Share

Pangeran Katak

Maxis menghempaskan punggungnya ke ranjang setelah menaruh kopernya di sudut ruangan. Ia menatap langit-langit kamar sesaat sebelum memejamkan mata, mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu, di mana Misty bertingkah aneh dengan mengucapkan terimakasih kepada seorang budak, seolah ia bukan rakyat kekaisaran yang tidak tahu kebiasaan masyarakatnya.

Mundur ke beberapa hari sebelumnya, sejak Maxis mendatangi mansion di desa sampai saat ini pun ia telah menyadari perubahan drastis sang kakak. Misty tak seceria dulu. Gadis yang suka tersenyum dan berbicara itu jauh lebih datar dan pendiam.

Maxis tetap diam dan mencoba bersikap biasa karena menurut para pelayan dan prajurit, sejak bangun dari pingsan selama tiga hari, Misty telah membuat kehebohan. Berlarian ke sana kemari sambil tertawa-tawa layaknya anak kecil yang baru melihat dunia luar, tidak mengenali siapapun, dan melupakan tatakrama bangsawan sampai Magda harus mengajarinya lagi.

Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah lagi menjadi seperti sekarang. Pendiam, tenang, dan datar. Itulah yang dikatakan oleh orang-orang yang bekerja di mansion setelah ditanyai Maxis. Mereka semua khawatir, perubahan itu terjadi karena kesedihan mendalam dan depresi setelah dikhianati pangeran kedua.

Akan tetapi, di mata Maxis tidak ada gurat kesedihan sama sekali pada wajah Misty. Gadis itu memanglah jarang tersenyum ceria seperti dulu, tetapi bukan dikarenakan sakit hati atau depresi, melainkan seperti Misty terlahir kembali menjadi orang lain.

"Rion, apakah kakakku kerasukan? Dia bukan seperti Misty yang kukenal, dia jelas orang lain," celetuk Maxis pelan, masih berbaring di atas ranjang dengan kaki yang menjuntai. "Jujur saja, terkadang aku merasa merinding saat berinteraksi dengannya. Pandangan matanya yang sayu itu sangat berbeda dengan mata Misty yang selalu berbinar. Terlebih tadi, dia bertingkah seperti orang luar yang tidak tahu aturan itu. Aturan tidak tertulis yang bahkan diketahui anak kecil di sini."

Ham, Den, dan Butter telah keluar untuk berjaga. Sementara Rion dan Sardine yang tinggal di kamar menoleh ke arah Maxis setelah pemuda itu berkata demikian. Sardine memilih diam, bersikap seolah tidak mendengarkan apapun. Sedangkan Rion tidak mungkin mengabaikan celetukan sang tuan yang jelas memanggil namanya.

"Mohon dimaklumi, Tuan. Seperti yang dikatakan oleh para pelayan dan dokter, Nona sedang mengalami lupa ingatan akibat kecelakaan yang terjadi. Batinnya juga terguncang akibat pengkhianatan Pangeran Armud. Saya rasa, meskipun ingatan Nona tengah terganggu, perasaannya yang terluka pasti masih terasa dan memengaruhi sikapnya."

Jawaban itu sangat tidak memuaskan bagi Maxis karena ia sudah bisa menebaknya. Sama seperti semua orang, Rion juga tidak mau repot-repot berpikir terlalu dalam. Padahal, Maxis berharap ada jawaban baru yang membuka teori baru.

"Mohon maaf jika saya menimpali, tapi selama berada di mansion, saya melihat Nona tidak sedih sama sekali. Nona terlihat biasa saja bahkan ketika memergoki beberapa pelayan bercerita tentang pernikahan Pangeran Armud."

Mendengar penuturan Sardine, membuat Maxis spontan menegakkan tubuh penuh semangat. Akhirnya, ada seseorang yang sepemikiran dengannya. Maxis senang hingga tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Kau tidak selalu berada dengan Nona seperti para pelayan, Sardine. Mungkin saja Nona menyembunyikan perasaan itu dalam-dalam. Rasa sakit dikhianati oleh orang yang selalu diharapkan tidak semudah itu hilang," sahut Rion berbeda pendapat, pria tinggi besar yang duduk di tepian salah satu ranjang itu menunduk sedikit sambil menautkan jemarinya. "Aku bisa berkata begitu karena pernah merasakannya." Mendadak wajahnya berubah sendu.

Sardine menarik tali tas kulitnya setelah mengeluarkan beberapa koin perak dari sana, kemudian mendongak untuk menatap Rion yang entah mengapa jadi murung. "Saya orang yang sensitif, bisa merasakan kesedihan orang lain dari sorot mata mereka dan sorot mata Nona itu datar yang biasa saja, bukan karena sedih."

"Menurutmu, apa yang terjadi pada kakakku?" tanya Maxis antusias, tidak memedulikan Rion yang mengusap sudut matanya yang berair karena teringat sang mantan kekasih yang kini telah menikah. "Bukannya aku tidak bisa menerima sikapnya sekarang, hanya saja itu agak mengganggu pikiran."

"Saya tidak tahu, Tuan."

Jawaban Sardine itu membuat bahu Maxis merosot, kecewa karena pada akhirnya tidak ada teori baru yang ia dapatkan. Pemuda itu berbaring lagi dengan kedua tangan terentang lebar memenuhi kasur.

"Sudahlah. Semuanya hanya berakhir buntu. Kurasa, aku harus menerima perubahan itu secara perlahan. Semoga saja dia benar-benar tidak sedih seperti yang kau katakan, Sardine. Karena, kalau sikapnya tidak tentu arah begitu, malah membuatku makin khawatir." Maxis bergumam, bangun lagi untuk melepas sepatu botnya sebelum berbaring sepenuhnya di atas ranjang.

Sardine tersenyum simpul, melihat Maxis yang berbaring menyamping, memunggunginya dan Rion. "Saya juga berharap begitu, Tuan. Anu ...." Saat Sardine menoleh, ia mendapati mata Rion yang memerah. "Anda menangis Tuan Rion?"

Rion segera mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Tidak. Tentu saja tidak. Buat apa aku menangis hanya karena mengingat gadis itu?!" jawabnya sewot, membuka rahasianya sendiri hingga merasa malu setelah menyadari hal itu.

Untungnya Sardine tidak bertanya lagi alih-alih hanya berdehem karena hampir saja ia menertawakan kelemahan salah satu kesatria terkuat milik Keluarga Mahita itu. Dia cukup pengertian karena memang orang yang perasa.

Di kamar lain, Misty memikirkan kembali tindakannya yang dianggap tak lazim oleh semua orang. Mengucapkan terima kasih kepada budak ternyata merupakan hal yang aneh bagi rakyat kekaisaran ini.

Misty baru mengetahuinya karena Count Mahita tidak mengizinkan adanya perbudakan di wilayah kekuasaannya sehingga selama berada di mansion maupun desa, Misty tidak melihat satupun budak di sana.

Secara umum, kekaisaran memang melegalkan perbudakan, tetapi ada beberapa bangsawan yang memiliki perbedaan ideologi menolak aturan itu khusus untuk wilayah mereka sendiri.

Bagaimanapun, Misty tetap tidak mengerti mengapa ada kebiasaan semacam itu saat ucapan terimakasih adalah bentuk apresiasi paling mudah untuk dilakukan seseorang.

"Joyce, apa kau juga tidak mengucapkan terimakasih kepada para budak?" tanya Misty yang masih tak puas dengan fakta baru yang baru ia ketahui beberapa menit lalu. Jadi, ia memutuskan untuk bertanya saja pada tokoh utama yang semoga saja pandai menyimpan prasangka hanya untuk diri sendiri.

Joyce mengalihkan pandangannya dari jendela kayu yang terbuka ke arah Misty yang duduk bersila di atas ranjang. Sedari masuk ke dalam kamar ini, gadis itu sudah sangat antusias untuk melihat pemandangan kota dari situ.

"Tentu saja, Nona. Jika tidak ada orang banyak, saya pasti mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Mengapa Anda bertanya?" tanya Joyce kembali sambil berjalan ke ranjangnya sendiri lalu duduk di sana.

"Kau sudah tahu kalau pikiranku sedang terganggu, kan? Ada banyak hal yang terlupakan," ucap Misty dengan nada lirih untuk menunjukkan kesedihan yang tersirat. "Aku jadi merasa seperti orang aneh yang tidak tahu apapun tadi."

Karena kebanyakan tokoh utama gampang sekali bersimpati, Misty mencoba terlihat menyedihkan di mata Joyce agar gadis itu tidak memikirkan apapun selain memiliki keinginan untuk membantu atau setidaknya menghiburnya. Daripada bertanya kepada Maxis yang mungkin bisa merasa curiga, pilihan untuk bertanya pada Joyce jauh lebih aman.

"Jangan berpikir seperti itu, Nona. Menurut saya, Anda tidak terlihat aneh sama sekali." Joyce menjawab lembut, memandang iba kepada Misty. "Justru saya merasa kagum karena ternyata para bangsawan juga bisa berterima kasih kepada budak. Anda pasti melakukan itu karena sudah terbiasa, kan?"

Misty langsung mengangguk. Sebagai manusia modern, kata terima kasih bukanlah hal yang aneh untuk diucapkan kepada siapapun terlepas dari status mereka. Namun, rupanya di kekaisaran ini tidak begitu.

"Anda sungguh rendah hati. Hanya saja, jika ingin mengucapkan terima kasih, sebaiknya lakukan itu saat tidak berada di tempat umum atau tempat yang ada banyak orang. Itu saja. Atau jika ingin menghargai kerja keras mereka, Anda cukup berikan imbalan kecil," jelas Joyce.

"Kenapa begitu? Kenapa tidak boleh melakukannya di depan banyak orang?" Misty tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.

"Karena banyak orang yang percaya bahwa ucapan terima kasih itu terlalu berharga untuk para budak yang dianggap bukan manusia lagi dan akan membawa kesialan bagi siapapun yang mengucapkan dan mendengar." Joyce terus menjelaskan dengan sabar. "Kepercayaan itu sendiri muncul dari legenda yang dulu selalu diceritakan oleh para pujangga yang berkelana."

Joyce pun melanjutkan penjelasannya dengan menceritakan legenda itu. Legenda tentang Raja dan ksatria yang saling berduel demi mendapatkan Mahkota Naga. Mereka berduel dengan mempertaruhkan harga diri.

Siapapun yang kalah, akan menjadi budak dan kehilangan statusnya sebagai manusia yang harus dimanusiakan, dan jika bukan manusia, maka ia tidak berhak mendapatkan ucapan terima kasih. Taruhan itu diucapkan di hadapan Dewi Alion, sebuah taruhan sakral yang tidak boleh dipermainkan.

Singkatnya, sang ksatria pun keluar sebagai pemenang. Ia menjadi Tuan untuk sang raja yang telah kehilangan kekuasaannya. Namun, suatu hari sang ksatria tidak sengaja mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan sang raja di hadapan banyak orang. Ucapan itu membawa kutukan kepada tanah mereka. Tanah yang subur menjadi tandus dilanda kekeringan bertahun-tahun sehingga secara perlahan negeri itu hancur.

"Semakin waktu berlalu, makin banyak pula orang-orang yang tidak mempercayai legenda itu, tetapi masih banyak pula yang percaya. Jadi begitulah, Nona," ucap Joyce mengakhiri ceritanya.

Misty mengangguk paham. Akhirnya ia mengerti asal-usul aturan konyol itu. Ia masih berpikir itu konyol, tetapi bisa dimengerti. Di dunianya yang dulu pun banyak sekali kepercayaan tidak masuk akal yang masih dipegang oleh beberapa kelompok masyarakat.

Hanya saja, sepertinya hal ini harus diluruskan secara perlahan. Kejam sekali mereka kalau menganggap budak tidak memilki hak sebagai manusia. Misty berharap, suatu hari nanti akan ada masa di mana aturan berubah ke arah yang lebih baik. Atau sebagai bangsawan dia sendiri bisa melakukan sesuatu? Entahlah.

"Terima kasih sudah menjelaskannya, Joyce. Tapi bisakah kau merahasiakan hal ini dari siapapun termasuk adikku? Aku tidak ingin dia merasa makin khawatir." Misty berbohong, sebab yang sebenarnya gadis itu khawatirkan adalah munculnya prasangka lain yang akan merugikan dirinya kelak. "Oh, benar juga. Apa kau lelah?"

Joyce menggeleng cepat. "Tidak sama sekali."

Melihat senyum cerah sang protagonis yang positif membuat Misty ikut tersenyum. "Kalau begitu, mau temani aku jalan-jalan?" ajaknya yang langsung saja diangguki oleh Joyce.

Kedua gadis itu pun keluar bersama setelah memberi tahu Maxis. Pemuda itu dengan mata mengantuk hanya menggumam sambil menyuruh Rion mendampingi dan menjaga keselamatan mereka. Setelah itu, Maxis kembali tidur sebab semalam, pemuda itu begadang sampai subuh setelah bermimpi buruk.

Di tengah keramaian orang yang berlalu lalang, Misty mengedarkan pandangan ke sekeliling di mana banyak sekali bangunan-bangunan pertokoan yang berjejer di sepanjang jalan. Hampir semua toko ramai terisi oleh pengunjung yang terlihat senang berjalan sambil berbincang dengan rekan atau keluarga mereka.

Dalam diam ia juga mengagumi suasana kota kuno yang dulu hanya bisa dinikmati dari tayangan film kolosal. Sebaliknya, Joyce tidak berhenti berseru dengan mata berbinar bahagia.

Setelah beberapa lama berdiri di luar pagar penginapan, Misty memutuskan kalau destinasi pertamanya adalah pasar. Pada saat seperti ini, pasti akan ada banyak pedagang yang menjual barang-barang unik nan antik. Misty berpikir, mungkin saja jika beruntung, dirinya bisa menemukan barang yang mengandung sihir di sana.

"Rion, kau tau di mana pasar yang menjual pernak-pernik berada?" Misty bertanya pada Rion karena tahu pria itu pernah pergi ke kota ini.

"Saya ..." Rion berhenti, lalu berdehem karena baru ingat kalau mereka harus berperan sebagai orang biasa. "Aku akan mengantarkanmu ke sana. Apa kau mau naik kereta itu?" Rion menunjuk pada deretan kereta kuda kecil di seberang penginapan yang mungkin hanya bisa membawa tiga orang. "Perjalanannya tidak terlalu jauh, tapi kalau kau merasa malas untuk berjalan, aku akan menyewakannya."

"Tidak. Tidak perlu. Ayo, jalan kaki saja," tolak Misty yang ingin benar-benar menikmati suasana kota dengan sepenuhnya.

Mereka pun mulai melangkahkan kaki menuju arah yang ditunjukkan Rion sambil sesekali berhenti hanya untuk melihat-lihat sesuatu yang menarik, seperti atraksi jalanan, kolam dengan patung di tengahnya, dan lain-lain. Lalu setelah beberapa waktu, tibalah ketiganya di depan gerbang masuk pasar yang berhiaskan kain-kain segitiga serta bendera kekaisaran.

"Di sini lebih ramai. Mereka sampai berdesakan," celetuk Joyce. Gadis itu tidak habis-habis menunjukkan kekaguman sedari tadi. Apalagi ketika mereka masuk dan bergabung ke dalam hiruk pikuk manusia yang sibuk dengan kegiatan jual beli mereka, Joyce jadi makin terlihat seperti anak kecil yang sangat tertarik dengan ini dan itu.

Sedangkan Misty lebih tertarik melihat penjual barang-barang antik. Ia sesekali berhenti pada satu kios yang sekiranya menjual benda unik, dan kali ini perhatiannya tertuju pada kios seorang wanita tua berpakaian nyentrik yang berada di sebelah penjual pakaian.

Barang-barang yang dijual wanita tua itu sangat beragam layaknya penjual barang antik lainnya. Random. Ada pedang, piring, guci, belati, perhiasan, buku, patung, dan beberapa benda lainnya yang memiliki desain corak yang unik.

Namun, dari sebanyak-banyak barang yang ia lihat sejauh ini, Misty langsung tertarik pada patung batu berbentuk katak yang pahatannya bahkan tidak terlihat rapi. Setelah melihat sejenak, Misty langsung memutuskan untuk membeli patung itu sampai-sampai membuat si penjual dan Rion heran.

Akan tetapi, sebagai penjual, wanita tua itu tentu mencoba mempersuasi calon pembeli. "Anda memilih barang yang bagus, Nona. Patung ini meskipun bentuknya tidak terlalu bagus, tapi memiliki kekuatan untuk meningkatkan keberuntungan Anda dalam hal apapun," ucap si penjual yang tampak begitu berusaha meyakinkan Misty untuk tidak membatalkan keputusannya.

"Kau jangan berbohong, Nenek Tua," sela Rion yang sedari awal merasa heran melihat Misty yang tertarik dengan patung katak yang aneh itu. "Sebaiknya kau beli yang lain, Mia," lanjutnya memberi saran kepada Misty yang namanya disamarkan.

Namun, saran itu tidak diindahkan oleh Misty. Ia tetap membelinya dengan harga murah. Misty yang tahu kalau penjual itu berdusta tentang keberuntungan pun melakukan tawar-menawar hingga harga patung batu yang kini berada di tangannya ini turun lebih dari setengah harga awal.

"Nona, bolehkah saya turun sebentar?" tanya Joyce setelah mereka baru kembali dari jalan-jalan. Sepertinya gadis itu merasa sangat bertanggung jawab dengan tugas untuk menjadi pengganti pelayan Misty. "Saya tadi mendengar beberapa orang berbincang tentang toko kue yang sangat enak di sini. Jika diperbolehkan, saya ingin ke sana sebentar. Bolehkah?"

"Tentu saja boleh. Aku sedang tidak membutuhkan apapun. Kau bebas menghabiskan waktumu sendiri." Misty mengangguk tanpa beban, membiarkan gadis itu melakukan hal apapun yang ia suka selama berada di sini. Lagipula, Misty bisa melakukan apapun sendiri selama itu tidak merepotkan.

Joyce pamit pergi, menutup pintu kamar sambil bersenandung meninggalkan Misty yang memeriksa barang-barang yang baru ia beli dari pasar. Beberapa helai pakaian pria dan wanita serta jepit rambut sederhana untuk orang-orang di mansion.

Membeli oleh-oleh bukan inisiatif baru yang mendadak muncul di kepala Misty. Saat akan pergi, ia menyadari kalau para pelayan merasa iri kepada Joyce karena gadis itulah yang dipilih untuk menemani Misty ke kota dan berkesempatan untuk melihat festival. Padahal, merekalah yang lebih dulu bekerja dan melayani di mansion.

Perasaan iri semacam itu wajar untuk dirasakan sebagai manusia. Misty sangat mengerti. Karena itu, ia memutuskan untuk membelikan oleh-oleh sepulang dari sini untuk meringankan perasaan itu agar tidak bercokol di hati, sekaligus memberitahu bahwa usaha dan kerja keras mereka selama ini sangat layak untuk dihargai.

Misty tersenyum, mendadak teringat akan Erra yang dulu menjadi sahabat terdekatnya saat masih menjadi Misha. Sahabat pertama setelah Misha keluar dari kehidupan gelap dan memulai hidup baru sebagai orang awam. Erra jugalah yang mengajari Misha tentang pentingnya menghargai perasaan serta menjaga hubungan baik dengan orang lain.

"Oh, benar juga." Begitu melihat patung katak di antara barang-barang yang baru dibelinya, Misty baru Ingat kalau harus segera merealisasikan pemikiran absurdnya yang mendadak muncul begitu saja ketika pertama kali melihat patung itu di kios milik seorang wanita tua.

Dongeng Pangeran Katak. Sejak mengetahui dongeng itu, Misty selalu punya keinginan untuk mencoba mencium katak yang ia lihat di manapun. Tentu tidak ia lakukan, karena takut dikencingi dan malah terkena alergi kulit. Lagipula, di dunianya dulu tidak ada sihir ataupun kutukan.

Berbeda halnya dengan di sini. Menurut cerita Erra ada sihir, kutukan, dan benda pusaka di dunia novel ini. Namun, tetap saja Misty tidak mau mencium katak sungguhan karena saat dipikir lagi, rasanya agak menjijikkan.

Lalu bagaimana jika katak itu berbentuk batu? Bisa jadi itu barang magis atau manusia yang dikutuk, kan? Kemungkinan macam itu bisa terjadi di dalam dunia fantasi. Karena itulah, Misty membeli patung ini untuk mewujudkan keinginannya mencium katak. Selain lebih aman, dia juga tidak merasa jijik.

"Bersiaplah pangeran ...." Misty terkikik mendengar omong kosongnya sendiri lalu melirik ke arah pintu dan berharap Joyce kembali lebih lama agar tidak memergokinya melakukan sesuatu yang aneh. "Oke, kurasa aman."

Beralih pada patung itu lagi, Misty memandanginya sejenak sebelum mendaratkan ciuman ke kepala patung itu. Ciuman ringan dan singkat karena gadis itu jadi malu sendiri dengan tingkahnya yang seperti orang gila.

"Hm, tidak terjadi apapun. Yah, setidaknya aku sudah mewujudkan keinginanku," ucap Misty santai sambil mengedikkan bahu tak acuh.

"Auh!" Namun, tak lama kemudian gadis itu terkejut oleh sengatan panas dari patung katak yang ia pegang. Secara refleks, Misty melemparkan sumber panas itu ke lantai lalu mengusap telapak tangan yang memerah. "Apa-apaan?"

Dahinya berkerut dalam, menatap tajam pada patung katak yang kini bergerak-gerak kecil di atas lantai. Benda itu bergetar-getar lemah pada awalnya, kemudian bertambah kuat dengan sangat cepat.

Misty yang mulai waspada pun tidak melepaskan pandangan dari patung itu yang mulai mengeluarkan asap hitam. Ia bangkit berdiri seraya meraih pisau buah di atas meja, menggenggamnya erat untuk digunakan sebagai senjata pertahanan diri.

Asap hitam mengepul semakin pekat tetapi anehnya tidak menyebar, hanya bergumpal membentuk bola sebesar dua orang dewasa. Misty masih berdiri di tempatnya, memegangi pisau dengan waspada sambil terus menatap gumpalan asap hitam yang kini mulai menyebar, menipis sehingga perlahan Misty bisa melihat sesosok tubuh telanjang seorang pria berambut hitam panjang, yang duduk bersimpuh di lantai tempat patung katak berada.

"Terima kasih telah melepaskanku dari kurungan ini. Mulai sekarang hidupku bergantung padamu, jantungku hanya milikmu. Perintahkan aku sesukamu, wahai Tuanku. Aku, Demir Diamante, adalah budakmu."

Tepat setelah mengatakan itu dengan suara beratnya, kelopak mata Demir yang dihiasi bulu mata hitam yang lentik itu terbuka, membalas tatapan dari pupil mata biru Misty yang masih waspada, dengan manik merahnya yang sayu seolah telah pasrah pada keadaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status