Share

Pilihanku Sendiri

Author: Risca Amelia
last update Last Updated: 2025-04-19 14:34:27

Mobil yang membawa Anaby melaju di sepanjang jalan kota yang mulai ramai oleh aktivitas pagi. Duduk di kursi belakang dengan kaca yang sedikit terbuka, Anaby membiarkan cahaya matahari menyinari sebagian wajahnya. 

Ia terlihat tenang, tetapi pikirannya berkecamuk. Di pangkuannya, jari-jarinya menggenggam ponsel, tetapi bukan untuk membuka pesan, melainkan untuk memandangi pantulan samar dirinya di layar hitam itu. 

"Pak Darto, tolong cari toko barang antik di sekitar kampus," ucap Anaby, matanya menatap jalanan dengan tatapan penuh tekad.

"Siap, Nona," jawab si sopir, lalu membelokkan arah ke kawasan kampus lama, tempat Anaby menempuh kuliah bertahun-tahun lalu.

Tak butuh waktu lama, mereka menemukan sebuah toko mungil di ujung jalan kecil yang sepi. Toko itu berdiri di antara bangunan-bangunan tua, dengan papan nama kayu bertuliskan ‘Lentera Collection’ dalam huruf latin klasik yang sedikit pudar. 

Udara di dalam toko terasa lembap. Di sudut-sudut ruangan, lampu temaram menggantung, menyoroti setiap benda yang dijual oleh sang pemilik. Etalase-etalase kaca berisi barang-barang antik—jam saku perak, patung kecil dari batu giok, cermin berbingkai kuno, dan perhiasan-perhiasan yang tampak menyimpan cerita dari masa silam.

Seorang pria tua dengan rambut berwarna keperakan berjalan keluar dari balik rak.

"Selamat pagi, Nona. Bisa saya bantu mencari sesuatu?" tanyanya ramah.

Anaby mengangguk sopan dan membuka tasnya. Ia mengeluarkan seuntai kalung dengan liontin bulan sabit dari saku beludru. Kilau cahaya mengenai permukaannya, membuat ukiran halus di tepi liontin tampak jelas.

"Saya ingin tahu, apakah Anda masih punya kalung seperti ini?” tanya Anabay, menyodorkan kalung itu. 

Si pria tua menerima kalung itu dan mengamati dengan seksama, lalu tersenyum samar. 

"Ah, ya. Kalung ini ... masih ada satu lagi yang tersisa. Tunggu sebentar."

Ia berjalan ke belakang toko, lalu kembali dengan sebuah kotak beludru biru. Saat dibuka, di dalamnya terdapat kalung yang identik—bulan sabit perak yang indah, seolah memantulkan sinar rembulan yang pernah menyentuhnya.

"Ini dia. Barang yang cukup langka, tapi kebetulan masih ada satu," ucap pria itu.

Anaby mengerutkan kening. "Kalung ini punya makna khusus, bukan? Teman saya bilang ini kalung pembawa keberuntungan."

Pria itu tersenyum kecil, lalu duduk di kursi rotan yang ada di dekat meja.

"Sejujurnya, ada cerita lama tentang kalung ini. Konon, ini adalah kalung pasangan—diberikan pada sepasang kekasih yang cintanya tidak direstui. Sebelum berpisah, mereka berjanji akan bertemu di bawah bulan sabit dalam kehidupan lain. Kalung ini dibuat sebagai penanda cinta mereka yang tak bisa bersatu."

Anaby menahan napas. Sebuah gelombang emosi menyapu dirinya tanpa peringatan. Ia menatap kalung itu seolah-olah baru pertama kali melihatnya.

"Apakah Anda ingat siapa yang membeli kalung ini beberapa hari lalu?" tanyanya pelan.

Pria itu mengerutkan kening, nampak berpikir sejenak. "Seorang pemuda dan seorang gadis. Mereka tampak seperti pasangan kekasih.”

Anaby mengangguk pelan, seolah semuanya mulai membentuk mozaik kebenaran yang menyakitkan. Ternyata, Aslan dan Sandra sudah menjalin hubungan asmara sebelum ia memutuskan untuk kawin lari.

"Apakah mereka membeli sesuatu yang lain selain kalung ini?"

"Oh ya," jawab pria tua itu. "Mereka juga membeli bubuk kayu cedar, untuk pengharum."

Sekujur tubuh Anaby menegang. 

Bubuk kayu cedar. Aroma yang membawanya pada ingatan masa kecil, ketika ibunya masih hidup.

Kala itu, sang ibu menyemprotkan wewangian itu di rumah, menyebabkan ruam merah dan sesak napas bagi Anaby kecil. Ia alergi sampai menangis semalaman, dan satu-satunya orang yang tahu hal itu selain ayahnya ... adalah Aslan.

Kini jelas sudah semuanya. Sandra dan Aslan sengaja mengoleskan bubuk kayu cedar ke kalung ini agar dia terkena alergi. Sebuah rencana kotor terselubung dalam bingkai hadiah. Mereka bukan hanya melakukan pengkhianatan hati, tetapi juga upaya menyakiti tubuhnya secara diam-diam.

"Terima kasih, Pak. Saya akan membeli yang satu lagi ini," kata Anaby kemudian. 

Ia membayar dengan cepat, lalu memakai kalung itu untuk membuktikan tak ada reaksi alergi. Tidak ada ruam. Tidak ada rasa gatal. Kalung itu justru terasa dingin di lehernya, tidak membakar seperti sebelumnya. 

Hati Anaby bergemuruh saat ia keluar dari toko, tetapi ekspresi wajahnya tetap tenang.

Begitu masuk ke mobil, ia memberi perintah tegas, "Antar saya ke butik Amorette di pusat kota. Saya mau membeli gaun."

Amorette. Butik paling prestisius di kota. Tempat para sosialita dan selebritas memesan busana istimewa mereka.

Sesampainya di sana, ia langsung disambut pegawai butik dengan senyum profesional. Mereka menawarkan koleksi terbaru, dan membawa beberapa gaun elegan ke ruang ganti pribadi.

Namun, mata Anaby tertumbuk pada satu gaun sabrina dengan tali halus di bahu, dan potongan belahan di paha kiri. Kainnya jatuh dengan elegan, memberi kesan lembut sekaligus kuat.

"Saya ingin mencoba yang ini," ujarnya mantap.

Saat gaun tersebut membalut tubuhnya, Anaby menatap cermin. Gaun itu menampakkan garis bahunya yang anggun, dan menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Warna burgundy membuat kulit putihnya tampak lebih bersinar, dan matanya yang dulu selalu ragu—kini memancarkan ketegasan.

Setelah sekian lama, ia akhirnya melihat seorang perempuan yang tidak lagi menyembunyikan kecantikannya di balik batas-batas yang dibuat orang lain. Anaby teringat akan Aslan—yang selalu melarangnya mengenakan gaun terbuka, mengatakan bahwa ia tidak rela tubuh Anaby dilihat pria lain. 

Dan seperti boneka yang patuh, Anaby menuruti, menenggelamkan jati dirinya demi cinta yang palsu. Siapa sangka di balik kata-kata manis itu tersembunyi racun pengendalian?

Anaby menatap dirinya sekali lagi di cermin, senyum kecil merekah di bibirnya. Di kehidupan sekarang, ia memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Tak ada lagi yang mengekang atau mempengaruhi pilihannya. 

"Saya akan ambil gaun ini," pungkas Anaby, tanpa keraguan.

Ya, ia akan tampil secantik mungkin di hadapan keluarga Rajasa. Bagaimanapun caranya, ia harus berusaha meyakinkan Michael untuk menerima perjodohan ini.

Setidaknya, dia juga bisa membalas budi untuk kehidupan sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Selalu Bersamamu

    Hening menggelayut sesaat, usai Michael menyampaikan harapan tulusnya kepada sang ibu. Sebuah permintaan sederhana yang lahir dari kelemahan tubuhnya, tetapi penuh kekuatan cinta. Matanya yang masih redup menatap sang ibu, memohon tanpa suara agar perempuan yang telah melahirkannya itu sudi menerima Anaby. Akan tetapi, Nyonya Safira masih bungkam. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyimpan gejolak batin yang sulit ditebak.Hati Anaby semakin resah. Ia memahami bahwa diamnya seorang ibu kadang lebih menyakitkan dari penolakan terang-terangan.Meski begitu, Anaby bertekad tidak akan menyerah. Ia tahu cinta tidak bisa dipaksakan, dan penerimaan pun memerlukan waktu.Melihat ibunya tak kunjung bicara, bibir Michael kembali bergerak. Walaupun serak dan lirih, suara lelaki itu cukup untuk mengguncang ruangan yang sunyi. “Kenapa Mama diam?” Nyonya Safira menghela napas panjang. Tatapannya berpindah dari Michael ke Anaby, lalu kembali lagi ke wajah putranya. “Kita tidak perlu

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Memohon Restu

    Tak disangka, saat tangan Anaby menggenggam jemari Michael yang semula dingin dan tak berdaya, sebuah keajaiban terjadi.Kelopak mata itu—yang selama dua puluh jam lebih hanya terpejam dalam ketidakpastian—perlahan bergerak. Sebuah gerakan halus, tetapi cukup membuat air mata Anaby tumpah sebelum ia sempat menyadarinya."Sayang, terima kasih. Kau sudah berjuang untuk kebahagiaan kita,” tutur Anaby, lirih tetapi penuh ketulusan.Michael mengerjap pelan. Pandangannya masih buram, belum mampu fokus sepenuhnya. Saat mendengar suara Anaby, jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.Sontak, Nyonya Safira maju. Wajahnya yang semula tegang kini menampakkan sorot harap yang tak mampu ia sembunyikan.Ia ingin mendekat, ingin memastikan bahwa putranya telah sadar. Namun, langkahnya terhenti ketika salah satu perawat segera merentangkan tangan, menghentikannya."Maaf, Bu. Pasien harus segera dipindahkan ke ruang perawatan. Kami akan memantau kondisinya selama dua belas jam ke depan. Mohon beri j

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Tak Akan Pergi dari Sisimu

    Suara roda kursi yang berderak menyertai langkah Tuan Carlo menyusuri lorong lantai tiga, di mana ruang observasi terletak. Anaby duduk diam di atas kursi roda, memeluk kedua tangannya sendiri. Hatinya tak tenang. Sejak mendengar bahwa Michael telah selesai menjalani operasi, perasaannya dirundung kegelisahan. Antara rasa syukur karena sang suami selamat, dan rasa cemas membayangkan kemungkinan terburuk.Ketika Anaby dan Tuan Carlo melewati tikungan menuju ruang observasi, mereka berpapasan dengan sosok yang familiar. Seorang pria bertubuh tegap dengan rambut yang sebagian memutih. Dia adalah Tuan Gama, paman dari Michael sekaligus tokoh penting dalam keluarga Rajasa, “Tuan Carlo?” sapa Tuan Gama, melangkah mendekat. “Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu.”Tuan Carlo menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum lemah. “Kabar saya baik, Tuan Gama.”“Senang melihat Anda kembali dalam keadaan sehat,” balas Tuan Gama, menjabat tangan Tuan Carlo.Tatapan Tuan Gama kemudian jatuh ke arah kursi roda

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Penyesalan

    Meski pikiran dan hatinya enggan menyerah pada rasa kantuk, tubuh Anaby tak mampu melawan rasa lelah. Raganya terasa tak lagi miliknya sendiri. Perlahan, tanpa ia sadari, mata Anaby terpejam. Ia terlelap dalam tidur yang tidak tenang, seperti berlayar dalam kabut. Menyisakan mimpi yang samar—wajah Michael yang pucat, darah, suara ambulans, dan sorotan lampu rumah sakit yang menyilaukan.Tak jelas berapa lama ia terlelap, tetapi Anaby baru terjaga ketika ia mendengar suara yang amat familiar memanggil namanya.“Ana….”Kelopak mata gadis itu perlahan membuka, samar menangkap sosok yang berdiri di tepi brankar. Begitu pandangannya pulih, air mata langsung membasahi mata Anaby.“Papa,” gumamnya dengan suara serak.Tuan Carlo segera mendekat, kerutan di wajahnya tampak semakin jelas oleh rasa khawatir. Tanpa perlu aba-aba, Anaby bangkit dari posisi berbaring lalu memeluk sang ayah erat-erat. Pelukan itu begitu kuat, seolah ia sedang mencari perlindungan dari segala bentuk kejahatan di du

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Bertahanlah, Sayang

    Tak lama setelah mobil polisi yang membawa Aslan dan Sandra menghilang di tikungan jalan, deru mesin ambulance terdengar membelah malam. Lampu-lampunya berputar, memantulkan cahaya merah dan putih ke wajah-wajah panik yang masih berkumpul di sekitar tempat kejadian. Di antara mereka, seorang pria berjas hitam dan bermata tajam turun tergesa dari kursi depan ambulance. Dia-lah Mateo, asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Michael Rajasa.Dengan napas terburu, Mateo bergegas menghampiri Michael yang masih bersandar lemah di pangkuan Anaby. Beberapa petugas medis menyusul di belakangnya, membawa tandu, peralatan darurat, dan tabung oksigen.“Tuan Michael….” gumam Mateo, wajahnya tegang. Dua orang petugas medis segera berlutut, meraba nadi Michael lalu menoleh kepada tim medis yang lain. “Denyut nadinya lemah dan terjadi pendarahan. Cepat bawa ke ambulance. Kita tidak punya banyak waktu.”Anaby enggan melepaskan tubuh Michael. Matanya merah dan sembab, wajahnya pucat pasi seperti k

  • Membalas Mantan : Cinta Sejatiku Datang Setelah Kematian   Penebusan Berdarah

    Napas Anaby terhenti di tenggorokan, matanya tak berkedip saat menatap layar ponsel di tangan Michael. Angka itu terpampang jelas di sana, menampilkan bukti transfer senilai sepuluh miliar.Tak disangka, demi melindungi dirinya dan sang buah hati, Michael rela melepaskan uang yang ia miliki.Detik itu juga, Anaby ingin menjerit dan menghentikan Michael, tetapi pisau yang masih menempel di perutnya membuat seluruh ototnya menegang. Ketakutan Anaby bukan lagi soal keselamatan sendiri, melainkan nyawa kecil yang baru tumbuh di rahimnya. Dia belum siap kehilangan.“Uang sudah aku kirim ke rekeningmu. Sekarang, bebaskan Ana!” ujar Michael lantang. Suaranya tajam, menahan amarah yang mendidih dalam dada.Anaby hanya bisa menatap sang suami dengan mata berembun. Hatinya terharu melihat cinta Michael yang begitu besar, cinta yang tak pernah ia dapatkan di kehidupan sebelumnya. Dahulu, ia hanya dianggap sebagai istri mandul sekaligus wanita penyakitan yang layak dibuang. Kini, ia menjadi seor

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status