Mampukah Anaby terlepas dari cengkeraman Aslan? Yuk, ikuti terus kisah Anaby menjelang chapter-chapter terakhir. Jangan lupa berikan gems, komen, dan like ya. Sambil menunggu update, silakan mampir ke novel baru author "Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh". Update setiap hari.
Anaby memejamkan mata, mencoba menenangkan kegelisahan yang menggerogoti ketegarannya. Dalam gelap samar, ia menanti detik-detik di mana orang itu akan muncul. Jantung Anaby bertalu kencang. Napasnya tertahan di tenggorokan begitu pintu berderit terbuka, diiringi langkah kaki berat yang mendekat.Sekujur tubuh Anaby menegang, kala desir lembut jemari seseorang merambat pada helaian rambutnya.“Ini terjadi akibat kesombonganmu. Sekarang, kau akan menerima akibatnya,” bisik lelaki itu di dekat telinganya. Raga Anaby bergetar hebat. Hanya satu orang yang memiliki nada suara seperti itu. Aslan. Tubuh Aslan mendekat, memancarkan hawa dingin yang membuat Anaby ingin menjerit. Ia bisa merasakan ranjang berderit saat berat badan lelaki itu naik, menindih kebebasannya.Wajah Aslan kian mendekat, helaan napasnya menyapu pipi Anaby. Namun, sebelum bibir pria itu benar-benar menyentuh kulitnya, Anaby membuka mata. Tatapannya bertaut dengan iris mata Aslan yang kelam.“Kau … menjijikkan,” desis
Dalam perjalanan menuju titik lokasi terakhir yang dikirim Anaby, jari Michael terus menekan tombol panggil. Matanya terpaku pada peta digital yang berkedip di layar ponsel. Ketika panggilannya tersambung, wajah Michael menegang. Lelaki itu menempelkan ponsel ke telinga dengan sorot gelisah.“Paman Carlo,” seru Michael tanpa basa-basi. “Apakah Ana sudah pulang?”Terdengar tarikan napas di ujung sambungan, sebelum Tuan Carlo menjawab dengan suara berat. “Belum, Michael. Tadi dia bilang hendak singgah ke kafe temannya Laura. Mungkin dia masih di sana.”Tubuh Michael terasa kaku, pikirannya berputar penuh kepanikan.“Paman, Ana sempat mengirimi saya pesan satu kata… ‘tolong’. Saya berusaha menghubunginya, tapi ponsel Ana mati. Sekarang, saya sedang berusaha mencarinya.”Tuan Carlo tercekat, suaranya merapuh ketika membalas, “Astaga, apa yang terjadi pada Ana? Kalau begitu, aku akan coba menghubungi sopir yang mengantar Ana.”Michael menegakkan punggungnya, jantungnya berdegup lebih ker
Ketiga lelaki asing itu melangkah mendekat. Kaki mereka menghentak tanah, menciptakan ketegangan yang semakin mencekam di antara deru napas Anaby. Suasana di sekitar yang berangsur gelap, membuat wajah-wajah mereka tampak kian garang.Detak jantung Anaby kini bergemuruh tanpa jeda. Ia memutar kepala, menatap sekeliling dengan putus asa.Anaby mencoba mencari celah sekecil apa pun untuk kabur. Namun, jalan itu telah rapat terkunci. Motor hitam membentang di belakang, mobil kusam memblokir di depan. Sepertinya, mereka telah bersekongkol menjeratnya dalam perangkap licik yang tak pernah ia perkirakan.Dalam kondisi terpojok, yang terpikirkan oleh Anaby adalah menghubungi Michael. Maka, dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat mengetik satu kata terakhir, sebelum kemungkinan terburuk terjadi. [Tolong.] Pesan itu terkirim tepat, ketika ketukan keras mengguncang kaca jendela di sisinya.Seorang pria bertubuh kekar berdiri menatap Anaby dari balik kaca. Jema
Mesin mobil Aslan meraung ringan di jalan aspal, melaju dengan kecepatan tinggi. Tangan kirinya menggenggam erat kemudi, sementara tatapannya penuh konsentrasi, menembus tujuan yang telah ia rancang dengan teliti sejak berhari-hari lalu. Namun, satu getaran dari ponsel di dashboard membuat geraham Aslan mengeras. Nama itu lagi.Sandra.Ia menghela napas dalam, lalu menepikan kendaraan di bawah rindang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Dengan jengkel, Aslan menyambar ponsel dan mendekatkannya ke telinga.“Apa lagi, Sandra? Aku baru keluar dari kantor,” suaranya tajam dan tak sabar.“Aku sudah tiba di depan klinik,” jawab Sandra dari seberang, suaranya terdengar bergetar. “Tapi aku takut, Aslan. Tolong temani aku, hanya sebentar.”Aslan menegakkan tubuh, kepalanya mendongak menahan emosi yang mendesak. “Kau pikir aku pengangguran?” tukasnya. “Aku sedang menjalankan rencana besar. Ini bukan waktunya menuruti rengekanmu, Sandra.”“Tapi… aku benar-benar tidak berani sendiri,” Sandra m
Dengan senyum yang tak surut dari wajahnya, Anaby melangkah ringan menuju pintu mobil yang menunggu di halaman rumah. Pikirannya masih menghangat oleh percakapan semalam bersama Michael. Suaminya itu tanpa malu-malu mengakui kesulitannya memejamkan mata, hanya karena ia tidak berada di sampingnya. Begitu sederhana pengakuan itu, tetapi cukup untuk membuat hati Anaby berdesir. Ketika kendaraan melaju di ruas jalan yang padat, Anaby menatap layar ponselnya. Ia membaca kembali pesan terakhir Michael sebelum tidur.Hanya satu hari tersisa, sebelum akhir pekan yang mereka rencanakan. Saat itu, ia akan kembali berada di apartemen sang suami, menghabiskan waktu berdua.Sambil menyandarkan punggung pada kursi, Anaby mengirim balasan cepat. Mengingatkan suaminya agar jangan melewatkan makan siang di tengah jadwal yang padat. Tak lupa, Anaby menambahkan kalimat singkat, bahwa ia akan menemani Laura ke kafe Everest sepulang kerja nanti.Setiba di kantor, Anaby segera masuk ke ruangannya, melep
Anaby melangkah melewati pintu utama rumah, menahan kantuk setelah hari yang panjang di kantor.Selesai mandi dan memakai gaun rumah berwarna pastel, Anaby keluar dari kamar. Matanya terbelalak melihat Laura dan Nyonya Kemala telah duduk di meja makan, seakan sengaja menantinya.Tak hanya itu, sang ayah juga tampak gembira melihat kedatangannya. Bahkan, piring-piring tersusun rapi dengan berbagai hidangan yang sebagian besar merupakan santapan kegemaran Anaby.“Selamat datang, Ana. Kami menunggumu,” tutur Nyonya Kemala, senyumnya tampak manis meski di mata Anaby tetap menyimpan rencana yang belum terungkap.Laura menyusul, suaranya terdengar lembut. “Aku merasa lebih baik sekarang. Terutama, setelah kau sempat menemuiku pagi tadi. Hatiku entah mengapa terasa lebih ringan.”Anaby menegakkan bahu, menyembunyikan keraguan yang menyesak dalam relung pikirannya. “Baguslah jika kau sudah membaik.”Laura menatap Anaby sejenak, kemudian berkata dengan nada hampir memohon. “Ana, bisakah kau