Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.
Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng. Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya. Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita. Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar. Tak terasa tetes demi tetes air mata mengalir dengan derasnya. Aku harus kuat, aku yakin saat ini Suamiku sedang khilaf hingga ia tega menodai kesucian rumah tangga kami yang baru berjalan 2 tahun ini. Namun ... semakin aku berusaha untuk tidak mengingat kejadian tadi, justru hatiku semakin terasa sakit. Apa mungkin suamiku memang sudah tak menginginkanku lagi? Sehingga tega dia menodai kesucian rumah tangga kami? Rumah tangga yang selalu aku jaga dengan sepenuh hati tapi kini suamiku sendiri yang memberikan noda. Di tengah kesedihanku itu sayap-sayap aku mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Seraya menggendong Salma aaku berjalan untuk mengintip dari balik tirai rupanya itu memang mobil suamiku--Mas Adam. Aku seka sisa air mata yang berlinang di pelupuk mata dan mengalir di kedua pipiku. Aku ingin menyambut kedatangan suamiku meski dalam keadaan hati yang terasa sakit namun Jangan sampai aku menunjukkan wajah bersedihku. Sebelum membuka pintu Aku berusaha untuk memaksakan diri tersenyum. Kubuka pintu rumah itu lalu menyambut dengan senyum kedatangan suamiku. Sayangnya sambutan hangatku itu sama sekali tidak diindahkan olehnya. Dia justru memasang wajah yang tak suka, wajah yang selalu aku benci. "Baru pulang Mas?" tanyaku seraya ingin membawa tas kerja suamiku namun ditepis, padahal posisiku saat ini kepayahan karena menggendong Salma. "Menurutmu?" sinis mas Adam kepadaku. "Mas sudah makan belum? Biar aku siapkan, ya." "Tidak perlu! Emang kamu kira aku mau sahur jam segini harus makan?" ''Bukan maksudku Mas. Aku takut kamu belum makan. Kamu pasti lelah seharian kerja sampai-sampai pukul dua lebih d kamu baru pulang." Aku pun pura-pura tidak tahu padahal aku tahu Mas Adam sudah pergi dengan wanita lain. Mas Adam memilih pergi meninggalkanku dan Salma begitu saja. Sungguh, padahal dia melihat aku menggendong Salma tapi dia sama sekali tidak menyapa Salma. Meskipun aku tahu saat ini Salma tengah tertidur tapi setidaknya berilah kecupan selamat tidur di pipi Salma atau di kening misalnya. Saat langkah suamiku semakin jauh aku pun menyerunya dan mengatakan jika Salma tengah sakit. "Mas, Salma demam," ucapku. Aku berharap dia sedikit respect. Mas Adam menghentikan langkahnya, lalu menatap ke arahku. "Terus...? Terus aku harus apa? Kan ada kamu. Kamu ibunya tinggal jaga dan rawat Salma dengan baik. Kenapa malah memberitahu padaku." Astaghfirullahaladzim Betapa Mas Adam begitu tidak pedulinya pada Salma. Aku tidak masalah jika mas Adam tidak peduli padaku. Tapi ini... Kepada anaknya sendiri. Apakah pantas seorang ayah seperti itu? "Kamu tidak peduli Salma sakit?" Tanyaku yang tidak terima atas jawaban dari mulut Mas Adam. "Aku peduli, kok. Tapi kan sudah ada kamu. Sudahlah jangan mulai keributan Mas capek ngantuk, mau tidur." Mas Adam pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar atas. Di mana kamar kami berdua berada. Bersyukur rasanya, Salma masih balita setidaknya dia belum tahu apa-apa meskipun ayahnya tidak peduli padanya, tapi jika Salma Sudah tumbuh besar, di saat dia sudah mulai mengerti dan suamiku masih bersikap seperti ini? Entah apa yang harus aku jelaskan kepadanya. Tubuh mas Adam sudah tidak terlihat lagi, menghilang masuk ke kamar kami. Aku hanya bisa menghela napas berat. Sejurus kemudian aku menutup pintu dan bermaksud untuk menghampiri mas Adam takut ada sesuatu yang ia butuhkan. Sebelumnya aku menidurkan Salma terlebih dahulu baru aku pun ke kamarku. Ceklek... Aku membuka pintu kamarku dan Mas Adam. Aku lihat Mas adam tengah duduk seraya memijat leher dan juga pelipisnya.. Aku mendekat lalu berniat untuk mengambil alih memijat leher dan juga pelipisnya, sayang ... mas Adam malah menghalau tanganku seperti aku tidak boleh menyentuhnya. "Aku bisa sendiri, nunggu kamu lama!" ucapnya begitu ketus. "Maaf Mas, tadi kan Mas lihat sendiri aku gendong Salma. Jadi aku tidurkan dulu Salma baru ke sini." "Ambilkan aku baju tidur. Aku mau tidur dan ingat besok jangan ganggu. Aku libur." "Baik Mas, besok aku tidak akan bangunin mas." Aku membawa saja jas yang tergeletak di atas ranjang maksudnya hendak menyimpannya di keranjang cucian. Tercium aroma parfum wanita yang membuat hati ini semakin sesak. Lagi-lagi kejadian tadi terbayang di benakku, kejadian saat mas Adam tengah bermesraan dengan wanita lain. Sampai-sampai parfume wanita itu menempel dijas suamiku. Aku menggibas-gibaskan kedua tanganku ke arah mata, berharap air mataku tidak tumpah ini bukan waktunya untuk menangis. Secepatnya aku simpan jas kotor suamiku di keranjang cucian. Setelah itu aku membawa baju tidur. Aku tidak ingin Suamiku marah kembali karena aku terlalu lama mengambil baju. Aku serahkan baju tidur kepada suamiku lalu Mas Adam langsung menggantinya di depanku. Kemudian ia langsung tidur tanpa mengucapkan sepatah kata pun semisal selamat tidur, juga tanpa adanya kecupan selamat tidur. Aku hanya bisa membuang napas kasar. Untuk apa aku berharap diperlakukan seperti satu tahun lalu. Saat di mana mas Adam begitu meratukanku. *** Karena Salma masih rewel, aku pun membawanya ke butik. Tidak tega rasanya kalau harus aku tinggaa bersama Bi Rum yang sudah sepuh itu. Aku titipkan kepada Mas Adam itu jauh tidak mungkin lagi, aku yakin belum juga aku ngomong dia sudah menolak duluan. Untungnya Salma tidak rewel lagi. Dia anteng main sendiri dengan mainannya. Sehingga aku pun bisa leluasa bekerja tanpa harus diganggu Salma. Pun aku tidak harus khawati Salma kenapa-kenapa Karena Salma berada di dalam pengawasanku. "Muka kamu kok kusam gitu? kurang tidur?" Tiba-tiba Sinta datang menepuk bahu dan duduk di hadapanku dengan perkataan yang sama sekali tidak membuat aku tersinggung. Aku langsung menyentuh wajahku yang katanya terlihat kusam. "Semalam Salma rewel, badannya panas jadi gak bisa tidur Kamu tahu kan kalau Salma demam suka kejang." "Adudu ... adudu, jadi keponakan Aunty sakit? Sini sama Aunty." Sinta menggendong Salma yang tengah asik bermain sendiri. Sinta adalah adik Mas Adam dia begitu baik kepadaku, begitu juga kepada Salma. wajar dia begitu baik karena kami memang kebetulan sahabat dari SMA dulu. "Khansa, kok, Sinta perhatiin ada yang berbeda dari kamu!" tanya Sinta padaku seraya menggendong Salma. Aku merespons perkataan Sinta tanpa menoleh ke arahnya. Karena aku sibuk menulis pesanan para customer. "Apanya yang berbeda, Sin? Perasaan nggak ada yang berubah, deh, dariku." balasku yang memang merasa tidak ada sedikitpun yang berubah dari diriku. "Jangan tersinggung, ya, dengan perkataanku. kamu tahu sendiri kan dari dulu kalau ngomong emang suka ceplas-ceplos." "Iya aku tahu. Ya udah kamu ngomong aja. Apa memangnya yang berubah dariku?" ucapku dengan posisi masih sibuk menulis pesanan customer. "Kalau aku perhatiin Kamu terlihat gendut, wajah kamu kusam ada jerawatan, ngerasa gak?" Mendengar pengakuan dari Sinta sontak membuat aku bergeming, aktivitas menulis ku terhenti. Sejurus kemudian menatap ke arah Sinta yang masih menggendong Salma. "Aku gendut? Wajah kusam?" Ulangku. "Iya, emangnya kamu nggak ngerasa? Sebenarnya dari dulu aku mau ngomong kayak gini ke kamu. cuma aku takut kamu tersinggung dan satu hal lagi beberapa bulan belakang ini. kamu benar-benar berubah drastis tubuh kamu semakin mengembang, loh, wajah kamu semakin kusam." "Masa, sih!" ucapku setengah tak percaya. Jika boleh jujur semenjak aku punya butik memang jarang perhatiin diri sendiri. "Jangan sibuk kerja, lah. Jangan diporsir. Mas Adam kan masih sanggup membiayai hidup kamu dan Salma." "Aku tahu Mas Adam masih sanggup membiayai kehidupan kami meskipun aku tidak kerja. Tapi ini cita-citaku dari dulu, kamu tahu sendiri kan?" "Tahu, tapi kamu juga harus perhatiin diri kamu sendiri. Jangan terlalu fokus kerja emang kamu mau mas Adam berpaling?" Deg... Berpaling...Senang rasanya dia mau menerimaku sebagai suaminya. Meskipun belum ada cinta di hatinya tapi dia sudah mau menerimaku saja suatu kemajuan yang luar biasa. Aku berjanji akan selalu membuat dia bahagia. Aku akan mengutamakan dia dan anaknya. Saat aku hendak membeli cincin nikah, hal yang tidak terduga malah terjadi. Tiba-tiba Adam datang dan memaksa Khansa untuk ikut bersamanya. Aku sebagai calon suaminya tentu tidak rela hingga terjadi adu mulut. Sebagai seorang pria merasa malu atas sikap Adam. Dulu dia tanpa perasaan membuang Khansa, sekarang setelah hubungan mereka pisah terus mengganggu' bahkan kekeh ingin rujuk kembali. Khansa pasti pusing jika harus dihadapkan dengan pria semacam Adam. Oleh karena itu, Khansa memberikan satu kesempatan Adam untuk bicara dengannya. Aku tidak tahu apa yang ingin mereka bahas. Aku duduk sedikit menjauh, aku hanya bisa memperhatikan mereka tanpa tahu apa yang mereka bicarakan. Gatal! rasanya gatal ingin menghajarnya. Semakin lama, aku jus
Setelah Adam pergi, aku langsung teringat pada Khansa dan Salma. Mereka pasti ketakutan. Begitu pikirku. Lalu aku langsung mengetuk kaca mobil Khansa, aku mengintip dari balik kaca mobil yang hitam itu, aku bisa melihatnya walaupun tidak jelas. Khansa tertunduk, seraya memeluk Khansa. Aku kembali menggedor kaca mobil meminta ia untuk keluar. Khansa menengok ke arah kaca mobil, lalu ia langsung membuka pintu mobil. Dia terdiam seraya matanya memerah. Ia lalu keluar dari dalam mobilnya. "Kenapa kamu di sini? Kenapa kamu selalu ada untukku?" ujarnya, aku tahu dia sedih dan ketakutan. "Aku sudah bilang, akan selalu ada untukmu. Apa pun yang terjadi, akulah orang pertama yang akan hadir membantu," jawabku. Ia lalu terdiam. "Ayo keluar! Kita pulang naik mobilku," ujarku lagi, aku tidak mau di menyetir sendiri dalam keadaan ketakutan seperti ini "Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas bantuannya. Dan tolong jangan terlalu baik padaku," katanya membuat aku mengerutkan kening,
Hubungan kami semakin dekat, meski belum ada tanda-tanda jika Khansa sudah menerimaku . Tapi setidaknya ada kemajuan dalam interaksi kami. Kami jadi tidak kaku lagi. Bahkan kami sudah seperti saling mengenal sejak lama. Wajar sih, kami akrab baru dua hari ini. Tidak mudah pasti bagi Khansa untuk kembali membuka hati apalagi dia menjadi korban keegoisan suaminya. Hari ini entah kenapa ingin rasanya menemui Khansa dan anaknya Salma. Apa rindu? Bisa jadi. Sebelum ke rumah Khansa aku memutuskan untuk membeli sesuatu, semisal makanan? Barang? Atau apa? Aku malah bertanya-tanya sendiri pada diriku. Aku belum pernah berpengalaman dekat dengan wanita, jadi tidak tahu apa yang sekiranya cocok dibawa ketika berkunjung ke rumah crush. Pusing memikirkannya, akhirnya aku tidak membawa apapun. Aku hanya membawa keberanian semata. Ketika sampai di rumah Khansa, aku begitu terkejut. Melihat Khansa yang tengah khawatir. Dan ternyata penyebabnya adalah Salma demam. Aku berusaha untuk membantu
Orang tua Khansa menelponku, beliau bilang aku harus ke Surabaya karena beliau sudah membuat janji dengan Khansa. Janji untuk mempertemukan kami. Karena kejadian itu pula, kejadian di mana Khansa akan dilecehkan oleh mantan suami yang menyebabkan Khansa memutuskan untuk secepatnya pindah ke Surabaya. Mendengar berita mendadak ini tentu membuat aku terkejut. Kenapa orang tua Khansa tidak memberikan aku waktu untuk bersiap diri? Setidaknya aku bisa mengumpulkan kekuatan untuk bertemu dan bertatap muka dengan Khansa. "aku belum siap
Sepertinya, Tuhan benar-benar akan segera menjawab keinginanku. Apa mungkin Tuhan benar-benar tahu jika perasaan cinta untuk Khansa itu tulus? Perasaan cinta yang kumiliki bukan sekadar perasaan cinta, tapi ini jauh melebihi kisah cinta Laila majnun. Aku akan melakukan apapun untuk wanita yang aku cintai termasuk menunggunya, sampai Tuhan berkata "Waktu kalian untuk bersama sudah tiba" Dan tepat hari ini, aku mendengar berita perceraian Khansa. Sungguh ini berita paling bahagia bagiku, setidaknya satu penghalang untuk mendapatkan Khansa tidak ada. Singkat cerita, aku belum punya keberanian untuk bertindak. Masih ragu dan bingung bagaimana cara memulai untuk mendekatinya. Jika aku mendekatinya secara langsung tidak mungkin kan? Atau mungkin berpura-pura saling bertabrakan lalu saling minta maaf lalu selanjutnya hubungan semakin dekat? Ah tidak! Aku tidak mau cara itu. Terlalu dramatis. Lalu tiba-tiba aku dengar berita dari ibu, akan ada jamuan makan malam untuk semua kolega b
Hari-hari yang aku lihat tentang kehidupan Khansa hanyalah kesedihan semata. Oh Tuhan! Kenapa di dunia ini ada wanita sesabar ini? Kenapa ada wanita yang rela bertahan hidup dengan pria yang jelas-jelas membuat dirinya menderita? Aku rasanya ingin membawa kabur Khansa. Tapi ibunya tetap bilang tunggu sampai Khansa menyerah sendiri. Jika sampai detik ini Khansa masih bertahan itu artinya Khansa masih sanggup menjalani problematik rumah tangga. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah membantunya sebisaku, jangan sampai Khansa merasa kesulitan. Karena Adam sama sekali tidak pernah ada membantu dikala Khansa kesulitan. Khansa benar-benar melakukan seorang diri. Tepat dua tahun pernikahan mereka, dan selama itu pula aku masih setia menunggu Khansa dan masih setia mengawasi Khansa, melindunginya tanpa dia ketahui. orang tua Khansa sudah berulangkali memintaku untuk menyerah, untuk melupakan Khansa. Tapi, aku tidak bisa. Apalagi tahu bagaimana dia diperlakukan oleh suaminya. "Nak,