Share

Bab 5. Ancaman Mas Bagas

[Jangan kira kamu bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan. Aku tetap akan merampasnya darimu] 

Sebuah pesan dari nomor baru masuk ke ponselku. Aku sama sekali tidak takut dengan ancaman yang bisa dipastikan dari keluarga Mas Bagas. Aku menyodorkan ponselku pada Maya, seketika dia membacanya dan berakhir menggeleng kepalanya pelan.

“Keluarga benalu, semua keturunannya juga benalu semua!” sahut Maya. Maya kembali meletakkan ponsel di meja. 

“Iya, semua menyusahkan termasuk istrinya itu!” 

“Aku dulu tidak suka saat kalian bersahabat. Dara bukanlah gadis baik, dia akan memanfaatkan pertemanan! Dara sudah mengincar Bagas sejak kalian menikah. Perselingkuhan mereka akhirnya terkuak menjelang kalian bercerai!” Aku mengangguk pelan, memang aku dulu curiga saat Mas Bagas tiba-tiba sering mendapat sesuatu dari seseorang. Barang-barang itu adalah kesukaan Mas Bagas dan selama menikah, hanya aku dan Dara yang mengetahuinya karena aku sering bercerita mengenai Mas Bagas pada Dara. Awalnya aku abaikan saja, setelah memergoki keduanya dalam satu mobil, akhirnya aku mundur. Ditambah hinaan keluarga miskin dari keluarganya aku terima setiap hari.

Kami asyik mengobrol mengenang masa sekolah kami sesekali membahas kendala usaha kami masing-masing. Aku dan Maya tidak pernah sungkan jika membutuhkan solusi. 

Tok tok tok

Seseorang mengetuk pintu ruang kerjaku, aku berjingkat membuka pintu. Ternyata karyawanku yang mengetuk pintu dengan wajah gelisah.

“Ada apa?” Tanyaku padanya.

“Ada gadis pirang meminta jatah pada kasir, katanya dia adik ipar!” Ternyata gangguannya belum selesai juga.

“Ada apa, Ris?” Maya akhirnya menghampiri seraya bertanya padaku.

“Ada keluarga benalu minta duit!” Aku dan Maya akhirnya keluar dari ruangan kerja dan mencari sumber masalah yang datang.

Aku terkekeh melihat penampilan Lala, rambut di ombre ditambah baju yang dikenakannya tidak pas sama sekali, kostum kemarin masih nyambung, sekarang sungguh di luar nalar. Maya tertawa keras melihat adik Mas Bagas dengan teman lelakinya mirip preman. 

“Heh, bocil! Begini yang diajarkan Bagas sama kamu? Tadi dia ngancam, eh sekarang kurcacinya datang malak duit!” Mulut Maya memang lemas sekali. Mengatai Lala kayak kurcaci. Memang tidak salah dia mengatakan begitu, karena memang tinggi tubuh Lala tidak sampai 150 cm. Aku berusaha tetap diam, karena aku tidak boleh ikutan menghina postur tubuh Lala meski aku sebenarnya ingin tertawa.

“Kamu ngapain? Mau malak duit?” Belum juga aku bertanya, Maya sudah mendahuluiku bertanya pada Lala. Wajah Lala tidak menunjukkan keramahan sama sekali termasuk lelaki di sampingnya.

“Bukan urusanmu, aku kesini minta jatah!” Teriak Lala. Aku meraih ponsel dan memanggil salah satu tim keamanan. Di seberang restoran berdiri kantor polisi dan kebetulan sekali aku mengenal salah satu dari mereka. Aku merekam kejadian Lala meminta jatah uang dan aku kirim kepada salah satu polisi yang aku kenal.

Brak

Lala menggebrak meja kasir membuat karyawan yang menjaga kasir ketakutan.

“Biarkan, sebentar lagi akan ada kejutan untuknya!” Aku biarkan dia mengambil uang di kasir, karyawan yang lain sudah aku perintahkan merekam semua kejadian ini. Kemudian memposting di dunia maya. Setidaknya jika diviralkan, akan ada pelajaran yang dia dapatkan. Dia terlihat maruk sekali ketika laci kasir terbuka. Bersama teman lelakinya, dia memasukkan semua uang ke dalam sebuah kantong terbuat dari kain. Ya, mirip perampok, hanya saja dia baru belajar jadi perampok.

“Angkat tangan!” Ternyata polisi yang aku hubungi membawa rekannya juga untuk meringkus mereka.

“A-aku tidak salah, Pak. Aku hanya minta uang jajan!” Wajah pucat hingga otak dan mulutnya tidak sinkron. Mana ada orang minta jajan dengan cara seperti itu. 

Akhirnya dia bersama teman lelakinya dibawa ke kantor polisi. Cukup mudah menanganinya tanpa mengotori tanganku. Biarkan saja mereka berdua menjalani proses hukum. Aku juga tidak masalah sebagian uang yang diambilnya dijadikan barang bukti. Toh, aku sudah mengajarkan pada kasir jika sebagian uang yang nominal besar disimpan terlebih dahulu sesuai nominal modal yang dikeluarkan.

“Paling juga emaknya akan kemari menuntut kamu, Ris. Anaknya kamu masukkan ke kantor polisi!” Sahut Maya saat kami memandang Lala digelandang ke kantor polisi. 

“Biarin, lagian karyawanku juga sudah memviralkan dia!” Aku duduk kembali ke ruang kerja bersama Maya.

Benar dugaan Maya, tidak lama kami saling mengobrol, mantan Ibu mertua datang bersama istri Mas Bagas. Suasana kembali gaduh, untung saja pelanggan sedang sepi jadi tidak terlihat memalukan karena ulah mereka.

“Heh, wanita tidak tahu diri! Bebaskan anakku!” Tunjuk Nani padaku. 

“Bebaskan Lala, Rista. Kamu tidak berhak memenjarakannya!” Dara ikut-ikutan menjadi kompor.

Aku menatap dua wanita beda generasi di depanku. Aku melipat tanganku di dada kemudian menatap mereka satu persatu.

“Ngapain kamu menatap kami seperti itu?” Dara tidak terima dengan tatapanku. Ini membuatku semakin ingin mengerjainya, andai boleh diizinkan.

“Jadi, jika kalian berdua tidak terima Lala masuk penjara atas kasus perampokan, itu artinya kalian berdua adalah dalangnya!” Seketika mulut mereka terdiam usai mendengar pernyataanku.

“Jangan asal menuduh! Itu fitnah!” jari telunjuk Dara diarahkan padaku. Aku terkekeh melihat dua wanita ini. 

“Langsung ke kantor polisi saja. Polisi sudah mengantongi bukti berupa video saat Lala dan teman lelakinya sedang beraksi!” 

“Apa? Bukti?” Nani terdengar tidak percaya saat aku mengatakan bukti sudah didapatkan polisi.

Wajah mereka berdua berubah pucat kemudian pergi begitu saja. Bisa dipastikan jika Lala menghubungi mereka berdua. Kemudian mereka datang ke restoran untuk memarahiku.

“Begitu saja kemampuannya?” Maya terkekeh di sampingku usai melihat sikap kedua wanita itu.

“Begitulah, May. Lebih baik kita jalan-jalan saja bagaimana? Sudah lama sekali kita tidak cuci mata bareng!” Aku dan Maya mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Aku sudah meminta polisi mengurus semua kasus Lala sehingga aku bisa cukup tenang. Meski aku bisa menduga akan ada lagi gangguan dari keluarga benalu. Aku sudah tidak takut lagi pada mereka termasuk Mas Bagas.

“Maya, Rista!” Seseorang melambaikan tangan ke arah kami. Sosok lelaki yang aku kenali saat masih sekolah. 

Lelaki memakai kemeja lengkap dengan jas berwarna hitam berlari kecil menghampiri kami berdua.

“Angga!” Maya berhasil menebak sosok yang ada di depan kami berdua.

“Kamu Angga yang dulu sering dibully teman-teman bukan?” Angga mengangguk cepat disertai senyum manisnya. Senyum yang sama saat dia masih sekolah.

“Apa kabar kalian berdua?”

“Alhamdulillah, kami berdua sangat baik sekali!” Jawabku diselingi tawa.

Kami akhirnya memilih di salah satu cafe sekedar mengobrol bersama teman lama. Aku merasa diawasi oleh seseorang di sekitarku. Entah siapa dan aku sementara tidak mau berurusan dengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status