Koper itu mendarat dengan bunyi berdebum, didorong kasar oleh Widiani hingga berhenti tepat di depan kaki Rendy. Rendy berdiri terpaku, ia tak menyangka Widiani akan melakukan hal seperti itu. Padahal, selama ini Rendy berpikir kalau Widiani sudah ia kendalikan dan akan menuruti segala keinginannya.
“Sayang ...?” suara Rendy terdengar parau, "kamu mau usir aku hanya karena aku nasehati kamu?"
Widiani menegakkan bahu. “Apa yang kamu katakan tadi itu bukan nasehat. Udahlah, aku capek."
“Oke, maafkan aku kalau kamu tersinggung," ucap Rendy sedikit melunak. Tidak ada lagi suara garang seperti tadi, bisa gawat kalau Widiani benar-benar mengusirnya. "Sekarang, masukan lagi koper itu ke dalam."
"Kamu tidur di kamar lain aja, deh," perintah Widiani tiba-tiba. "Aku lagi pengen tidur sendirian."
Widiani pergi meninggalkan Rendy yang masih berdiri terpaku. Terus melangkah, tanpa sedikit pun menoleh pada sang suami. Widiani tak lupa mengunci pintu kamar, agar Rendy tak bisa menyelinap masuk di saat ia tertidur nanti.
Sedangkan Rendy, ia hanya bisa menatap punggung istrinya yang menjauh dengan wajah mengeras. Untuk pertama kalinya, ia merasakan pemberontakan sang istri.
"Sial! Kamar di rumah ini cuma 2. Masa, iya, tidur bareng Ibu?" gerutu Rendy.
Dengan terpaksa, Rendy mendekat ke sofa yang ada di ruang tamu dan menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Sofa itu tidak senyaman tempat tidur, tapi ia sudah tidak punya pilihan lain. Rendy memijit pelipis yang berdenyut.
Mata Rendy menatap kosong ke langit-langit rumah, lalu beralih ke koper yang masih terbuka di lantai. Bisa saja ia langsung menemui Shakila malam ini, tapi ia tidak memiliki uang untuk memberikan sesuatu yang mahal pada Shakila.
"Kalau begini, aku harus cepat menikah sama Shakila dan tidak seperti Widi yang sok ngatur!" Gumam Rendy sebelum matanya terpejam.
***
Pagi harinya – Kantor CV. Ganesha
Langit mendung tak menyurutkan langkah Widiani. Ia mengenakan blazer hitam, rok panjang selutut, dan sepatu flat berwarna abu-abu. Widiani melangkah masuk ke dalam gedung PT. Ganesha Interior, perusahaan rekanan yang telah menjadi salah satu penyokong hidup bagi CV. Lintang Advertising.
Seorang Resepsionis langsung menyapa Widiani, “selamat pagi, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"
“Pagi." Widiani tersenyum sekilas. "Saya Widiani dari CV. Lintang Advertising. Saya ingin bertemu dengan Bapak Fabian. Apa beliau ada di tempat?"
"Baik, mohon ditunggu sebentar. Saya akan konfirmasi dulu dengan sekertaris beliau." Resepsionis itu segera mengangkat telepon dan berbicara sebentar. “Pak Fabian sedang ada meeting. Fabian akan segera menemui Ibu di ruang pertemuan yang ada di lantai dua. Silakan naik lewat lift di sebelah kiri.”
“Terima kasih." Widiani melangkah menuju lift yang ditunjuk oleh resepsionis tadi. Ada rasa kekhawatiran menyelimuti pikiran Widiani, ia gamang jika Fabian tidak menyetujui permintaannya nanti. Apa yang harus dilakukan hal itu terjadi?
Ruang pertemuan di lantai dua cukup nyaman, dengan dinding bercat abu muda dan lukisan geometris yang menggantung rapi. Baru saja Widiani duduk, pintu kaca terbuka dan muncul sosok pria tampan yang pernah menyambangi rumahnya.
“Bu Widiani, Selamat pagi,” sapa Fabian sambil mengulurkan tangan.
“Selamat pagi, Pak Fabian. Terima kasih sudah meluangkan waktu Anda,” jawab Widiani, menyambut jabatan tangan itu.
Fabian mempersilahkan Widiani untuk duduk kembali. "Bagaimana? Apa sudah ada progres tentang pesanan kami?"
Widiani mengambil napas dalam, menghilangkan sejenak keraguan dalam diri. "Begini, Pak Fabian. Maksud kedatangan saya ke sini memang untuk membicarakan hal itu."
"Lalu?" Fabian
"Saya ingin meminta perpanjangan waktu pada Pak Fabian," ucap Widiani tanpa ragu. Widiani pasrah bila Fabian menolak, toh kesalahan memang ada di pihaknya.
Fabian mengernyit. Ia menatap Widiani cukup lama, membuat suasana ruangan menjadi sedikit tegang. Lalu, Fabian menyandarkan tubuh ke kursi dan menyilangkan tangan di dada.
“Perpanjangan waktu?” ulang Fabian, datar. “Ini bukan proyek kecil, Bu Widiani. Klien kami sudah menentukan tanggal peluncuran, dan semua vendor bergerak berdasarkan waktu yang sudah ditentukan."
Widiani mengangguk. “Saya sangat paham, Pak. Sebenarnya, saya tidak ada niat untuk merusak reputasi perusahaan Bapak."
“Berapa lama?” tanya Fabian singkat.
“2 minggu," ucap Widiani mantap.
Fabian mengetuk-ngetukkan jari ke permukaan meja. Suara itu terasa memekakkan bagi Widiani. Namun, ia menatap Fabian dengan tenang, menanti keputusan pria itu.
“Apa jaminannya kalau saya bisa memberi tambahan waktu?" selidik Fabian.
“Bapak boleh menuntut, jika dalam satu minggu pesanan tersebut belum kami selesaikan," tegas Widiani.
Fabian masih diam. Ia memalingkan wajah ke arah lain, seolah sedang menimbang. Lalu perlahan ia mengangguk kecil. “Baiklah. Saya setuju."
Widiani menghela napas lega. “Terima kasih banyak, Pak Fabian. Kami akan bekerja keras untuk menepatinya.”
"Pergunakan kesempatan terakhir ini dengan sebaik mungkin. Kalau tidak, saya benar-benar akan menuntut CV. Lintang Advertising," ucap Fabian tajam. Setelah mengatakan itu, Fabian bangkit dari kursi.
Widiani ikut berdiri, kemudian mengangguk setuju. "Tentu. Saya akan memanfaatkan kesempatan terakhir ini dengan sebaik mungkin."
Widiani menatap punggung Fabian yang akan keluar dari ruangan. Widiani mengusap wajah dan mengatur napas sebelum meninggalkan ruang tersebut.
"Sekarang tinggal cari modal," ucap Widiani sebelum menutup pintu. Tanpa Widiani sadari, ucapannya itu terdengar di telinga seseorang.
Widiani kembali turun menggunakan lift. Begitu sampai di lobi, resepsionis yang tadi berinteraksi dengannya memanggil dan mengatakan bahwa ia diminta untuk ke ruangan Fabian yang berada di lantai 3. Widiani sempat terdiam mendengar permintaan itu. Hatinya langsung mencelos. Apakah Pak Fabian berubah pikiran?
Langkah Widiani terasa berat saat ia kembali masuk ke dalam lift. Jari telunjuknya ragu menekan tombol angka tiga. Di dalam kepala, berbagai kemungkinan buruk merasuki.
“Tenang, Widi,” ucap Widiani pelan, mencoba menenangkan diri.
Begitu pintu lift terbuka di lantai tiga, Widiani mengatur napas. Ia berjalan pelan menyusuri lorong menuju ruangan yang ditunjukkan resepsionis. Widiani berhenti sejenak, kemudian mengetuk pintu sebanyak 2 kali. Widiani membuka pintu dan melangkah ke dalam setelah Fabian mempersilahkan.
"Besok, asisten saya akan menemui Anda untuk melakukan pelunasan pada pesanan yang sedang Anda kerjakan. Dan kami akan memesan beberapa huruf timbul dan neon box," ujar Fabian.
Ya, Fabian yang mendengar ucapan Widiani tentang perihal mencari modal. Entah apa pertimbangan pria 28 tahun itu, sampai mau meringankan beban Widiani.
Widiani berdiri terpaku di ambang pintu, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Namun, sedetik kemudian, mata Widiani berembun seolah sebuah batu besar baru saja terangkat dari pundak.
"Terima kasih, Pak Fabian. Saya berjanji, tidak akan mengecewakan perusahaan Bapak," ucap Widiani akhirnya.
***
Tepat pukul 10, Widiani meninggalkan kantor Fabian dengan perasaan lega. Widiani meyakinkan satu hal, segala permasalahan akan menemukan jalan untuk diselesaikan apabila mau menghadapi dan berbenah diri. Bukan seperti Rendy yang bisanya hanya kabur-kaburan.
Rendy. Ada satu hal lagi yang harus Widiani selesaikan dengan sang suami. Widiani segera menaiki sebuah taksi dengan logo burung biru yang sedang berdiri di depan perusahaan Fabian.
"Pak, tolong antar saya ke Pengadilan Agama yang ada di Jalan X," pinta Widiani pada pengemudi.
Taksi melaju, menyusuri kepadatan lalu lintas jalanan kota. Di dalam kabin, Widiani duduk dengan tangan menggenggam tas di pangkuan. Kepala Widiani bersandar ke jendela dengan mata menatap keluar.
"Kalian akan menyesal karena memperlakukan aku seperti itu," batin Widiani. "Aku akan balas perbuatan kalian!"
Restoran yang terletak di lantai 2 sebuah hotel bintang 5 tampak ramai siang itu, banyak tamu yang sedang menikmati makan siang sambil berbincang santai dengan rekan mereka. Di antara deretan meja yang terisi, salah satunya ditempati oleh Rendy dan Shakila, sepasang kekasih gelap yang tengah menjalin hubungan dan melakukan pengkhianatan terhadap Widiani. Shakila menyilangkan kaki dengan anggun. Senyum Shakila tak lepas dari bibir, tapi matanya penuh selidik ke wajah Rendy. “Kamu kelihatan capek, Mas.” Rendy meraih gelas air mineral dan meneguk cepat, seolah berharap rasa gerah di hatinya ikut tertelan. “Gimana nggak capek, Yang. Aku susah payah membangun usaha, tapi diambil alih oleh Widi.” Shakila mengangguk pelan, seakan mengerti dengan penderitaan sang kekasih hati. “Istri kamu itu memang kurang ajar sekali, Mas!" “Entahlah, Yang. Kamu tau sendiri, 'kan, aku sudah nggak punya apa-a
Koper itu mendarat dengan bunyi berdebum, didorong kasar oleh Widiani hingga berhenti tepat di depan kaki Rendy. Rendy berdiri terpaku, ia tak menyangka Widiani akan melakukan hal seperti itu. Padahal, selama ini Rendy berpikir kalau Widiani sudah ia kendalikan dan akan menuruti segala keinginannya.“Sayang ...?” suara Rendy terdengar parau, "kamu mau usir aku hanya karena aku nasehati kamu?"Widiani menegakkan bahu. “Apa yang kamu katakan tadi itu bukan nasehat. Udahlah, aku capek."“Oke, maafkan aku kalau kamu tersinggung," ucap Rendy sedikit melunak. Tidak ada lagi suara garang seperti tadi, bisa gawat kalau Widiani benar-benar mengusirnya. "Sekarang, masukan lagi koper itu ke dalam.""Kamu tidur di kamar lain aja, deh," perintah Widiani tiba-tiba. "Aku lagi pengen tidur sendirian."Widiani pergi meninggalkan Rendy yang masih berdiri terpaku. Terus melangkah, tanpa sedikit pun menoleh pada sang suami. Widiani tak lupa mengunci pintu kamar, agar Rendy tak bisa menyelinap masuk di sa
Pagi itu, langit mendung menggantung di atas atap rumah keluarga Widiani. Udara dingin terasa terasa menusuk tulang, seperti beban yang selama ini ditahan oleh Widiani. Perlahan, beban itu mulai memadat di dada.Widiani sudah bersiap dengan blus biru laut dan celana kain hitam, rambut dikuncir dan riasan tipis seperti biasa. Dihadapannya, sudah tersedia satu cangkir teh hangat dan satu tangkup roti bakar untuk mengganjal perut. Setelah selesai menghabiskan sarapan, Widiani berjalan menuju kamar. Tampak Rendy masih di tempat tidur, berbaring sambil memainkan ponselnya."Mas," panggil Widiani, "kita ke ruko hari ini, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan!"Rendy melirik sekilas, lalu berdecak malas. "Ck! Aku mau di rumah aja.""Tapi itu tanggung jawab kamu, Mas!" ujar Widiani kesal."Kamu kenapa cerewet banget, sih? Kamu aja sana yang urus!" hardik Rendy pada sang istri.Widiani mengangguk pelan, berusaha menelan rasa kecewa yang menggelayut di ujung lidahnya. Widiani tak ingin mema
Widiani berdiri lama di depan cermin pagi ini, untuk pertama kalinya ia mengenakan pakaian rapi dalam beberapa bulan terakhir. Bukan daster atau kaos longgar yang biasa menemaninya di rumah. Wajah yang biasanya polos tanpa riasan, kini dipoles tipis dengan bedak dan lipstik merah muda. Widiani melirik sekilas ke arah tempat tidur, ia melihat sang suami masih terpejam tanpa beban.Rendy saat ini, bukan lagi pria yang Widiani anggap sebagai tempat bersandar. Kini, di mata Widiani, Rendy hanyalah sumber luka yang nyaris menggerogoti habis hidupnya. Dengan tangan bergetar, Widiani memungut tas kecil di atas meja rias, mengecek kembali map berisi surat-surat penting, salinan rekening tabungan pribadi, dan daftar kontak orang-orang yang ia ambil dari ponsel Rendy semalam. Widiani melangkah keluar kamar dan ternyata ada sepasang mata memperhatikan gerak-geriknya."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini. Pake dandan segala!" tanya Hera ketus pada sang menantu.Widiani berhenti sejenak, menoleh den
"Widi, cepat temui Tante Tini! Kalau rumah ibu dibakar, kita mau tinggal di mana?" ucap Hera dengan suara bergetar.Widiani terpaksa beranjak dari kamar untuk menemui rentenir yang sedang mengamuk di luar. Namun, begitu sampai di ambang pintu kamar, Widiani berbalik kemudian menatap suami dan ibu mertuanya. "Yang akan mereka bakar ini, rumahku! Bukan rumah Ibu atau pun Mas Rendy.""Alah! Sudah mulai perhitungan kamu sama suami dan mertua sendiri," sinis Hera dengan nada pelan.Widiani tidak mempedulikan ocehan sang ibu mertua, ia segera melangkah ke depan walau dengan perasaan kalut. Begitu Widiani membuka pintu utama, ia melihat seorang perempuan paruh baya dengan dandanan glamor serta beberapa pria bertubuh tegap dengan wajah garang. "Pasti kamu menantunya Hera!" ucap tante Tini begitu melihat Widiani. "Mana Rendy dan Hera? Suruh mereka keluar.""Suami dan ibu saya sedang ... begini saja, berapa hutang suami saya sama Ibu?" tanya Widiani langsung ke intinya. Ia juga sudah terlanjur
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Widiani merebahkan diri di sofa ruang tamu, menikmati sejenak ketenangan yang jarang ia dapatkan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika dua orang pria berpakaian formal mengetuk pintu rumahnya. Lebih parahnya lagi, wajah kedua orang tersebut tidak menunjukkan keramahan sama sekali."Permisi, perkenalkan saya Restu. Dan beliau tuan Fabian, atasan saya," ujar Restu. "Kami mencari pak Rendy, untuk menanyakan progres pengerjaan pesanan kami. Apa dia ada di rumah?" Widiani hendak menjawab bahwa Rendy ada di kamar mereka. Namun, sebelum sempat berbicara Hera–-ibu mertua Widiani menyela ucapannya."Rendy sedang tidak ada di rumah," ujar Hera--ibu Rendy dengan lantang dari arah belakang Widiani.Kening Widiani mengkerut, merasa heran dengan perkataan sang ibu mertua. Entah apa maksudnya berbohong tentang keberadaan Rendy, tapi pertanyaan itu hanya bisa ia telan di dalam hati. "Kalau boleh tau, di mana keberadaan pak Rendy saat ini? Masalahn