Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.
Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.
“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.
Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya.
Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.
“Maaf, mama harus meninggalkanmu sekali lagi, Sayang. Mama harus mengejar orang jahat yang telah mencelakai papamu. Mama harap kamu bisa mengerti.”
Suara ketukan di pintu mengejutkan Mei. Dia segera berdiri untuk membuka pintu.
“Semua barangmu sudah siap, Mei?” Ternyata Retno yang berdiri di depan kamarnya.
“Sudah, Mom. Aku sudah mengepak semuanya.” Mei membuka pintunya lebar-lebar agar Retno bisa masuk.
Benar saja! Retno melihat sebuah koper sudah disiapkan di samping meja rias.
“Mommy harap perjalananmu lancar. Sering-seringlah datang kemari agar rumah ini terasa lebih hidup.” Retno memilih duduk di tepi ranjang.
“Tentu, Mom. Aku akan berusaha. Maaf aku harus merepotkanmu lagi karena mungkin beberapa hari ke depan akan sedikit sibuk, Mom,” ucap Mei sembari duduk di kursi rias.
“Apa kau akan membuka cabang restoran baru?” tanya Retno penasaran.
“Bukan, Mom, bukan itu. Ada hal lain yang aku belum bisa memberitahukan padamu.” Mei menunduk. Dia tidak sanggup mengangkat kepalanya.
Retno tampak khawatir mendengar kalimat Mei. Menantunya itu seakan menyembunyikan sesuatu.
“Mommy jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. aku bisa menjaga diriku sekarang.” Mei berusaha menenangkan ibu mertuanya.
Retno menghela nafasnya dalam-dalam. Dia tidak akan memaksa Mei untuk bercerita. “Jangan terlalu capek. Kau tahu mommy dan daddy tidak punya siapa pun lagi selain kalian. Semua yang kami miliki akan menjadi milik kalian suatu hari nanti.” Retno menatap Mei sendu. Dia merasa iba pada menantunya itu. Begitu muda tapi sudah menjadi janda karena suaminya meninggal hingga dia mengalami depresi dan baby blue.
“Mommy, I’m fine and well. Lili dan Erik sudah mengatakan kalau aku sembuh. Bukankah mommy juga merasa begitu?” Mei menggenggam erat jemari Retno.
Retno tersenyum tipis. “Berarti sekarang saatnya bagimu untuk mencari pasangan lain yang cocok untukmu.”
Raut Mei seketika berubah. Dia tidak nyaman dengan percakapan ini.
“Dengarkan mommy sebentar, Sayang. Mommy sungguh bersyukur Albert bertemu denganmu, mommy dan daddy menyayangimu tanpa cela. Tapi kau juga harus menata masa depanmu. Mommy hanya inign kamu tahu kalau apa pun keputusanmu, mommy akan selalu mendukung.”
“Thanks, Mom. Tapi untuk saat ini, aku belum memikirkan itu. Ada banyak hal yang menjadi fokusku. Dan itu bukan prioritasku saat ini,” jawab Mei mantap.
Lili baru saja hendak memasuki kamar Mei saat dia mendengar kalimat itu. Dia cukup terkejut mendengar kalimat kakaknya. “Sepertinya Erik akan butuh perjuangan keras untuk mendapatkan kakak,” ringisnya.
--
Tepat pukul delapan, Erik sudah berdiri di depan rumah Dominic untuk menjemput Lili dan Mei.
“Hatii-hati di jalan, oke?” pesan Dominic saat Mei berpamitan.
“Tentu, Dad,” jawab Mei.
“Kabari kami kalau sudah sampai di sana,” tambah Retno.
Mei mengangguk. Dia mendekati Alan dan menghujani wajah bayi imut itu dengan ciuman di seluruh wajahnya. “Mama akan kembali setelah semua selesai, Sayang. Doakan mama, oke?”
Kini Lili yang berpamitan pada Retno, Dominic, dan Alan. “Terus kabari kami jika terjadi sesuatu,” pinta Retno.
“Tentu, Aunty. Aku akan terus memberi kabar.”
Retno mengangguk puas.
Setelah berpamitan, mereka bertiga pun berangkat ke bandara. Dominic sengaja meminjamkan mobilnya dan menyuruh seorang sopir untuk mengantar ke bandara.
Di mobil, Mei duduk di belakang dengan Erik sedangkan Lili di depan. Gadis kuliahan itu sangat mengerti kalau Erik ingin waktu berdua dengan kakaknya.
Mei terus saja memandangi jendela. Otaknya sedang bekerja memikirkan langkah-langkah yang akan dia lakukan setelah di Surabaya untuk mengejar pembunuh tidak berperasaan itu.
Jika musuhnya berani mencelakai orang bahkan sampai membunuh, berarti dia memang orang sakit dan tidak punya hati. Bahkan orang itu mampu membuat pembunuhan itu tampak seperti kecelakaan tunggal hingga tidak membutuhkan tersangka sama sekali. Begitu bersih dan rapi. Mei jadi bertanya-tanya siapa gerangan orang yang membencinya dan Albert begitu dalam?
“Hei!” Erik menepuk pundak Mei. “Apa yang kau pikirkan?”
Mei menoleh, menatap wajah Erik sedetik sebelum kemudian kembali menatap jalanan. “Aku hanya tidak habis pikir dengan orang yang begitu membenci Albert hingga tega menghabisi suamiku.”
“Apa kau yakin target kecelakan itu adalah Albert?” Erik ebrtanya balik.
Sontak saja Mei menoleh. Matanya menyipit menuntut penjelasan. “Apa maksudmu?”
“Mungkin saja targetnya adalah kamu atau memang kalian berdua. Siapa tahu.” Erik mengedikkan bahunya.
“Teori dari mana itu? Jika dia memang juga menargetkan aku, kenapa aku dibiarkan hidup sampai sekarang?”
“Entahlah, mungkin karena dia tahu sekarang kau jago tinju,” jawab Erik asal.
“Ck! Jangan mengada-ada, Erik. Jawabanmu tidak masuk akal.”
“Aku hanya mengungkapkan kemungkinan, Mei. Tapi apa pun itu, aku tidak akan membiarkan kamu terluka, Mei. Aku akan ikut dalam rencanamu agar bisa selalu menjagamu.”.
Mei memukul pelan pundak Erik. “Jangan bicara yang aneh-aneh, orang lain akan mengira kau menyukaiku.” Mei menggeleng tidak percaya.
Erik melongo menatap Mei yang kini kembali fokus dengan jalanan. Dia meneguk ludahnya lalu menghela nafasnya. Hatinya baru saja patah mendengar kalimat Mei. Tanpa diduga, dia melihat Lili mencoba menahan tawanya.
Sudah empat hari berlalu, dan Erik sudah sembuh dari lukanya.“Apa kau yakin sudah baik-baik saja?” tanya Mei. Tangannya masih sibuk dengan bawang di dapur. Dia sedang memasak pasta untuk makan malam kali ini.“Aku sudah baik-baik saja, Mei. Apa kamu tidak percaya?” keluh Erik.“Iya, aku percaya,” jawab Mei terkekeh.“Tidak, kamu masih belum mempercayainya. Mungkin jika aku menggendongmu, baru kamu percaya.”Wajah Mei sontak memerah. “Jangan bercanda! Aku sedang memegang pisau. Awas saja kalau kau berani!”Erik terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi wanita yang disukainya itu. “Aku tidak akan berani,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya.“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Erik.“Menemui Gunawan, mencari bukti keterlibatannya dengan Mary, lalu mengadili mereka berdua,” jawab Mei dnegan berapi-api.“Lalu Toni?”“Pria itu tidak tahu apa pun. Aku justru merasa kasihan padanya. Dia sudah dibohongi oleh dua orang yang dekat dengannya. Apa kau tahu bagaimana menyakitkan
Toni berjalan dengan tenang menuju meja panjang yang penuh dengan alat-alat penyiksaan. Ada gunting dan pisau dengan berbagai ukuran. Ada juga gergaji, tang, dan sebagainya. Di sebelahnya ada alat penghantar listrik. Dan yang tidak kalah seru, ada cincin tinju. Cincin itu yang paling Toni suka karena dia bisa melampiaskan amarahnya dengan hingga puas.“Kau boleh memilih, Bob. Apa kira-kira yang cocok untukmu?” Mata Toni menyisir seluruh benda yang ada di sana. Tangannya bergerak perlahan, memilih yang cocok untuk pembukaan.“Ha! Ambil saja sesukamu! Aku tidak takut. Justru sebenarnya kaulah yang harus takut. Apa kau tahu kalau polisi mulai menyelidikimu? Hahaha!!” Tawa Bobi membahana.DUGH!!Toni memukul ulu hati Bobi dengan sekuat tenaga, tanpa ampun. Dia begitu marah mendengar kalimat Bobi.“Argghh!!” Bobi menjerit dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Dagu dan kaosnya semakin penuh dengan darah. Aroma amis semakin pekat memenuhi ruangan.Bobi mengernyit, menahan sakit. Perutnya
“Kenapa kau ada di dapur?” Mei mengerutkan keningnya melihat Erik yang sudah duduk manis di bar stool dengan dua cangkir cokelat di depannya.Erik menjawab pertanyaan Mei dengan senyum yang sangat menawan. “Aku sudah tidak apa-apa. Lukaku sudah sembuh.”“Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti jahitanmu kembali terbuka.”“Jangan khawatir tentang itu!”Mei menggeser kursi di samping Erik dan mendudukinya. Erik pun mengulurkan satu cangkir cokelat. Mei membuka bungkus roti dan memberikannya pada Erik.“Aku sudah berbicara dengan Lily semalam dan pagi ini dia mengirimiku email. Sebentar!” Mei merogoh ponselya di saku, membuka aplikasi, dan menunjukkannya pada Erik.“Jadi pria itu kenalan anak buah Toni??”Mei mengangguk. “Setelah menusukmu, dia berlari keluar dan bertemu dengan orang kepercayaan Toni, Gunawan. Setelah semua ini, dia masih mengelak kalau dia tidak berhubungan dengan kasus itu?? Kurang ajar!!” Mata Mei memerah. Rahangnya mengetat. Tiba-tiba, kebenciannya pada Toni memuncak.
“Selidiki rekaman CCTV!” perintah Toni begitu dia mendengar Erik dan Mei diserang sesaat setelah keluar dari ruang private.Entah kenapa Toni merasa penyerangan itu berhubungan erat dengan penyelidikan yang sedang mereka lakukan. Namun, siapa orang yang begitu terang-terangan ingin menghabisi mereka? Bolet sudah di penjara. Tidak mungkin Mary sendiri begitu berani melukai Erik dan Mei di keramaian. Apalagi wanita itu dari tadi terus saja menghubunginya. Lalu siapa? Apakah ada orang lain yang berhubungan dengan kasus ini? Tapi siapa?Pertanyaan-pertanyan itu terus saja bergema di kepala Toni. Siapa selain Mary yang menginginkan Mei dan Erik celaka??Toni mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Gunawan. Namun, setelah dua kali panggilan, Gunawan tidak juga mengangkatnya. Toni berdecak. Ini sudah kedua kalinya Gunawan tidak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya orang kepercayaannya berlaku seperti ini karena Gunawan tidak mungkin mengambil job dari orang lain.“Ini, Tuan.” Anak bu
Toni tersenyum miring melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dua kali Mary menelepon, tapi Toni terus mengabaikannya. Ini adalah pertama kali bagi pria itu tidak mengindahkan Mary. Dulu, Mary adalah prioritas hidupnya, tapi kini wanita itu prioritas amarahnya.Pria itu sudah mendarat di Jakarta tadi sore dan kini sedang duduk di sebuah private room di restoran. Tadi siang dia mengirim undangan makan malam kepada seorang pria dan wanita. Dan kini, dia sedang menunggu kedatangan mereka.Toni kembali menatap layar ponselnya yang berkedip tanpa berkeiginan untuk menjawabnya. Darahnya selalu mendidih mengingat pengkhianatan yang dilakukan Mary. Apa yang dilakukan wanita itu seakan membuatnya menjadi kambing hitam atas meninggalnya seorang pria bernama Albert. Toni berjanji dalam hati tidak akan membuat hidup Mary tenang.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Toni. Seyumnya terbit dengan indah. Seorang laki dan perempuan memasuki ruang private restoran itu dengan pandangan datar
Hanya satu nama yang terlintas dalam benak Toni, tapi dia terus berusaha menghilangkannya. Semakin kuat dia mengingatnya, semakin kuat dia menyangkalnya.Bodoh!! Toni merasa sangat bodoh!! Kenapa dia tidak mengecek rekeningnya? Dia bisa tahu dari kartunya yang mana yang mengeluarkan uang untuk membayar Bolet."Cepat!!!" teriak Toni pada Wawan.Tanpa kata, Wawan menekan pedal gas lebih dalam. Dia tidak tahu apa yang membuat bos besarnya ini begitu ingin sampai bank dengan cepat. Wawan terus saja menekan gas dan klakson agar bisa cepat sampai. Sesekali dia melirik spion. Bos besarnya itu terus saja memandang jalanan dengan kening berkerut. Lima belas menit kemudian, Wawan sudah menghentikan mobilnya di depan pintu lobi bank yang dituju Toni.Dengan segera, Toni membuka pintu dan segera turun. Begitu Toni turun, Wawan pun memarkirkan mobilnya dan menunggu bosnya di sana.Toni merapikan bajunya sebelum berjalan masuk. Seorang sekuriti membukakan pintu untuk Toni dan menanyakan keperluan