Sebentar lagi Amel dan Aisha akan tiba di rumah sakit. Sebelum sampai, ia ingin menyimpang dulu ke ATM, mengambil sejumlah uang untuk pengobatan Aisha.
Kebetulan, jarak ATM dan rumah sakit tak begitu jauh. Bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki saja. Setelah selesai mengambil uang, ia segera membawa Aisha untuk visum. Amel mulai masuk ke rumah sakit dan menunggu beberapa jam untuk menunggu hasil visum. Alhamdulilah, akhirnya semua berjalan lancar. "Aku akan menyimpan bukti ini. Jika suatu saat Mama dan yang lainnya macam-macam lagi, aku takkan segan melaporkannya ke polisi agar mereka jera." "Aisha mau apa? Masih sakit gak kepalanya?" Tanya Amel sambil mengelus-elus kepala putrinya. "Dikit, yang ini Ibun sakit," ucapnya sambil menunjuk kepala bagian belakang. Untung saja, dari hasil pemeriksaan visum. Luka di kepala Aisha tidak terlalu parah. Hanya luka di bagian luar dan sedikit sobek pada kulit kepalanya. "Ya sudah, Aisha kuat ya sayang. Yuk Ibun belikan makanan dan mainan ya. Atau mau baju baru?" "Yaaaa, mau, Ibun!" jawabnya antusias. Aisha nampak terlihat bahagia. Tanpa menunggu lama, Amel langsung mengajak putri kesayangan itu ke mall. Ada berbagai macam kebutuhan disana, lengkap. Mulai dari makanan, susu, cemilan, pakaian anak, perabotan, semuanya ada. Usai berbelanja, Amel ingin mengajak Aisha makan di luar. Karena sudah lama ia tak merasakan sensasi makan di restoran yang mahal. Di rumah pun ia hanya sering makan dengan menggunakan sayur, sementara lauk daging selalu di habiskan oleh Arum dan keluarganya. Terlihat rakus bukan? ___ Waktu menunjukkan pukul 04.00 sore, tak terasa ia sudah berjam-jam berada di luar. Sekarang, Amel dan Aisha sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Entah cacian apa saja yang akan keluar dari mulut Arum ketika ia tiba disana. Tapi, sekarang Amel tak mau ambil pusing. Sudah cukup ia tak kan mau menuruti perintah dari Mama mertuanya lagi. Setelah satu jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai. Arum sudah menunggu di teras dengan wajah masamnya. "Dari mana aja kamu? Udah tau Mama mau pergi, kok malah gak pulang-pulang. Keenakan ya keluar tanpa beres-beres rumah dulu?" Baru saja pulang sampai rumah, Arum sudah menyuguhkan omelan-omelan untuknya. Hening.. Amel tak menjawab, ia langsung menerobos pintu tanpa melihat wajah Arum sedikitpun. "Amel!" Wanita paruh baya itu berteriak. "Kurangajar sekali kamu, ada Mama disini tapi kamu tak menganggapnya." Mendengar itu, seketika Amel langsung memutar badannya. "Mama ngomong apa? Tak di anggap? Aku gak nganggep Mama gitu? Apa Mama gak bisa berkaca... Selama ini Amel di anggap apa di rumah ini?" Amel menunggingkan sebelah alisnya. Setelah itu kembali lagi ke kamar dan langsung menutupnya. "Awas kamu ya, Mel!" *** Malam ini, keluarga Aryo akan berangkat ke restoran untuk makan malam. Tak hanya itu, mereka ada janji dengan tamu spesialnya. Risma dan keluarganya. Ya, Arum berniat untuk menjodohkan Aryo dan Risma kembali tanpa memperdulikan Amel. "Mega, kamu sudah siap?" "Sudah, Ma. Sayang ayuk bentar lagi kita berangkat." Mega memanggil Daniel untuk cepat bersiap-siap. "Oke, semuanya sudah siap ya. Aryo, kamu panaskan mobil sekarang. Sementara Mama mau ke kamar untuk memberi tahu Amel agar menjaga rumah ini selama kita pergi." "Iya Mah." "Amel, Mel. Buka pintunya." Arum terus mengetuk kamar menantunya. Tapi, tak ada satupun jawaban dari dalam sana. "Bener-bener menantu kurangajar kamu ya. Dengerin, Mama mau berangkat sekarang. Kamu jagain rumah malam ini, awas jika kamu berani pergi." Amel sengaja diam, ia hanya menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. "Kalau mau minta tolong mestinya bisa nyuruh baik-baik. Gak kaya gini, gedor pintu kenceng banget. Emang dikira aku ini siapa di rumah ini? Pembantunya juga bukan." Batinnya. "Sudah belum, Mah?" Tanya Mega. "Sudah, tapi Amel sekarang mulai berani sama Mama. Bahkan menjawab ucapan Mama pun tidak." "Apa? Berani banget sih Mbak Amel. Dasar kurangajar." Mega ikut tersungut mendengar ucapan Arum. "Udahlah Mah. Kita berangkat aja dulu, keburu malem nih Mas Aryo nungguin." Mereka gegas masuk ke dalam mobil, karena tak enak jika nanti keluarga Risma menunggu terlalu lama. Butuh waktu setengah jam untuk sampai di restoran tempat mana mereka berjanjian. *** Malam ini Aisha sudah tertidur. Mungkin ia terlalu lelah seharian pergi bersama Amel. Wanita itu ingin menelepon sahabatnya, agar tak merasa kesepian. "Halo, Sin? Kamu lagi apa. Sepi banget nih disini." ucapnya. "Sepi? Emang Mama mertua kamu dan yang lainnya kemana Mel? Aku lagi di luar nih. Lagi pengen makan diluar." jawab Sintya. "Semua orang di rumah ini pergi, hanya aku dan Aisha yang tak ikut. Karena Mama kemaren sudah bilang kalau aku gak boleh ikut pergi bersama mereka." "Ih, parah banget sih itu mertua kamu. Kok kesel aku dengernya, Mel." ucap Sintya. Dari telepon, Amel mendengar ia meletakkan sendoknya dengan kasar. "Sudahlah, biarkan saja. Toh aku lagi males keluar, seharian ini aku juga abis keluar sama Aisha tadi pagi sampai siang ke rumah sakit." "Rumah sakit? Emang siapa yang sakit, Mel?" "Aisha, lutut dan kepalanya berdarah karena berantem sama Tifa, anak dari adik ipar aku Sin. Hanya karena masalah sepele, mereka berebut cemilan sampai berantem. Yang aku sesalkan disini itu Mega. Dia tega banget ngedorong Aisha sampe jatuh, makanya kepala sama lututnya terluka. Baru tadi aku visum, biar jadi bukti ke polisi jika mereka berani macam-macam lagi." "Ya Allah, kasihan banget Aisha. Nah gitu Mel, kamu harus tegas! Jangan mau di injek terus-terusan. Kasihan anak kamu juga jadi korban akhirnya kan. Sekali-kali tunjukkin karakter bar-bar kamu, biar mereka itu kapok." "Eh-eh, bentar deh, Mel." Tiba-tiba Sintya berhenti berbicara. "Kenapa Sin? Kamu baik-baik aja kan?" Amel merasa khawatir dengan sahabatnya. "Iya aku baik-baik aja. Aku kaya ngeliat suami kamu deh Mel... Tadi dia sama Mama dan keluarganya kan? Tapi, aku kaya ngliat orang lain juga disana. Ada wanita lain. Emang mereka bilang ke kamu ada acara apa?" Hati Amel mulai resah, siapa wanita yang dimaksud oleh Sintya? Jika teman kerjanya, tak mungkin. Mana mungkin malem-malem begini bekerja "Aku kurang tau Sin. Yang pasti mereka bilang mau makan malam di restoran. Aku gak tau tujuan mereka hanya itu atau ada yang lainnya." Jawab Amel, ia masih merasa bingung. "Nah, berarti bener. Itu suami kamu dan keluarganya. Ya ampun, Mel!" Terdengar suara Sintya seperti sedang terkejut. "Kenapa lagi Sin?" "I-itu, Mel. Apa aku gak salah lihat ya? Aku tadi ngeliat suami kamu lagi melingkarkan cincin di jari wanita itu." "A-apa?""Lo denger gak apa kata bos gue? Apa mau gue sumpelin langsung ke mul ut lo?" Tanya salah satu napi yang lainnya."I-iya, Bang. Saya denger.""Gitu dong!" ujarnya sambil melemparkan bungkus yang berisi nasi bekas."Apes banget hidup disini, gak ada perasaan, udah mirip sama bina tang. Aku harus segera menghubungi Mama, agar mempercepat untuk bertemu dengan Amel dan segera membebaskan aku," batinnya sambil terus memandangi nasi bekas, Aryo merasa risih jika harus memakan nasi itu.Namun tak ada pilihan lagi selain menghabiskan nasi bekas itu, karena para napi yang lainnya juga memperhatikan gerak-gerik Aryo. Dengan terpaksa, lelaki itu memakannya, walau dalam hati sebenarnya ingin muntah.___Arum kini sudah tiba di klinik bersama Risma, ia langsung dilarikan ke UGD karena pendara-ha nya semakin hebat.Tubuhnya lemas terkulai hingga nyaris membuat Risma tak sadarkan diri. Dokter segera mengecek kondisinya, karena gumpalan da rah mulai keluar dari area sensi tifnya.Sementara dengan Aru
"Terus, langkah apa yang akan Mama ambil untuk sekarang? Apa Mama akan tetap mewakili Mas Aryo untuk mempersulit proses perceraian. Atau Mama memilih mengalah dan pasrah jika Mas Aryo dan Mbak Amel benar-benar sah bercerai?" Tanya Mega. Ia turut merasakan tegang bercampur resah, nyalinya untuk menghadapi Amel sudah tak se bar-bar dulu.Ia khawatir jika nantinya malah ikut terseret, karena dulu Mega pernah melakukan kekerasan terhadap Aisha hingga terluka. Bahkan, sampai sekarang Amel pun masih menyimpan bukti visum atas itu.Mega tak menyangka, Amel akan melakukan hal senekad ini. Ia benar-benar menjebloskan lelaki yang dulu pernah membuatnya mabuk kepayang tanpa rasa belas kasihan."Mbak Amel ke Mas Aryo aja bisa setega itu, padahal Mas Aryo adalah lelaki yang dulu pernah sangat ia cintai. Apalagi ke aku? Bisa habis aku dibuatnya," batinnya dengan dada yang berkembang kempis. Wajah wanita itu seketika nampak pias. Ia tak mau jika bernasib sama seperti Aryo."Yah, mau gak mau Mama har
"Semudah inikah Mama bisa mengucapkan kata maaf? Apa Mama gak ingat, bagaimana perlakuan Mama ke Amel waktu dulu? Dan bayangkan, berapa lama Amel menahan sabar atas sikap Mama yang zolim?""Mama menyesal Mel, gak ada yang bisa membantu Mama saat ini kecuali kamu. Karena kamu lah yang berkuasa untuk mencabut tuntutan itu," ujar Arum berusaha untuk terus memohon. Karena satu-satunya orang yang bisa membebaskan Aryo dari penjara adalah Amel.Sebenarnya, Aryo bisa keluar penjara dengan cepat, asal ia membayar denda sesuai dengan jumlah yang di tentukan. Namun, jangankan membayar denda, untuk kebutuhan sehari-hari saja sekarang keadaan keluarga mereka sangatlah sulit. Berbeda dengan yang dulu, uang mereka selalu utuh karena banyak bergantung dengan Amel."Iya, Mama menyesal karena baru tau kan kalau ternyata Amel gak seburuk dan semiskin yang Mama kira? Andai dari awal Mama mengetahui semua harta yang Amel punya, pasti Mama tak akan bersikap seperti itu, yang ada Mama bakal menjunjung ting
"Aku harus segera membawa suamiku ke klinik, agar ia cepat sembuh dan bisa bekerja lagi. Benar-benar kacau, jika sampai tak ada yang menafkahi keluarga ini. Secara, mau makan pakai apa? Sedangkan Aryo juga belum bebas, Daniel pun tak selalu bisa di andalkan. Aku memang mempunyai uang tabungan. Tapi sayang sekali jika harus merogoh tabungan hanya untuk makan sehari-hari. Apa gunanya aku mempunyai anak dan suami jika harus memakai uang tabungan?" ujar Arum sembari melirik ke arah jalan dari kaca mobil yang tertutup. Sekarang, ia dan Hakim sedang dalam perjalanan menuju klinik. "Ma, rasanya gak kuat. Kepala Ayah kaya di putar-putar, rasanya juga mual." Hakim terus memegangi kepala, sambil menahan mual yang kini terasa mengkocok isi perutnya."Ayah, ini juga kita lagi di jalan, bentar lagi juga sampe. Biar enak nanti sampe sana gak usah ngantri lama, karena hari sudah mulai siang."Mobil yang di tumpangi Arum dan Hakim kini sudah berhenti di parkiran sebelah kanan klinik, mereka segera m
Arum langsung memutuskan teleponnya dengan Mega, ia dibuat kaget dengan kehadiran Lia yang berbisik tepat di telinganya. "Bu Arum, apa anda mendengar ucapan saya?" "Iya, saya dengar.""Baik, semuanya sudah jelas. Anda bisa pergi dari sini secepatnya,""Bu, lantas bagaimana dengan Aryo? Kapan ia bisa bebas? Tolong, kasihanilah anak saya." Pinta Arum sedikit memelas."Maaf, yang lebih berhak untuk memutuskan anak Ibu bisa keluar dari tahanan bukan saya, tapi Amel. Dia lah yang mempunyai hak, kapan bisa mencabut tuntutan itu. Karena, yang bersangkutan disini sebagai korban ialah putri saya." "Tapi, apakah Ibu gak bisa untuk membujuk Amel? Di penjara sana tempat orang-orang krim!nal Bu, saya takut Aryo kenapa-napa.""Tadi sudah saya jelaskan ya Bu Arum, yang bisa mengeluarkan Aryo dari sana bukan saya, tapi Amel.""Sekarang Amel ada dimana, Bu? Tolong sebelum saya pergi. Saya ingin tau keberadaan Amel.""Anak saya lagi kerja Bu, gak bisa diganggu di jam-jam sekarang.""Baik, kalau begi
"Saya ingin Aryo di bebaskan, tolong. Ibu gak bisa jika selalu semena-mena terhadap kami.""Semena-mena anda bilang? Apakah menurut kalian, bahwa perilaku kami terhadap kalian ini tak pantas?" Lia berjalan mendekati Arum, tepat di sebelah kolam ikan yang menghiasi halaman rumahnya."Iya, memang anda tak pantas jika berperilaku seperti itu pada anak saya Bu. Apalagi Aryo itu ayahnya Aisha. Jika anak Bu Lia memang mau menggugat anak saya tolong kalian bersikap yang adil.""Adil apa yang anda maksud? Apakah selama ini anda berlaku adil kepada putri saya saat pertama kali ia sah menjadi menantu anda? Apakah anda memperlakukan Amel dengan baik dengan mengingat bagaimana cara Ibu mertuaharus bersikap kepada menantunya?" Lia mencerca Arum, ia mulai geram.Karena Lia paham dengan karakter besannya itu. Pasti Arum takkan terima jika putra sulungnya mendekam dalam tahanan. Arum sesaat hening tak bergeming di hadapan Lia."Bagaimana pun Aryo, ia tetap Ayah biologis dari Aisha Bu. Ibu gak boleh