Sambungan telepon itu langsung diakhiri Jaka begitu suara bariton milik Hasbi terdengar."Mengapa jadi Hasbi yang menjawab telepon?" Jaka bertanya-tanya. Dia kini tengah berada di ruang kantornya. Memijat pelipis karena khawatir suami Sabrina jadi salah paham.Semalam, Jaka mengantarkan Sabrina ke rumahnya tanpa ada Hasbi. Dia tak tahu kalau panggilan teleponnya akan dijawab oleh Hasbi. Padahal saat ini Jaka sudah selesai mengumpulkan semua berkas yang dipinta Sabrina. Termasuk berkas penting milik Hasbi yang juga diamankan padanya.Satu jam kemudian pintu ruangan Jaka terdengar diketuk seseorang dari luar."Permisi, Pak. Ada tamu yang ingin bertemu." Sekestaris melapor pada Jaka usai membuka pintu."Siapa?" tanya Jaka biasa saja."Atas nama, Hasbi Adhitama," jawab wanita berambut pendek itu.Sedikit terkejut. Dia langsung mengamankan berkas milik Sabrina. "Bawa ke ruangan saya," titahnya pada sekertaris."Baik, Pak." Wanita itu keluar lagi. Sementara Jaka langsung sibuk memastikan ka
"Sudah, Ma. Sudah. Mama ke sini sama siapa?" Jaka mengalihkan perhatian."Diantar supir," jawab mamanya Jaka masih dengan senyuman yang terukir di bibirnya."Oh baguslah. Aku pamit, Ma. Aku mau antar Sabrina pulang ya." Jaka menarik pelan tangan Sabrina."Tante, saya pamit.""Iya, Sabi. Hati-hati di jalan. Tante tunggu di rumah nanti." Wanita paruh baya itu masih saja melebarkan senyuman. Terlihat bahagia. Pasalnya, Jaka sering sekali bercerita tentang Sabrina padanya.Kini Sabrina dan Jaka telah berada di lobi. Wajah Jaka memerah karena tak enak dengan sikap mamanya yang so akrab, padahal baru pertama bertemu dengan Sabrina."Jak, sepertinya aku akan pesan taksi online saja ya," ucap Sabrina."Oke. Maaf ya kalau tak bisa antar sampai ke rumah kamu," balas Jaka. "Mm-aku mau minta maaf atas sikap mamaku yang so akrab sama kamu," imbuhnya seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Tidak apa-apa, Jak. Aku malah senang sama Mama kamu yang ramah. Mengingatkan pada ibuku di rumah." Sabrina ke
Hasbi nampak mematung dengan penekanan yang diberikan Sabrina. Ia sempat menunduk kemudian mengangkat kembali wajahnya."Putuskan sekarang, Mas. Saya tidak punya banyak waktu." Sabrina kembali menekan. Wajahnya memang terlihat kuat di hadapan semua orang, tapi di dalam hatinya berbeda jauh. "Aku putuskan, aku akan memilih Sabrina." Keputusan pria bergelar ASN itu pada akhirnya.Tapi, tak ada wajah sendu yang ditampilkan oleh Miranda. Apalagi dengan orang tua Hasbi. Mereka terlihat biasa saja. Mereka tak nampak terkejut sedikit pun.Usai melemparkan tatapan pada orang-orang di ruangan itu, Sabrina kembali melayangkan tatapan nanar pada Hasbi. Ia merasa tak yakin dengan jawaban suaminya."Aku tidak yakin kalau kamu akan rela kehilangan istri muda dan anakmu, Mas," tukasnya. Setelah Sabrina memastikan wajah Hasbi yang biasa-biasa saja. Apalagi dengan Miranda yang harusnya bersedih atau marah."Karena aku lebih tak rela kehilangan kamu, Sabi. Perasana ini teramat yakin kalau aku tak rel
Detik itu juga Jaka menerangkan pada Sabrina langkah-langkah menyadap aplikasi pesan di ponsel Hasbi nanti.Pandangan Sabrina tak beralih ke yang lain. Dia fokus pada penjelasan Jaka siang ini. Setelah itu, dia segera pulang untuk menjalankan aksinya.Wanita itu hanya ingin memastikan kalau Hasbi memang benar-benar telah berubah. Sampai tiba di depan rumah. Awalnya terlihat tak ada yang aneh. Namun begitu Sabrina memutar handle pintu, ternyata pintu rumahnya dikunci dari dalam."Apa Mas Hasbi ada di dalam?" Sabrina tampak berpikir. Ia segera menekan bell yang menempel di dinding."Mas! Kamu ada di dalam?" Sabrina sedikit berteriak memanggil sang suami yang diperkirakan ada di dalam rumah. Padahal tadi pagi Hasbi sudah berangkat untuk dinas."Sebentar, Sabi." Benar saja Hasbi memang ada di dalam rumah saat balasan suara bariton dengan jelas terdengar kalau itu adalah suara Hasbi.Sabrina nampaknya harus menunggu dalam beberapa menit saat Hasbi masih saja belum membuka pintu. Hingga ak
Setelah keberangkatan Hasbi, kini Sabrina hanya sendirian di rumahnya. Dia tak ke sekolah karena kebetulan hari ini adalah tanggal merah.Penasaran dengan hasil penyadapan kemarin Sabrina segera membuka salah satu aplikasi penyadap pada layar ponselnya. Satu-persatu bukti chatingan Hasbi dengan seseorang mulai bermunculan. Sabrina membuka chat suaminya dengan kontak bernama Muhidin.Muhidin: [Mas, besok aku ada arisan dengan teman-temanku. Uang sepuluh juta buat bayar arisan sudah ada belum? Aku kan malu kalau sampai telat bayar.]Hasbi: [Tenang saja, Sayang. Hari ini kebetulan aku menerima insentif.]Muhidin: [Baguslah, Mas. Jangan pernah berikan uang jatahku pada istri tuamu yang egois itu.]Hasbi: [Tak akan pernah, Sayang. Kamu jangan khawatir, setelah aku berhasil merampas bukti-bukti pernikahan kita, Sabrina akan segera aku ceraikan.]Muhidin: [Jangan lama-lama, Mas. Aku sudah tidak nyaman tinggal di kontrakan hanya untuk bersembunyi dari wanita tuamu.]Hasbi: [Sabar, Sayang. Tak
Air mata Sabrina kembali merembes di pipi. Dadanya bergemuruh lemas. Deretan percakapan pesan antara Hasbi dan mamanya adalah bukti kalau mereka memang bersekongkol akan menyingkirkan Sabrina."Manusia macam apa mereka. Kejam sekali terhadapku." Sabrina meremas bajunya. Menahan sakit di dalam dada yang rasanya pedih melebihi tusukan duri."Aku harus kuat. Harus!"Sabrina segera bangkit. Ia menyudahi penyelidikannya. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Suaminya bukan lagi Hasbi yang dulu. Perubahan itu kini benar-benar nyata. Ia segera membereskan pakaian dari lemari kemudian dimasukan ke dalam koper.Bersamaan dengan itu, pintu kamar terus saja diketuk Hasbi dari luar.Tok tok tok"Sabi, buka pintunya dong!" Sabrina tak memperdulikan suara panggilan dari suaminya. Setelah pakaian tertata rapih di dalam koper, ia segera keluar usai perasaannya mulai bisa ditenangkan."Kamu sudah siap ternyata. Ya sudah ayo kita berangkat." Hasbi menyambut saat Sabrina keluar dari kamar."Berangkat
Satu hari kemudian, rutinitas Sabrina berjalan seperti biasanya bangun pagi-pagi lalu pergi ke sekolah. Ia masih belum menceritakan kisah sendunya pada sang Mamah. Wanita itu masih merahasiakan kejahatan Hasbi dari Santi mengingat penyakit jantung mamanya itu bisa saja kumat kalau mendengar kabar tak mengenakan.Dengan mengendarai kendaraan roda empat, Sabrina bertolak dari sekolah setelah tugasnga selesai. Berkas-berkas penting serta bukti poligami Hasbi sudah tertata rapih dalam satu map berwarna hijau. Tekad Sabrina sudah bulat. Dengan meminta bantuan dari Jaka, wanita berlesung pipit itu akan melaporkan suaminya kemudian menggugat cerai dengan alasan yang sudah jelas.Harapnya, sanksi yang tegas akan didapatkan Hasbi sebagai hasil dari luka yang menyakitkan yang dirasakan Sabrina saat ini.Sabrina sudah berdiri di depan ruangan atasan korps brimob ditemani Jaka—sahabatnya. Dia tak akan memberi Hasbi kesempatan ketiga setelah kesempatan kedua hanya dimanfaatkan saja.Satu persatu b
"Ma!" Sabrina terkesiap dengan keadaan mamanya yang tiba-tiba terkulai lemas di atas pangkuannya. Bersamaan dengan itu, paman Sabrina datang dan masuk mendekati tubuh Santi."Ada apa ini, Sabi?" Paman Sabrina—Subhan bertanya dengan wajah cemas."Sepertinya jantung Mama kumat. Paman, antar aku ke rumah sakit sekarang ya." Sabrina dan pamannya langsung bergerak cepat membawa Santi ke dalam mobil. Sementara Hasbi hanya membatu melihat mertuanya tak sadarkan diri. Entah apa yang ada dalam pikiran pria gempal itu. Dia tampak merasa tak berdosa. 'Belum tuntas aku membuat perhitungan, malah Mama yang pingsan,' umpatnya dalam hati. Hasbi segera hengkang dari rumah mertuanya dan langsung mengikuti mobil Sabrina menuju rumah sakit. Dalam perjalanan mobil menuju rumah sakit, Sabrina terus memeluk sang ibunda sampai akhirnya ia tak merasakan adanya degupan pada dada Santi."Paman, ada apa dengan Mama?" Sabrina resah. Dia bertanya pada Subhan yang tengah menyetir mobil."Kenapa, Sabi? Sebentar