Share

Mei 5

Dua setengah tahun yang lalu..

Mei dan Albert tidak bisa menyembunyikan percikan di hati mereka. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu bersama, Albert pun memantapkan hatinya. Dengan penuh keyakinan, Albert akhirnya meminta Mei untuk menjadi istrinya. Tentu saja Mei menerima pria bule itu dengan penuh suka cita.

Lima minggu setelah pelayaran itu, sebuah resepsi mewah diadakan di sebuah hotel di Surabaya. Mei tampak cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih dari bahan heavy silk yang jatuh tepat di kaki Mei. Dengan model one shoulder dan pita di bahunya juga menyempit di pinggang dan lebar di bawah membuat Mei terlihat seperti putri, sangat cantik.

Albert tidak kalah memukau dengan jas hitam, kemeja putih, dan dasi pita yang membuatnya tampak seperti James Bond di dunia nyata. Otot-otot kerasnya terbungkus indah. Tidak membuatnya seperti raksasa, tapi terlihat liat dan fit. Mei berkali-kali melirik kapten tampan yang kini telah resmi menjadi suaminya di atas pelaminan.

Ribuan tamu datang untuk memberi ucapan selamat termasuk teman baik Albert, Mary, dan mamanya, Sarah Florent.

“Selamat, Albert. Akhirnya kau melepas masa lajangmu. Dan aku tidak menyangka kalau istrimu ternyata penumpangmu dulu,” ucap Mary sambil menyalami Albert dan Mei bergantian.

“Mary, kau benar-benar datang! Terima kasih.” Albert tampak bahagia menyambut kedatangan temannya.

“Tentu saja aku datang. Aku tidak akan melewatkan hari ini untuk apa pun,” jawab Mary. Senyumnya terkembang sempurna.

“Kau seharusnya cepat menyusulku, Mary. Kenapa kau tidak memilih salah satu model butikmu yang tampan itu?” goda Albert.

Mary mengibaskan tangannya di udara. “Yang aku cari bukan pria seperti mereka, Albert,” tukas Mary.

“Selamat Albert. Kau akhirnya menikah lebih dulu dari Mary,” ucap Sarah sambil menyalami kedua mempelai.

“Iya, terima kasih, Tante. Kita benar-benar tidak tahu siapa jodoh kita.” Albert berkata sambil menatap istrinya penuh binar cinta.

“Kalian benar-benar bertemu di kapal?” tanya Sarah tidak percaya.

“Iya,” jawab Mei malu-malu.

“Itu benar, Tante Sarah. Sesuatu terjadi dan kami menjadi dekat,” sambung Albert.

“Tapi bukankah itu berarti kalian baru saja bertemu?” tanya Sarah lagi.

“Iya, Tante. Dan dari awal kedekatan kami, kami memutuskan untuk tidak berpacaran. Jadi di sinilah kami sebulan kemudian.” Albert berkata dengan wajah bahagia.

--

Kini kedua pengantin sudah berada di kamar hotel yang disewa khusus memanjakan pengantin baru. Mei sudah membersihkan riasannya. Dia hendak membersihkan diri saat suaminya bertanya, “Kamu capek?”

Mei menggeleng kaku. Dia masih canggung berada di kamar dengan Albert. Ya, meski Mei tahu kalau Albert sudah pernah Meihat tubuhnya, tapi saat itu Mei dalam pengaruh obat. Dan sekarang dia sadar. Sadar sesadarnya kalau dia sudah menikah dan kini berada di kamar pengantin.

Mei menelan ludahnya. Albert membuka jasnya dan berjalan mendekatinya. Ya Tuhan, gerakan Albert seperti gerakan lambat yang sialnya sangat seksi. Mei ingin sekali merekam Albert saat ini dan akan memutarnya kapan pun dia mau. Tapi saat posisi Albert tinggal tiga langkah lagi, Mei seperti tersadar.

“Aku akan ke kamar mandi sebentar.” Mei segera berlari menuju kamar mandi. Karena gugupnya, dia malah membanting pintunya.

Albert terkekeh Meihat tingkah Mei. Dia tahu istrinya sedang gugup hingga berlari menghindar. Dia melanjutkan melepas kemejanya yang sedikit lengket. Sebenarnya Albert ingin bermesraan malam ini. Tapi jika Mei belum siap, well, dia bisa menunggu. Asalkan tidak sampai satu minggu karena perusahaan hanya memberinya cuti satu minggu sebelum kembali berlayar selama dua minggu.

Di kamar mandi, Mei merutuki kebodohannya. Karena terlalu gugup dan hendak menghindari Albert, dia malah melupakan baju ganti yang tadi ditaruh di meja. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Mei keluar dengan menggunakan jubah mandi tanpa menggunakan apa pun di baliknya.

Sebenarnya dia takut. Tapi dia teringat perkataan adiknya kalau dia tidak boleh malu-malu karena suasana kerja Albert yang membuatnya bertemu dengan wanita model apa saja. Jadi Mei harus benar-benar bisa mengikat Albert agar matanya tidak berkeliaran di luar sana. Huft, baiklah. Waktunya beraksi!!

Albert mendongak saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Fokusnya di ponsel teralihkan sepenuhnya pada sosok istrinya. Jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Nafasnya memberat. Gairahnya bangkit hanya dengan melihat Mei menggunakan jubah mandi. Dia segera berdiri, kaki dan laki-lakinya bangkit.

“Sayang,” suara Albert tercekat. Pikirannya kosong. Salahkan saja pikirannya yang tiba-tiba teringat pada awal pertemuan mereka yang panas.

Mei menahan nafas saat Albert sudah berdiri tepat di depannya. Satu tangannya menyentuh lembut pipi Mei. Satu tangan yang lain menyentuh pinggang Mei dan menariknya mendekat. Mei memejamkan matanya menikmati sentuhan suaminya. Albert mendekatkan wajahnya. Puncak hidung bangirnya menyapu lembut pipi Mei. Nafasnya menari-nari di permukaan kulit Mei, membuat bulu-bulu halusnya meremang.

Albert merasakannya. Dia tahu Mei siap memberikan tubuhnya. Tapi Albert perlu kepastian. “Katakan jika kau ingin aku berhenti.”

Mei masih terdiam. Nafasnya sendiri semakin memburu. Albert semakin agresif. Dia mulai mengecup ringan pipi dan rahang Mei berakhir di sisi leher putih dan wangi itu. Tangan Mei mulai naik dan mencengkeram dada Albert yang polos.

“Tolong katakan sekarang jika kau ingin aku berhenti. Karena jika aku sudah memulai, aku tidak yakin bisa berhenti. Kau sudah sangat menguasai hati dan pikiranku. Aku benar-benar tidak akan bisa berhenti.”

Albert sedikit menjauhkan wajahnya untuk Meihat wajah istrinya. Matanya mencari keraguan di mata Mei tapi dia tidak melihatnya. “Kau yakin?” tanyanya lagi.

Tanpa disangka, Mei justru mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Albert. Albert langsung membalas ciuman itu dengan tidak kalah ganas. Dia sudah menahan dirinya selama lima minggu. Dia tidak akan berhenti. Dia akan merasakan bagaimana lembutnya kulit dan tubuh Mei. Kedua tangannya pun tidak berdiam diri. Mereka bekerja sama menjelajahi setiap inci tubuh istrinya. Depan, belakang, atas, dan bawah mendapat sentuhan dan remasan yang melenakan.

Albert mengangkat tubuh Mei yang sudah sepolos bayi baru lahir ke atas kasur. Dengan cekatan, Albert pun membuka diri dan menyiapkan dirinya untuk penyatuan halal mereka. Malam ini, sepasang pengantin itu sudah saling memberi dan menerima nafkah batin pertama mereka.

--

Tidak terasa, pernikahan Mei dan Albert sudah berjalan selama lima bulan. Albert menidurkan Mei di ranjang setelah pertempuran panas mereka. Nafas keduanya masih memburu. Mei masih bisa merasakan sisa kenikmatan yang diberikan oleh Albert. Dia tidak menyangka hukuman yang diberikan oleh suaminya kali ini benar-benar menguras gairah dan energinya. Rasanya semua tulangnya hampir copot. Albert meraih selimut dan menutupi tubuh keduanya yang masih polos.

“Tanganmu sakit?” tanya Albert.

Mei tersenyum dan menggeleng. Tangannya menyentuh rahang Albert yang seksi dengan bulu-bulu halus di sekitarnya. “Aku menyukai gayamu. Tapi lain kali jangan mendorongku terlalu keras jika melakukannya dengan berdiri.”

Tadi Albert sengaja ingin melakukannya dengan berdiri. Dia ingin mencoba hal baru dengan istrinya. “Kenapa? Kau kesakitan?” Albert berubah panik mendengar penuturan Mei.

Mei langsung menggeleng. “Tidak. Hanya saja perutku sepertinya keram,” ucapnya sambil tersenyum tipis.

Albert refleks mengelus perut Mei. “Maafkan aku, Sayang. Aku tidak akan lagi melakukannya dengan berdiri.”

No, Baby. It was great. Hanya saja kurangi tempomu. Oke?”

Albert tersenyum. “Baik. Aku mengerti.” Dia mencium mesra kening Mei.

“Kita sarapan sekarang?” tanya Albert.

Mei mengangguk pasrah. Dia juga sudah lapar. Albert turun dari kasur dan mengambil piama baru di lemari untuk istrinya karena yang tadi sudah sangat kusut. Sedangkan untuknya, Albert hanya memakai sweatpants panjang yang turun sampai pinggang bawah.

Mei memakai piamanya sambil menggeleng menikmati keindahan suaminya. Saat menurunkan kakinya dan berdiri, dia merasa perutnya kembali menegang. Mei pun mendesis. Tangannya refleks menahan sakit di perutnya.

“Sayang, kau tidak apa-apa?” tanya Albert.

Dia khawatir. Mei tidak pernah mengalami keram perut sebelumnya meski mereka bercinta dengan berbagai gaya.

Mei hanya meringis. Albert pun mendekat dan menuntun istrinya menuju kursi.

“Sebaiknya kita makan dulu. Lalu aku akan membawamu ke dokter,” ucap Albert.

Mei hanya diam dan menurut. Sarapan toast yang biasanya menggugah selera Mei kini tampak biasa di hadapannya. Kaya toast adalah sarapan yang biasa ditemui di Singapura. Sejenis roti selai ala Singapura dengan selai dari telur, kelapa, dan pandan.

Selesai sarapan, Mei menyesap teh madunya. Ya, dia memang penyuka teh, segala macam teh dia suka. Sedangkan Albert akan tetap memilih kopi, tipikal pria.

“Ayo! Aku akan membantumu mandi dan kita akan ke dokter.” Albert sudah bersiap menggendong Mei ke kamar mandi tapi Mei menggeleng dan menahan tangan Albert.

“Kenapa, Sayang?” tanya Albert keheranan.

“Tidak usah ke dokter. Sebaiknya aku istirahat di rumah saja.”

“Kau yakin?” Albert mencoba meyakinkan istrinya. Dan Mei mengangguk dengan yakin. Albert pun mengalah. Ya, semoga saja setelah badan istrinya bersih segar dan beristirahat, perutnya akan membaik.

Tapi tampaknya itu tidak terjadi. Hingga sore, Mei masih merasakan nyeri di perutnya. Albert segera membawa istrinya ke rumah sakit, tepatnya ke IGD.

“Tolong! Istri saya mengeluh sakit perut dari pagi.” Albert berkata ada salah satu perawat di IGD.

Perawat itu segera mengambil kursi roda untuk Mei dan mendorongnya masuk.

“Sebaiknya Tuan mengurus administrasi selagi kami memeriksa istri Anda,” kata perawat itu.

Albert setuju. Dia segera melangkah ke bagian resepsionis dan mengurus administrasi Mei. Setelah semua selesai, dia segera menyusul istrinya di dalam. Seorang dokter tampak sedang memeriksa nadi Mei. Lalu tangannya memegang perut Mei. Sedikit menekannya di sana-sini. Albert hanya bisa menatapnya dengan raut cemas apalagi beberapa kali Mei meringis dan mendesis saat dokter itu sedikit menekan perutnya. Setelah cukup yakin dengan diagnosanya, dia menyudahi pemeriksaannya.

“Bagaimana, Dok?” tanya Albert tidak sabar.

Dokter yang tampak sudah berpengalaman itu menoleh. “Anda walinya?”

Albert mengangguk cepat. “Saya suaminya.”

“Sepertinya Anda harus mendaftar untuk pemeriksaan di poli kandungan. Jika perhitungan saya benar, istri Anda sudah mengandung sekitar sepuluh minggu.”

“Sep-sepuluh minggu, Dok?” Mei dan Albert sangat terkejut mendengar penuturan dokter tersebut.

“Benar, Tuan,” jawab sang dokter. Kemudian dia menoleh pada Mei. “Apa Anda tidak menyadarinya?”

Mei menggeleng. “Mens saya memang kurang teratur. Dan saya juga tidak mengalami mual.”

“Well, saya sarankan untuk segera mengeceknya di bagian obgyn.”

“Baik, Dok. Terima kasih.” Albert menyalami sang dokter.

Setelah dokter tersebut berlalu, Albert segera mendekati Mei. “Kau mengandung, Sayang.”

Albert menggenggam erat tangan Mei dan menciumi wajahnya. Mei terkekeh dengan tingkah Albert.

“Kau bahagia?” tanya Mei dengan wajah berbinar.

“Sangat, Sayang. Sangat bahagia,” ucap Albert sambil mencium lembut kening Mei.

pipitxomi

Jangan lupa add Fb Pipit Xomi atau instagram pipitxomi untuk info cerita lebih lanjut. Terima kasih..

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status