Wanita asing tersebut tampak terkejut ketika melihatku. Begitu juga dengan Mas Adam. Suamiku itu berjalan ke arah kami dengan cepat.
"Dek, pulang sama siapa? Kok nggak minta jemput sama Mas?" tanyanya kepadaku.Aku memang sengaja tidak menghubungi Mas Adam. Karena aku ingin memberinya kejutan.Aku tidak langsung menjawab pertanyaan suamiku. Dadaku sudah terasa sesak menahan amarah yang bergejolak. "Siapa dia, Mas?" Ku lontarkan pertanyaan itu kepada Mas Adam tanpa melirik ke arah wanita muda tersebut.Gigiku saling bergesekan. Geram dengan keadaan yang terjadi. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa memasuki kamarku dan Mas Adam? Apalagi dia adalah wanita asing, yang sama sekali tidak aku kenali."Dek, ini Nira. Babysitternya Cleo. Dia mulai kerja dan tinggal disini hari ini." Mas Adam memperkenalkannya kepadaku. Aku baru teringat bahwa dua hari yang lalu aku mencari Babysitter baru untuk si bungsu kami-Cleo yang berusia 4 tahun. Babysitter yang lama sudah berhenti bekerja dirumah kami karena beliau sudah akan menikah. Aku membuat pengumuman disosial media tentang lowongan Babysitter ini dan mencantumkan nomor telepon Mas Adam sebagai contact person. Sebab, aku sangat sibuk dikantor."M-maaf, Nyonya. Saya Nira," ucapnya padaku sembari mengulurkan tangannya ke arahku. Aku mengabaikannya. Masih merasa kesal karena sikapnya yang keterlaluan.Aku meliriknya dari ujung kaki sampai kepala. Ia mengenakan daster dengan bagian dada yang mengetat. Dua tonjolannya lebih besar daripada milikku. Tentu ada rasa was-was yang kurasakan sebagai seorang istri. Pikiranku mulai menjelajah ke arah yang tidak-tidak, semisal bagaimana jika suamiku tergoda dengan tubuh montoknya itu?"A-ah, sudahlah! Mas Adam nggak mungkin begitu, Hanna!" ucapku didalam hati. Mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa suamiku tidak akan tergoda dengan Babysitter barunya Cleo.Aku tersadar ketika wanita muda yang bernama Nira itu bersuara kembali. "M-maaf, Nyonya. Jangan salah paham. Saya masuk ke dalam kamar karena menjemput Cleo yang tadi sedang berlari ke dalam sini. Saya kira nggak ada siapapun. Ternyata ada Bapak yang sedang tidur."Aku meliriknya dengan tajam. Langsung protes dengan perlakuannya. Sebab, aku tidak suka ada orang asing yang memasuki kamarku sembarangan."Kenapa kamu berani sekali masuk ke kamarku? Apalagi ada suamiku didalamnya. Kamu nggak diajarin sopan santun sama orang tuamu?" kataku dengan sengit.Dia terlihat kikuk. "B-bukan begitu, Nyonya. Saya sungguh nggak tahu kalau Bapak Adam ada didalam. Maaf, Nyonya. Lain kali saya tidak akan mengulangi hal ini lagi." Wanita muda itu tampak ketakutan."Sayang, dia nggak tahu kalau Mas disini tadi. Udah nggak apa-apa. Aku maafin dia kok." Suamiku bersuara sembari menepuk-nepuk pelan kedua bahuku. Mencoba berusaha menenangkanku. Sebab, ia tahu bahwa aku sedang kesal.Jika bukan karena suamiku yang menyudahi semuanya, aku pasti masih terus berlanjut untuk terus menginterogasinya sampai ke akar-akar."Yaudah. Sana kamu kembali ke kamar," ucapku pada Nira. Dia mengangguk dengan cepat dan segera berjalan keluar kamar meninggalkan aku dan Mas Adam."Kamu capek ya?" Mas Adam bertanya. Kening dan bibirku dikecupnya langsung. Aku terdiam. Sejenak menikmati lumatan bibirnya.Mas Adam selesai menciumiku. Aku tersenyum ke arahnya. Ku letakkan tas sandang milikku diatas nakas. Kemudian dengan cepat aku memeluk Mas Adam. Menciumi wajahnya dengan mesra. Sesuai dengan janjiku tadi siang, bahwa malam ini aku akan melayani Mas Adam sesuai permintaannya.Tanganku mulai nakal meraba bonggolan Mas Adam dibalik celananya. Namun, Mas Adam langsung mencegah tanganku. Aku menaikkan satu alis, merasa heran dengan tingkah suamiku yang menolak perbuatanku ini."Kenapa sayang? Mas nggak suka?" tanyaku masih menganga.Mas Adam berdehem lebih dulu. "Ehem. Mas lagi nggak pengen.""Kenapa? Kan tadi mas ngajak aku. Aku janjinya malam ini," ucapku manja.Mas Adam tersenyum. "Iya kan itu tadi siang. Sekarang udah nggak lagi."Aku mengerutkan dahi. "Kok bisa? Mas main tunggal?" tanyaku penuh selidik.Mas Adam tersenyum genit. "Apa sih kamu, Dek. Bisa aja." Muka Mas Adam memerah tampak malu karena ku goda seperti itu.Aku semakin menggodanya. "Iya ya mas? Mas main tunggal? Jadi, video mana lagi yang mas tonton untuk main?""Heh, apaan sih, Dek."Aku tertawa terbahak-bahak. Merasa lucu melihat suamiku."Mas ngantuk nih. Mau tidur. Kamu udah makan?" Mas Adam langsung mengalihkan topik pembicaraan.Aku menggelengkan kepala. "Belum. Mas udah makan kan?" Aku hafal betul jam makan malam mas Adam.Mas Adam mengangguk. "Udah tadi sama anak-anak. Kamu mau aku temenin makan nggak?"Aku menggeleng dan tersenyum sumringah. "Nggak, Mas. Aku makan sendirian aja. Mas tidur aja duluan. Nanti aku nyusul." Aku mengedipkan satu mataku."Bener nih?" tanya Mas Adam memastikan.Aku mengangguk lagi. "Bener sayang. Udah sana tidur, Mas." kataku menyuruh suami.Mas Adam menurutiku. Mas Adam segera masuk ke kamar untuk tidur.***Setelah selesai makan malam dan membersihkan diri, aku kembali masuk ke kamar. Berencana untuk segera naik ke atas ranjang dan ikut tidur disebelah suamiku tercinta.Ku peluk Mas Adam dari belakang dengan sangat erat. Salah satu kebiasaan yang selalu aku lalukan selama ini.Drrtt! Drrtt! Drrt!!Ponsel Mas Adam bergetar diatas nakas. Sepertinya sebuah pesan telah masuk."Siapa yang ngechat malam-malam begini?" batinku bertanya.Khawatir bahwa pesan itu bisa jadi dari sanak keluarga yang mengabarkan sesuatu, maka aku segera memeriksanya. Kebetulan nakas itu terletak tepat disebelahku.Ku ambil gawai suamiku dan kubuka pesan W******p tanpa nama tersebut."Gimana tadi, Mas? Puas nggak?" isi pesan dari nomor tanpa nama tersebut.Kedua mataku membulat sempurna setelah membaca isi pesan dari nomor tanpa nama digawai suamiku. Pesan tersebut bermakna ambigu, bagaimana mungkin aku bisa berpikir positif.Mas Adam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia langsung merebut ponselnya dari tanganku.Aku tercengang."Siapa itu, Mas?" tanyaku langsung. Mataku sudah memanas."Bukan siapa-siapa," jawab Mas Adam tanpa melirik sedikitpun ke arahku. Ia tetap menatap layar gawainya. Ku lihat jemarinya langsung menari diatas keyboard ponsel. Sepertinya suamiku itu sedang membalas pesan dari nomor tanpa nama tadi."Apa maksudnya bukan siapa-siapa, Mas? Lihat itu isi pesannya kenapa begitu?" tanyaku lagi. Mulai merasa penasaran."Ini rekan kerjaku." Mas Adam menjawab singkat. Matanya masih fokus dengan layar telepon.Aku tersenyum kecut. "Heh, rekan kerja kok nanyanya begitu? Apa maksud dia nanya-nanya kamu puas atau nggak? Puas apa? Memangnya kalian habis ngapain?""Dia punya usaha kuliner. Tadi mas pesan sekalian buat anak-anak jug
Aku dan Mas Adam bersamaan memandang ke arah Nira yang saat ini menunduk. Tampaknya ia tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap kami."Mbak Nira ngga boleh pergi dari sini. Cleo sayang Mbak Nira," ucap Cleo yang tiba-tiba datang dari arah dapur. Sepertinya putera bungsu kami itu pun juga mendengar perdebatan yang sempat terjadi antara aku dan Mas Adam.Cleo memeluk Nira. Wajah anakku itu terlihat sedih melepas kepergian Babysitter barunya yang belum ada 24 jam bekerja disini.Tapi mau bagaimana lagi, aku tetap tidak menyukainya. Sangat pantang bagiku jika orang asing memasuki kamarku."Cleo," panggilku dengan lembut. Aku berjongkok dan membentangkan kedua tanganku ke arah Cleo, untuk memanggilnya dalam pelukanku. Namun, si bungsuku itu tetap memeluk Nira."Mbak Nira mau ambil cuti," kataku kepada Cleo. Sengaja ku perhalus, agar anak-anak tidak mengetahui problem yang sebenarnya.Cleo menggeleng dengan kuat. "Nggak boleh. Mbak Nira baru nemenin Cleo kemarin. Masa mau ambil cuti
Nira sudah serius memandang ke arahku. Ia tampaknya penasatan dengan kata tapi yang masih menggantung dari mulutku."Tapi, kamu nggak boleh ulangin yang kemarin ya. Jangan masuk ke kamar saya tanpa izin. Saya nggak suka."Nira mengangguk dengan cepat. "Baik, Bu. Saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi.""Satu lagi," kataku. Aku menyeruput teh sebelum melanjutkannya. Sementara Nira sudah menungguku. Tidak sabar ingin mendengarkan syarat yang selanjutnya."Apa itu, Bu?" tanya Nira."Tolong kamu jangan pakai pakaian ketat begitu dirumah ini. Kamu tahu kan anak saya dua-duanya laki-laki. Mereka juga masih terlalu kecil. Kalau ngeliat kamu sehari-hari berpakaian seperti ini, nanti timbul rasa penasaran mereka," ucapku sambil menunjuk baju ketat lengan pendek yang ia kenakan. Sangking ketatnya, lekukan tubuhnya terlihat jelas. Apalagi dari pinggul sampai kakinya, ia tampak seperti tidak memakai celana.Sebenarnya alasanku melarangnya mengenakan pakaian itu karena aku tidak ingin suamiku
Aku memandang Tere sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ia bisikkan kepadaku. "K-kenapa, Re?" Aku balik bertanya dengan kening yang berkenyit.Tere berdehem. Ia memandang ke arah putraku lebih dulu. "Cleo, tunggu di kolam renang ya. Nanti miss menyusul." Tampaknya Tere sengaja memberi perintah Cleo untuk pergi dari hadapan kami. Gadis itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.Si bungsuku itu mengerti dengan perintah Tere. Cleo diikuti Nira berjalan ke arah taman belakang.Setelah memastikan keduanya hilang dari pandangan kami, Tere menghadap ke arahku lagi. "Pakaiannya begitu, Kak. Nggak masalah?" tanya Tere mempertanyakan pakaian seksi yang dikenakan Nira.Aku tersenyum agak ragu. "Iya. Kakak udah tegur dia kok. Besok dia nggak akan pakai baju kayak gitu lagi.""Gimana sama Mas Adam, Kak?" tanya Tere tiba-tiba."M-maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi. Belum mengerti dengan maksud pertanyaan Tere."Maksudku, apa Mas Adam nggak masalah sama Babysitter baru Cleo? Nggak risih ngel
Aku mengikuti dorongan Mas Adam untuk melepas pelukanku. Perlahan ku angkat kepalaku dan bertanya dengan bibir yang bergetar. "K-kenapa, Mas? Mas nggak mau maafin aku?" Ujung mataku sudah memanas. Riak air sudah ingin turun. Ditambah raut wajah Mas Adam yang datar. Sulit ku tebak."Kamu minta maaf terus. Tapi nol aksi. Besok-besok kamu lakuin hal yang sama lagi," kata Mas Adam datar tanpa ekspresi.Aku menggelengkan kepala dengan kuat. "Nggak, Mas. Aku janji kali ini nggak akan ngulangin hal yang sama lagi. Aku janji akan menghargai setiap keputusan yang Mas Adam buat." Aku mengatakan itu dengan terisak. Aku sangat mencintainya. Setiap kali kami memiliki masalah, selalu aku yang menangis tersedu-sedu. Tangisanku itu adalah ketakutanku kehilangan Mas Adam. Meski aku tahu, Mas Adam tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan meninggalkanku. Kami sudah berjanji dari tujuh tahun yang lalu, bahwa kami akan terus melanggengkan pernikahan ini sampai maut yang memisahkan. Bagaimanapun cobaan yang me
Aku masih terlentang tidak berdaya di atas ranjang seusai bercinta dengan suamiku. Seluruh tubuhku terasa lemas. Tetapi rasanya sangat puas sekali karena kami sama-sama sampai di puncak kenikmatan dengan waktu yang bersamaan."Terimakasih, Sayang," ucap Mas Adam kepadaku sembari membelai rambutku. Suamiku itu masih berbaring juga di atas ranjang. Wajahnya terlihat lesu sebab pertempuran ini juga. Tapi aku tetap menyukainya."Mas mau lagi?" tanyaku menggoda. Ku kedipkan satu mataku ke arahnya. Itu hal yang biasa aku lakukan. Menggoda suamiku setelah kami bercinta untuk menantangnya.Mas Adam menggeleng. "Sayang, udah. Mas udah cukup puas."Aku terkekeh pelan. "Bilang aja nggak kuat lagi, kan?" Ku julurkan lidahku.Mas Adam tersenyum malu."Kamu nggak jadi pergi ke kantor?" tanyanya. Mata Mas Adam sudah mulai terpejam. Mungkin karena kelelahan."Iya, Mas. Ini aku mau mandi lagi. Terus siap-siap dan otw ke kantor," jawabku sembari mengikat rambutku yang sempat tergerai tidak beraturan ka
Pelakor’s POVAku terdiam. Belum menjawab permintaannya Mas Adam.“Sayang? Kenapa diam? Memangnya kamu nggak kangen samaku?” tanyanya lagi.Aku menghela napas kasar. Bayangan Mas Adam bersama istrinya tadi terus terbayang di kepalaku. Membuatku semakin badmood saja.“Tapi kan tadi pagi mas udah di service sama istri Mas,” kataku menyindir.“Haha.” Mas Adam terkekeh. “Jadi kamu cemburu ya, Sayang?” tanyanya padaku. Ia seperti telah mengetahui apa yang tengah aku rasakan saat ini.“Jadi menurut Mas gimana? Aku nggak akan cemburu? Aku biasa aja gitu?” Aku balik bertanya dengan nada kesal.“Iya-iya paham. Maaf ya. Itukan hubungan suami istri. Mas ngelakuinnya biar dia nggak curiga,” jawab Mas Adam santai. Mencoba untuk membuatku tenang.Aku masih tetap terdiam.“Eh ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu aku dan Ghinda bercinta tadi pagi?” Mas Adam bertanya padaku. Ia baru menyadarinya.“Hm. Aku ngeliat sendiri dari luar jendela,” jawabku ketus.“Ya ampun, Sayang. Kamu tahu itu membuat kamu
"Hm. A-anu. Mas mau keluar sebentar untuk beli nasi padang. Tiba-tiba kepikiran pengen makan itu," jawab Mas Adam sambil menggaruk tengkuknya.Aku mengernyitkan dahi. "Sejak kapan Mas suka nasi padang?" Aku hapal betul selera makan suamiku. Tujuh tahun menjadi istrinya, ia tidak pernah sama sekali menyentuh makana tersebut. Tapi malam ini Mas Adam mendadak menginginkannya."Eh iya, Sayang. Nggak tahu nih. Tiba-tiba aja gitu kepengen. Kayaknya enak malam-malam begini makan nasi padang." Mas Adam tersenyum ke arahku. Matanya yang berbentuk bulan sabit ketika tersenyum itu membuatku gemas dan jatuh cinta berkali-kali.Aku tersenyum menggoda. "Mas lagi nyidam ya?" Satu mataku berkedip.Mas Adam terdiam sejenak. Kemudian ia terkekeh malu. "Ah masa iya sih, Dek.""Ya mana tahu Xabi dan Cleo mau punya adik lagi," ujarku lagi."Memangnya kamu ada tanda-tanda?" tanya Mas Adam. Ku jawab dengan menaikkan kedua bahuku. "Belum tahu, Mas. Tapi doakan sajalah ya. Segera. Hehe."Kami memang berencana