Dentang alarm ponsel di atas nakas menggema, memecah keheningan pagi di kamar apartemen. Jemari Anaby yang masih lemah meraba-raba permukaan kasur, hingga menyentuh benda kecil itu dan mematikannya. Matanya menyipit, menatap angka yang tertera—pukul tujuh. Jantung Anaby serasa berhenti berdetak. Ini bukan kamarnya. Bukan pula rumahnya, dan ia tidak sedang mengenakan pakaian lengkap.Kesadaran itu datang bersamaan dengan adegan yang tiba-tiba menyeruak dari balik ingatan. Genggaman hangat, sentuhan yang membakar, dan dirinya yang terkulai dalam pelukan sang suami—Michael. Rangkaian kemesraan yang terasa bagaikan mimpi, langsung membuat pipi Anaby bersemu.Tubuhnya terasa berat, tak hanya karena kantuk yang belum tuntas, tetapi juga karena sensasi ngilu yang menjalari setiap inci persendiannya. Anaby mencoba bergerak. Namun, ia segera mengerang pelan ketika bagian tertentu dari tubuhnya menolak digerakkan.“Ah…,” keluhnya, lirih dan parau.Michael menggeliat di sisi tempat tidur, wa
Mendengar ucapan Michael, Anaby hanya mampu mengangguk kecil. Sementara rasa sakit yang merayap di tubuhnya, menuntut air matanya jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Matanya yang basah menatap suaminya dengan sendu. Tidak ada amarah di sana, tetapi hatinya terluka oleh dugaan yang tak berdasar.Ia tidak pernah menyerahkan dirinya pada lelaki mana pun. Bahkan, saat masih menjalin hubungan dengan Aslan, Anaby adalah perempuan yang selalu menjaga martabat. Maka ketika mendengar tuduhan yang terlontar dari bibir Michael, perih itu menancap lebih dalam daripada rasa nyeri pada inti tubuhnya.Di antara helaian rambut yang basah oleh peluh, Anaby menggigit bibirnya, mencoba tidak mengeluarkan rintih meski tubuhnya terasa dibelah dua.Michael pun tersentak melihat gurat pedih di wajah istrinya. Pandangan matanya berubah—dari penuh hasrat menjadi lembut dan diliputi rasa bersalah.Untuk sesaat, ia hanya bisa menatap Anaby, seakan mencoba membaca isi hati wanita itu.“Aku… aku pikir kau sudah per
Sejak tadi, Michael berusaha untuk mengendalikan diri walaupun Anaby terus memancingnya. Ia mencoba sekuat tenaga menjaga keteguhan. Namun, kini di hadapannya, Anaby berdiri seperti lukisan hidup yang menggoda nalurinya. Gaun yang tadi membalut tubuh mungil istrinya itu, kini telah melorot perlahan, jatuh membentuk lingkaran lembut di lantai. Yang tersisa hanyalah pakaian dalam berenda putih, tipis dan nyaris transparan, yang justru semakin menonjolkan keindahan kulit putihnya yang tak bercela.Pandangan Michael memburam. Darahnya berdesir liar, mengalir deras seperti arus yang tak bisa dibendung. Namun di tengah gelora hasrat itu, ia masih mampu berpikir jernih—atau setidaknya, berusaha. Ini bukan cara yang ia impikan untuk menyentuh wanita yang baru resmi menjadi istrinya. Tidak seperti ini. Bukan karena pengaruh zat asing yang mengaburkan kesadaran Anaby. Michael ingin menyentuh Anaby di saat sang istri benar-benar menginginkannya. Tatkala ia tahu bahwa Anaby menyerahkan diri b
Dengan tangan yang masih lemah, Anaby mengangkat topeng hitam dari wajah pria di sebelahnya. Ujung jarinya menyentuh kening sang pria, lalu menarik kain halus itu ke atas. Dan ketika paras tampan itu tersingkap sepenuhnya, sepasang mata yang penuh kecemasan menatap balik ke arahnya. Mata yang indah, milik pria yang baru beberapa waktu lalu ia panggil suami.Senyum melengkung di bibir Anaby, lembut seperti bisikan angin sore. Tangannya yang gemetar terulur, menyentuh pipi hangat di hadapannya. Membelai dengan penuh rasa, seperti tengah menyentuh harta yang telah lama hilang. "Benar, kan… kau suamiku," bisiknya penuh keyakinan, seakan kalimat itu adalah doa yang ia ucapkan setiap malam sebelum tidur.Michael menelusuri ekspresi Anaby yang sedikit kabur oleh pengaruh obat. Ia takjub—bukan hanya karena Anaby mengenalinya begitu cepat, tetapi karena betapa lembut dan jujurnya sentuhan itu."Bagaimana bisa kau tahu? Kita belum lama menikah, Ana…." Nada bicaranya tenang, tetapi dibaliknya
Dengan langkah terhuyung, Anaby mencoba bertahan di antara bayangan yang terus bergerak mengikuti irama waltz. Pijakan kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya yang terus melemah. Alhasil, Anaby masih bertaut pada pelukan pria bertopeng itu—yang belum melepaskannya sedari tadi.Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, dan udara hangat ballroom terasa semakin berat untuk dihirup.“A–anda siapa...?” gumam Anaby lirih, nyaris tak terdengar. Suaranya pecah dan berat, seakan dihasilkan dari tenggorokan yang terlalu lama menahan beban. Tatapan mata Anaby kosong, hanya menyisakan setengah kesadaran yang tersisa. Namun, cukup untuk menyampaikan kebingungan yang menguasainya.Pria bertopeng itu tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada wajah pucat Anaby. Alisnya menaut tajam, seolah menakar sesuatu yang tidak terucap.“Apa yang kau minum tadi?” tanyanya penuh penekanan.“Sari buah… hanya itu…” jawab Anaby terputus-putus. Suaranya semakin serak, lalu kepala mungilnya terkulai ke bahu
Anaby meletakkan garpu perlahan, kemudian menatap gelas di hadapannya dengan penuh tanda tanga. Hanya seperempat sari buah itu yang sempat diteguknya, dan sisanya masih tersisa dalam semburat merah muda.Ada rasa getir yang tertinggal di lidah, halus tetapi menusuk. Ia tak yakin apa yang membuat sari buah itu terasa berbeda, tetapi sesuatu di tenggorokannya terasa tak nyaman—kering dan sedikit menggelitik seperti habis tertelan debu halus.Merasa haus, Anaby berjalan menuju sudut buffet yang memajang aneka pilihan minuman. Gelas-gelas bening berisi air mineral berkilauan di bawah lampu gantung, berdampingan dengan pitcher berisi infused water, teh lemon, serta jus semangka segar yang menggoda.Anaby mengambil satu gelas jus semangka dan meneguknya dalam sekali hentakan. Dingin menyentuh kerongkongannya, menyapu kering yang mendera sejak tadi. Namun, belum sempat Anaby menghela napas, sebuah tangan halus menyentuh lengan kirinya. "Ada apa, Ana?" tanya Sandra dengan nada khawatir. Gadi