Restoran yang terletak di lantai 2 sebuah hotel bintang 5 tampak ramai siang itu, banyak tamu yang sedang menikmati makan siang sambil berbincang santai dengan rekan mereka. Di antara deretan meja yang terisi, salah satunya ditempati oleh Rendy dan Shakila, sepasang kekasih gelap yang tengah menjalin hubungan dan melakukan pengkhianatan terhadap Widiani.
Shakila menyilangkan kaki dengan anggun. Senyum Shakila tak lepas dari bibir, tapi matanya penuh selidik ke wajah Rendy. “Kamu kelihatan capek, Mas.” Rendy meraih gelas air mineral dan meneguk cepat, seolah berharap rasa gerah di hatinya ikut tertelan. “Gimana nggak capek, Yang. Aku susah payah membangun usaha, tapi diambil alih oleh Widi.” Shakila mengangguk pelan, seakan mengerti dengan penderitaan sang kekasih hati. “Istri kamu itu memang kurang ajar sekali, Mas!" “Entahlah, Yang. Kamu tau sendiri, 'kan, aku sudah nggak punya apa-aRestoran yang terletak di lantai 2 sebuah hotel bintang 5 tampak ramai siang itu, banyak tamu yang sedang menikmati makan siang sambil berbincang santai dengan rekan mereka. Di antara deretan meja yang terisi, salah satunya ditempati oleh Rendy dan Shakila, sepasang kekasih gelap yang tengah menjalin hubungan dan melakukan pengkhianatan terhadap Widiani. Shakila menyilangkan kaki dengan anggun. Senyum Shakila tak lepas dari bibir, tapi matanya penuh selidik ke wajah Rendy. “Kamu kelihatan capek, Mas.” Rendy meraih gelas air mineral dan meneguk cepat, seolah berharap rasa gerah di hatinya ikut tertelan. “Gimana nggak capek, Yang. Aku susah payah membangun usaha, tapi diambil alih oleh Widi.” Shakila mengangguk pelan, seakan mengerti dengan penderitaan sang kekasih hati. “Istri kamu itu memang kurang ajar sekali, Mas!" “Entahlah, Yang. Kamu tau sendiri, 'kan, aku sudah nggak punya apa-a
Koper itu mendarat dengan bunyi berdebum, didorong kasar oleh Widiani hingga berhenti tepat di depan kaki Rendy. Rendy berdiri terpaku, ia tak menyangka Widiani akan melakukan hal seperti itu. Padahal, selama ini Rendy berpikir kalau Widiani sudah ia kendalikan dan akan menuruti segala keinginannya.“Sayang ...?” suara Rendy terdengar parau, "kamu mau usir aku hanya karena aku nasehati kamu?"Widiani menegakkan bahu. “Apa yang kamu katakan tadi itu bukan nasehat. Udahlah, aku capek."“Oke, maafkan aku kalau kamu tersinggung," ucap Rendy sedikit melunak. Tidak ada lagi suara garang seperti tadi, bisa gawat kalau Widiani benar-benar mengusirnya. "Sekarang, masukan lagi koper itu ke dalam.""Kamu tidur di kamar lain aja, deh," perintah Widiani tiba-tiba. "Aku lagi pengen tidur sendirian."Widiani pergi meninggalkan Rendy yang masih berdiri terpaku. Terus melangkah, tanpa sedikit pun menoleh pada sang suami. Widiani tak lupa mengunci pintu kamar, agar Rendy tak bisa menyelinap masuk di sa
Pagi itu, langit mendung menggantung di atas atap rumah keluarga Widiani. Udara dingin terasa terasa menusuk tulang, seperti beban yang selama ini ditahan oleh Widiani. Perlahan, beban itu mulai memadat di dada.Widiani sudah bersiap dengan blus biru laut dan celana kain hitam, rambut dikuncir dan riasan tipis seperti biasa. Dihadapannya, sudah tersedia satu cangkir teh hangat dan satu tangkup roti bakar untuk mengganjal perut. Setelah selesai menghabiskan sarapan, Widiani berjalan menuju kamar. Tampak Rendy masih di tempat tidur, berbaring sambil memainkan ponselnya."Mas," panggil Widiani, "kita ke ruko hari ini, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan!"Rendy melirik sekilas, lalu berdecak malas. "Ck! Aku mau di rumah aja.""Tapi itu tanggung jawab kamu, Mas!" ujar Widiani kesal."Kamu kenapa cerewet banget, sih? Kamu aja sana yang urus!" hardik Rendy pada sang istri.Widiani mengangguk pelan, berusaha menelan rasa kecewa yang menggelayut di ujung lidahnya. Widiani tak ingin mema
Widiani berdiri lama di depan cermin pagi ini, untuk pertama kalinya ia mengenakan pakaian rapi dalam beberapa bulan terakhir. Bukan daster atau kaos longgar yang biasa menemaninya di rumah. Wajah yang biasanya polos tanpa riasan, kini dipoles tipis dengan bedak dan lipstik merah muda. Widiani melirik sekilas ke arah tempat tidur, ia melihat sang suami masih terpejam tanpa beban.Rendy saat ini, bukan lagi pria yang Widiani anggap sebagai tempat bersandar. Kini, di mata Widiani, Rendy hanyalah sumber luka yang nyaris menggerogoti habis hidupnya. Dengan tangan bergetar, Widiani memungut tas kecil di atas meja rias, mengecek kembali map berisi surat-surat penting, salinan rekening tabungan pribadi, dan daftar kontak orang-orang yang ia ambil dari ponsel Rendy semalam. Widiani melangkah keluar kamar dan ternyata ada sepasang mata memperhatikan gerak-geriknya."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini. Pake dandan segala!" tanya Hera ketus pada sang menantu.Widiani berhenti sejenak, menoleh den
"Widi, cepat temui Tante Tini! Kalau rumah ibu dibakar, kita mau tinggal di mana?" ucap Hera dengan suara bergetar.Widiani terpaksa beranjak dari kamar untuk menemui rentenir yang sedang mengamuk di luar. Namun, begitu sampai di ambang pintu kamar, Widiani berbalik kemudian menatap suami dan ibu mertuanya. "Yang akan mereka bakar ini, rumahku! Bukan rumah Ibu atau pun Mas Rendy.""Alah! Sudah mulai perhitungan kamu sama suami dan mertua sendiri," sinis Hera dengan nada pelan.Widiani tidak mempedulikan ocehan sang ibu mertua, ia segera melangkah ke depan walau dengan perasaan kalut. Begitu Widiani membuka pintu utama, ia melihat seorang perempuan paruh baya dengan dandanan glamor serta beberapa pria bertubuh tegap dengan wajah garang. "Pasti kamu menantunya Hera!" ucap tante Tini begitu melihat Widiani. "Mana Rendy dan Hera? Suruh mereka keluar.""Suami dan ibu saya sedang ... begini saja, berapa hutang suami saya sama Ibu?" tanya Widiani langsung ke intinya. Ia juga sudah terlanjur
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Widiani merebahkan diri di sofa ruang tamu, menikmati sejenak ketenangan yang jarang ia dapatkan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika dua orang pria berpakaian formal mengetuk pintu rumahnya. Lebih parahnya lagi, wajah kedua orang tersebut tidak menunjukkan keramahan sama sekali."Permisi, perkenalkan saya Restu. Dan beliau tuan Fabian, atasan saya," ujar Restu. "Kami mencari pak Rendy, untuk menanyakan progres pengerjaan pesanan kami. Apa dia ada di rumah?" Widiani hendak menjawab bahwa Rendy ada di kamar mereka. Namun, sebelum sempat berbicara Hera–-ibu mertua Widiani menyela ucapannya."Rendy sedang tidak ada di rumah," ujar Hera--ibu Rendy dengan lantang dari arah belakang Widiani.Kening Widiani mengkerut, merasa heran dengan perkataan sang ibu mertua. Entah apa maksudnya berbohong tentang keberadaan Rendy, tapi pertanyaan itu hanya bisa ia telan di dalam hati. "Kalau boleh tau, di mana keberadaan pak Rendy saat ini? Masalahn