Flashback...Mei menikmati semilir angin pantai di Lombok. Dia membiarkan kakinya basah oleh air laut. Sudah sejak lama dia tidak merasakan sensasi air asin itu. Satu tangannya memegang topi jerami lebar yang melindungi wajahnya dan satu lagi mengusap perutnya yang sudah membuncit. Suasana pantai ini sangat sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Itu pun jarak mereka berjauhan karena memang pantai ini adalah pantai pribadi. Vila yang sedang ditempat Mei dan keluarganya ini disewakan beserta pantainya. Budi sengaja mengajak Mei liburan ke sini untuk menyenangkan hatinya. Sebagai seorang ayah, dia sedikit mengkhawatirkan keadaan Mei yang lebih sering murung daripada tersenyum. Putrinya itu bahkan selalu menangis setiap malam, memukuli dadanya, dan menyalahkan dirinya atas kematian Albert. Budi berharap suasana vila dan pantai yang cukup private bisa mengobati suasana hatinya. Sudah berbulan-bulan sejak Mei kembali ke rumah ayahnya, dia belum pernah sekali pun memberi kabar pada mertuanya.
“Shh!! Tenang, Sayang. Jangan menangis terus! Nanti Pak Dokter datang. Kamu pasti nggak mau diusir, ‘kan? Makanya diam dulu.” Mei berusaha menenangkan Alan. Ditepuk-tepuk pelan pahanya agar dia berhenti menangis. Namun, tangisan Alan tidak juga berhenti.“Alan, anak pintar, sudah nangisnya. Jangan nangis lagi ya?”Bayi merah itu seakan tidak mendengar perkataan mamanya. Dia masih saja menangis.Mei menjadi bingung dan panik. Dia tidak tahu apa yang salah. Alan tidak mau menyusu juga tidak kunjung memejamkan matanya. Tiba-tiba saja terbersit ide saat melihat bantal. Dia pun segera mengambil bantal dan diarahkan ke wajah Alan.“Lan, mama tutup sebentar saja ya. Biar kamu nggak nangis lagi. Mama takut kamu dianggap mengganggu oleh dokter. Kalau kamu ditegur dan dimarahi, mama tidak akan tega,” ucap Mei dengan wajah letih dan melas.Bantal sudah di atas wajah Alan. Mei menekannya sedikit agar suara tangis Alan tidak terdengar keluar. Bayi itu mulai terengah-engah. Tendangan kaki dan tanga
Perkelahian tidak dapat lagi dielakkan. Erik menggasak preman yang ada di dekatnya. Dia menangkis dan memberi jab. Mei juga tidak tinggal diam. Tangannya lincah memukul dan menangkis. Kakinya lincah menghindar dan sekali-kali membanting musuhnya. Tidak sia-sia dia belajar tinju. Kini akhirnya dia bisa mempraktekkan apa yang sudah dia pelajari dari Erik selama sembilan bulan ini.Karena yang dia hadapi adalah kumpulan preman yang mencelakakan Albert, maka Mei tidak mengendor sama sekali. Wanita itu merasa ini adalah saatnya dia menumpahkan segala rasa frustrasi dan amarah yang menumpuk di dadanya sekaligus membabat penjahat. Bukanah itu rasanya luar biasa?Suara tendangan dan pukulan meramaikan depot makan di dekat pos satpam pelabuhan. Tidak ketinggalan riuh gelas dan piring pecah juga meja dan bangku yang terbalik. Mei dan Erik bahu membahu mengalahkan musuh yang berjumlah enam orang itu. Teriakan kesakitan jelas terdengar di sana. Untung saja depot itu sudah sepi, menyisakan delapan
Gumaman terdengar dari mulut Bolet. Erik yang baru saja selesai mengoles salep di luka Mei segera mendekati pria itu. Dengan kasar, dia menarik kresek yang menutupi wajah Bolet ke atas. Terdengar umpatan dari Bolet. Erik tidak terganggu sama sekali. Dia kembali menarik paksa kain yang menutupi mata Bolet.“Jan**k!!” Kali ini Bolet mengumpat lebih keras.Erik terkekeh mendengarnya.Bolet menutup matanya rapat-rapat. Cahaya yang tiba-tiba memasuki matanya menyakitinya. Setelah beberapa saat, matanya mulai terbiasa. Matanya pun terbuka perlahan. Di depannya sudah berdiri seorang wanita. Matanya tampak dingin, angkuh, dan menyimpan dendam membara. Seketikaa Bolet merasa tengkuknya merinding melihat betapa kuat tekad wanita ini untuk menghancurkannya.Bolet melirik sekitarnya. Dia merasa asing dengan ruangan ini. Dia menyadari mereka sudah tidak lagi berada di warung makan.“Sial!!” batinnya. Jika mereka masih di warung pelabuhan, Bolet yakin dia akan cepat mendapat pertolongan. Di sini???
Mei tidak bisa tenang. Dia terus saja memikirkan pengakuan Bolet tentang seorang wanita yang menginginkan kematiannya. Siapa dan siapa terus menggerogoti pikirannya. Ingin rasanya dia menelepon Retno dan bertanya pada ibu mertuanya itu tentang kenalan Albert yang mungkin tinggal di Jakarta. Namu Mei tidak ingin wanita yang sangat baik itu mengetahui kalau dia sedang mengejar seorang pembunuh. Dia yakin Retno akan histeris dan menyuruhnya mundur.Malam sudah semakin larut dan matanya tetap saja terbuka lebar. Angin malam menerobos melalui jendelanya yang sengaja tidak dia tutup sempurna. Gordennya berkibar-kibar tertiup angin. Semakin dia menutup matanya erat, dia semakin teringat Bolet yang kini masih berada di gudang sasana. Ingin rasanya dia memaksa preman itu untuk mengatakan yang sebanyak-banyaknya. Namun Erik melarangnya. Pria itu masih memiliki hati nurani untuk tidak menyiksa Bolet lebih hebat.Ponsel Bolet sudah dia serahkan pada Lili tadi. Adiknya berjanji akan memberikan jaw
“Aku harus ke Jakarta.” Mei mengucapkan kalimat itu saat makan malam dengan Lily.Kedua kakak beradik itu tengah menikmati santap malam dengan menu nasi goreng Jawa lengkap dengan sawi, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tidak lupa kerupuk juga di dalam stoples.“Kau serius, Kak?” Lily tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Mei mangangguk. “Aku terus saja terngiang Albert. Aku merasa bersalah karena aku sudah separuh jalan untuk mengetahui siapa penjahat aslinya.”Lily tidak bisa menjawab. Dia tahu bagaimana sukitnya kehidupan kakaknya dulu saat ditinggal Albert. Jika sekarang dia sudah menemukan petunjuk, wajar da akan terus mengejarnya.“Maaf aku tidak bisa menemanimu sekarang, Kak,” ucap Lily. “Tugas liburanku menggunung. Tapi kalau kakak butuh bantuanku dengan kamera keamanan, kirim pesan saja. Aku akan mengurusnya dari sini.”Mei menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah. Terima kasih kau sudah bersedia menolongku. Aku sudah memesan tiket untuk besok siang.”“Kenapa cepat sekali?
Cuaca Jakarta cukup terik. Sepasang pria dan wanita baru saja keluar dari bandara Soetta. Masing-masing dari mereka membawa satu ransel berukuran sedang. Wajah si wanita tampak tegang dengan raut dingin sedangkan si pria tampak lebih santai tapi tetap waspada.“Aku harus ke toilet,” ucap Mei sambil melirik Erik di sebelahnya.“Oke. Aku akan menunggumu di cafe itu.” Erik menunjuk satu cafe yang berada tidak jauh dari pintu toilet.Mei mengangguk. “Oke, pesankan aku latte.”“Siap. Ada lagi?”Mei menggeleng. “Itu saja.”Saat mereka hendak berpisah, tiba-tiba saja Erik menahan tangan Mei. “Mana tasmu? Biar aku bawakan,” ucapnya.Mei langsung tersenyum. “Kau memang teman terbaik,” ucapnya tulus.“Hanya teman? Yakin?” Erik mencoba menggoda Mei.Namun Mei malah berdecak. “Jangan aneh-aneh, Erik! Aku tidak ingin penggemarmu di sasana membenciku.”Jawaban yang Mei berikan justru membuat Erik semakin enggan melepas tangan Mei. “Apa itu berarti jika tidak ada penggemar, kamu mempertimbangkan unt
“Ini akan menjadi tempat tinggal kita selama berada di Jakarta.” Dengan sebuah kartu, Erik membuka pintu apartemen yang dipinjamnya dari Dodi.Sebuah apartemen dengan dua kamar tidur, sebuah dapur sederhana dan satu set sofa. Dalam hati, Mei cukup bersyukur dengan tempat ini. Dia masih bisa beristrahat dengan baik tanpa takut Erik harus tidur di sofa.Mei berjalan ke arah dapur, membuka lemari esnya yang ternyata sudah terisi. Mungkin ini memang fasilitas yang diberikan Dodi.“Dodi beneran tidak tinggal di sini, ‘kan?” Mei memastikan sekali lagi.Erik mengangguk. “Tenang aja, dia punya tiga apartemen. Dia pakai satu, yang dua disewakan. Kebetulan yang baru dua minggu yang lalu dikembalikan oleh penyewa terakhir. Dan untungnya masih belum ada lagi yang menyewa. Jadi kita bisa pakai sampai semua urusan kita di sini tuntas.”“Urusan kita?” Mei menatap Erik dalam-dalam.“Urusan kita, Mei.” Erik berjalan perlahan ke arah Mei. Dia berdiri tepat di depan wanita yang sudah menawan hatinya. Ma