Share

Tempat Baru

Tibalah giliran kereta kuda yang dinaiki Misty diperiksa. Dua prajurit bersenjata menyilangkan tombak mereka menghalangi jalan, sedangkan dua lainnya menghampiri dan meminta tanda pengenal.

Rion yang bertugas sebagai kusir menyerahkan plat logam berlambang kepala naga yang merupakan lambang kekaisaran. Di baliknya terdapat lambang timbangan yang hanya dimiliki oleh anggota asosiasi pedagang.

Prajurit itu mengangguk seraya menyerahkan plat itu kembali pada Rion. Namun, pemeriksaan tidak selesai sampai di sini.

"Buka pintunya."

Maxis menurut. Dibukanya pintu kereta agar bagian dalamnya bisa dilihat. Tampak kedua prajurit itu melongokkan kepala ke dalam dengan wajah galak tetapi berubah kaku seketika begitu melihat Maxis mengangkat kalung berbandul sayap kupu-kupu yang ia sembunyikan di balik tunik. Lambang Keluarga Mahita. Perubahan itu hanya sekejap, karena ekspresi keduanya segera kembali seperti awal.

Prajurit yang berpengalaman pastinya mengerti mengapa bangsawan melakukan ini. Mengetahui identitas asli Maxis bukan berarti membiarkan mereka masuk begitu saja. Barang bawaan di periksa satu per satu dengan teliti untuk menghindari kerusuhan yang tidak diinginkan. Barang seperti pedang dan belati diperbolehkan sebagai senjata pertahanan asal tidak beracun.

"Kalian boleh masuk. Tolong jagalah tata tertib kota selama berada di sini," ujar prajurit itu sopan tanpa menundukkan kepala agar penyamaran tamu mereka tidak diketahui.

"Selanjutnya!" teriak prajurit penjaga gerbang lantang bersamaan dengan minggirnya dua tombak yang tadi menyilang.

Rion menggerakkan tali kekang, memberi perintah kepada dua kuda hitam yang menarik kereta untuk menggerakkan kaki mereka bergerak memasuki kota yang sudah ramai oleh orang-orang.

Sangat ramai bukan hanya oleh orang lalu lalang, tetapi juga oleh kereta kuda. Rion bahkan harus mengemudikan kuda amat perlahan saking padatnya jalanan kota saat ini.

"Wah ...." Joyce berseru kagum melihat betapa meriahnya bagian dalam kota yang sudah dihiasi dengan bendera-bendera kecil khas festival dan segala macam ornamen hasil kerajinan tangan dari berbagai bahan. Bunga warna-warni pun tak luput menyambut mata.

Sama halnya dengan Misty, meskipun tak terlihat seantusias Joyce yang tersenyum lebar dengan mata berbinar cerah, gadis itu sebenarnya sedang ingin melompat-lompat saking senangnya memandangi sekitar dari balik jendela kaca.

"Jadi festival itu begini, ya? Indah sekali. Orangnya juga sangat ramai," ujar Joyce lagi tak hentinya melihat kiri dan kanan jalan yang berderet kios pedagang di tepian.

"Kau belum pernah melihat festival?" tanya

Maxis yang terlihat biasa saja, duduk menyilangkan kaki sambil kedua tangan bertumpuk di atas lutut. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik melihat ekspresi manis yang terukir di wajah gadis berambut merah itu.

Joyce mengangguk tanpa ragu, senyuman yang terpatri tak pudar. "Iya, Tuan Muda. Ini pertama kalinya."

Sebelah alis Maxis terangkat, merasa penasaran akan tempat gadis itu tinggal hingga tidak pernah melihat festival. "Apa di desamu tidak ada perayaan?"

"Um, ada. Setiap bulan purnama dan ketika musim panen tiba. Namun, saya selalu tidak bisa ikut," jawab Joyce berubah sendu, kepalanya menunduk sedih untuk sesaat. Namun, dengan cepat gadis itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi ceria kembali. "Saya baru ingat, bagaimana saya bisa mencari penerima surat di kota seramai ini?"

Tokoh utama ini sedang mengalihkan topik. Misty yakin soal itu. Joyce pasti tidak mau membicarakan penderitaan dan diskriminasi yang telah dialami selama tinggal di desa pelosok itu, diskriminasi yang terjadi karena status kelahirannya sebagai anak seorang pelacur.

"Salah satu penjagaku akan menemanimu pergi ke Balai Kota. Kalau memang anak itu tinggal di sini, maka informasi tempat tinggalnya akan ditemukan dalam waktu singkat," jelas Maxis tanpa bertanya mengenai perubahan sikap Joyce yang amat ketara sebelumnya.

Pemuda itu cukup pengertian meskipun Misty bisa menangkap rasa penasaran di wajahnya. Temannya dulu pun sangat menyukai Maxis sebagai tokoh sampingan yang juga mencintai Joyce walaupun status mereka adalah saudara tiri. Sejujurnya, ketika mendengar bagian itu, Misty agak mengernyitkan dahi. Romansa antara saudara tiri itu tidak terasa indah baginya, malah aneh.

"Bagaimana dengan penginapan?" Misty bertanya usai berdiam diri cukup lama. Punggungnya sudah sangat sakit akibat guncangan-guncangan parah selama perjalanan ditambah dengan kereta reot yang tidak nyaman ini. Ia butuh istirahat di ranjang yang empuk segera.

"Aku sudah mengirimkan surat sebelum kemari pada temanku untuk memesankan kamar di sebuah penginapan. Dalam keadaan ramai begini, kalau tidak memesan sebelumnya akan susah mendapatkan kamar."

Tak lama setelah Maxis mengatakan itu, kereta kuda mereka berbelok ke bagian dalam sebuah bangunan besar yang bagian luarnya sudah terlihat lawas. Di sekitar bangunan itu sudah berderet banyak sekali kereta kuda terparkir, dari yang biasa sampai yang mewah. Tampaknya, kedatangan Tygre sang pahlawan perang amat ditunggu oleh segala kalangan.

"Ramai sekali. Kalau saja aku tidak memesan lebih dulu, kita sudah pasti akan tidur di tenda. Hmp!" Maxis menepuk dadanya yang membusung bangga. "Puji aku, Misty!"

"Wah! Tuan Muda Maxis sungguh hebat!" Merasa gemas sekaligus lucu, Misty menuruti permintaan kekanakan itu. Memuji dengan wajah sumringah yang dibuat-buat sambil bertepuk tangan.

Joyce ikut melakukannya juga. Gadis bermata bulat yang hangat itu bertepuk tangan serempak dengan Misty. Pupil hitamnya yang lebar berbinar terang, ikut senang oleh suasana santai yang ditularkan nona muda di sampingnya.

Setelah melakukan hal tidak penting itu, mereka semua secara bersamaan masuk ke dalam penginapan dan disambut desain interior khas abad pertengahan. Dinding bata tanpa semen, dan lantai kayu membungkus meja serta kursi di dalamnya. Beberapa dari meja itu terisi oleh para pelanggan yang tengah menikmati waktu makan siang mereka.

Di lantai satu, selain digunakan sebagai resepsionis juga digunakan sebagai tempat makan. Kata Rion, kalau malam tempat ini berubah menjadi bar meskipun tidak seramai salah satu bar paling terkenal di kota ini.

"Selamat datang di penginapan Dandelion, Tuan dan Nona," sapa seorang gadis muda ramah. "Ada yang bisa saya bantu?"

Rion maju ke depan setelah menerima kantong kulit berisi uang dari Maxis. "Kami telah melakukan pemesanan tiga kamar dengan kasur ganda atas nama Rion Randell."

"Mohon tunggu sebentar. Akan saya periksa," kata gadis itu kemudian membuka sebuah buku tebal. Matanya fokus menatap deretan tulisan di buku itu seiring dengan jari telunjuk yang bergerak menurun. Senyumnya terulas begitu menemukan satu nama yang dicari. "Oh, benar. Tiga kamar di lantai tiga dengan kasur ganda sudah kami siapkan. Apakah ada tambahan?"

Rion menggelengkan kepala. "Tidak ada."

"Baiklah." Gadis itu membubuhkan stempel di samping nama Rion. "Harganya sembilan keping koin emas kecil. Apakah ingin mendapatkan layanan kamar berupa air hangat untuk mandi? Pekerja kami akan membawakan air untuk berendam ke kamar Anda dengan tambahan enam koin perak per kamar selama tiga hari."

"Berarti satu harinya dua koin perak?" gumam Joyce agak terkejut kala mendengar nominal uang yang harus mereka keluarkan hanya untuk mandi berendam dengan tetap menjaga privasi.

Enam koin perak itu setara dengan enam kilo daging. Harga yang cukup mahal, tetapi sangat berpengaruh pada kenyamanan tamu. Jika tidak mau membayar sebanyak itu, tamu harus membawa air dari sumur di belakang dengan ember kayu yang telah disediakan untuk mengelap tubuh alakadarnya, atau jika ingin tetap berendam, mereka bisa pergi ke kolam pemandian umum.

"Berikan layanan itu untuk satu kamar saja," timpal Maxis yang berdiri di belakang Rion.

"Lakukan seperti yang dia katakan." Rion menegaskan kepada resepsionis, sengaja tidak menggunakan bahasa sopan agar penyamaran mereka tidak terbongkar.

"Di kamar mana itu, Tuan?"

"Kamar yang ditempati dua gadis ini," ujar Rion menggeser tubuhnya, memperlihatkan dua gadis muda yang mengenakan jubah hitam di belakang.

Resepsionis memandang Misty dan Joyce sejenak, menggangguk lalu mengambil sesuatu dari dalam laci meja kayu. "Ini tiga kunci untuk kamar di lantai tiga yang Anda pesan. Gunakan kunci sesuai dengan lambang di pintu," jelas gadis itu sembari menunjuk tiga buah kunci berbandul kayu yang memiliki ukiran berbeda.

Selama hidup di dunia ini, Misty telah mempelajari kalau tidak semua orang mengenali huruf dan angka. Bahkan di mansion tempatnya tinggal hanya Magda, Kimi, dan beberapa prajurit yang berasal dari bangsawan rendah yang bisa baca tulis.

Orang-orang di desa juga demikian. Lebih parahnya, mereka merasa tidak perlu belajar karena menganggap itu tidak berguna sebab tidak berhubungan dengan pekerjaaan sebagai petani.

Urusan tentang perdagangan dan lainnya cukup diserahkan pada kepala desa. Hampir semuanya seperti itu hingga rakyat kecil yang minim pengetahuan sangat mudah ditipu oleh kontrak perdagangan yang merugikan.

Jadi, itulah guna lambang aneh di bandulan kayu. Gambar sederhana yang lebih mudah dikenali daripada menggunakan angka. Sama halnya dengan toko dan penginapan. Di depan pintu masuk, selain nama dari usaha itu ada pula gambar berupa makanan, senjata, ranjang, dan sebagainya sebagai pemberitahuan.

"Baiklah, totalnya sembilan koin emas kecil dan enam koin perak, Tuan," ujar si gadis resepsionis. "Karena Anda melakukan pemesanan, maka Anda wajib membayar setengah harga terlebih dahulu," imbuhnya.

"Kenapa begitu? Padahal biasanya boleh membayar di akhir atau per hari," celetuk Den berbisik. "Bukankah ini penipuan?"

"Karena kita memesan, yang artinya mereka harus mengosongkan kamar ketika mereka bisa mengambil pelanggan lain," jelas Maxis. "Mereka akan mengalami kerugian jika kita tidak jadi menginap atau menginap kurang dari waktu yang diminta."

"Dasar pedagang." Den mencibir sambil berdecak. "Yang mereka pikirkan hanya keuntungan."

"Prinsip berdagang memang begitu. Kalau tidak kau akan rugi terus menerus," timpal Ham. "Ah, kau mana paham hal seperti itu."

Den mencebik, melipat lengan kekarnya di depan dada lalu berucap sarkastik. "Ah, aku lupa ayahmu juga pedagang yang sukses. Tidak sepertiku yang yatim piatu."

Candaan gelap yang dilontarkan Den berhasil membungkam mulut Ham. Pria itu hanya berdehem pelan dan tak membalas apapun seraya menolehkan kepala menghindari bertatapan langsung dengan Den.

Rion menarik tali kantong berisi koin yang tadi diberikan Maxis, kemudian menyerahkan sesuai dengan jumlah yang diminta.

Resepsionis menghitung sebentar koin-koin di meja sebelum bertanya, "Anda ingin membayar penuh?"

Rion mengangguk, menjawab singkat. "Iya."

"Sembilan koin emas dan enam koin perak. Pas. Terima kasih, Tuan. Oh, perkenalkan nama saya Linea, putri pemilik penginapan ini. Jika ada yang Anda butuhkan, tolong beritahu saya atau karyawan di sini," ucap Linea memperkenalkan diri sambil menunduk singkat dengan sopan kemudian melongokkan kepala seakan sedang mencari keberadaan seseorang. "Sam!"

"Ya, Nona?" Seorang pria berperawakan sedang dan berpenampilan agak lusuh datang mendekat dengan langkah cepat.

Linea tersenyum kepada Rion, tidak langsung menjawab pertanyaan Sam yang telah berdiri di dekatnya sambil menundukkan pandangan. "Tinggalkan saja barang-barang kalian. Sam akan membawakannya ke atas. Tapi sebelum itu, Sam?" Kini ia mengalihkan tatapannya pada Sam. "Antarkan dulu para pelanggan baru kita ke lantai tiga, lorong ke dua."

"Para pria akan membawa barang sendiri, tolong bawakan saja tas milik dua gadis ini." Maxis segera menimpali. Sam yang mengerti lantas mengangguk sopan pada Misty dan Joyce sebelum mengangkut satu koper milik Misty yang tak terlalu besar dan tas kain milik Joyce.

"Mari Tuan dan Nona, saya akan mengantarkan Anda sekalian ke lantai tiga." Sam berbalik, mulai melangkah untuk memandu tamu baru penginapan itu.

"Anu, tas saya ...." Joyce yang merasa tidak enak hati menyuruh orang lain membawakan barangnya pun ingin bersuara, tetapi Misty mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Nona ...."

Misty tidak mengatakan apapun untuk menanggapi suara lirih Joyce, melainkan menepuk pundak gadis itu sambil tersenyum menenangkan. Ia tahu, pasti sebagai gadis yang selalu dikucilkan dan diperintah, Joyce jadi memiliki rasa rendah diri yang begitu besar. Ia yang selalu disuruh, bukan menyuruh.

Rombongan mereka pun melangkah mengikuti Sam di depan. Menapaki anak tangga kayu satu per satu sambil memandangi beberapa hiasan dinding berupa tengkorak hewan dan tempat obor yang tampak estetik.

Misty suka sekali suasana ini, dinding batu bercat cokelat muda yang mendominasi bagian dalam bangunan ini terdapat retak di beberapa bagian, deritan anak tangga kayu yang ia pijak, lalu aroma daging samar tercium menggugah selera.

Mengalihkan pandangan ke depan, Misty baru sadar kalau di tengkuk Sam terdapat tato berbentuk bunga matahari separuh, lelaki itu juga memakai semacam kalung dari tali berwarna hitam yang menandakan bahwa Sam adalah seorang budak dari kerajaan lain.

Dalam pengajaran Magda, Misty mengetahui bahwa perbudakan adalah legal di kekaisaran ini. Para budak itu diberi tanda berupa tato di tengkuk mereka, tanda yang dibagi menjadi dua berdasarkan tempat asal. Bunga matahari penuh adalah tanda budak untuk dari dalam kekaisaran yang berasal dari para kriminal dan bunga matahari setengah yang berasal dari luar, entah itu tawanan perang atau perdagangan ilegal.

Meskipun perbudakan itu legal, tetapi kekaisaran menerapkan beberapa aturan. Yang boleh dijadikan budak hanyalah para kriminal serta tawanan perang, harus berumur lebih dari lima belas tahun saat mereka diperjualbelikan, dan tidak memiliki penyakit menular.

Tentu masih ada yang melanggar aturan tersebut untuk kesenangan masing-masing. Masih banyak bangsawan yang membeli budak di bawah umur atau rakyat jelata yang bukan merupakan kriminal. Aturan itu sendiri bersifat tidak mengekang hingga hanya menjadi peraturan simbolis semata. Hukuman dari pelanggaran yang dilakukan pun hanya berupa denda harta.

"Kita sudah sampai. Apakah Nona Linea sudah memberikan kunci, Tuan?" tanya Sam kepada Rion. Pria berkulit tan itu lantas mengangguk. "Kalau begitu, di manakah kamar Anda berdua? Biar saya bawakan tas ini sampai ke dalam." Ia beralih pada Misty.

"Letakkan saja di situ, Tuan. Kami bisa mengurusnya sendiri sampai sini. Terima kasih," jawab Misty tenang, menyuruh Sam menaruh koper serta tas kain di lantai. Namun, pria berambut pirang itu malah terdiam dengan mulut setengah terbuka. "Tuan?" panggil Misty lagi. Bukan hanya Sam yang tampak aneh, para pria di rombongan mereka juga memasang ekspresi tertegun.

"Apa? Kenapa?" tanya Misty kebingungan melihat wajah mereka semua. Ia tidak mengerti, tapi juga tidak nyaman menjadi pusat perhatian. "Katakan sesuatu."

"Nona, saya hanyalah seorang budak, jadi Anda tidak perlu bicara terlalu sopan. Cukup panggil saya Sam saja, dan jangan mengucapkan terimakasih. Budak tidak pantas mendapatkan kata-kata berharga itu." Sam menjelaskan dengan suara lirih, menunduk dalam menyatukan kedua tangannya.

Sekarang Misty yang tertegun mendengar penuturan Sam. Ia tidak tahu, apakah mengucapakan terima kasih kepada budak merupakan peraturan lain di dalam Kekaisaran Bigglefon, atau hanya sekedar aturan tak tertulis yang timbul akibat adanya kesenjangan sosial, tetapi kalau sampai menimbulkan reaksi seperti ini, sungguh miris sekali.

"Sepertinya kakakku terlalu lelah. Tinggalkan saja kami di sini, Sam." Maxis maju, memecah kecanggungan yang mengikat di sekitar mereka dan memberikan lima koin tembaga kepada Sam. "Ini untukmu. Kerja bagus. Kembalilah bekerja."

"Terima kasih, Tuan." Sam menerima uang pemberian Maxis dengan sukacita lalu menunduk dalam sebelum melangkah pergi dan berbelok di ujung lorong.

Maxis yang memperhatikan kepergian Sam kemudian menoleh ke arah sang kakak yang masih terdiam. Ditepuknya bahu berbungkus jubah hitam itu pelan, membuat si empunya tersadar dari lamunan. "Nah, Misty. Kau pilihlah satu kamar untukmu dan Joyce," ujarnya mengangkat tiga buah kunci di tangan. "Istirahatlah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status