangnya makanan pokok di sini adalah gandum, bukan beras.

"Baik, Nona. Akan saya sampaikan nanti. Sekarang, saatnya Anda untuk mandi," jawab Kimi sopan sambil mundur satu langkah.

Misty sudah paham, ia lantas bangkit, berjalan masuk ke rumah sebelah kamarnya yang di dalamnya sudah ada seorang pelayan lain yang sudah menunggu. Kimi yang mengekor di belakang menutup kembali pintu kamar mandi.

"Angkat tangan Anda, Nona."

Misty menurut. Ia biarkan pelayan itu menarik gaun tidurnya ke atas sampai terlepas dari tubuh. Lepasnya gaun itu membuatnya bugil di depan dua pelayan lain yang juga berada di kamar mandi. Misty tidak malu, lebih tepatnya ia sudah tidak peduli lagi setelah kejadian seperti ini harus terulang puluhan kali tiap kali mandi.

Seorang bangsawan harus dibantu saat mandi seperti balita, membiarkan tubuh mereka dilihat dan disentuh sana-sini. Benar-benar minim privasi. Awalnya Misty yang tidak nyaman selalu menolak, bahkan ia akan marah besar. Namun, terima kasih untuk Magda yang galak, Misty yang baru akhirnya bisa menerima segala macam hal yang dulu Ia anggap memalukan ini.

Nyatanya mandi sekalian dipijat itu sama sekali tidak buruk. Sangat nyaman dan membuat tubuhnya yang tidur terlalu lama menjadi rileks dan tidak sakit lagi.

Pintu penghubung diketuk. Kimi menoleh sebentar sebelum bertanya siapa yang melakukannya. Pelayan bernama Erin menjawab, ia datang membawa pesan dari Maxis kalau Misty harus didandani seperti rakyat jelata karena mereka akan ke kota dengan penyamaran.

Ketika mendengar itu, Misty ingin bersorak gembira dan melompat saat itu juga. Namun, mengingat harga dirinya sebagai gadis bangsawan yang harusnya bersikap anggun, keinginan itu hanya meledak-ledak di dalam dada.

Selesai mandi, seperti yang dijanjikan. Maxis telah menunggu di luar kamar dengan pakaian lebih santai, yaitu tunik berwarna biru kusam dan celana kain agak lebar. Rambut pirang yang biasanya disisir rapi, kalo ini dibuat lebih berantakan dengan anak rambut yang jatuh ke bawah. Di pinggangnya tergantung pedang kecil dan sebuah kantung kain yang Misty tidak ketahui isinya.

Sedangkan Misty mengenakan gaun sederhana ala gadis biasa. Gaun warna cokelat dibungkus korset hitam yang mengikat pinggang. Rambut birunya dikepang dua seperti anak kecil. Misty tidak suka itu, tapi para pelayan mengatakan kalau itu gaya rambut paling pasaran untuk para gadis perawan. Terlebih rambut biru Misty juga cukup pasaran di daerah ini.

Para pelayan ini kadang terlalu licin dalam berbicara. Mengatakan warna rambut majikan mereka pasaran itu agak berani. Kalau itu bukan Misty, sudah pasti lidah mereka telah terpisah dari tubuh atau mungkin bokong mereka akan sakit oleh cambukan rotan.

"Kita hanya akan ke kota terdekat. Kota kecil Garige, wilayah Viscount Ernest. Kota itu akan jadi salah satu tempat yang dilewati pasukan Putra Mahkota Tygre yang baru pulang dari medan perang. Jadi, akan ada festival kecil untuk menyambut mereka. Perjalanan ke sana memakan waktu dua hari dengan kereta kuda. Apalagi? Ah! Kita akan menyamar sebagai anak pedagang yang dikawal Rion, menginap di sana sebelum rombongan Putra Mahkota sampai." Maxis menjelaskan panjang lebar. "Jangan mencolok Misty. Jangan hilang dari penjagaan Rion selama aku bertemu dengan sahabatku. Kota akan lebih padat dari biasanya."

"Sahabatmu?" Misty memastikan pendengarannya karena tadi pagi Maxis sangat tegas menolak pergi ke kota, tapi mendadak setuju dan ingin bertemu sahabat. "Kalau memang kau ingin bertemu sahabat kenapa tadi menolak pergi ke kota?"

"Sudah jelas karena kupikir kau belum sembuh. Tapi setelah dipikir lagi, tidak ada salahnya juga ke sana asal kau siap dengan namamu yang sedang jadi perbincangan hangat. Dan mumpung ada festival. Iya, kan? Fokus orang-orang tidak akan terlalu padamu. Di samping itu, aku memang berniat pergi ke sana untuk menemui sahabatku setelah mengajakmu berkeliling deaa. Kami sudah lama tidak bertemu semenjak dia keluar dari akademi. Jadi aku ingin bertemu saat ada kesempatan."

Misty mengangguk mengerti dengan jawaban adiknya itu. Tidak ingin bertanya lebih jauh karena memang tidak penting baginya. Terserah saja, karena yang penting sekarang ia bisa melihat kota di jaman pertengahan seperti ini.

Seperti yang direncanakan, mereka menaiki kereta kuda biasa—malah bisa dikatakan bobrok sampai punggung Misty terasa pegal—tanpa lambang keluarga Mahita, bertolak dari mansion di atas bukit melewati jalan hutan yang jarang dilewati karena tidak semulus jalan biasa.

Namun, ternyata yang menjaga bukan hanya Rion, pria besar berkulit gelap itu memang berada di kereta kuda sebagai kusir bersama dengan Misty, Maxis, dan seorang gadis yang bertugas untuk melayani Misty, sedangkan empat orang lain menaiki kuda di belakang. Setelah sampai di gerbang kota nanti, mereka akan mengambil jarak agar tidak dicurigai dan memberikan ruang bagi tuan mereka untuk bersenang-senang.

Gadis pelayan yang dimaksud adalah Joyce karena gadis itu katanya ingin menyampaikan barang peninggalan seorang ayah untuk anaknya yang bekerja di Kota Garige. Jadi sekalian saja ia menjadi orang yang melayani Misty selama berada di sana.

Saat senja tiba dan langit mulai menggelap menyelimuti daratan, rombongan mereka berhenti untuk beristirahat karena melanjutkan perjalanan ketika malam hari akan sangat berbahaya. Terlebih mereka berada di dalam hutan yang sepi, tidak tahu ancaman apa yang akan menanti. Selain hewan buas, bandit juga menjadi ancaman yang mengerikan meskipun ada yang menjaga.

Lingkungan sekitar yang gelap serta dipenuhi pepohonan membatasi jarak pandang hingga sulit untuk bertarung secara maksimal. Tidak peduli sekuat apapun, meminimalisir resiko menjadi pilihan terbaik agar tidak ada korban dalam perjalanan untuk berlibur ini.

Misty duduk di dalam kereta kuda, memandangi para lelaki yang tengah membangun tenda dari jendela kaca. Ia bosan. Kalau ini dunia modern, pastinya tidak akan sebosan ini karena ada ponsel yang serbaguna. Namun, sekarang hanya ada sebuah buku di tangannya. Buku novel yang dibawa Maxis.

"Ini. Aku membawakannya karena kau lupa. Tumben sekali. Padahal setiap bepergian jauh selalu membawa satu novel. Kau suka novel romantis, kan?"

Begitu katanya sebelum meninggalkan Misty sendirian untuk pergi berburu bersama Rion dan soal suka atau tidaknya pada novel romantis, Misty dengan sangat yakin menjawab tidak suka. Ia mengutarakan itu di dalam hati sambil mulut mengatakan sebaliknya.

"Iya. Terima kasih," balasnya untuk menghargai perhatian Maxis.

Begitulah. Setelah Maxis pergi, Misty hanya melamun, menerawang langit sore serta matahari yang mulai tenggelam di balik gunung yang hijau. Selama beberapa menit ia melakukan itu sampai sebuah helaan napas bosan lolos dari bibir. Tidak ada hiburan lain, Misty mencoba membaca novel romantis yang diberikan Maxis. Siapa tahu, keterpaksaan yang melandanya akan menimbulkan kesukaan.

Buku tebal bersampul hitam dengan judul Senja di Adanan itu dibuka oleh Misty, menampilkan sederet tulisan rapat di atas kulit hewan sebagai pengganti kertas. Bukan karena di dunia ini belum ada media tulis itu, tetapi demi ketahanan dalam jangka waktu panjang. Buku-buku asli dari penulis terkenal kebanyakan masih menggunakan kulit karena kertas dianggap mudah rusak.

Ngomong-ngomong, semenjak menyadari kalau tulisan di dunia ini juga menggunakan alfabet tapi tanda baca yang digunakan hanya titik, Misty merasa lega dan senang. Belajar membaca itu menyusahkan sekali untuk orang dewasa sepertinya.

Misty berdoa, semoga buku ini bisa menjadi alat penghilang bosan yang baru. Karena itu, mulailah ia membaca dengan suara biasa karena Misty jarang membaca buku di dalam hati atau bersuara pelan.

"Mereka berdua bergumul di kandang kuda dengan penuh gairah yang menggelora. Helena terus mendesahkan nama Heros di sela kegiatan nikmat namun terlarang mereka, menyatukan dua perasaan yang selalu tertahan oleh status kebangsawanan Heros. Oh, Heros. Oh ... nikmat sekali. Lebih dalam .... Apa-apaan ini?"

Baru membaca satu paragraf, Misty langsung menutup bukunya bersama perasaan yang campur aduk. Ia membatu dengan pandangan mata yang kosong, syok. Bukan karena ia polos sehingga merasa tercemari karena pada dasarnya Misty adalah orang yang bisa bersikap biasa saja saat melihat orang telanjang, tapi karena adegan awal yang di luar ekspektasinya.

"Seharusnya halaman pertama itu dibuka dengan perkenalan santai atau sekalian konflik yang meledak, bukan adegan panas seperti itu!" Misty membatin kesal.

Belum selesai keterkejutannya, Misty dibuat kaget lagi oleh ketukan di jendela. Lamunannya langsung buyar dan spontan menoleh. "Ya?" Namun, bukan Misty namanya kalau tidak merubah ekspresi dalam waktu singkat.

Salah satu ksatria yang dikenal bernama Sardine berdehem dengan rona merah samar di pipinya sebelum berucap, "M-maaf telah mengganggu, Nona. Kami sudah selesai membangun tenda dan akan mulai memasak sayuran."

"Kerja bagus. Terima kasih. Ada yang bisa aku bantu?" Misty berbasa-basi untuk menutupi rasa malu.

"Tidak. Tentu saja tidak, Nona. Saya kemari hanya ingin melapor dan bertanya, adakah permintaan khusus untuk makanan?" Sardine menjawab cepat.

Wajah merona yang menunduk dan berusaha menghindari pandangan serta kegugupan yang ditunjukkan Sardine itu, Misty bisa mengetahui kalau pria tersebut pasti tidak sengaja mendengarkannya membaca buku. Membaca kumpulan kata yang merangkai sebuah adegan mesum di kandang kuda. Oh, malang sekali telinga pria yang namanya selalu mengingatkan Misty dengan ikan kalengan itu.

Selain mengasihani orang lain, ia juga harus kasihan terhadap diri sendiri yang terpergok membaca cerita erotis. Tidak lucu sama sekali. Wibawanya sebagai nona bangsawan yang anggun terancam retak kalau mulut Sardine bocor.

"Permintaanku hanya satu. Kemari dulu, lebih dekat." Misty mengisyaratkan Sardine untuk mendekat dengan gerakan tangan. Pria itu sempat bergeming tetapi menurut setelahnya.

Jendela yang menjadi pembatas mereka digeser terbuka lalu Misty membisikkan sesuatu sangat dekat ke telinga Sardine yang membuat pria itu bergidik karena hembusan napas yang membelai telinga.

Misty berkata, "Jangan beritahu siapapun tentang apa yang kau dengar. Ini perintah." Hanya itu. Ia tidak menambahkan ancaman apapun karena tahu, kata perintah sudah cukup untuk memberikan gambaran tentang konsekuensi yang akan ditanggung rakyat jelata seperti Sardine kalau ia menentang perintah bangsawan.

Menggunakan kekuasaan sewenang-wenang memang bukan perilaku yang bagus, tetapi demi menjaga wibawanya, Misty setidaknya harus mengingatkan walaupun ia tidak memiliki keinginan untuk menghukum sama sekali.

"Tenang saja. Mulut saya selalu tertutup rapat!" balas Sardine penuh keyakinan.

"Dan aku tidak punya permintaan khusus soal makanan. Yang penting tambahkan lebih banyak garam." Misty menambahkan. Makanan di dunia ini terasa hambar untuk lidahnya sebelum Misty meminta Naha, Kepala Koki yang bekerja di mansion untuk menambahkan lebih banyak garam di dalam masakan.

"Baik!"

Misty tidak menyangka perintahnya itu akan membuat sup jadi keasinan.

Sardine berlalu pergi setengah berlari mendekati seorang prajurit yang tengah memotong sayuran bersama Joyce. Dari kejauhan, tampak mereka berdua berbincang sembari tertawa riang sebentar lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing.

Saat langit mulai gelap, Maxis pulang dari berburu dengan wajah yang cerah tapi berbau amis oleh darah rusa yang berhasil didapatkan dari perburuan. Rusa berukuran lumayan besar itu sudah bersih sebelum dibawa kemari, sudah dipotong-potong hingga tidak berbentuk lagi lalu dibawa ke tempat memasak. Misty tidak tahu mereka akan membuat apa, mungkin saja hanya dipanggang atau dibuat sup.

Sementara yang lain sibuk dengan tugasnya masing-masing, Maxis duduk tepian kereta, menemani sang kakak. "Kau selalu merengek takut tiap kali melihat kami menyembelih dan membersihkan buruan. Jadi aku memutuskan untuk membersihkannya langsung di sana. Kebetulan ada sungai," jelas Maxis sumringah tanpa diminta. Rasa bangga amat terpancar di wajahnya yang tampan.

"Oh, imut sekali adikku ini," puji Misty tulus dari hati terdalam untuk mengapresiasi perhatian yang diberikan. Namun, pemuda di depannya itu malah cemberut. "Kenapa mulutmu maju?"

"Jangan sebut aku begitu. Aku sudah dewasa," jawab Maxis ketus sambil bersidekap di depan dada. "Aku sudah bisa menguasai tujuh teknik pedang kekaisaran. Aku pria yang gagah!"

Itulah kenapa Maxis terlihat sangat imut dan memicu jiwa jahil Misty untuk keluar. "Ya. Aku tahu. Kau juga pasti sudah mengompol, kan?"

"M-misty. Jaga omonganmu. Aku sudah lama tidak mengompol, justru kau yang mengompol sampai umur lima tahun," balas Maxis tak mau kalah. Misty alih-alih tersinggung, ia malah tertawa kecil.

Lihatlah mata berbingkai bulu mata panjang nan lentik yang melebar serta pipi memerah itu, Maxis jadi terlihat seperti balita yang menggemaskan.

"Bukan mengompol yang itu maksudku. Aku penasaran siapa perempuan yang ada di dalam mimpimu."

Kalimat yang dimaksudkan untuk meluruskan kesalahpahaman itu justru membuat wajah Maxis makin panas, memerahkan telinganya. Bukan hanya Maxis yang terkejut, tapi Rion yang tidak sengaja mendengarkannya pun jadi cegukan saking kagetnya. Pria berotot itu lantas menjauhkan diri dengan langkah pelan dari kedua tuannya.

"Misty, kau ..." Suara Maxis yang membisik bergetar samar, bibirnya melengkung ke bawah seperti seseorang yang mencoba menahan tangis. " ... sangat vulgar! Jangan sampai prajurit mendengar ucapan vulgarmu itu!"

Senyuman yang sedari tadi menghiasi wajah manis gadis berambut biru gelap itu hilang, berganti dengan wajah datar mengingat buku yang dibawa untuknya. "Berkacalah. Kau juga vulgar."

Tuduhan yang baru saja dilontarkan padanya membuat Maxis spontan mengerutkan dahi. "Apa maksudmu? Aku tidak pernah berbicara kotor sepertimu."

"Kau memang tidak begitu, tapi lebih parah. Apa maksudmu dengan membawakan novel erotis ini?" Misty langsung menyodorkan novel yang tadi ia baca.

Buku itu diterima oleh Maxis. Tidak ada pertanyaan yang terlontar dari mulut pemuda itu, hanya tatapan mata yang menyiratkan kebingungan sebelum membuka lembar pertama dan membaca tulisan tangan di sana.

Tak perlu waktu lama bagi Maxis untuk bereaksi sama seperti Misty, bahkan lebih parah. "A-apa ini, Misty?!" Ia terlalu kaget sampai menjadi gugup. Buku itu dilemparnya masuk ke dalam kereta dengan raut wajah yang menunjukkan keterkejutan.

"Jangan dilempar sembarangan. Isinya memang mesum, tapi harganya mahal."

Karena kertas buku ini diganti kulit serta isinya yang ditulis tangan, bahkan koran pun ditulis tangan dengan ilustrasi seadanya. Perlu usaha lebih untuk membuat satu buku, dari mengolah bahan dan juga karena belum ada mesin cetak. Jadi dengan usaha sebanyak itu pastinya harga buku di dunia sangat mahal.

Misty pernah bertanya pada Magda tentang harga salah satu buku berbahan sejenis, dan ia dibuat melongo karena dengan jumlah halaman yang hanya seratus akan menghabiskan uang sebanyak 50 koin perak atau setara dengan 500 dollar. Gila. Karena itu, tidak semua orang punya buku.

"Kau yang membelinya," celetuk Maxis tiba-tiba setelah reda dari kegugupan.

"Apa?"

"Aku tidak sembarang membawakan buku, ya. Kimi bilang padaku kau tergila-gila pada buku ini sebelum kecelakaan itu. Jadi aku memutuskan untuk membawanya," jelas Maxis merendahkan suaranya saat menyebut kecelakaan alih-alih percobaan bunuh diri. Pemuda itu, bahkan saat dirinya dibuat malu masih saja peduli untuk menjaga perasaan.

Sedangkan Misty hanya bisa mengutuk dirinya sendiri yang baru mengetahui fakta tersebut. Kalau sudah begini, terus mengelak akan membuatnya terlihat seperti orang menyebalkan yang menuding orang lain padahal itu kelakuannya sendiri.

Mengaku adalah pilihan terbaik untuk menghindari perdebatan lebih jauh. "Ah, aku tidak ingat tentang itu. Jadi, di sini aku yang cabul, ya? Maafkan aku." Dengan berat hati, Misty mengakui perbuatan yang tidak pernah dia lakukan.

Maxis menggaruk bagian belakang kepalanya ragu-ragu. "Tidak. Aku mengerti keadaanmu yang masih belum bisa mengingat banyak hal. Tapi Misty, uh ... jujur saja aku kurang nyaman membaca buku semacam itu. Kau sudah mendapat pendidikan seks dari Magda. Jadi bisakah—"

"Aku mengerti. Aku tidak akan membaca yang seperti itu lagi," potong Misty. Ia melanjutkan di dalam hati. "Lagipula, aku sudah tahu banyak referensi tentang seks berkat internet."

"Tapi sayang sekali buku mahal ini hanya jadi pajangan di rumah. Bagaimana kalau kujual lagi di kota nanti?" Misty berpikir, buku 300 lebih halaman ini setidaknya bisa menghasilkan uang setara dengan 1000 dollar karena bagaimanapun ini barang second.

"Jangan gila!" Maxis menyahut ketus. "Kita sedang menyamar sebagai orang biasa. Buku itu adalah jenis buku yang dibeli oleh para wanita bangsawan. Kita akan dicurigai nanti. Kalau mau menjual tunggu sampai kau siap keluar sebagai Misty Mahita."

Itu benar. Dunia bangsawan tidak sesimpel itu karena gosip akan sangat berpengaruh pada reputasi. Misty juga tidak bisa menjamin akan tetap bersikap tenang jika suatu hari menjadi pusat perhatian dan dipandang negatif, apalagi dikasihani. Kesiapan adalah yang terpenting.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status