Anaby meletakkan garpu perlahan, kemudian menatap gelas di hadapannya dengan penuh tanda tanga. Hanya seperempat sari buah itu yang sempat diteguknya, dan sisanya masih tersisa dalam semburat merah muda.Ada rasa getir yang tertinggal di lidah, halus tetapi menusuk. Ia tak yakin apa yang membuat sari buah itu terasa berbeda, tetapi sesuatu di tenggorokannya terasa tak nyaman—kering dan sedikit menggelitik seperti habis tertelan debu halus.Merasa haus, Anaby berjalan menuju sudut buffet yang memajang aneka pilihan minuman. Gelas-gelas bening berisi air mineral berkilauan di bawah lampu gantung, berdampingan dengan pitcher berisi infused water, teh lemon, serta jus semangka segar yang menggoda.Anaby mengambil satu gelas jus semangka dan meneguknya dalam sekali hentakan. Dingin menyentuh kerongkongannya, menyapu kering yang mendera sejak tadi. Namun, belum sempat Anaby menghela napas, sebuah tangan halus menyentuh lengan kirinya. "Ada apa, Ana?" tanya Sandra dengan nada khawatir. Gadi
Tak lama setelah itu, Sandra kembali dengan membawa dua gelas minuman. Wajahnya menyimpan senyum manis, tetapi gerakan matanya mengintai waktu yang tepat.Gadis itu melangkah ke arah meja kehormatan dan mengangkat satu gelas, bersiap menyerahkannya kepada Anaby.Namun, pada saat yang bersamaan, Nyonya Ayudya muncul dari arah depan. Langkahnya mantap dan elegan, menyusup di antara para pelayan yang berlalu-lalang membawa nampan perak.Alhasil, sebelum Anaby sempat menerima gelas itu, Sandra menarik kembali tangannya, cepat dan nyaris tidak kentara.“Anaby, kau sungguh mirip ibumu,” ucap Nyonya Ayudya, dengan sorot mata penuh kenangan. “Tiana adalah teman dekatku semasa kuliah. Kami banyak melewati waktu bersama, tapi aku kemudian harus pindah ke luar negeri. Ketika aku pulang...kabar duka itu datang lebih dulu. Aku sangat sedih.”Anaby tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan cahaya redup yang menandakan luka di hatinya belum sirna. “Terima kasih, Nyonya Ayudya. Mama saya tidak ban
Antrian di hadapan Anaby menyusut perlahan. Kini hanya tersisa empat tamu lagi sebelum gilirannya menyampaikan ucapan selamat. Kilauan lampu di langit-langit ballroom menyelimuti wajah-wajah yang berlalu-lalang, sementara denting gelas dan irama biola mengalun tenang mengiringi percakapan para tamu.Tepat ketika Anaby mengalihkan pandangan dari keramaian, langkah ringan menghampiri dari samping.“Maaf, aku agak lama,” kata Sandra, dengan senyum yang dibuat manis.Anaby menoleh, bibirnya melengkung kecil. “Tidak masalah, aku juga masih menunggu giliran."Mereka pun berdiri bersebelahan dan tak lama kemudian, giliran Anaby tiba. Ia maju dengan langkah anggun ke hadapan Tuan Dewangga dan Nyonya Ayudya.Wajah pasangan paruh baya itu memancarkan keteduhan sekaligus keteguhan. Rambut perak mereka disisir rapi, dan sorot mata keduanya menyimpan ribuan cerita yang telah dilewati bersama.Anaby membungkukkan tubuh sedikit sebagai tanda penghormatan, sebelum mengulurkan tangannya.“Tuan Dewang
"Chloe, kalau Sandra sudah datang, bilang saja aku belum selesai dirias dan tidak bisa ditemui,” pungkas Anaby.Chloe yang berdiri tak jauh darinya mengangkat alis, sedikit terkejut dengan permintaan Anaby. Namun, ia tidak berkomentar sama sekali."Dan, bawa Sandra ke ruang rias biasa. Jangan ke ruang eksklusif.”Chloe mengangguk mengerti. "Kalau begitu, tunggu saja di sini, Ana. Nanti, salah satu karyawanku akan mengantar teh chamomile untukmu.”"Terima kasih," balas Anaby pelan.Setelah Chloe berlalu, Anaby duduk di sofa empuk berwarna hijau. Tangannya meraih ponsel dari dalam clutch mungilnya. Anaby teringat pesan dari Michael semalam, agar dirinya memberitahu jika hendak berangkat ke pesta.Tanpa banyak ragu, ia mengangkat ponsel dan mengarahkan kamera ke wajahnya. Anaby mengambil sejumlah foto dari berbagai sudut—depan, tiga perempat kanan, lalu dari samping kiri. Setelah menyeleksi dua yang terbaik, gadis itu mengirimkan ke nomor Michael sembari mengetikkan pesan singkat.[Seki
Usai bicara dengan sang ayah, Anaby kembali ke kamarnya dan meraih salah satu gaun malam dari bahan sutra biru tua. Ia membawa gaun itu dengan hati-hati menuju ke halaman rumah.Tangannya terulur pada Pak Darto yang sigap membukakan pintu mobil.“Pak, tolong antar saya ke kantor.”“Baik, Nona,” jawab sang sopir sambil membuka pintu belakang untuk Anaby.Perjalanan menuju kantor berlangsung lancar.Setibanya di gedung Nova Education, Anaby bergegas menuju lift eksekutif. Di depan pintu, ia bertemu Tuan Indra, salah satu anggota dewan direksi yang memancarkan kewibawaan khas petinggi korporat.“Selamat pagi, Ana,” sapa Tuan Indra seraya melangkah bersamanya ke dalam lift.“Pagi, Paman Indra,” balas Anaby ramah.Lift melaju naik dengan keheningan yang hanya diisi oleh suara mekanis halus. Tuan Indra menoleh kepadanya.“Bagaimana kondisi papamu?”“Masih harus banyak beristirahat. Kami belum tahu kapan Papa bisa kembali ke kantor,” ujar Anaby.Tuan Indra mengangguk pelan, tatapannya tak le
Pukul tujuh pagi, Anaby sudah tampil rapi dalam balutan blus merah berkerah tinggi dan rok pensil. Wajahnya hanya dipoles tipis—tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia bersiap menjalani hari yang panjang. Kantor menantinya, lalu salon, dan malamnya pesta mewah di hotel Aurora.Anaby melangkah menyusuri lorong rumah yang sepi, sebelum tiba di ruang makan. Namun, harapan akan sarapan tenang segera pupus, saat tatapannya bertaut pada dua wanita yang duduk di meja.Nyonya Kemala dan Laura telah lebih dulu mengambil alih ruangan, dengan obrolan yang memerahkan telinga. Lembar-lembar sketsa tergelar di atas meja. Laura tengah membanggakan sesuatu.“Lihat ini, Mama,” katanya ceria sambil menunjukkan kertas desain bergambar gaun mewah.“Tante Safira bilang desainku sangat elegan dan berkarakter. Hari ini mulai dijahit oleh Almaretta, penjahit terbaik di Grenada.”Nyonya Kemala mengangguk dengan wajah sumringah, matanya menelusuri gambar gaun itu seolah sedang menilai mahakarya.“Ah, kau meman