Share

Memasuki Raga Nona Bangsawan
Memasuki Raga Nona Bangsawan
Penulis: Roruyachi

Sang Jiwa Asing

Bergelung malas di dalam selimut hangat dan kasur yang empuk meski matahari sudah di atas kepala, makan saat waktunya makan, tidur saat ingin tidur sepuasnya, tidak perlu bekerja dan hanya menyuruh-nyuruh bahkan untuk hal remeh seperti mengambil air minum adalah kehidupan dambaan hampir semua orang.

Membahagiakan bukan?

Tidak. Semua itu tidak ada artinya tanpa alat komunikasi canggih yang disebut ponsel pintar atau laptop atau setidaknya televisi. Lalu yang paling penting dari semua itu adalah koneksi internet.

"Ah ... listrik, mie instan, komik, es krim. Aku rindu kalian. Hah ...." Sudah sepuluh kali gadis berambut biru yang masih berbaring telentang di kasurnya itu menghembuskan napas bosan sejak membuka mata setelah berpetualang di alam mimpi.

Tangannya terulur ke atas, membayangkan di langit-langit kamar berwarna biru gelap yang dihiasi bintang emas itu memunculkan semua benda modern yang ia rindukan setelah menghabiskan waktu dua minggu di dunia lain ini, melayang di atas sana lalu turun perlahan. Pasti, pasti mereka akan disambut dengan pelukan.

Tangannya turun begitu rasa gatal merayapi kepala, menggaruk-garuk kulit yang diselimuti rambut berminyak miliknya. Bukan hanya kepala, garukan kuku panjang itu turun ke leher kemudian menyebar ke bagian tubuh lain yang terasa gatal dan lengket oleh keringat.

"Hah ...." Ia mengeluh lagi untuk yang kesebelas kali.

Teriknya sinar matahari siang itu yang sebagiannya masuk ke dalam kamar menambah panasnya suhu, menyebabkan rasa gerah yang tidak nyaman, tapi ia tak peduli. Dirinya terlalu putus asa sebab kerinduan yang menyiksa.

Embusan angin dari jendela besar yang dibuka di sisi kanan menerbangkan gorden biru transparan, membawa serta aroma dedaunan yang pekat membelai indera penciuman serta menyejukkan tubuh yang gerah walau sebentar.

"Kurasa sudah waktunya bangun."

"Misty!"

Pintu dibanting terbuka, menimbulkan suara keras yang mengejutkan jantung, membuat tubuh gadis bernama Misty itu yang masih telentang terperanjat. Ia menoleh ke samping dan mendapati seorang pemuda 17 tahun berambut pirang berjalan ke arah kasurnya dengan wajah kesal. Langkah lebar nan tegas itu berhenti tepat di tepian ranjang.

"Ah, pagi Maxis," sapa Misty lemas.

Mata biru yang senada dengan milik Misty itu menatap tajam pada seonggok manusia lusuh di depannya. "Kau pikir ini sudah jam berapa?" tanyanya dingin sembari melipat kedua tangan di depan dada.

Misty diam sejenak, tatapannya kembali pada langit-langit kamar di depan matanya. "Entahlah, yang pasti ini sudah agak siang," jawabnya asal, bersikap tak acuh meski tahu kalau pemuda yang merupakan adiknya itu sedang marah.

"Bukan agak siang lagi, tapi sudah tengah hari," balas Maxis dengan nada rendah, suaranya sedikit bergetar seolah tengah menahan emosi.

"Oh."

Melihat respon pendek Misty, urat-urat di pelipis Maxis timbul, gadis yang lebih tua lima tahun darinya itu benar-benar menguji kesabaran, membuat tangannya yang tertutup sarung tangan putih terkepal erat.

"Oh? Oh?! Oh, katamu?!" Suaranya meninggi seiring dengan emosi yang meledak. "Hei, sadarlah! Sampai kapan kau akan begini? Aku kemari, ke mansion untuk berlibur. Berlibur! Tapi bagaimana bisa aku menikmati liburan ini kalau kau seperti ini?!" ujar Maxis menggebu-gebu hingga suaranya bergema di sepanjang lorong.

Tak lama dua pelayan wanita datang membawa baskom berisi air hangat dan kain lap, serta troli berisi sarapan—lebih tepatnya makan siang—untuk Misty. Namun, mungkin karena keberadaan Maxis yang menguarkan aura seram, mereka hanya diam di ambang pintu tanpa berani mendekat.

Amarah sang adik tidak mengubah ekspresi datar di wajah Misty. Meski begitu, ia juga sadar, bersikap tak acuh juga tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada ocehan Maxis akan bertambah panjang. Lagipula Misty memang sudah berniat untuk bangun karena sebentar lagi makan siang.

"Cepat bangun! Jangan menyusahkan para pelayan hanya untuk membangunkanmu!" sergah Maxis lagi.

Sungguh, sikap pemuda yang baru pulang ke mansion semalam itu mengingatkan Misty pada mendiang ibu di dunianya dulu. Bedanya di jenis kelamin dan umur. Misty tidak akan terkejut apabila Maxis bisa saja menyiram air hanya untuk menjauhkannya dari kasur.

"Iya. Aku bangun." Menurut adalah pilihan terbaik agar tidak memicu omelan berkelanjutan.

Misty berguling ke samping, bergerak lambat macam kukang hanya untuk menegakkan tubuh atasnya. Tubuh dan kepalanya terasa sangat berat sebab tidur terlalu lama. Entah mengapa tiga hari terakhir ini ia jadi tak bertenaga. Padahal saat baru menyadari dirinya berpindah ke dunia lain, Misty sangat antusias dan berlarian ke sana kemari mengitari mansion di atas bukit ini.

Misty sebenarnya adalah pemalas, seorang pemalas yang senang menghabiskan waktu luang di dalam kamar, bermain game bertema penyihir dan kerajaan, membaca komik serta novel bertema serupa, dan berkhayal suatu saat nanti ia akan terbangun di dunia fantasi.

Itulah mengapa seminggu pertamanya, Misty sangat bersemangat hingga semua orang di mansion menatapnya aneh sekaligus iba. Namun, kesenangan itu tidak berlangsung lama karena kebosanan mulai tumbuh. Misty sadar, hiburan terbaik untuknya adalah teknologi atau mungkin akan menyenangkan kalau ia bisa melakukan sihir.

Akan tetapi, apakah daya, dirinya bukan penyihir. Menikmati pemandangan alam? Harus diakui kalau pemandangan sekitar sangat indah, tapi hanya itu. Tiap hari melihat pemandangan yang sama menimbulkan rasa jenuh.

Bukan hanya itu yang membuat Misty berharap untuk kembali ke dunianya lagi tiap kali bangun tidur. Pakaian, makanan, dan aturan. Sebagai orang yang terbiasa memakai celana dan kaos atau kemeja, gaun membuatnya merasa tidak nyaman. Kemudian makanan di sini bukannya tidak enak, tapi ia merindukan mie instan, es krim, dan kawan-kawan yang tidak ada di sini. Satu lagi, aturan. Tatacara makan, berjalan, berdiri, duduk, dan sebagainya sudah cukup memusingkan.

Ketika hidup sebagai Misha, Misty memang pernah hidup dalam aturan semacam itu. Namun, setelah memulai lembaran baru, dirinya jadi terbiasa dengan cara hidup yang lebih santai meskipun tetap harus bekerja keras mencari uang.

Misty masuk ke raga ini tanpa pengetahuan selain dari fakta kalau dunia ini adalah dunia novel, itu masih dugaan. Ia juga tidak mewarisi ingatan. Kata tabib yang memeriksa, Misty lupa ingatan sebagian karena insiden yang dialaminya dan sikapnya yang tidak jelas adalah akibat dari pikiran yang terguncang. Magda tampak sedih, jadi wanita itu dengan agak tidak sabar mengajari tatakrama dari dasar dan pengetahuan umum lainnya pada Misty. Kata pelayan yang sedang bergosip, kalau Magda agak melunak. Melunak katanya. Bagaimana kalau tidak?

"Nona perlu bantuan?" tanya salah satu pelayan khawatir saat melihat nonanya bergerak begitu lambat.

Maxis merentangkan tangan, mencegah pelayan itu yang ingin membantu Misty bangun. "Biarkan dia bangun sendiri."

Hanya menegakkan tubuh saja butuh tiga menit, diselingi melamun menghitung semut yang berbaris di pojokan sebelum berganti posisi menjadi duduk di tepi ranjang.

"Aku siap." Siap untuk dilayani maksudnya.

"Sisir rambutnya juga. Aku tidak tahan melihat penampilan gembelnya itu. Sudah berapa hari dia tidak mandi?"

Dua pelayan itu saling pandang. Salah satunya memberanikan diri untuk menjawab, "Tiga hari, Tuan."

"Tiga?!" Maxis melotot tak percaya pada para pelayan yang tertunduk, lalu beralih pada kakaknya yang tengah menggaruk rambut.

"Aku yang menolak. Mereka tidak bisa apa-apa. Hehe."

Cengiran Misty membuat memicu keinginan Maxis untuk mencabuti gigi sang kakak yang tertata rapi itu. "Kau hanya takut pada Bibi Magda."

"Aku bukannya takut. Wanita itu yang pantang menyerah," jawab Misty sambil menggosok hidung. Teringat betapa tegasnya kepala pelayan wanita bernama Magda itu padanya. Tiap kali Misty bangun terlambat, ia akan diomeli panjang lebar, kalau masih belum bangun juga, Magda akan menggelitiki hidungnya dengan bulu angsa sampai Misty bersin-bersin.

Keberanian Magda bukan tanpa alasan, wanita yang menjabat sebagai kepala pelayan wanita itu merupakan adik kandung Count Mahita sendiri. Seorang janda yang enggan menikah lagi. Tiga hari ini Magda sedang cuti, menjenguk anaknya di Kota Giamot, kota yang berada di sebelah timur Desa Hinom, wilayah kekuasaan Count Mahita. Desa di mana mansion ini berada.

Dan kepergian Magda menjadi pemicu puncak kemalasan yang sedang melanda Misty. Tidak ada pelayan yang berani memaksa Misty seperti yang dilakukan wanita itu. Penyebab lainnya, mereka takut Misty kumat lagi.

Ya, kumat karena pikiran yang belum stabil.

Maxis meneliti penampilan Misty dengan seksama, lalu menghela napas. Ekspresi wajahnya melunak, sorot tajamnya menumpul berganti dengan sorot kasihan. Misty yang kurang lebihnya tahu arti tatapan itu hanya mendengus pelan.

"Dengar Misty, jangan karena pertunangan yang dibatalkan itu membuatmu kehilangan jati diri. Lupakan janjimu pada pangeran itu. Aku dan Ayah ingin kau kembali ceria."

Membosankan. Misty mengorek telinganya sendiri lalu meniupnya santai. Ia sudah bosan dengan segala belas kasih yang tidak perlu. Bisa-bisa kotoran telinganya menumpuk karena selalu mendengar mengenai pertunangan yang bahkan tidak ia alami secara langsung.

Semua orang di kediaman ini mengira perubahan sikapnya adalah karena depresi ditinggal kawin oleh pangeran kedua. Benar. Kawin. Yang artinya pangeran itu berzina dengan putri seorang Baron sampai hamil karena Misty terlalu alim.

Bukan hanya di kediaman Count Mahita ini, kabar kalau Misty Mahita mencoba bunuh diri sudah tersebar ke seluruh kekaisaran. Bagaimana Misty bisa tahu? Magda membeli surat kabar dari seorang pedagang yang selalu mengantar kebutuhan pokok ke mansion dan Misty diam-diam membacanya. Walaupun memang faktanya begitu, tapi sebagai pemilik baru tubuh ini, is merasa terganggu.

Benar-benar memuakkan.

"Ya, ya. Aku mengerti."

Dua pelayan perempuan itu segera maju bersama bawaan mereka, sementara Maxis mundur beberapa langkah, memberi jarak. Salah satu pelayan menaruh baskom di atas meja, sedangkan yang satunya mulai menyisir rambut Misty penuh kehati-hatian. Tangannya agak gemetar sebab helai biru itu sudah sangat kusut, dan sulit dirapikan.

Misty yang menyadari itu, lantas mendongak. "Lakukan dengan cepat. Sakit sedikit bukan masalah. Kalau aku meringis, berhenti sebentar lalu lanjutkan lebih lembut sedikit." Rasanya melelahkan sekali harus membuang waktu hanya untuk menunggu rambutnya rapi. Tatakrama bangsawan Kekaisaran Bigglefon memang merepotkan. Di mana para bangsawan harus berada dalam keadaan rapi saat makan. Tidak masalah belum mandi, yang penting rapi. Pengecualian terjadi hanya apabila sedang dalam situasi yang tidak memungkinkan seperti ketika tengah berperang dan bakti sosial.

"Tapi Nona .... "

"Sudah kubilang tidak masalah," potong Misty.

"Lakukan saja apa yang dia katakan."

Penegasan dari Maxis, calon pewaris gelar Count di keluarga Mahita, tampaknya membuat keraguan gadis itu sedikit berkurang. Misty paham. Bagaimanapun, calon pewaris memiliki wewenang lebih atas suatu perintah. Terlebih Maxis terkenal sebagai pemuda yang walaupun tampak dingin, tapi baik hati kepada rakyat jelata.

Misty mengaduh begitu sisir berlapis emas dipaksa turun patah-patah dari helai rambutnya yang sudah menyatu satu sama lain. Pekikan kecil itu sontak membuat gerakan pelayan itu berhenti.

"Maafkan saya, Nona!" Tanpa diminta, gadis itu langsung bersujud di lantai. Ketakutan.

"Bangun. Misty tidak akan menghukummu. Kakakku adalah orang yang memegang janji."

Misty melirik pada pelayan yang masih bersujud. Dilihat dari responnya saja, terasa sekali kesenjangan sosial yang terjadi di dunia ini. Bukan berarti di dunia modern tidak ada, tapi di dunia ini semuanya sangat jelas. Para bangsawan bisa sangat bebas memperlakukan rakyat kecil, menghukum mereka hanya karena kesalahan kecil.

Itu kejam. Namun, pelayan yang baru bekerja selama seminggu ini tampaknya menggunakan itu untuk mendapat kata-kata lembut dan simpati dari orang lain. Wajahnya sangat familiar dibandingkan pelayan yang lain karena terlalu sering mencari perhatian.

Bukan tidak disengaja, tapi memang disengaja. Dugaan Misty adalah karena pelayan itu pernah ia bela saat dimarahi Magda sebab tidak sengaja menumpahkan sup hangat padanya. Misty terus membela sampai ia menyadari, kalau pelayan itu jadi haus akan perannya sebagai orang tersakiti.

"Kubilang ba—"

"Bangun atau kuhukum kau," potong Misty. "Sudah kubilang aku tidak suka kau bersujud di depanku kecuali melakukan kesalahan yang fatal. Bukankah sudah kukatakan beberapa kali?"

Pelayan bernama Minerva itu mendongak. "Tapi Nona ... kesalahan saya ...."

"Aku yang memintamu melakukan itu dengan janji tidak akan marah. Jadi, jangan berlebihan." Misty menegaskan perintah tanpa mendekati Minerva seperti yang selalu ia lakukan sebelumnya. "Kimi, kau yang lakukan."

"Baik, Nona. Tapi mohon biarkan saya mencuci wajah Anda terlebih dahulu."

"Ya, silahkan. Dan kau Eva, lakukan saja pekerjaan lain. Aku tidak mau kau selalu bersujud atau menangis tiap kali melakukan kesalahan. Jika belum paham batasan, tanyakan pada pelayan yang lain. Mereka semua sudah kuberitahu."

Minerva bangun perlahan, berdiri dalam keadaan kepala tertunduk. "Baik, Nona," ucapnya lalu keluar dari kamar.

"Dia pelayan baru, kan? Bukankah kau terlalu keras padanya?" tanya Maxis begitu pintu ditutup dan langkah Minerva menjauh.

"Aku sudah memberitahu semua pelayan kalau aku muak melihat mereka gemetaran hanya karena kesalahan kecil. Selama mereka belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama."

Tatapan Maxis makin melembut. "Kurasa kau tak sesedih dugaanku. Aku agak lega," gumamnya lirih.

"Kau mengatakan sesuatu?"

"Ah, tidak. Aku keluar dulu. Cepat bersiap untuk mandi. Aku akan mengajakmu berkeliling desa setelahnya." Pemuda jangkung itu lantas berbalik ke arah pintu. Tangannya terulur pada pegangan.

"Aku mau ke kota."

Gerakan Maxis berhenti, menoleh lagi pada Misty. "Apa?"

"Aku sudah sering ke desa." Terlalu sering sampai bosan. Saat Misty bosan dengan mansion, ada saat di mana Magda mengajaknya berkeliling desa. Setiap hari dalam lima hari, Misty selalu menghabiskan waktu di sana. Namun, lagi-lagi kejenuhan melanda. "Jadi aku mau ke kota."

Semoga Maxis mengabulkan permintaannya. Kalau adiknya itu setuju, bisa dipastikan tidak akan ada yang berani melarang.

"Tidak."

Jawaban singkat tetapi terdengar mutlak itu langsung terlontar dari bibir Maxis. Mata yang awalnya lembut kembali menjadi dingin.

"Tidak sebelum kau benar-benar sehat."

"Tapi aku sudah sehat. Lihat?" Misty berdiri, berputar-putar sejenak lalu menepuk-nepuk dadanya sendiri, merasa belum cukup, gadis itu lantas melompat empat kali hingga membuat Kimi khawatir.

"Itu maksudku. Kau belum sepenuhnya sehat. Maksudku pikiranmu," ucap Maxis datar, menunjuk pelipisnya sendiri. "Terlebih kau sedang jadi topik hangat di kekaisaran. Bisa bayangkan bagaimana tatapan orang-orang padamu nanti. Setidaknya tunggu sampai gosip itu mereda," sambungnya sebelum melangkah pergi dengan cepat seakan tidak membiarkan Misty berkata lebih banyak.

"Dia kaku sekali," gumamnya.

"Tuan Muda mengkhawatirkan Anda, Nona." Kimi menuntun Misty kembali duduk untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Itu benar. Pemuda itu memang berwajah kaku, tapi dari gerak-gerik dan tatapan mata sangat terlihat kalau Maxis begitu menyayangi sang kakak. Larangan Maxis juga masuk akal karena dengan insiden bunuh diri yang sempat terjadi, tentu tidak akan ada pujian manis untuk Misty selain hinaan dan belas kasihan.

"Kimi, kudengar adikku membawa pulang seorang gadis kemari. Siapa dia?"

"Namanya Joyce, Nona. Dia gadis yang telah menyelamatkan kereta kuda Tuan Muda dari jebakan bandit."

Benar ternyata. Dengan disebutkan nama itu, Misty yang awalnya hanya menerka pun semakin yakin kalau novel yang dia masuki adalah novel yang diceritakan oleh kenalannya beberapa tahun lalu.

Novel romantis tentang seorang gadis yang terpaksa menikah dengan Putra Mahkota karena mereka memliki tanda yang terukir di dada secara misterius. Di mana tanda itu akan menyakiti pemiliknya dan mungkin bisa menimbulkan bencana kalau keduanya tidak segera bersentuhan. Untuk menghilangkan tanda itu, mereka harus memiliki seorang  anak.

Masalahnya, sang putra mahkota telah jatuh cinta kepada gadis lain dan gadis itu pun sudah dinobatkan sebagai Putri Mahkota. Alhasil, Putri Mahkota turun tahta berganti dengan Joyce, si tokoh utama perempuan. Joyce mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari penghuni istana karena status asalnya yang seorang rakyat jelata meskipun saat itu ia sudah diangkat anak oleh Count Mahita yang telah kehilangan Misty.

Ya. Misty harusnya sudah mati. Percobaan bunuh dirinya berhasil merenggut nyawa setelah gadis itu tidak sadarkan diri selama sepuluh hari pasca meminum racun belladona di tepi danau dan terjun ke sana. Namun, berbeda dengan alur cerita asli, Misty sadar setelah sepuluh hari dengan jiwa yang berbeda. Jiwa seorang gadis bernama Misha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status