Mobil yang membawa Anaby melaju di sepanjang jalan kota yang mulai ramai oleh aktivitas pagi. Duduk di kursi belakang dengan kaca yang sedikit terbuka, Anaby membiarkan cahaya matahari menyinari sebagian wajahnya.
Ia terlihat tenang, tetapi pikirannya berkecamuk. Di pangkuannya, jari-jarinya menggenggam ponsel, tetapi bukan untuk membuka pesan, melainkan untuk memandangi pantulan samar dirinya di layar hitam itu.
"Pak Darto, tolong cari toko barang antik di sekitar kampus," ucap Anaby, matanya menatap jalanan dengan tatapan penuh tekad.
"Siap, Nona," jawab si sopir, lalu membelokkan arah ke kawasan kampus lama, tempat Anaby menempuh kuliah bertahun-tahun lalu.
Tak butuh waktu lama, mereka menemukan sebuah toko mungil di ujung jalan kecil yang sepi. Toko itu berdiri di antara bangunan-bangunan tua, dengan papan nama kayu bertuliskan ‘Lentera Collection’ dalam huruf latin klasik yang sedikit pudar.
Udara di dalam toko terasa lembap. Di sudut-sudut ruangan, lampu temaram menggantung, menyoroti setiap benda yang dijual oleh sang pemilik. Etalase-etalase kaca berisi barang-barang antik—jam saku perak, patung kecil dari batu giok, cermin berbingkai kuno, dan perhiasan-perhiasan yang tampak menyimpan cerita dari masa silam.
Seorang pria tua dengan rambut berwarna keperakan berjalan keluar dari balik rak.
"Selamat pagi, Nona. Bisa saya bantu mencari sesuatu?" tanyanya ramah.
Anaby mengangguk sopan dan membuka tasnya. Ia mengeluarkan seuntai kalung dengan liontin bulan sabit dari saku beludru. Kilau cahaya mengenai permukaannya, membuat ukiran halus di tepi liontin tampak jelas.
"Saya ingin tahu, apakah Anda masih punya kalung seperti ini?” tanya Anabay, menyodorkan kalung itu.
Si pria tua menerima kalung itu dan mengamati dengan seksama, lalu tersenyum samar.
"Ah, ya. Kalung ini ... masih ada satu lagi yang tersisa. Tunggu sebentar."
Ia berjalan ke belakang toko, lalu kembali dengan sebuah kotak beludru biru. Saat dibuka, di dalamnya terdapat kalung yang identik—bulan sabit perak yang indah, seolah memantulkan sinar rembulan yang pernah menyentuhnya.
"Ini dia. Barang yang cukup langka, tapi kebetulan masih ada satu," ucap pria itu.
Anaby mengerutkan kening. "Kalung ini punya makna khusus, bukan? Teman saya bilang ini kalung pembawa keberuntungan."
Pria itu tersenyum kecil, lalu duduk di kursi rotan yang ada di dekat meja.
"Sejujurnya, ada cerita lama tentang kalung ini. Konon, ini adalah kalung pasangan—diberikan pada sepasang kekasih yang cintanya tidak direstui. Sebelum berpisah, mereka berjanji akan bertemu di bawah bulan sabit dalam kehidupan lain. Kalung ini dibuat sebagai penanda cinta mereka yang tak bisa bersatu."
Anaby menahan napas. Sebuah gelombang emosi menyapu dirinya tanpa peringatan. Ia menatap kalung itu seolah-olah baru pertama kali melihatnya.
"Apakah Anda ingat siapa yang membeli kalung ini beberapa hari lalu?" tanyanya pelan.
Pria itu mengerutkan kening, nampak berpikir sejenak. "Seorang pemuda dan seorang gadis. Mereka tampak seperti pasangan kekasih.”
Anaby mengangguk pelan, seolah semuanya mulai membentuk mozaik kebenaran yang menyakitkan. Ternyata, Aslan dan Sandra sudah menjalin hubungan asmara sebelum ia memutuskan untuk kawin lari.
"Apakah mereka membeli sesuatu yang lain selain kalung ini?"
"Oh ya," jawab pria tua itu. "Mereka juga membeli bubuk kayu cedar, untuk pengharum."
Sekujur tubuh Anaby menegang.
Bubuk kayu cedar. Aroma yang membawanya pada ingatan masa kecil, ketika ibunya masih hidup.
Kala itu, sang ibu menyemprotkan wewangian itu di rumah, menyebabkan ruam merah dan sesak napas bagi Anaby kecil. Ia alergi sampai menangis semalaman, dan satu-satunya orang yang tahu hal itu selain ayahnya ... adalah Aslan.
Kini jelas sudah semuanya. Sandra dan Aslan sengaja mengoleskan bubuk kayu cedar ke kalung ini agar dia terkena alergi. Sebuah rencana kotor terselubung dalam bingkai hadiah. Mereka bukan hanya melakukan pengkhianatan hati, tetapi juga upaya menyakiti tubuhnya secara diam-diam.
"Terima kasih, Pak. Saya akan membeli yang satu lagi ini," kata Anaby kemudian.
Ia membayar dengan cepat, lalu memakai kalung itu untuk membuktikan tak ada reaksi alergi. Tidak ada ruam. Tidak ada rasa gatal. Kalung itu justru terasa dingin di lehernya, tidak membakar seperti sebelumnya.
Hati Anaby bergemuruh saat ia keluar dari toko, tetapi ekspresi wajahnya tetap tenang.
Begitu masuk ke mobil, ia memberi perintah tegas, "Antar saya ke butik Amorette di pusat kota. Saya mau membeli gaun."
Amorette. Butik paling prestisius di kota. Tempat para sosialita dan selebritas memesan busana istimewa mereka.
Sesampainya di sana, ia langsung disambut pegawai butik dengan senyum profesional. Mereka menawarkan koleksi terbaru, dan membawa beberapa gaun elegan ke ruang ganti pribadi.
Namun, mata Anaby tertumbuk pada satu gaun sabrina dengan tali halus di bahu, dan potongan belahan di paha kiri. Kainnya jatuh dengan elegan, memberi kesan lembut sekaligus kuat.
"Saya ingin mencoba yang ini," ujarnya mantap.
Saat gaun tersebut membalut tubuhnya, Anaby menatap cermin. Gaun itu menampakkan garis bahunya yang anggun, dan menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Warna burgundy membuat kulit putihnya tampak lebih bersinar, dan matanya yang dulu selalu ragu—kini memancarkan ketegasan.
Setelah sekian lama, ia akhirnya melihat seorang perempuan yang tidak lagi menyembunyikan kecantikannya di balik batas-batas yang dibuat orang lain. Anaby teringat akan Aslan—yang selalu melarangnya mengenakan gaun terbuka, mengatakan bahwa ia tidak rela tubuh Anaby dilihat pria lain.
Dan seperti boneka yang patuh, Anaby menuruti, menenggelamkan jati dirinya demi cinta yang palsu. Siapa sangka di balik kata-kata manis itu tersembunyi racun pengendalian?
Anaby menatap dirinya sekali lagi di cermin, senyum kecil merekah di bibirnya. Di kehidupan sekarang, ia memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Tak ada lagi yang mengekang atau mempengaruhi pilihannya.
"Saya akan ambil gaun ini," pungkas Anaby, tanpa keraguan.
Ya, ia akan tampil secantik mungkin di hadapan keluarga Rajasa. Bagaimanapun caranya, ia harus berusaha meyakinkan Michael untuk menerima perjodohan ini.
Setidaknya, dia juga bisa membalas budi untuk kehidupan sebelumnya.
Setelah memantapkan pilihannya, Anaby menelusuri deretan rak sepatu di sisi kiri butik. Pandangannya jatuh pada sepasang stiletto berwarna merah anggur, dihiasi pita satin kecil di bagian belakang tumit dan hak ramping sepanjang sepuluh sentimeter. Sepatu itu bukan hanya serasi dengan gaunnya, tetapi juga memancarkan keberanian yang selama ini ia kubur di balik gaun-gaun konservatif.Tanpa ragu, Anaby memutuskan untuk membelinya. Selesai melakukan pembayaran, Anaby menggenggam kantong belanjaan butik itu dan kembali ke mobil."Antarkan saya ke kafe di sekitar pusat kota, Pak," ucapnya pelan kepada sopir, sambil menatap keluar jendela. Siang ini, Anaby ingin merasakan kedamaian seorang diri, jauh dari segala drama yang menyertainya. Ia hanya ingin menikmati makan siang dengan tenang—sebuah jeda yang langka sejak kehadiran Nyonya Kemala dan Laura.Di perjalanan, Anaby memandang kalung bulan sabit yang masih menggantung di leher jenjangnya. Ia menyentuhnya dengan ujung jari—hati-hati, p
Para pelayan kafe mendadak bergerak dengan ketangkasan tinggi, nyaris seperti gerakan koreografi yang telah mereka latih berulang kali. Langkah mereka menjadi lebih sigap, ekspresi wajah mereka berubah menjadi lebih hormat. Tanpa satu perintah pun, mereka mulai menyatukan beberapa meja yang awalnya terpisah, menyusun ulang kursi, serta meletakkan vas kecil berisi bunga hydrangea segar. Semua dilakukan dengan cekatan, seakan mereka sedang menyambut kedatangan para bangsawan dari kerajaan yang jauh.Di antara kesibukan itu, Anaby masih duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, wajahnya nyaris tertutup seluruhnya oleh buku menu. Hanya sebagian kecil dari matanya yang berani mengintip ke arah Michael.Namun, saat Anaby melakukan itu, tatapan mereka bersinggungan. Matanya tak sengaja bertemu dengan sepasang mata biru yang terasa begitu jauh, sekaligus begitu dekat dengan kenangan yang ia simpan. Dengan tergesa, Anaby kembali menutup wajahnya dengan buku menu. Jantungnya bertalu tak menentu,
Seluruh pasang mata langsung tertuju pada Anaby. Para pria di meja eksekutif memandang dengan tatapan penuh tanya, sementara manajer kafe terburu-buru datang menghampiri Michael dengan peluh membasahi pelipis."Mohon maaf sebesar-besarnya, Tuan. Kami akan segera menggantinya dengan minuman yang baru. Kami juga akan mendiskusikan kompensasi atas ketidaknyamanan ini," ujar sang manajer dengan wajah tegang.Namun, Michael berdiri dengan tenang. Gerakannya penuh kewibawaan, sehingga mampu membungkam seluruh kegaduhan. Para pelayan terdiam, manajer tertegun, dan bahkan suara denting sendok di kafe lenyap."Tidak perlu memperpanjang masalah kecil," ucap Michael, suaranya baritonnya seperti simfoni malam yang menggetarkan. "Ambilkan saja minuman baru. Dan minuman yang tumpah, akan tetap saya bayar."Detik selanjutnya, pria itu menghampiri Anaby hingga membuat orang-orang di sekitarnya menjadi heran.Napas Anaby tercekat, tubuhnya nyaris tak mampu bergerak saat melihat Michael kini berdiri be
Dari balik spion, pandangan Aslan menangkap gerak-gerik Anaby dengan seksama. Nampaknya, Aslan mulai mencurigai sikap Anaby yang tidak seperti biasanya. Menyadari hal itu, Anaby buru-buru memasukkan saputangan yang dipinjamkan Michael ke dalam tas tangan, lalu mengeluarkan tisu sebagai gantinya. Gadis itu mengusap keningnya yang lembap oleh ketegangan, sementara matanya melirik sesekali ke arah kaca spion."Maaf, Sayang, mobilku tidak senyaman mobil yang biasa kau pakai,” ucap Aslan tersenyum hambar“Untuk sekarang, aku hanya mampu membeli mobil bekas. Tapi, suatu hari nanti, kalau kita menikah... aku berjanji akan membeli mobil baru yang lebih bagus, supaya kau bisa jalan-jalan dengan nyaman."Anaby menarik napas dalam-dalam, dadanya bergemuruh dengan perasaan yang sulit diuraikan. Bibirnya melengkungkan senyum tipis, walau dalam hatinya ia berdecih getir. Kenangan tentang masa lalu tiba-tiba menyeruak begitu saja. Anaby teringat akan sepuluh tahun yang telah ia jalani bersama Asla
Anaby mengalihkan pandangannya ke danau kecil di depan mereka. Menolak permohonan Aslan secara terang-terangan dalam kondisi seperti sekarang, tidaklah memungkinkan. Terutama, ketika pria itu memandangnya dengan tatapan penuh harap.“Ana,” lirih Aslan, suaranya serak menahan rasa, “Aku tidak akan menyerah. Suatu hari, aku pasti bisa berdiri sejajar denganmu, tapi aku butuh bantuanmu, Sayang.”Demi meluluhkan hati Anaby, Aslan menggeser posisi duduknya hingga tubuh mereka hampir menempel. “Kau satu-satunya orang yang paling memahami caraku berpikir. Tolong, lihat lagi metodeku. Koreksi, sempurnakan, dan tambahkan apa pun yang kamu anggap perlu. Ini bukan hanya soal program, melainkan penentu dari masa depan kita.”Alih-alih merasa tersentuh, Anaby justru ingin mendorong Aslan supaya terjatuh dari bangku taman. Ia tahu benar bahwa pria itu sedang memainkan kartu lamanya: menjual harapan, membungkusnya dengan kerinduan dan romansa yang memilukan. “Kirimkan saja ke surelku. Aku akan mem
Dengan cepat, Laura menarik tangan Nyonya Kemala, mengajaknya menuju mobil yang telah menunggu di halaman. Mereka melangkah seperti sepasang sekutu dalam perang, yang siap menyusun strategi untuk menyerang musuh. Tanpa membuang waktu, Laura memerintahkan sopirnya untuk menjalankan mobil. Begitu kendaraan beroda empat itu melaju di jalan utama, ia mengeluarkan ponsel dan menekan nama di kontaknya.Aslan. Sesaat, Laura menarik napas panjang. Membiarkan detak jantungnya menyesuaikan dengan skenario yang telah ia susun di dalam benaknya. Nada sambung pun terdengar. Tak lama kemudian, terdengar suara berat khas lelaki muda dari seberang.“Halo, siapa ini?” sapa Aslan, terdengar waspada.Laura membenarkan posisi duduknya. Suaranya dibuat serendah mungkin, layaknya seseorang yang sedang menahan air mata.“Aslan... ini aku, Laura,” ucapnya pelan, “maaf kalau aku menelepon tiba-tiba, tapi aku tergerak untuk menolongmu. Aku hanya ingin memberimu... sebuah kesempatan terakhir.Ada keheningan s
Ingatan pahit datang perlahan di benak Anaby, membawa dirinya pada lorong waktu yang telah lama tertutup.Dulu, di hari yang sama, ayahnya harus dilarikan ke rumah sakit akibat kesalahan yang ia perbuat. Sambil berurai air mata, Anaby menggenggam tangan sang ayah yang terbaring tak berdaya. Rasa penyesalan pun tak henti menerpa dirinya, kala sang ayah menghembuskan nafas terakhir.Tak lama setelah sang ayah meninggal dunia, ia menerima undangan pertunangan baru. Bukan untuk dirinya, melainkan antara Michael dan Laura. Ibu tirinya yang memberikannya dengan senyum setengah mengejek. Anaby menolak datang, dan memilih untuk tetap berada di rumah bersama Aslan. Dan setelah itu, ia mendengar kabar bahwa Michael, Laura, dan Nyonya Kemala pindah ke luar negeri. Anehnya, ia tak pernah mendengar kabar pernikahan mereka. Tak ada undangan. Tak ada foto. Bahkan tidak satu pun berita di media.“Mungkinkah Michael dan Laura tidak pernah menikah? Tapi, kenapa?” guman Anaby penasaran.Pertanyaan itu
Anaby nyaris melangkahkan kaki keluar kamar, tetapi suara deru mobil lain menyusul masuk ke halaman depan rumah. Ia tak perlu menengok untuk tahu siapa yang datang—Nyonya Kemala dan Laura. Kedua perempuan itu seperti bayangan kelam yang terus membayangi hidupnya. Desahan kecil lolos dari bibir Anaby. Gadis itu menarik kembali langkahnya dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Ada getir yang menyesap di balik dadanya. Tidak, ia terlalu anggun untuk menghabiskan tenaga meladeni sindiran atau lirikan sinis dari ibu dan adik tirinya itu. Malam ini terlalu penting untuk dicemari oleh racun ucapan mereka.Maka, Anaby memilih untuk menunggu. Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam ponselnya dengan jari-jari yang bergetar pelan, entah karena gelisah atau sekadar gugup. Tak lama, layar ponselnya menyala. Sebuah pesan dari Sandra muncul—membuat Anaby mendengus lirih.[Ana, kau jadi bertemu dengan keluarga Rajasa? Semoga semuanya berjalan lancar. Tapi, aku harap kau tetap mempertahankan cintamu pa
Dengan menggenggam harapan terakhir yang ia punya, Anaby menatap lekat paras tampan di hadapannya. Sorot matanya meredup, membawa serta keputusasaan yang membekas begitu dalam. Tanpa mengucap sepatah kata pun sebagai jawaban, Anaby perlahan memajukan wajahnya, menghapus jarak yang tersisa. Gerakannya begitu ringan dan nyaris gemetar, saat bibirnya menyentuh bibir Michael—tanpa jeda, tanpa ragu.Seperti digerakkan naluri, tangan Anaby terangkat pelan lalu menempel pada bahu Michael yang terasa kokoh di balik piyama yang membungkus tubuhnya. Gadis itu bisa merasakan kontras yang mencolok antara kehangatan bibir Michael dan bibirnya sendiri. Bibir Michael penuh dengan gairah kehidupan, berbeda jauh dengan bibirnya yang beku, seperti tak bernyawa. Dalam beberapa detik, Anaby memejamkan mata, memusatkan seluruh pikirannya untuk melakukan hal yang selama ini tak pernah ia kuasai.Ya, berciuman bukanlah sesuatu yang familiar bagi Anaby. Ia tidak pandai melakukannya.Beberapa kali Aslan pe
Setelah daun pintu tertutup rapat, Michael melangkah ke arah dinding dan menyalakan lampu utama. Cahaya hangat segera menyapu seluruh ruangan, menghapus kesan remang yang sempat tercipta. Kilau lampu memantul di permukaan marmer dan kaca, memunculkan siluet kemewahan apartemen lantai delapan itu. Mata biru milik Michael bergerak tenang dan tajam, seperti bilah es yang bening. Pandangannya menelusuri tubuh kurus Anaby yang berdiri kikuk di ambang ruang. Mengunci langkah gadis itu, hingga membuat Anaby nyaris lupa bagaimana caranya bernapas normal.Tanpa berkata-kata panjang, ia menunjuk ke sofa berlapis kulit di tengah ruangan.“Duduklah,” ucap Michael tanpa nada.Dengan langkah ragu, Anaby menuruti permintaan itu. Ia duduk perlahan, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, tetapi tak berani bersandar sepenuhnya. Gadis itu bingung harus meletakkan tangan di mana, tidak tahu harus memandang ke arah mana.Di sisi lain, Michael masih berdiri tegak. Kedua lengannya bersedekap di depan da
Dengan tangan yang mencengkeram erat kemudi, Anaby memacu mobilnya menembus malam. Lampu-lampu jalan yang terpantul di kaca depan tampak buram, seperti garis-garis cahaya yang berlari menjauh. Sementara jiwa Anaby telah tertambat pada satu tujuan.Kecepatan mobilnya meningkat, tetapi pikirannya berlari jauh lebih kencang dari laju kendaraan yang ia kemudikan. Ada gemuruh dalam benaknya, campuran antara keyakinan dan keraguan, antara kerinduan dan ketakutan.Langkah ini bisa dianggap sembrono, bahkan barangkali memalukan—datang ke apartemen seorang pria di tengah malam, tanpa kabar, tanpa undangan. Hanya saja, Anaby tidak peduli lagi. Harga dirinya sudah terlalu letih untuk dijaga, dan logika telah lama kalah oleh harapan. Untuk kedua kalinya, ia bersedia jatuh dalam ketidakpastian jikalau itu satu-satunya jalan keluar dari jeratan Aslan. Marigold Residence menjulang dalam bayangan langit kota yang kelam. Bangunan itumegah sekaligus dingin dalam kemewahan yang tak bersuara.Setibanya
Bak seseorang yang baru saja menemukan permata terpendam di tengah reruntuhan, Aslan langsung memegang tangan Tuan Carlo. Tatapan matanya berbinar, dan senyum yang menggantung di bibirnya begitu lebar, seolah ucapan itu adalah kabar paling agung yang pernah ia dengar.“Saya … benar-benar berterima kasih, Tuan Carlo,” ucap Aslan terbata. “Saya berjanji akan segera menikahi Ana setelah Anda pulih. Saya mencintai Ana lebih dari segalanya.”Janji yang diucapkan Aslan membuat tenggorokan Anaby tercekat. Perutnya mual, mendidih dalam keengganan yang tak tertahankan. Rasanya seperti menelan racun pahit yang merayap hingga ke ujung tengkuk. Refleks, Anaby mengangkat tangannya dan menutup mulut yang tersembunyi di balik masker medis. Ia mencoba menahan desakan mual yang merambat dari dalam.Melihat reaksi itu, Aslan menoleh dengan raut wajah mengkerut, penuh kekhawatiran yang tampak meyakinkan. “Sayang, kau kenapa?” tanyanya lembut, melangkah setengah menuju Anaby.Anaby menggeleng kecil. Ta
“Papa, lebih baik istirahat dulu,” ujar Anaby, sembari mengelus punggung tangan sang ayah, yang masih terkulai lemah di telapak tangannya.Tatapannya lembut tetapi menyimpan kegelisahan yang belum terurai. Ia mencoba menenangkan sang ayah yang terlihat begitu rapuh di bawah sorotan lampu redup ICU. Pastilah tenaga sang ayah terkuras habis setelah mengalami serangan jantung. “Papa baru saja menjalani pemasangan ring,” lanjutnya lagi, dengan nada sabar dan penuh kasih, “jumlah kunjungan di ruang ICU dibatasi. Lagi pula, Papa belum boleh terlalu banyak berbicara. Nanti, kalau Papa sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, aku janji akan mengajak Aslan menemui Papa.”Namun, Tuan Carlo tak menyerah pada bujukan putrinya. Dengan mata yang terus menatap lekat wajah Anaby, ia kembali memanggil nama Aslan. Menyebutnya berulang kali meski suaranya terdengar patah-patah. Pria paruh baya itu seperti meniti celah-celah luka di tenggorokannya yang belum pulih.“Aslan, panggil… dia.”Anaby menggigit
Tanpa menunda lagi, Anaby menyusul perawat yang mendorong ranjang ayahnya keluar dari ruang Cath Lab. Wajah Tuan Carlo tampak pucat di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. Hanya garis tipis detak jantung di monitor, yang memberi tanda bahwa ia masih bertahan.Ketika mereka tiba di depan pintu ruang ICU, salah satu perawat menghentikan langkah Anaby.“Mohon tunggu di luar, Nona. Pasien belum sadarkan diri, dan masih dalam tahap observasi intensif. Setelah Beliau sadar, kami akan izinkan Nona masuk.”Anaby mengangguk pelan. Ia hanya berdiri mematung, menatap punggung para petugas medis yang mendorong ranjang ayahnya menuju ruang ICU. Lalu, dengan langkah gontai, ia kembali ke deretan bangku panjang yang sepi.Sembari menangkupkan kedua tangan, Anaby mengistirahatkan pikirannya yang letih oleh terlalu banyak kekhawatiran.Saat ini, ia belum bisa melihat langsung kondisi sang ayah, tetapi ia tetap bersyukur. Bersyukur karena ayahnya masih ada dan perjuangan hidupnya belum terputus.
Lampu-lampu neon di lorong rumah sakit menyorot wajah Anaby yang muram. Sementara jemarinya terus-menerus mengusap layar ponsel yang telah terkunci sejak lima menit lalu.Satu nama, satu suara, satu tawaran—semuanya masih bergemuruh dalam kepalanya tanpa henti. Tubuh Anaby bersandar lesu di dinding, tetapi dagunya menunduk sedikit, menatap lantai yang dingin seperti pikirannya. Kakinya bergerak gelisah. Sesekali menyilang dan kembali lurus, kemudian menggoyang ujung sepatu pelan tanpa irama. Besok malam. Marigold Residence. Sebuah pertemuan yang menjanjikan jawaban, tetapi juga bisa berujung pada kekecewaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Tawaran dari Michael bukan sekadar undangan biasa—itu seperti perjudian. Ia tidak tahu hasil akhirnya akan seperti apa. Lagi pula … kenapa harus di apartemen? Tempat yang begitu personal, begitu privat.Jika hanya ingin bicara, bukankah Michael bisa mengajaknya bertemu di kafe, taman atau lobi rumah sakit? Namun, pria itu malah menyuruhnya data
Pintu ruang Instalasi Gawat Darurat akhirnya terbuka dengan bunyi berdecit. Anaby sontak berdiri dari bangkunya, tubuhnya refleks bergerak seiring detak jantung yang tak menentu. Pandangannya langsung tertuju pada ranjang dorong yang meluncur di antara dua perawat berseragam biru. Di atasnya, terbaring sosok Tuan Carlo yang tampak begitu pucat, wajahnya diliputi selang oksigen dan tangannya terkulai lemah di sisi tubuh.“Mohon beri jalan, kami akan membawa pasien ke cath lab,” ucap salah satu perawat kepada Anaby.Tanpa membuang waktu, Anaby segera menyusul langkah mereka. Hatinya kian dirundung cemas saat melihat sang ayah didorong menuju ruang tindakan, tempat prosedur pemasangan ring jantung akan dilakukan.Sebelum pintu tertutup rapat, Anaby menghampiri salah satu dokter yang bersiap memasuki ruangan.“Berapa lama ini akan berlangsung, Dok?” tanyanya, dengan suara parau.“Maksimal dua jam, Nona. Kami akan melakukan yang terbaik,” jawab sang dokter singkat, sebelum menghilang di b
"Apakah... Papa saya akan baik-baik saja setelah menjalani prosedur itu, Dokter?" tanya Anaby, suaranya lirih, dipenuhi rasa takut sekaligus harapan.“Tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Namun, pasien akan membutuhkan perawatan intensif, serta perubahan gaya hidup yang cukup ketat,” jawab Dokter Roland, menatap Anaby penuh pengertian.Mendengar penjelasan dari sang dokter, Anaby mengusap air matanya dengan punggung tangan. Kemudian, ia membungkuk dalam-dalam, sebelum mengambil keputusan. "Kalau begitu saya setuju, Dokter. Tolong selamatkan Papa saya,” putus Anaby, tanpa keraguan.Dokter Roland mengangguk dengan lembut. “Kami akan segera mempersiapkan prosedurnya. Silakan Anda ke bagian administrasi dulu, dan menandatangani formulir persetujuan medis."Usai berkata demikian, dokter itu berpamitan dengan anggukan hormat lalu masuk ke ruang tindakan. Begitu suasana menjadi sepi, Nyonya Kemala mendekati Anaby sembari berkacak pinggang. “Ana, kenapa kau mengambil keputusan tanpa memin