Laura menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang tetap manis. Bibirnya sedikit tertahan, menanti dengan penuh harap jawaban dari wanita di hadapannya.Jikalau alamat itu nanti ia miliki, ia akan segera menghubungi Aslan untuk memastikan satu hal—apakah benar Anaby berada di apartemen Michael.Namun, apa yang keluar dari bibir Nyonya Safira justru menebarkan rasa kecewa yang sulit ditepis."Lebih baik kau tanyakan langsung pada Michael saat kalian bertemu, Laura," tutur Nyonya Safira tegas. "Tante tidak ingin mencampuri privasi Michael tanpa seizinnya."Laura mengangguk pelan, berusaha menelan pil pahit. Biarpun ia masih memaksakan senyum, tetapi tangannya yang sejak tadi memegangi tas menjadi dingin dan kaku. Ia tak tahu harus menyimpan di mana rasa kecewa yang melandanya."Besok, saat Michael pulang, Tante akan memanggilnya untuk makan malam di sini," lanjut Nyonya Safira dengan nada hangat, mencoba menghibur. "Kau juga bisa datang. Itu kesempatan bagus untuk mendekatkan hub
Anaby menghembuskan udara pelan dari sela bibir, menenangkan gejolak kecil dalam pikirannya. Barangkali, ia harus menyimpan dulu pertanyaan besar mengenai tanggal tersebut. Ia akan menunggu sampai mereka kembali dari kota Jenara. Di sana, ketika urusan dengan Prof. Hansel sudah selesai, Anaby bertekad akan menatap mata Michael dan bertanya secara langsung. Tentang angka tersebut, tentang ingatan yang tak seharusnya pria itu ketahui, dan tentang kemungkinan bahwa keduanya pernah berdiri di garis waktu yang sama, pada masa lalu yang pahit dan penuh kehilangan.Kini, pikirannya harus kembali ke tujuan awal. Anaby pun membuka mesin pencari dan mengetik nama Profesor Hansel. Deretan hasil mulai bermunculan, didominasi oleh berita-berita akademik dan jurnal resmi.Ia membaca satu demi satu dengan penuh perhatian. Foto pria berambut perak dengan ekspresi tajam dan tenang yang menghiasi banyak laman.Tertera bahwa dia adalah seorang guru besar matematika yang disegani. Penggagas teori geomet
Anaby memejamkan mata, membiarkan diri terhanyut oleh sentuhan Michael yang mampu membangkitkan nalurinya sebagai wanita. Namun ketakutan kecil yang tertanam di lubuk hatinya kembali menyeruak, menyelinap di antara hasrat yang sedang melingkupi mereka. Dengan nada serak dan bibir yang sedikit bergetar, ia berkata pelan, “Kalau… aku belum bisa memberimu seorang bayi, bagaimana?”Michael menatap wajah sang istri yang bersandar di lengannya. Jemarinya mengusap lembut pelipis Anaby, menghalau kekhawatiran yang mulai merayap di sana. “Itu tidak masalah,” jawabnya tenang. “Aku akan menunggu. Berapa lama pun, tidak masalah bagiku. Dan kalau kau memang tidak menginginkannya—aku pun tidak akan pernah memaksa.”Anaby menahan air mata yang nyaris jatuh. Jawaban Michael menelusup ke dalam hatinya, menghadirkan semacam kelegaan yang justru membuatnya semakin miris.Bagi Anaby, ini bukan tentang dirinya yang tidak ingin menjadi ibu, melainkan karena ia tidak mampu. Barangkali, ia memang tak perna
Dengan kilatan ambisi yang menyala di netra mereka, Laura dan Aslan akhirnya berjabat tangan. Gerakan itu tak hanya menjadi simbol kesepakatan, melainkan ikatan kelam antara dua insan yang didorong oleh kepentingan pribadi.Jemari mereka bertaut singkat, tetapi cukup erat untuk menegaskan bahwa keduanya telah menyegel rencana yang akan mengguncang hubungan Anaby dan Michael."Aku akan memastikan perayaan ulang tahun Tante Safira menjadi panggungku," tukas Laura dengan bibir setengah melengkung."Malam itu, aku akan berdiri di sisi Michael, mengenakan gaun terbaik dan membawa hadiah manis yang akan membuat siapapun tahu—aku adalah calon istrinya."Aslan mengangguk puas, membenarkan kerah kemejanya yang sedikit miring."Kau harus membuat Ana percaya bahwa Michael telah berpaling darinya," imbuh Laura berapi-api. "Tunjukkan pada Ana betapa dekatnya aku dan Michael. Buat ia merasa kecil, tersisih, dan tidak lagi berarti bagi pria yang selama ini ia harapkan."Aslan langsung menjawab denga
Langit di luar tampak cerah ketika Laura keluar dari butik eksklusif, tempat gaun ulang tahun Nyonya Safira dijahit. Konsultasi berjalan sempurna—sesuai dengan apa yang diinginkan Laura. Gadis itu tersenyum kecil, membayangkan betapa anggunnya Nyonya Safira nanti dalam balutan gaun rancangannya. Ia yakin, jika segala sesuatunya berjalan sesuai rencana, maka bukan hanya simpati yang akan ia raih, tetapi juga restu untuk menjadi istri Michael.“Sekarang waktunya mempermanis suasana. Aku akan membuat Tante Safira semakin kagum padaku,” gumam Laura sambil menelusuri deretan toko di kawasan kuliner.Pandangannya menangkap papan emas bertuliskan ‘Eclair’, toko kue yang namanya selalu hadir dalam setiap acara penting para sosialita. Laura menjejakkan kaki ke dalam, dan disambut oleh aroma mentega yang menggoda. Ia menelusuri etalase kaca yang penuh dengan kue mungil nan menawan.Tangannya berhenti pada deretan carrot cake dengan cream cheese frosting, dan hummingbird cake. Ia memilih kedu
Dengan gerakan pelan, Michael membungkukkan tubuhnya sedikit. Ia menahan ujung meja rias agar tetap seimbang, kemudian menatap Anaby dengan sorot sendu.“Bisa bantu aku ke tempat tidur?” ucapnya, sedikit parau.Tanpa menunggu lebih lama, Anaby segera mendekat dan menopang tubuh Michael semampunya. Meski langkah mereka tidak sepenuhnya stabil, ia memaksakan diri untuk sampai ke ranjang. Tak ada yang lebih ingin ia lakukan sekarang, selain memastikan Michael baik-baik saja.Setelah membantu pria itu duduk di tepi tempat tidur, Anaby ikut beringsut di sampingnya.Michael tampak memejamkan mata, alisnya berkerut halus. Napasnya tertahan, seperti tengah menanggung sesuatu yang tak terlihat. Hati Anaby dirundung kekhawatiran yang semakin sulit diredam.“Michael, katakan bagian mana yang sakit,” tanya Anaby seraya menyentuh lutut sang suami dengan lembut, “Apa kita perlu ke dokter?”Michael membuka matanya lagi, kendati wajahnya masih sedikit pucat. “Tidak perlu,” ujarnya sembari menyentuh p